Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

7. Berita Hangat

Udah malam Minggu lagi! Senengnya ... Jam 18.00 saatnya update Menik. Betewe, kalian lebih suka daily update apa seminggu dua kali? Takutnya bosen ....🙈 Jangan lupa vote n komen, yak!

💕💕💕

Otak Menik kembali mengingat peristiwa di warungnya tadi sore yang membuatnya ingin meleleh diserap bumi. Bagaimana bisa lelaki itu melihat penampakannya yang mengenaskan. Berbalut kutang. Terlilit jarik.

Berulang kali, Menik mendesah. Dia menggeleng-gelengkan kepala sambil menepuk pelipisnya untuk mengeluarkan ingatan kejadian memalukan itu.

"Udah, Mpok. Kagak usah diingat. Namanya juga kecelakaan." Lela melirik Menik sementara tangannya masih sibuk mengupas bawang merah.

"Bagaimana kagak ingat? Mpok malu, La!" Menik berdecak. Menjeda urusannya mengiris bawang merah. "Ish, kenapa juga tadi siang panas? Padahal, Mpok cuma mau nyiram dari ambang pintu. Mpok kagak sembarang juga. Karena rumah kita paling mentok, trus di depan kebon. Jalanan juga sepi. Mpok berani nongol sampai pintu tanpa pakai baju."

"Apes, ya, Mpok? Moga aja Mpok Minah kagak lihat. Bisa-bisa besok kampung kita heboh."

Namun, harapan Lela tidak terwujud. Keesokan harinya, kasak kusuk mulai terdengar. Bahkan saat Menik berangkat untuk mengantar makanan, dia bisa mendengar Mpok Minah sengaja menggunjingkan dengan suara keras.

"Dasar Janda kegatelan, ye? Dia pura-pura alim di depan kita. Eh, kagak tahunya jadi demenan Jepang. Jangan-jangan lakik kita di warungnya dilayani macem-macem."

Telinga Menik terasa panas. Dia hanya meremas kain batik cirebon pemberian Anne, anak juragan Belandanya, dengan keras.

"Neng, kagak usah didengerin." Udin melihat wajah merah Menik.

Menik terkesiap. Dia menatap Udin, lelaki sederhana yang lebih tua darinya tiga belas tahun.

"Aye biasa saja, Mang. Udah maklum kalau Mpok Minah kaya gitu." Menik lebih menghibur hatinya sendiri.

"Kenapa tidak menerima lamaran Joko, Neng? Dia baik, ganteng, anak sekolahan. Ehm, dia dulu guru, 'kan? Sebelum Nippon datang? Ya, buat jaga Eneng."

Menik menggeleng lemah. "Aye kagak bisa. Bang Joko itu adik sepupu Bang Ripto. Masa iya, aye sama adiknya. Lagian … keluarga besar mereka makin benci sama aye. Aye dianggap pembawa sial. Pernikahan aye 'kan sempat kagak direstui sama Bapak Ibu Bang Ripto, karena aye orang Betawi. Kaga mriyayeni katanya. Trus kagak sekolahan. Orang biasa. Waktu nekat nikah, yang mewakili orang tuanya saja Pakdhe Budhe Semarang. Bagaimana jadinya kalau aye sama Bang Joko?"

"Kalau cinta 'kan semua bisa, Neng. Buktinya Eneng bisa nikah sama Mas Ripto."

Ya, sayangnya, Menik sudah mati rasa. Sudah lewat dua bulan, tapi dia masih dirundung masa perkabungan. Menik tetap merasa kehilangan. Tidak ada orang yang mendukung. Yang ada, keluarga Ripto memakinya karena menganggap Asman—abang Menik— menjebak dan menuduh Ripto menjadi penyelundup beras. Padahal Menik yang memperbolehkan Ripto mengambil satu karung beras panenan yang dia pikir akan dipakai untuk keluarganya. Tidak disangka Jepang tahu jatah setoran beras keluarganya berkurang dan membuat Ripto tertangkap setelah Asman yang didera mengatakan bahwa karung beras itu diambil oleh Ripto. Demi melindungi Menik yang membukakan gudang beras sehingga Ripto bisa mengambil, perempuan itu kehilangan dua laki-laki yang menyayanginya.

Asman akhirnya tewas saat didera. Dia meninggalkan Menik dan Indun, istrinya yang sedang hamil anak ketiga. Sementara itu, Ripto ditangkap dan dibunuh di alun-alun, sebagai ganjaran karena berani membelot dan menyelundupkan beras jatah.

Namun, Menik hanya bisa menarik bibir. Dia tak mau memberi tanggapan. Rasa bersalah yang menggelayut di batin ingin dia pendam. 

***

Malam ini adalah malam yang ditunggu Menik. Dia ingin melepaskan penat pikiran dan hati dengan melihat pertunjukan artis idola Enyak dan idolanya. Sayangnya, Lela tidak bisa datang karena enyaknya sakit dan harus menjaganya.

Akhirnya Menik berangkat seorang diri. Membalut tubuhnya dengan jarik batik tulis Solo pemberian Ripto, serta baju kurung dan kerudung. Polesan gincu yang membuat bibirnya merekah menambah kesan segar di wajah yang dipoles bedak yang tak terlalu tebal.

Namun, keinginannya bersenang-senang terganggu saat melihat Yuuto yang berlari menghampirinya. Ingin rasanya Menik berbalik, tapi kakinya justru kaku seolah terpancang di tanah.

Walau Menik berusaha menghindari Yuuto, tetap saja lelaki itu duduk di sampingnya. Ketika ingin menghindar, di samping kirinya juga ada tentara Jepang yang tampangnya lebih menakutkan dibanding Yuuto.

Menik hanya bisa pasrah duduk diapit dua laki-laki Jepang. Dia mendesah pelan dan matanya menatap nanar para artis yang silih berganti memasuki panggung. Lagu merdu yang berkumandang, seharusnya membuat siapapun yang mendengarkan akan terhanyut dalam simponi yang energik. Tapi, Menik merasa telinganya tiba-tiba pekak. Drama yang mengundang gelak tawa pun, tak bisa menghiburnya.

Seharusnya Menik senang. Keinginan Enyak beberapa bulan sebelum meninggal untuk melihat penampilan langsung Raden Ayu Menik Astuti tersampaikan lewat Menik, putri keduanya. Namun, berdekatan dengan Yuuto membuat Menik tak bisa menikmati serangkaian pertunjukan. Otaknya seolah tak bisa mencerna jalan cerita drama yang disajikan. Saat orang lain tertawa, perempuan itu hanya diam. Tubuhnya kaku sementara jantungnya berdetak kencang. Peluh tipisnya merembes dengan napas kembang kempis.

Belum pernah dia merasakan ketegangan seperti ini. Kenapa laki-laki Jepang itu duduk di sebelahnya? Padahal masih ada banyak tempat yang lain. Ah, rasanya dia seperti terkepung dengan ingatan lamanya yang menakutkan.

Begitu pertunjukan usai, pada pukul 19.00 Menik segera keluar dari gedung Sendenbu menuju ke dokar Udin yang menunggunya. Tapi, batin Menik seketika bertambah gelisah. Dia tak melihat ada kereta kuda dan Udin di situ.

"Hah, Mang Udin kok ninggal aye?" Menik berdecak. Alisnya mengerut ke pangkal hidung. "Kebiasaan!"

Menik menengok ke kanan kiri. Beberapa penonton mulai keluar meninggalkan Sendenbu. Sedang Menik masih bingung mencari Udin dan dokarnya.

Daripada risih karena semua orang yang lalu lalang selalu memandangnya, maka Menik memutuskan untuk pulang dengan berjalan kaki. Padahal rumahnya dari Sendenbu cukup jauh. Namun, nasib buruk belum puas menggoda kesabarannya. Guntur menggelegar. Kilat menyambar. Dan sesudahnya hujan turun tanpa peringatan.

"Sial!" Menik berlari semampu kakinya bisa melangkah untuk menghindari rintik hujan. Dia berharap di depannya ada atap rumah yang bisa digunakan sebagai peneduh.
 
Beruntung, dari jarak tak sampai sepuluh meter, ia melihat tempat bagi Menik untuk berlindung dari gerojokan hujan. 

Menik akhirnya berhasil berlindung dari curahan air yang terjun dari langit kelam. Dia sudah berjalan sekitar 100 m dari Sendenbu. Suasana cukup sepi di jalan becek yang masih jauh rumahnya. Walau jam malam tak diberlakukan, tetapi sepertinya orang-orang malas harus bertemu dengan para tentara Jepang yang berpatroli di malam hari. Sedang bagi Menik, jam delapan malam adalah waktu yang cukup larut baginya untuk berada di luar rumah. Biasanya dia sudah meringkuk di ranjang atau merajut syal yang akan dijual.

Tiba-tiba, Menik menggigil saat ingatannya kembali muncul, merayapkan ketakutan. Persis seperti malam ini Ripto diambil Jepang. Sejak malam hujan lebat itu, Menik tak lagi bisa memeluk tubuh suaminya.  Bahkan raga beku Ripto saja tak dipulangkan.

Menik menatap nanar percikan air yang melarutkan tanah. Seandainya kesedihannya bisa larut dengan guyuran hujan, Menik rela berlama-lama kehujanan. Namun, kenyataannya bila dia kehujanan, bukannya sembuh dari berkabungnya, tapi dia akan masuk angin dan menambah masalah karena tidak bisa mencari uang. 

Mulut Menik komat-kamit, berharap hujan segera reda dan dia bisa pulang dengan selamat. Dalam hati dia akan memutuskan Udin yang sudah jadi langganannya dan mencari langganan dokar lain. 

Lambat laun, jalanan gelap semakin terang. Deru mobil semakin nyaring terdengar. Bukannya mobil itu melintas, tapi justru mobil itu berhenti dan klakson mobil yang terdengar memecah sunyi malam. 

Menik terlonjak. Dia mundur selangkah. Ia menyipit dan mendapati perlahan-lahan wajah laki-laki yang dikenalnya terkuak dari balik kaca jendela mobil yang diturunkan.

"Menik, ayo, aku antar pulang!" seru Yuuto dari dalam mobil.

Menik menggeleng. "Terima kasih."

Namun, bukannya meninggalkan Menik setelah menolak, laki-laki itu turun dengan payung.

"Ayo, pulang. Bahaya di sini sendiri. Gelap. Biar pun kamu janda, tapi … laki-laki iseng bisa menjahatimu."

Hah, bukannya dia juga laki-laki iseng yang menghampirinya? Apa dia akan memancingnya masuk mobil dan sesudahnya akan mencabulinya seperti kejadian seorang gadis yang diculik Jepang dan digilir di kebun pisang?

Saat Yuuto mendekat, Menik mendorongnya. Tubuhnya semakin menggigil. "Terima kasih. Tapi, tapi, saya bisa sendiri!" 

Menik berlari menembus hujan. Kerudung yang menyangkut di lencana Yuuto, dibiarkan lepas dari kepalanya. Bahkan Menik tak berani mengambil kembali sandalnya yang terlepas. 

Perempuan itu berlari sekencang yang dia bisa, membiarkan air hujan membasahi tubuhnya dan lumpur menyiprat. Tangis Menik bersatu dengan air hujan. Jantungnya berdetak cepat karena takut dan juga teringat dengan bayangan pilu Ripto disergap serta meregang nyawa saat digantung. 

"Dai Nippon biadab! Dai Nippon biadab!" Berulang kali Menik merutuk tak berdaya sambil terus berjalan dengan ditemani bayangannya sendiri karena sorot cahaya lampu mobil yang mengikuti langkahnya 

"Hah, kenapa Jepang itu membuntuti aye?" Menik mengusap matanya yang pedih terkena air hujan. 

Tetap saja dia tidak ingin menoleh. Dia terus berjalan. Kadang berlari. Kemudian berjalan lagi, hingga sampai di jalan kampung yang sepi.

"Aye mohon, jangan berbelok." Tapi, tetap saja jalanan Menik selalu terang sehingga dia tidak kesulitan berjalan.

Menik mengangkat jariknya, berlari selebar mungkin hingga memasuki halaman rumah yang terletak di paling ujung jalan yang masih dikepung kebun pisang di sisi kiri dan depannya.

Tangan Menik bergetar saat memasukkan kunci ke lubang gembok. Kali ini dia menoleh dan masih mendapati mobil Yuuto yang berada di depan rumah. Menik hanya berharap suara guruh dan derasnya hujan bisa menyamarkan suara mesin mobil sehingga tidak membangunkan Mpok Minah yang suka bergosip.

Menik buru-buru masuk. Dia membanting pintu dengan napas memburu. Disandarkannya punggung yang lelah hingga tubuhnya merosot duduk di lantai tanah. Menik memejamkan mata berusaha menenangkan diri sambil mengatur napas. 

Namun, sayup-sayup, dia masih mendengar suara mobil. Pelan-pelan Menik berbalik dan mengintip dari balik celah dinding anyaman bambu. Matanya mengerjap.

"Kenapa dia masih di situ? Payah, bisa-bisa besok tambah runyam!"

***

Seperti prediksi Menik, keesokan harinya kabar yang beredar semakin panas. Setiap orang yang melewati jalanan hendak ke desa sebelah melalui jalan pintas selalu berhenti sebentar, melihat rumahnya. Bahkan Mpok Minah yang mempunyai kelompok merumpi sambil mencari kutu, kini semakin banyak peminatnya. Seolah bahan pembicaraannya memang sayang untuk dilewatkan.

"Mpok, Lela dengar dari Mpok Minah tadi pagi pas pulang, Mpok diantar sama Jepang, ya?" 

Gerakan Menik meremas kelapa parut semakin erat hingga buku jarinya memucat. Hanya suara gemericik santan yang menetes dari ujung ibu jarinya yang menjawab pertanyaan Lela.

"Mpok …."

"Aye harus ngomong apa?" Menik meremas-remas kelapa di wadah tembaga seolah ingin meremas bibir para wanita di kampungnya.

Lela menggigit bibir saat memotong daging sapi pilihan. "Bukannya begitu, Mpok. Tapi, kuping Lela yang dengar ikut panas! Masa Mpok Minah bilang Mpok jadi demenan Jepang. Udah jadi pela—"

"La, lu ambil daun pisang di depan, ya? Aye mau mulai bungkus nasi krawunya."

Lela menurut. Dia lalu meninggalkan daging sapi yang sudah digodok beberapa jam hingga empuk untuk menjalankan titah Menik.

Menik mendesah panjang. Tangannya masih menggenggam parutan kelapa di wadah. Hatinya tercabik. Dia tak melakukan apapun. Bahkan kakinya rela tergores demi tidak naik mobil orang Jepang itu. Tapi, kenapa Mpok Minah dengan jahat menuduh dan menyebarkan fitnah?

Mata Menik terpejam. Sekuat tenaga dia harus menenangkan diri. Hari masih panjang. Ada cuan yang harus dia perjuangkan. 

Ya, dia tidak boleh rugi! Dia harus mendapat uang, dari jerih payahnya yang halal.

Hari ini, Udin datang dengan dokarnya lebih pagi. Menik yang suasana hatinya tidak nyaman pun menghampiri Udin dengan berang.

"Mang Udin semalam ke mana saja? Aye kemarin bilang suruh nunggu, kenapa ditinggal?" Suara Menik berusaha ditekan dengan wajah memerah. Dia tidak ingin pengunjung yang tengah menikmati sajian soto betawinya terganggu.

Udin turun. Wajahnya lesu. Matanya memerah. "Neng, Mang Udin teh salah pisan sama Eneng. Tapi, Mang Udin ada alasan … Asih … Asih …."

Menik terkesiap melihat tubuh kurus yang bergetar itu. Dia menangkap sesuatu yang tidak beres. "Asih kenapa? Mang Udin udah ketemu Asih?"

Udin mengangguk. 

"Lalu, kenapa sedih?"

"Asih … udah dijual keperawanannya. Mang Udin telat. Pas Mang Udin datang dia … dia lagi melayani orang Jepang Sendenbu itu," cicit Udin, sembari mengelap air mata. "Yang bikin Mang Udin sakit hati, Asih kaya menikmati digoyang sama tamunya. Parahnya, Mang Udin terlalu pengecut tidak berani dobrak pintu itu. Suara desahan Asih seperti pecut yang membuat Mang Udin lari dari sana."

Menik menelan ludah kasar. Ternyara tidak hanya dia yang mengalami hari yang berat. Rupanya Udin yang setahu Menik selalu ceria itu terlihat terpuruk dengan badan yang bergetar.

"Maaf, aye kagak tahu kalau kejadiannya begini. Tapi, Mang Udin tahu dari mana?"

"Dari selebaran yang ditempel di dinding Sendenbu. Asih kayak barang. Dia seperti boneka pemuas nafsu bejat yang merintih waktu digenjot."

"Udah, Mang. Kagak usah terlalu diambil hati. Yang penting Asih selamat. Tinggal Mang Udin cari cara buat menyelamatkan Asih." Menik berusaha menghibur Udin.

"Maaf, ya, Neng." Udin menunduk, dengan ekspresi menyesal yang tulus.

"Ya udah. Nanti tolong antar makanan ke Sendenbu sama ke kampung sebelah, ya? Aye kagak ikut."

Udin menurut. Dia segera masuk dan mengambil keranjang nasi khas Gresik kesukaan Ripto yang berisi suwiran daging sapi, sambal terasi, dan serundeng.

Setelah mengantar Udin, Menik kembali masuk. Di belakangnya masuk dua orang centeng dengan kumis tebal panjang dan pendek, serta golok di pinggang. 

Perasaan Menik tak nyaman. Melihat gelagat kasar dua centeng itu, ingin rasanya Menik mengusir mereka.  Terlebih centeng yang bekerja di tempat Koh Tak Gie itu suka membuat onar.

Satu persatu, pelanggan pergi. Pembeli baru yang datang urung masuk karena melihat dua centeng yang kini menguasai warung. Sudah tiga mangkok soto mereka lahap, tapi mereka tetap tak mau pergi. Bahkan mereka sudah menghabiskan pisang goreng dan tahu isi di depan mereka 

Menik tak bisa menahan diri. Sudah satu jam tukang pukul Koh Tak Gie di situ, sehingga tak ada lagi pembeli yang datang. Hari ini sudah lewat tengah hari. Biasanya dagangannya sudah habis, diserbu pembeli. Kalau dibiarkan terus, bisa-bisa hari ini Menik akan merugi.

"La, aye mau usir tuh centeng. Kalau ada apa-apa, lu lari ya." Menik mendatangi pawon sambil mengintip dari balik tirai dengan perasaan was-was.

"Mpok, bahaya! Bagaimana kalau Mpok diapa-apain? Selain doyan bunuh orang, mereka juga doyan perempuan."

"Mau bagaimana lagi? Kalau dibiarkan, bisa rugi aye. Minggu ini aye kudu kirim duit ke Mpok Indun. Bentar lagi dia lahiran."

"Mpok …."

Tak menghiraukan saran Lela dan jantung yang berdegup kencang, Menik meraih pisau dan menyelipkan di stagennya. Dia berdiri, menghampiri centeng kurus dengan kumis segi empat mirip Charlie Chaplin, komedian Inggris yang film bisunya pernah ditayangkan di layar tancap sewaktu ulang tahun Anne yang ke tujuh belas.

"Bang, berhubung abang berdua sudah pada kenyang makan. Bagaimana kalau gantian dengan yang lain?" Suara Menik bergetar. Dia berusaha merangkai kata agar tidak menyinggung kedua orang itu.

Suara centeng gemuk menggelegar. Perutnya naik turun sambil memelintir ujung kumis yang kaku. "Kami belum dapat makanan penutup."

"Penganan yang lain sudah habis. Mau makanan penutup apa lagi?"

"Buah … dada!" Centeng kurus menyambut.

Wajah Menik memanas. Kini kakinya ikut bergetar. Namun, dia menguatkan diri sambil meremas baju kebayanya.

"Abang, sepertinya abang kagak sopan!"

Ruangan itu kini sudah dipenuhi tawa dua centeng itu.

"Kagak sopan lu bilang? Bukannya lu suka pamer dada ke Nippon? Lu jadi demenen Nippon, kan?" Mata centeng kurus membeliak. Dia berdiri mendekati Menik.

Menik menghindar. Dia sudah mengantisipasi dengan menarik pisau di selipan stagennya.

"Abang jangan macem-macem!" Tangan Menik bergetar saat menodongkan pisau ke arah centeng kurus.

Namun, centeng kurus itu dengan cepat menangkis hingga pegangan pisau Menik tergelincir dari tangan. Sementara centeng gemuk menarik tangannya membuat tubuh kecil Menik terseret dan mendarat di perut yang berlemak.

"Lepas!" Menik meronta, tapi usahanya tak membuahkan hasil.

"Teriak saja. Orang akan berpikir kamu keenakan digarap dua lakik perkasa seperti kami." Centeng itu merobek kebaya Menik.

Suara menggelegar tawa itu membuat ketakutan Menik terbakar. Dia meronta tapi sayangnya kekuatannya tak sebanding dengan tenaga dua centeng itu. 

"Tuhan, tolong! Siapapun tolong!"

💕Dee_ane💕

Waduw, gimana nasib Menik?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro