9. Tuan Dokter
Udah Kamis lagi. Saatnya Yuuto n Menik datang. Kuy, kasih jejak cintanya. Semoga terhibur😍
💕💕💕
Lela masuk dengan tergopoh sesudah meminta pertolongan Udin yang sedang mangkal di ujung kampung. Tetapi, mereka tidak mendapati Menik ada di situ. Warung kosong. Tak terlihat siapapun di sana.
"Mpok!" Lela menyibak tirai kamat tetapi yang dihadapinya adalah pintu yang tertutup. "Mpok Menik kagak apa-apa, kan? Jawab, Mpok!"
Sementara itu, Menik masih bergelung dengan seragam yang masih membungkus badannya. Bau seragam itu persis seperti parfum baru yang sering dipakai Ripto beberapa hari sebelum meninggal. Kata Ripto itu pemberian Kenta saat Natal lalu.
Aroma yang menyusup di penciuman Menik membawa rasa nyeri yang mencabik hati. Dia tergugu sambil meremas dadanya.
"Mpok, jawab, Mpok!" Lela menggedor pintu kayu kamar.
"Aye kagak apa-apa, La. Lu jaga warung dulu, ya?" Suara Menik sengau. Tanpa sadar, dia menciumi seragam itu untuk menetralkan kerinduan di batinnya. Seolah dia sedang dipeluk Ripto.
Tak ada suara lagi. Yang mendominasi ruangannya hanya bunyi sesenggukan dan detikan jarum jam memutar waktu. Walau kata orang, waktu akan menjadi obat bagi luka batinnya, tetap saja setiap detik yang merangkak, tak bisa mengusap lara di hati.
Menjelang asar, Menik baru keluar dari kamar. Dia menuju dapur dan menatap soto betawi yang masih separuh ada di kendil.
"Mpok, sejak siang tadi, kagak ada pembeli. Sotonya enaknya diapakan, ya? Dijual besok bisa kagak?"
Menik mendesah. Tapi dia tidak bisa menjajakan makanan yang sama untuk besok.
"La, tolong cari dokar. Mpok mau ke Kampung Utara. Kita bagikan soto itu ke sana." Menik duduk dengan punggung melengkung. Dia menatap nanar lidah api yang menjilat pantat periuk tanah liat itu.
Menik lalu bergegas ke depan dan membuka kotak uang. Penghasilannya hanya separuh dari pemasukan kemarin. Setelah dia hitung lagi, modal yang dia gunakan untuk membuat soto itu sudah hampir kembali. Setidaknya dia tidak terlalu rugi.
Setelah menyimpan uang di kantong, dia lalu buru-buru menyiapkan mangkuk dan sendok di keranjang serta meminta Udin yang masih mangkal untuk mengangkat kendil dan bakul berisi nasi hangat.
Perjalanan kali ini diisi kebisuan. Hanya suara sepatu kuda yang berirama rancak menemani mereka. Sangat bertolak belakang dengan situasi hati Menik yang lesu.
"Neng, apa kagak bisa buat besok?" Udin menanyakan pertanyaan yang sama dengan Lela
"Kagak bisa, Mang. Warung aye kan udah jelas nawarin menu yang berganti-ganti," jawab Menik sambil menahan guncangan kereta agar kuah tidak tumpah. "Lagian, soto ini kan pakai santan. Kuahnya bisa basi. Daripada basi ya mending dikasih buat orang yang membutuhkan."
"Semoga kebaikan Eneng bisa mendatangkan rezeki yang makin lancar, ya, Neng." Udin mengendalikan kudanya supaya tidak berlari terlalu kencang karena membawa kendil yang berisi kuah panas.
"Amin, Mang."
Setengah jam kemudian, Menik sampai di sebuah kampung pinggiran Menteng di sebelah utara. Kampung pribumi itu terlihat mengenaskan di mana busung lapar merajalela. Karena kekurangan makanan, banyak penduduknya yang sakit dan meninggal dengan mengenaskan.
Begitu Menik datang, suara seorang anak kecil membahana memanggil penduduk kampung. "Mpok Menik datang!"
Anak itu bernama Malih, berlari menyongsongnya. Menik turun dari dokar disambut jabatan tangan Malih yang mencium punggung tangannya.
"Kok sepi?" tanya Meni11k heran.
"Iya, Mpok. Ada dokter Jepang yang datang di mari. Bantuin Enyaknya Malih lahiran."
"Dokter Jepang?" Alis Menik mengerut sambil memperbaiki kerudungnya. "Mpok Ayu lahiran?"
"Mpok, bawa apaan? Lama banget Mpok kagak ke mari? Malih kangen masakan Mpok." Malih tak menjawab pertanyaan Menik.
Menik tersenyum. Mungkin Malih terlalu lapar untuk mencerna pertanyaannya. "Malih, bawain ke balai bengong di pojokan ya?"
"Iya. Nanti sisain semangkok buat Tuan Dokter, ya?"
Semua orang kemudian mengantri. Dibantu Lela dan Udin serta Malih, akhirnya dagangan hari ini habis. Bahkan masih ada yang kecewa karena tidak bisa mendapat jatah makanan Menik.
"Lih, ini bawa ke keluarga lu." Menik mengulurkan lima mangkok terakhir yang dia sisakan sesuai pesanan Malih.
"Terima kasih, Mpok. Mpok mampir dulu yuk."
Menik menatap Lela yang sore ini harus pulang ke rumahnya, untuk menemani enyaknya yang sakit. "Kagak bisa. Lela harus cepet pulang. Kasihan enyaknya sakit."
"Enyaknya Mpok Lela sakit? Apa perlu dokter?"
"Dokter?" Lela menggaruk kepalanya. "Lela kagak punya duit."
"Tenang saja. Tuan Dokter baik, kok. Dia kagak narik bayaran kalau pas ngasih pemeriksaan di mari," kata Malih.
"Ya udah, La. Lu duluan saja. Taruh kendil, sama tenggok ke rumah, habis itu biar Mang Udin antar lu. Entar kalau bisa, aye bilangin ke Tuan Dokter buat periksa enyak lu. Urusan biaya, lu kagak usah mikir."
"Saya nanti jemput ke sini?" tanya Udin memastikan tugasnya.
"Iya, Mang. Aye tunggu, ya?"
Sepeninggalan Lela dan Udin, Menik segera pergi ke rumah babe Malih yang merupakan kepala di dusun itu.
"Assalamualaikum," sapa Menik sesuai tradisi Betawi saat memasuki rumah seseorang.
"Walaikumsalam, Neng Menik." Bang Mandra-babe Malih-yang duduk sambil menikmati soto Betawi menoleh.
Senyum Menik seketika memudar, saat mendapati Tuan Dokter yang sedang menurunkan mangkok soto setelah menyeruputnya itu ternyata adalah Yuuto Kagami.
"Ayo, Mpok! Sini!" Malih menarik Menik.
Kejadian tadi siang masih membekas di ingatan, membuat pipi Menik memerah. Bahkan dia malu sendiri ketika mengingat dia sudah menciumi seragam Yuuto yang dipinjamkan padanya sehingga laki-laki itu kini hanya memakai kemeja putih.
"Menik-san?" Yuuto tersenyum menaruh mangkuk sotonya.
"Kagami-dono." Menik membungkuk, berusaha bersikap senetral mungkin.
"Sudah kenal, ternyata. Kagami-sensei ini dokter yang suka keliling kampung, kayak lu, Nik. Kalau dia bagi obat gratis, lu makanan gratis."
Menik duduk dengan canggung di sebelah Yuuto di sofa panjang. Dia baru tahu kenyataan bahwa Yuuto adalah seorang dokter. Bukan tentara seperti yang dia pikirkan. Yang pasti kalaupun dokter, Yuuto pasti menjadi dokter militer.
"Enak, Nik, sotonya," puji Yuuto tulus.
"Kok bisa lu kasih soto seenak ini gratis?" tanya Bang Mandra.
"Iya. Itu tadi dagangan aye yang kagak habis." Menik menunduk. Tatapan Yuuto yang intens membuat kuduknya berdiri. Apalagi saat embusan angin dari jendela ke arahnya, dia dapat menghidu aroma parfum yang sama dengan Ripto. Persis seperti bau wangi yang melekat di baju luar Yuuto yang diselubungkan padanya.
"Kok bisa kagak habis. Biasanya tiap Ayu ke situ, selalu kehabisan."
"Iya ...." Tenggorokan Menik tercekat. Dia enggan menceritakan apa yang terjadi. Selain itu, dia bingung menanyakan apakah Yuuto mau memeriksa enyak Lela, mengingat sikap kasarnya tadi siang.
Tapi, Menik menepis rasa malunya. "Oh, ya, Kagami-dono, apa ...."
"Iya, Malih sudah bilang. Saya akan memeriksa ibu Lela-san," potong Yuuto cepat.
Menik menelan ludah kasar. Wajahnya memerah. "Arigatou."
"Untung ada Kagami-sensei di rumah Ito-sensei. Karena Ito-sensei dan dokter Yudha sedang dinas luar ke Tangerang, akhirnya Kagami-sensei yang menawarkan diri ke mari," tambah Bang Mandra. "Ya sudah, kalau begitu kalian berangkat saja sekarang."
"Ehm, aye ... Mang Udin ...." Tiba-tiba otak Menik tak bisa merangkai kata.
"Kagak usah nunggu Udin. Berangkat saja. Kagami-sensei bisa pakai sepeda saya. Nanti biar saya ambil di kediaman Kagami."
Yuuto mengangguk dengan senyum lebar. "Baik. Ayo!"
Sebenarnya Menik ingin menolak, tapi dia justru memikirkan enyak Lela yang sakit parah. Mau tidak mau dia ikut bangkit dan mengikuti Yuuto. Setelah berpamitan, Menik duduk menyamping di boncengan dengan Yuuto yang mengendalikan kayuhan sepeda.
"Menik-san, pegang pinggangku!" Yuuto masih menyangga sepeda dengan kedua kakinya.
Menik bingung. Dia justru memegang erat sadel sepeda.
Melihat Menik tak juga menjalankan perintahnya, Yuuto mengulurkan tangan ke belakang dan menarik tangan Menik hingga sekarang tangan kanannya melingkar di pinggang Yuuto.
Setelah itu Yuuto nekat mengayuh pedal walau hanya dengan satu tangan yang memegang setang. Sepeda mereka meliuk ke kanan kiri karena Yuuto kesusahan menjaga keseimbangan.
Gerakan itu justru membuat Menik meremas kain kemeja di perut Yuuto. "Abang!"
Yuuto terkekeh mendengar panggilan Menik.
Tapi mengetahui, tangan Menik masih setia di pinggangnya, perlahan dia melepas tangannya dan mulai mengendalikan stang dengan kedua tangan.
Sementara itu, Menik meremas kemeja di perut datar Yuuto. Dia menunduk dengan pipi merona saat samping tubuhnya bersandar di punggung Yuuto. Kerudungnya sengaja dia naikkan untuk menutup separuh wajah. Sesekali Menik melirik dan sesuai dugaannya semua yang berpapasan akan berhenti sejenak untuk mengamati mereka.
Seorang laki-laki Jepang dengan perempuan pribumi. Sebenarnya hal itu tidak asing. Farida Ainur, sang artis, juga bersama dengan Ryu Yamaguchi, seorang jurnalis yang bekerja di Kaigun Bukanfu. Lalu, kenapa orang-orang kini memandangnya aneh? Apakah karena dia perempuan Betawi? Atau apa karena dia janda? Atau mungkin hanya artis yang boleh bergandengan dengan laki-laki Jepang?
Seharusnya Menik turun sekarang juga. Tetapi pantatnya masih melekat di sadel boncengan. Lengannya juga masih melingkar di pinggang Yuuto.
Hah, semua ini demi Lela! Ya, demi gadis remaja itu!
Selang setengah jam kemudian, sepeda Yuuto berhenti di depan gubuk orang tua Lela. Babenya sekarang bekerja menjadi tukang kebun di rumah Baba Wang Tak Gie, sedang enyaknya yang sakit-sakitan terpaksa di rumah sendiri karena kakak-kakak Lela sudah menikah dan tinggal bersama suami. Sedang kakak laki-laki Lela bekerja di Semarang sebagai kurir pos.
Menik segera masuk begitu turun dari sadel sepeda. Gubuk yang hanya ada dua kamar sangat sepi. Kedatangannya disambut suara batuk yang terdengar dari kamar yang satu.
"Assalamualaikum, Mak Ipeh."
Mak Ipeh berusaha bangun. "Neng Menik, kok ke sini?"
"Lela mana, Mak?" Menik segera duduk di tepi ranjang dan melarang Mak Ipeh untuk bangkit.
"Loh, Mak pikir sama elu, Neng."
"Kagak. Tadi udah aye minta duluan." Menik membetulkan selimut Mak Ipeh. "Oh, ya, Mak, aye bawa dokter ke mari. Mak diperiksa dulu, ya?"
"Aye kagak punya duit, Neng." Mak Ipeh kembali terbatuk kali ini, dia harus meludah dan menampung dahaknya di ember berisi air.
Menik mengernyit. Lendir yang ada di ember itu didominasi warna merah. "Mak, kok lendirnya ada darahnya."
Mak Ipeh mengelap mulutnya. "Kagak tahu aye. Batuk aye udah sebulan lebih kagak sembuh-sembuh."
Menik lalu bangkit dan keluar dari kamar. Dia mempersilakan Yuuto masuk ke dalam kamar.
"Sensei, Mak Ipeh ini sudah batuk sebulan lebih. Sekarang batuknya campur darah." Menik menjelaskan sambil mengambilkan kursi untuk duduk Yuuto.
Yuuto mengangguk, mengerti keterangan Menik dan segera meletakkan tasnya di lantai tanah untuk mengambil stetoskop. Dia lalu duduk dan memeriksa Mak Ipeh yang terlihat kurus.
Menik mengamati gerak-gerik Yuuto. Dengan mata terpejam, dia menempelkan sebuah alat di dada Mak Ipeh yang selangnya tersambung ke telinga Yuuto. Kalau diamati seperti ini, Yuuto memang persis seperti dokter. Seperti Andrew yang sempat membuka praktik pengobatan sebelum Jepang datang. Pantas laki-laki itu terlihat beda dengan tentara Jepang pada umumnya.
Yuuto berdiri, menghadap Menik, sambil melepas stetoskopnya. "Menik-san, sebaiknya Ipeh-san segera dibawa ke Sanatorium Tjisaroea."
Menik menelengkan kepala. Dia masih belum bisa mencerna perkataan Yuuto. "Sanatorium Tjisaroea? Bogor?"
"Hai!"
"Mak Ipeh sakit apa?" tanya Menik.
"TBC."
Menik menutup mulutnya yang menganga lebar seolah rahangnya ditarik gravitasi. "TBC?"
Menik tahu penyakit itu. TBC adalah penyakit yang sangat menular dan mematikan. Dulu sewaktu zaman Hindia Belanda, ada penduduk di kampungnya yang susut berat badannya karena TBC dan akhirnya meninggal.
"Bagaimana bisa?" tanya Menik masih tidak percaya.
"Bisa saja. Kuman TBC bisa berkembang di sanitasi yang buruk, dan bila kondisi tubuh kita melemah akibat ... kurang gizi," Bahasa Melayu Yuuto cukup lancar karena selama dua tahun dia pernah ditugaskan di Soerabaja untuk meneliti tentang sanitasi dan prevalensi penyakit di Hindia Belanda, sebelum tugas ke Harbin pada tahun 1942.
Menik mengangguk lemah. Dia menatap prihatin Mak Ipeh. Keluarga Lela memang ekonominya tidak baik. Bahkan bisa dibilang kekurangan sehingga tak heran mereka tidak bisa mencukupi kebutuhan makanan sehari-hari.
Saat Menik sedang memandang nanar Mak Ipeh yang terlihat sengsara dengan batuknya, Lela masuk. Menik lalu meninggalkan Lela untuk memberitahu Udin agar menunggunya, kemudian kembali lagi ke kamar itu.
Lela sudah menangis tersedu di ujung ranjang. Dia memijat kaki kurus enyaknya, tak bisa berpikir.
"La?"
"Mpok ...." Lela menghambur memeluk Lela.
"Sudah. Kamu ikuti saja kata Kagami-sensei," ujar Menik sambil mengelus gadis itu.
Lela melepas pelukannya. Air matanya masih saja menetes tidak bisa berhenti. "Mpok tahu keluarga aye. Tutup lubang, gali lubang. Kami kagak punya duit."
"Lela-san, untuk urusan pengobatan Ipeh-san, serahkan pada saya. Saya akan membantu untuk mengirim ke sanatorium." Yuuto menyela pembicaraan mereka.
"Jangan, Sensei. Biar saya saja," tolak Menik.
Yuuto tersenyum. "Kalian tidak perlu khawatir. Ada saya yang akan membantu."
Menik mengerjap. Senyuman Yuuto begitu tulus. Apakah benar laki-laki di depannya ini orang Jepang?
💕Dee_ane💕
Kagak ada yang komen hiks🙈🤦♀️🥲
Tuan Dokter yang ganteng dan baik hati kan jadi sedih😬
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro