Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

6. Dia ... pribumi!

Yuuto tersenyum tiada henti sambil melirik bungkusan lotek yang dibawa Kenta. Setelah perutnya kenyang, suasana hatinya menjadi membaik. Kehangatan merayap setelah makan makanan yang mirip salad dengan saus kacang diulek dadakan itu.

"Yuuto, Nani ka mondai aru (Ada apa)? Sepertinya kamu terlihat senang." Kenta mengamati perubahan Yuuto yang mencolok. Wajah pucatnya tadi seolah terkikis dengan semburat merah di pipinya. Setidaknya ekspresi Yuuto tampak lebih manusiawi dibanding sebelumnya.

"Sou desu ka (Oh, ya)?" 

Namun, Kenta justru mengernyit. Mimik wajah Yuuto terlihat bertolak belakang dengan jawabannya. 

Melihat ketidakpercayaan Kenta akhirnya Yuuto membuka suara. "Benar katamu. Kalau kita kenyang, hati kita menjadi senang. Ah, semoga perasaan ini bertahan lama."

Kenta menepuk punggung Yuuto. "Aku senang kamu pelan-pelan pulih. Semoga saja cinta tidak datang setelah hatimu riang."

Yuuto terkekeh mendengar perkataan Kenta. "Jangan berpikiran aneh! Dia pribumi!"

"Ya, siapa tahu. Dia cantik. Manis. Tubuhnya ...." Kenta menggambar lekukan di udara. "Tapi aku ingatkan, jangan bermain api!"

"Tidak mungkin! Aku tidak ingin mengulanginya. Cukup! Aku tidak ingin merasa bersalah lagi." Fokus Yuuto masih tertuju pada jalanan berbatu yang sepi.

"Yuu-chan, menurutku, sebaiknya kamu turunkan idealismemu supaya tidak sering merasa bersalah. Sudah menjadi hal yang wajar bila kita menemui kematian setiap harinya. Kita harus setia pada Kaisar bukan?"

"Aku setia pada Kaisar. Aku juga tahu manusia memang akan mati. Bila di dalam perang, kita menyerang atau diserang. Kita membunuh atau dibunuh. Semua itu karena kondisi terancam. Sedang aku?" Yuuto mendesah panjang. Dia menggaruk rambut yang semakin panjang. "Aku menjadi ancaman manusia yang tidak lagi bisa melawan."

Kenta hanya diam. Mendengarkan curahan hati Yuuto. 

"Kamu tahu ... sewaktu aku datang pertama kali ke sini empat tahun lalu, waktu itu masih Hindia Belanda, aku senang sekali. Kupikir aku melakukan penelitian untuk membantu bangsa yang akan ditaklukan. Nyatanya, hasil penelitianku dibawa ke Harbin. Aku pun dipindah ke China dua tahun lalu untuk menindaklanjuti hasil penelitianku. Kami di sana ... dalam divisi pengembangan senjata biologis dan kimia melakukan banyak percobaan dan diujicobakan pada manusia. Bayangkan! Manusia! Bukan mencit! Apa nyawa manusia itu serendah tikus putih? Sejak saat itu aku merasa tertekan. Aku tidak bisa makan. Otousan pikir aku membaik saat dipindah ke sini. Tapi, aku tetap tidak bisa makan. Baik hanya telur rebus, atau minum air putih. Rasanya setiap makan, rahangku beku saat mendapati para romusha itu mengalami kaku otot rahang sebelum mati." Mata Yuuto menatap ke spion samping kanan. Di belakang mereka, tampak anak-anak kecil yang telanjang, berlari mengejar mobil.

"Lihat anak-anak itu. Mereka telanjang, karena tidak bisa membeli sehelai kain. Perutnya buncit dengan tulang rusuk yang menonjol karena kelaparan. Aku ingat ...."

Kenta meremas pundak kiri Yuuto. "Sudah aku bilang tadi, jangan diingat-ingat! Itu ... bukan salahmu. Peristiwa itu kecelakaan. Tidak hanya kamu yang salah. Aku juga bersalah. Kita tidak bermaksud mencelakai."

Yuuto memukul kemudi hingga klakson meraung mengagetkan seorang pengendara sepeda.

***

Sore ini, Yuuto sudah duduk di meja makan kediaman Kagami di Menteng. Dia membuka bungkusan daun yang dia bawa dari warung Menik. Saat tengah menyantapnya, Yuuto terkejut, Kolonel Kagami menepuk pundaknya. Dia tersedak begitu saja.

Kolonel Kagami tersenyum. Masih berdiri, dia menuangkan air dari teko pada segelas air dan menyodorkan pada Yuuto.

Dengan segan, Yuuto menerima gelas dari Kolonel Kagami dan meneguk isinya.

Kolonel Kagami yang masih menggunakan seragam, lalu duduk di depan Yuuto. Dia mengamati cara makan putranya. Dilihatnya juga makanan yang dimakan oleh Yuuto. Bukan makanan Jepang yang jelas. "Ada angin apa kamu datang ke sini?"

Yuuto mengelap mulutnya lebih dahulu, baru menjawab. "Saya bertemu dengan Kenta."

"Kenta-chan?"

"Hai (Ya)!" Postur Yuuto tegap, dengan kedua tangan menumpu di paha.

"Jangan suka bermain perempuan pribumi seperti Kenta yang hobinya ke Kalijodo. Otousan tidak ingin kamu seperti Yamaguchi-san, jurnalis itu, yang memperistri artis pribumi. Bisa-bisa kamu jadi pengkhianat."

"Hai!" Yuuto sedikit membungkukkan badan. Dia menghindari tatapan Kolonel Kagami yang membuatnya tertekan.

"Oh, ya, kamu makan apa? Sepertinya enak sekali? Biasanya bila koki kita yang memasak, kamu hanya makan sedikit. Otousan senang kamu membaik." 

Yuuto melirik Kolonel Kagami. Wajah lelaki paruh baya itu terlihat semringah walau gurat lelah terukir di wajah. 

"Kore wa rotekudesu (Ini lotek). Makanan dari Sunda." Yuuto menatap daun pisang yang tergeletak di atas meja yang sudah bersih bahkan dari sisa saus kacangnya. Senyum terbit di wajahnya.

"Ah, kamu sepertinya menyukainya?"

"Iya. Enak sekali," ujar Yuuto. "Rasanya pas dan bisa diterima di lidah dan perutku."

Kolonel Kagami tersenyum. Padahal jarang sekali dia melakukannya. Tapi semenjak beberapa bulan lalu saat Nanase-sensei mengabarkan bahwa kejiwaan Yuuto terganggu, Kolonel Kagami sedikit lebih lunak dan membantu menariknya ke Indonesia.

"Yuu-chan, bagaimana kalau kamu pindah ke sini? Walaupun lebih jauh, tapi kamu bisa makan lebih terjamin di sini. Di sana, kamu tinggal dengan anak buahmu dan kabarnya kamu tidak bisa makan. Di sini, Otousan sudah pilihkan koki tentara terbaik yang dulu mempunyai kedai ramen sebelum perang Pasifik meletus."

Pikiran Yuuto menerawang. Sejak awal Kolonel Kagami memang menginginkan mereka tinggal bersama. Tapi, dia selalu menolak.

"Hai! Saya akan pindah!" Entah kenapa Yuuto menyetujuinya. Apakah hanya karena makanan, atau ... yang membuat makanan di kampung pinggiran Menteng ini?

***

"Kagami-dono ...." Menik bergoyang di atas tubuh Yuuto. Tubuh perempuan itu menari gemulai mengikuti irama desah yang melantun dari bibir keduanya.

"Pang ... gil aku Yuuto. Yuuto-kun."

Menik menggeleng. Tangannya menapak di dada Yuuto dengan pandangan sayu ketika tubuhnya seperti mengebor kenikmatan pada ceruk tubuhnya. "Tidak ... so ... pan ...."

Menik memekik saat Yuuto mengangkat separuh tubuhnya untuk memetik buah ranum yang menggantung dengan mulutnya. Seruan merdu menggedor gendang telinga Yuuto, memompa darah semakin kuat ke pangkal pahanya. 

Ah, rasanya nikmat! Yuuto tidak kuat! Dia seperti merayap melayang dan aarrgghhh ... lenguhan nikmat dari ledakan endorfin mendominasi di ruangannya.

Yuuto memejamkan mata erat, menikmati sisa pelepasannya dengan dada kembang kempis. Perlahan Yuuto membuka mata. Namun, dia terkesiap ketika melihat langit-langit rumah yang putih karena habis dicat. 

Kosong. Sepi. Tanpa ... Menik.

Diangkatnya kain selimut, dan Yuuto berdecak saat melihat kain celananya basah. 

Yuuto mengangkat kepalanya, melongok ke bawah. "Chikusho (Oh, sial)!" Dia akhirnya menurunkan kepalanya di atas bantal dengan kasar. Bagaimana bisa Yuuto berpolah seperti remaja puber yang berfantasi dengan perempuan pribumi?

Kenapa harus Menik? Kenapa imajinasi liarnya harus dengan pribumi? Ah, pasti karena peristiwa kemarin sore! Kenapa juga perempuan itu harus membuka bajunya walau udara memang gerah? Meski janda, agaknya kurang sopan hanya memakai pakaian dalam di ambang pintu rumah.

Yuuto mendesah. Dia mengangkat lengan, menutup mata yang terpejam, seolah ingin memendam kembali mimpi yang membuatnya melayang. Namun, semakin dia memejam, sekelabat bayangan imajinasinya menyusup di otak. Tarian gemulai Menik menggoyang raga, membuat tubuhnya panas.

Yuuto menggeleng. Sejak dia menjadi tentara, baru kali ini dia merasakan naluri purbanya menggeliat. Selama ini dia tak ada niat menjajah tubuh perempuan karena jiwanya cukup tertekan. Lagipula, daftar penyakit menular seksual yang dicatat dari tentara dan jugun ianfu yang dia periksa, membuat Yuuto tidak ingin bermain-main dengan sembarang perempuan hanya demi kenikmatan sesaat. Namun, dia juga tidak segila Kenta yang berani merogoh kantungnya dalam-dalam demi mendapatkan perawan.

***

Sore ini Kenta menelepon untuk memberitahu bahwa dia tidak bisa pergi ke Sendenbu karena mengikuti lelang di rumah bordil milik orang Tionghoa totok. 

"Kenta, bagaimana bisa kamu tidak berangkat? Para petinggi Rikugun dan Kaigun hadir!" Yuuto merasa kesal karena dia harus pergi sendiri, untuk mewakili Kolonel Kagami, yang harus pergi ke Bandung. 

"Aku sudah izin. Sakit. Tenang saja. Kamu akan terhibur di sana. Aku sudah mengantar makananmu ke rumah. Kamu pasti akan ketagihan."

Setelah menutup panggilan telepon Kenta, Yuuto segera pulang setelah mengerjakan laporan, untuk bersiap-siap. Dia juga harus membereskan barang-barangnya karena akan pindah ke kediaman Kagami di Menteng, menyanggupi keinginan ayahnya.

Begitu sampai rumah, dia langsung menuju meja makan. Matanya membeliak mendapati nasi berbungkus pisang itu. Dalam suapan pertama, Yuuto langsung menyetujui ucapan Kenta. Dia tak bisa berhenti melahap makanan suap demi suap. Bahkan, setelah dia mencecap rasa gurih nasi tumpang itu, nafsu makan Yuuto meningkat. Seolah nasi tumpang dengan bongkahan tempe yang baunya unik itu telah diberi mantra oleh perempuan pribumi itu sehingga dia ketagihan.

Ah, besok aku harus ke warung Menik! Aku ingin makan masakannya lagi.

***

Mau tidak mau, Yuuto pergi sendiri sore ini karena tidak ingin dianggap menyepelekan undangan Sendenbu. Apalagi Kolonel Kagami pasti akan memeriksa apakah dia datang atau tidak, melalui anak buahnya. Akhirnya, menjelang pukul lima, Yuuto sudah memarkir mobilnya di halaman Sendenbu. Beberapa mobil pejabat sudah berjejer rapi, menanti penumpangnya menikmati pagelaran seni musik, drama, dan lawak yang disisipi propaganda Jepang.

Saat dia berjalan menuju ke serambi gedung, langkahnya terhenti. Sosok perempuan yang mengendap masuk ke mimpinya ada di situ. Di depannya ... berjarak sepuluh langkah darinya.

Senyum Yuuto mengembang. Entah kenapa, dadanya berdetak kencang saat kakinya berjalan cepat, menghampiri Menik yang terpaku di tanah berdebu. Baju kurung merah marun dengan kerudung cokelat yang senada dengan kain sarung batik, membuat Menik terlihat anggun. 

"Kon'nichiwa (Selamat sore)." Yuuto membungkukkan badan sedikit.

Tarikan bibir Menik tampak kaku. Dia membalas sapaan Yuuto dengan membungkukkan sedikit badannya. 

"Kamu ... dengan siapa?" tanya Yuuto.

"Aye ... ah, saya ... sendiri." Menik tergagap. Otaknya seketika buntu.

"Bicara santai saja. Kamu terlihat tegang kalau bicara dengan saya." Yuuto tersenyum lebar hingga matanya tinggal segaris.

"Terus ... saya harus bagaimana?" 

"Biasa saja. Aye ... lu ... saya senang mendengarnya."

Walau langit mendung menggantungkan awan hitam, Yuuto bisa menangkap semburat merah di pipi Menik yang seperti bakpau yang dijual di pasar.

Suara gemuruh dari dalam gedung terdengar keras. Yuuto dan Menik menengok ke arah yang sama.

"Sepertinya sudah mau dimulai. Ayo!" Yuuto meraih tangan Menik, tapi seketika perempuan itu menepisnya 

"Ma-maaf. Aye ... kagak nyaman." Buru-buru Menik berjalan cepat dengan langkah pendek karena terhalang dengan sarung yang melilit kaki.

Tepisan tangan kasar Menik merambatkan rasa nyeri di batin Yuuto. Dada yang kembang kempis karena gemuruh semangat ketika bertemu Menik, berganti dengan debar nyeri yang dibalut kecewa.

Ah, untuk apa kecewa? Menik hanya pribumi biasa. Kebetulan Yuuto suka masakannya. Tidak lebih, bukan? Walau ingin menyangkal perasaannya, tapi reaksi kimia tubuh yang membuat jantungnya berdebar saat bertemu Menik baru saja, tak dapat Yuuto kendalikan.

Yuuto akhirnya menyusul Menik masuk. Sebenarnya Yuuto bisa mendapat tempat di depan, tetapi dia memilih tempat duduk kosong di sebelah Menik. Bangku itu seolah memanggilnya untuk ditempati.

Tak berlama-lama, agar kursi itu tak ditempati yang lain, Yuuto akhirnya menghampiri Menik. "Aku duduk di sini, ya?"

Bicara Yuuto yang terbata, tak menghalangi Menik untuk bisa memahaminya. Wajahnya seketika masam, walau berusaha dia tutupi. Tidak mungkin berdebat atau menolak, Menik hanya mengangguk pelan.

Yuuto lalu duduk di sebelah perempuan Betawi yang tampak manis malam ini. Pipi tembamnya tersamarkan oleh kerudung, dan saat tersenyum, pipi itu terlihat menggemaskan.

"Ano, aku mewakili ayahku." Yuuto membuka suara di sebelah telinga berlapis kain selendang tipis.

Bukannya kecanggungan sirna tapi Menik justru membangun tembok tinggi. Menik beringsut menjauh. Namun, tubuhnya justru menyenggol laki-laki Jepang lainnya yang baru saja duduk di situ. Perempuan itu menarik kembali badannya, dan akhirnya kembali duduk mendekati Yuuto. 

Mengetahui Menik yang hanya pasif menanggapi celotehannya, Yuuto akhirnya menyerah. Dia diam saja sambil menikmati pertunjukan, dan juga menikmati lengan yang saling bersentuhan dibatasi pakaian yang menempel di tubuh masing-masing.

💕Dee_ane💕

Ekspresi Yuuto habis mimpi Menik

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro