8. Sang Malaikat Penolong
Ada yang nungguin, ga? Kasih komen buanyak, ya. Paling nggak 50😂😂 besok update lagi. Kalau nggak ya, tunggu Kamis.
Jiahhh, sekarang pake syarat🙈🙈🏃♀️🏃♀️
***
Siang ini Yuuto sengaja pulang lebih cepat. Dia ingin ke warung Menik untuk mencicipi masakan perempuan itu. Terlebih mendengar cerita Kenta saat mereka makan di sana, di warung itu ternyata menjual menu yang berbeda-beda setiap harinya. Sungguh trik yang jitu untuk menarik rasa ingin tahu pelanggan.
Seperti Yuuto sekarang. Dia sangat penasaran menu apa yang dimasak Menik hari ini.
Akhirnya, Yuuto sudah memasuki jalan kecil kampung menuju rumah Menik. Seperti biasa, dia akan disambut dengan keceriaan anak-anak kecil yang mengejar mobilnya. Begitu memarkir mobil, dia mengambil kantong kertas dari tas dan keluar.
"Kodomo (Anak-anak), sini!" Dia memanggil seorang anak laki-laki yang paling besar.
Anak itu terlihat takut, tapi tetap saja mendekati Yuuto.
"Ini, ada permen jahe. Bagikan untuk teman-temanmu."
"Terima kasih, Tuan!" Anak itu membungkuk dalam dan Yuuto mengacak rambut anak itu dengan potongan batok kelapa tertungkup.
Masih memperhatikan anak-anak yang tak sabar mendapat jatah permen, perhatian Yuuto dikejutkan dengan pekikan Menik. Spontan dia berlari menuju rumah. Matanya seketika membeliak lebar saat melihat seorang centeng membelah kutang Menik.
"Kurang ajar!" Yuuto menarik wakizashi yang selalu tergantung di pinggangnya. Bilah pedang sepanjang 30 cm itu dilempar dan mendarat tepat mengenai lengan centeng gemuk.
Raungan keras menggaung saat wakizashi menancap di lengan berlemak itu. Centeng kurus membelalak saat dia mendapati Yuuto mendekat dan menodongkan pistol padanya.
"Keluar! Atau nasibmu akan semakin mengenaskan karena berurusan denganku!" Mata sipit Yuuto membulat. Desisan dari bibir yang hampir tidak bergerak itu terdengar mengerikan.
Centeng kurus itu ternyata tak seberani kelihatannya. Dengan wajah yang memucat, dia beringsut sambil mengangkat tangannya.
"Cepat keluar dari rumah ini dan jangan kembali kalau tidak ingin daging kalian kuberikan untuk makanan elang bondolku!" ancam Yuuto.
Tanpa suara, kedua centeng itu berlari ke luar. Sesampainya di luar, Si Kurus memaki Menik dengan kasar.
"Dasar pelacur!"
Dan, detik berikutnya sebuah tembakan melayang dan menyusup di tulang betis centeng kurus yang berani main belakang. Centeng gemuk mengalah, dia memilih berlari meninggalkan temannya yang ambruk. Sementara penjahat ceking itu berusaha melarikan diri meski terseok karena luka di kaki.
"Kamu tidak apa-apa?" Untuk kesekian kali, Yuuto menanyakan hal yang sama pada Menik.
Melihat tubuh Menik yang bertelanjang dada karena baju dan kutangnya sudah dirobek oleh dua begundal pengecut yang beraninya dengan perempuan lemah, Yuuto paham bahwa Menik tak baik-baik saja. Apalagi tubuh Menik yang bergetar, memeluk dada yang besar itu, pasti didera gentar.
Kembali Yuuto membuka baju luarnya menyisakan kemeja putih. Dia berjongkok dan menyelubungi tubuh Menik yang bersimpuh di lantai tanah.
"Menik-san, kamu aman sekarang! Dua begundal itu sudah pergi!"
Isakan terdengar. Bahu Menik naik turun. Niat Yuuto membantu Menik berdiri, ditepis perempuan itu.
"Aku bisa sendiri!" Tubuh Menik yang gemetaran itu perlahan berdiri. Namun, kaki yang lemas karena dikejutkan oleh peristiwa yang baru saja terjadi, rupanya tak bisa menahan tubuh Menik.
Buru-buru, Yuuto menangkap raga yang limbung itu agar tak kembali terpuruk.
***
Kini, sesenggukan Menik semakin keras terdengar. Hati yang patah ditinggal suami dan perlakuan buruk orang-orang, membuat dirinya semakin tenggelam dalam kesedihan. Walau Menik berusaha tegar untuk bangkit kembali tapi dia tak sekuat yang dia kira.
Kakinya lemah tak menuruti otak untuk menopang badan, hingga akhirnya tubuhnya bersandar di dada bidang Yuuto. Menik semakin menarik baju luaran cokelat kebesaran yang menyelubungi tubuh untuk menenggelamkan badannya. Terlebih, Yuuto yang menangkap raganya, berakhir memeluk Menik dengan erat. Menik juga merasakan kecupan lembut mendarat di pucuk kepalanya.
"Tenang, ada aku! Bersamaku, kamu akan baik-baik saja."
Ucapan itu seolah menguak kembali ingatannya saat bertemu Ripto dua tahun lalu.
Pada malam tanggal 1 Maret 1942, ketika di radio memberitakan bahwa Jepang telah mendarat di Merak dan Teluk Banten, suasana Batavia semakin mencekam. Jam malam diberlakukan, sehingga semua penduduk tidak boleh berkeliaran di luar rumah sejak pukul 18.00. Bahkan di dalam rumah itu tidak boleh ada penerangan karena takut akan menarik perhatian pesawat Sekutu.
Menik yang saat itu berusia tujuh belas tahun, menemani Anne, anak kedua keluargsa Van Persie.
"Menik, apa Jepang akan menduduki Hindia Belanda?" tanya Anne yang seumuran dengan Menik. Pandangannya gelisah dikepung kegelapan.
"Aye kagak tahu, Non. Yang jelas aye kagak demen mendengar berita di radio. Aye ngeri waktu ada berita, Jepang membantai tentara kita di daerah Tarakan." Menik beringsut memeluk Anne, anak ndoro Londo serta teman baiknya.
"Nik, aku takut. Karena perang, kita jadi gelap-gelapan. Aku juga takut kehilangan Papa, Mama, Andrew, dan kamu."
"Tenang. Aye kagak kemana-mana." TangannMenik melingkar di perut Anne erat. Keduanya kini tidur sambil berpelukan menanti datangnya matahari menerangi bumi.
Namun, sayangnya ketakutan Anne terjadi. Jepang menyerang dan mendatangi penguasa militer KNIL, tak terkecuali rumah Kolonel Johann Van Persie, papa Anne.
"Papa, ada apa?" tanya Anne saat mereka makan malam lebih awal.
"Anne, Andrew, kalian harus ke luar dari rumah ini." Kolonel Johann mengusap mulutnya dengan kain yang tersampir di pahanya. "Menik, bawa Anne dan Nyonya pergi dari sini. Jangan kembali dan menoleh apapun yang terjadi!"
Menik bingung. Dia ingin bertanya tapi takut karena berondongan peluru sudah terdengar memecah kaca jendela.
"Cepat!"
Menik meraih tangan Anne. Namun, langkah gadis itu terhenti. "Mama?"
"Mama akan di sini."
"Rose!"
"Maaf, Pa. Saya akan menemani Papa. Apapun yang terjadi!"
"Ma, ini bahaya!"
Namun, Andrew tak ambil pusing. Dia berdiri dan menarik adik serta mamanya.
"Tuan, ke mana kita akan pergi?" Menik tergopoh mengikuti Andrew.
"Ke rumahmu!"
Tapi baru setengah perjalanan, mereka dihadang oleh tentara Jepang.
"Menik, bawa Mama dan Anne!" titah Andrew sambil menodongkan pistol ke arah tiga tentara Jepang pendek. Bola bergulir bergantian dari musuh ke dua perempuan van Persie, memastikan mereka selamat.
Menik segera berlari dan menarik dua juragan perempuannya ke semak-semak kebun jagung yang menjulang tinggi daunnya. Mereka berlari sekencang mungkin hingga suara tembakan kembali terdengar.
"Menik, lepaskan! Andrew ...." Tangan Nyonya Rose terlepas. Dia berlari dengan mengangkat gaun panjangnya, tak memedulikan daun jagung menyabet kulit putih mulusnya.
Dengan terpaksa Menik kembali karena Anne pun ikut menepis tangannya. Detik kemudian lolongan menyedihkan terlontar dari bibir Nyonya Rose saat mendapati putra sulungnya yang baru saja lulus dari kedokteran di Amsterdam tergeletak bersimbah darah.
Raungan itu mengundang tentara Jepang itu kembali. Saat Menik hendak naik ke jalanan untuk bergabung bersama nyonya dan nona Londonya, tubuh Menik seketika kaku. Tiga tentara Jepang itu menodongkan senjata di leher Anne dan Nyonya Rose.
Walau Anne terlihat pasrah, tak begitu dengan Nyonya Rose. Dia melawan tentara itu sehingga ketiganya justru kalap dan melecehkannya. Menik hanya bisa terduduk di balik pohon jagung. Dia tidak berani bergerak atau bernapas saat ketiga laki-laki itu berusaha menyetubuhi Nyonya Rose dan Anne. Di detik terakhir, Nyonya Rose tetap berontak sehingga membuat lelaki yang satu naik pitam dan menusukkan bayonet. Darah yang memuncrat itu mengenai wajah Menik. Seketika dia menutup mulutnya yang ingin berteriak. Pandangannya menjadi berkunang. Dunia terasa berputar dan kesadarannya mulai terkikis bersamaan pekikan Anne saat kesuciannya direnggut para tentara Jepang.
Menik membuka matanya perlahan. Mimpinya begitu buruk dan terasa nyata. Namun, saat menyadari dia berada di rumah yang tidak dia ketahui tempatnya, seketika ingatannya kembali pulih.
"Nduk, kamu sudah siuman?"
Menik beringsut melihat ada seorang laki-laki berkulit sawo matang dengan dagu licin tersenyum padanya. Dari penampilannya, Menik yakin dia dari kalangan bangsawan atau orang terpandang. Apalagi di dinding kamar itu tergantung banyak lukisan indah.
"Si-siapa, Ndoro?" tanya Menik.
"Sepulang aku dari rumah Van Persie tadi, aku menemukan kamu di kebun jagung. Lalu kubawa kamu ke rumahku."
"Tuan Andrew, Nona Anne, Nyonya ...." Menik linglung.
"Kamu ... tukang masaknya di keluarga Van Persie, ya?"
"Ba-bagaimana Ndoro tahu?" Menik menarik kaki dan memeluknya hingga pahanya menempel di dada.
"Aku Ripto! Sudah lama aku tahu kamu. Aku sering berkunjung ke rumah Van Persie karena aku teman Andrew." Ripto mengulurkan tangannya.
Menik menatap nanar tangan yang terulur itu.
"Di mana mereka?"
Ripto menggeleng. "Entahlah. Menurut beberapa orang, Andrew dibunuh di jalanan kebun jagung. Sedang Anne dan Nyonya ...."
Sontak Menik berurai air mata. Dia paham situasinya sekarang. Tuan londonya sudah dibantai. Seperti berita yang dia dengar dari radio. Parahnya, kesucian Anne juga dilucuti.
"Tenang, ada aku! Bersamaku, kamu akan baik-baik saja." Ripto menepuk pundak Menik seolah ingin mengusir sedih karena kehilangan orang-orang yang berharga di hidupnya.
***
"Menik-san?" Yuuto menepuk pundak Menik, hingga membuyarkan lamunannya.
Ya, Yuuto bukan Ripto! Yuuto adalah tentara Jepang yang kini membuat bangsanya sengsara.
"Maaf, sebaiknya Kagami-dono pulang. Jangan kembali ke sini!"
"Tapi ...."
"Aku mohon! Jangan perparah kondisiku!" pekik Menik hingga wajahnya memerah.
"Baik. Hari ini aku pulang. Tapi, besok aku akan datang lagi." Yuuto membantu mendudukkan Menik di atas bangku kayu panjang. Dia lalu pergi begitu saja, meninggalkan seragamnya yang masih menyelubungi tubuh sintal Menik.
Menik meraung. Dia merasa tak berdaya sekarang. Sejak Jepang datang, berulang kali dia menyaksikan hal tragis di depan mata. Tak hanya Ripto, Andrew, Anne, Nyonya Rose, dan Asman pun juga mengalami hal yang mengenaskan. Parahnya Menik menjadi saksi yang hanya bisa diam dan menutup matanya.
Kata orang pengalaman buruk akan membuat kita kuat. Nyatanya, Menik semakin lemah digerogoti rasa bersalah karena diam, tak bisa melakukan pembelaan. Semua kenangan itu menghantui dan seolah ingin mengelupasi nalarnya.
Menik menunduk. Menatap seragam yang menutupi tubuhnya. Seragam yang satu belum sempat dikembalikan karena baru saja kering, sekarang dia sudah mendapat seragam yang lain. Tercium wangi parfum maskulin yang lembut menguar dari kainnya.
Walau Menik takut dengan seragam itu, dia tidak bisa melepas. Dia justru menariknya kuat untuk menyelubungi dada polosnya. Dia tahu, Yuuto hanya menyelamatkannya. Mungkin bila tak ada laki-laki itu, kesuciannya sebagai janda Soeripto ternoda. Tapi tetap saja dia tidak ingin berurusan dengan lelaki itu. Cukup! Atau bisa jadi masalah yang lain akan datang memperunyam keadaannya.
💕Dee_ane💕
Yuuto, Sang Penyelamat ... tatapannya tajam kek wakizashi
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro