51. Rahasia Menik
Yuhuu, Dee datang lagi. Siapa yang nungguin? Semoga terhibur yak😘 makasi udah baca cerita ini dan kasih jejak cintanya.
💕💕💕
"Pramana atau Joko?"
Menik seolah berada di dua percabangan. Di saat dia membuka hati untuk Joko, Yuuto hadir dengan identitas baru. Menjadi orang Indonesia dan akan tinggal di Indonesia.
Sungguh, Menik tidak bisa memutuskan. Dia tidak ingin menjilat ludahnya sendiri. Namun, tetap saja hati kecilnya berkata bahwa dia masih sangat mencintai Yuuto.
"Nik, kamu mikir apa?" tanya Joko yang baru saja bangun sore itu. Wajahnya kini lebih segar karena telah beristirahat dan mandi.
"Bang, aye … tadi ke Kenjeran."
Joko mengangguk. Dia menghirup dalam-dalam uap kopi yang harum sebelum menyeruputnya. "Lalu?"
"Ehm, Yuuto-kun … dimatikan."
Joko tersedak. "Ka-kamu … tahu? Tidak! Tahu dari mana?"
Kini, alis Menik mengernyit. "Abang tahu?"
Rahang Joko mengerat. Dia meletakkan gelas belimbingnya, tak lekas menjawab Menik.
"Bang, jawab!
"Aku … aku diminta Kolonel Kagami menaruhnya ke peti senjata. Dia dianggap mati dan peti jenazah tertutup itu … kosong!"
Menik membeliak. Dia menutup mulutnya yang melongo. "Jadi betul? Tapi … tapi kenapa Abang kagak cerita? Kagak kenapa bilang Yuuto mati dan mau mengantarku ke Kenjeran?"
Joko menunduk. Dia meremas pahanya. Lidahnya kaku karena berusaha menutupi kebenaran itu. Waktu itu Kolonel Kagami memanggil Jasin dan meminta tolong menyelamatkan Yuuto. Kolonel Kagami ingin anaknya bisa bersama perempuan yang dicintai dan melakukan pekerjaannya melayani orang yang sakit dan miskin.
"Bang … jawab!" Mata Menik memerah. Lambat laun permukaannya berkaca-kaca.
"Aku … cinta kamu, Nik. Aku takut kehilangan kamu!" jawab Joko dengan nelangsa.
Menik menunduk dengan punggung bergetar. Dia tak.bisa berkata-kata. Cinta Joko seolah belenggu yang memasung kakinya.
"Tapi, Nik … seharian ini aku berpikir. Diammu selama ini memendam cinta untuk Yuuto. Aku takut keputusan Kolonel Kagami melepas anaknya untuk hidup di Indonesia membuatmu berpaling." Suara Joko semakin serak. Dia menatap Menik yang terisak tertahan. "Tapi setelah aku timbang-timbang … aku merasa aku harus melepasmu. Seperti Yuuto yang melepas kamu dengan senyuman, kini aku juga harus melakukan hal yang sama."
"Apa maksudnya?"
"Kami … sama-sama ingin melindungimu. Ketika aku tidak bisa melindungi karena panggilan membela tanah air kita, Yuuto menjagamu. Dan sepertinya, kali ini aku takut tidak bisa menjagamu setelah kemarin aku hampir terbunuh. Beruntung Yuuto menolongku sehingga aku masih hidup." Joko mengembuskan napas kasar. Walau hatinya tercubit, tapi dia menguatkan hati. "Aku harus siap berangkat ke medan perang sebagai tentara. Besok BKR akan menjadi TKR dan aku ditunjuk dalam barisan depan mengemban amanat melindungi kedaulatan bangsa. Kalau aku memaksa menikahimu … aku tidak bisa melindungimu. Kalau aku berjuang, dan terjadi sesuatu padaku, kamu akan sendiri. Tapi sekarang, aku legawa. Yuuto akan benar-benar di sampingmu. Rencananya Yudha akan mengajak Yuuto untuk membuat pos kesehatan di daerah Blitar dan aku yakin kamu bisa hidup nyaman di kota kecil itu."
"Abang …." Kini buliran bening tak bisa Menik bendung lagi.
"Aku sudah sempat cerita dengan Romo dan Sibu. Dan mereka mendukung apapun keputusanku." Joko memaksa bibirnya untuk tersenyum lebar. "Ayo, aku antar ke rumah sakit."
***
Keesokan harinya, Joko mengantar Menik ke rumah sakit Angkatan Darat yang dulunya adalah New C. B.Z di daerah Karangmenjangan. Joko memboncengkan Menik yang sudah membalut tubuh dengan kebaya dan jarik terbaiknya.
Walau hatinya patah, tapi Joko lega bisa ikhlas melepas Menik. Dia tahu kecintaannya pada negara, membuatnya harus memilih. Wanita atau bangsa.
Dalam hidup, Joko merasa tidak bisa mendapatkan semua keinginannya. Terkadang dalam hidup, harus ada yang dikorbankan. Joko tak bisa merengkuh dua hal bersamaan : ibu pertiwi atau wanita pujaan hati. Dan, pada akhirnya Joko memilih membela negeri.
"Abang, memang bakal ada perang lagi?" Menik menatap deretan pohon yang melambai ditiup angin. Rasanya hari ini langit lebih cerah dari biasanya seperti hati Menik yang berbunga akan bertemu dengan Yuuto.
"Bisa jadi. Sekutu sudah mendarat. Aku yakin mereka juga ingin menguasai Indonesia." Joko mengayuh sepedanya dengan ringan, seringan batinnya yang terlepas dari egoisme karena menginginkan Menik.
"Kalau perang, Abang harus pulang dengan selamat, ya?" seru Menik dari belakang punggung Joko.
"Pasti! Aku akan pulang dengan selamat. Aku tidak ingin mati sebagai perjaka yang belum pernah menikmati surga dunia." Joko terkekeh. Candaannya seolah ingin menghibur dirinya sendiri.
"Semoga Abang mendapat jodoh terbaik ya …."
"Aminnnn!"
Sejurus kemudian, Joko dan Menik akhirnya tiba di rumah sakit. Saat melangkah menyusuri lorong rumah sakit, dada Menik bergemuruh kencang. Dia sampai harus mencengkeram kain kebaya di dada, untuk menetralkan debaran jantungnya.
"Ayo!" Joko menggandeng Menik. Tarikan bibir tulus itu membuat batin Menik menghangat. Yang ada di hadapannya ini seperti Asman yang selalu menggandengnya.
Joko membuka pintu kamar. Di dalam terdapat Kolonel Kagami, Yudha, dan Jasin. Percakapan mereka terjeda ketika Joko dan Menik datang.
"Mbak Menik!" Yudha menghampiri Menik dengan senyum semringah. "Akhirnya Mbak datang! Yuu … Pram mengigau terus. Walau masa kritisnya sudah lewat, dia masih demam."
Menik melirik ke arah Yuuto yang berbaring dengan wajah pucat. "Tapi, dia baik-baik saja, kan, Dok?"
"Kami hampir takut dia betulan mati karena sempat mengalami sepsis. Kalau melihat dari pelurunya yang berkarat, dokter mengatakan dia bisa terkena tetanus. Tapi sepertinya dia sempat menyuntik vaksin tetanus terbaru sehingga pertahanan tubuhnya cukup kebal. Walau demam tinggi dia tidak mengalami kejang dan kaku otot."
Menik mengangguk saja. Penjelasan Yudha yang panjang lebar tak dia mengerti. Yang jelas, dia bisa simpulkan Yuuto benar-benar masih bernyawa.
Menik lalu menghampiri Kolonel Kagami yang duduk di sebelah ranjang Yuuto. Dia membungkuk memberi salam.
"Calon menantuku datang." Kolonel Kagami terkekeh dengan nada miris.
"Otousan?" Menik memberanikan diri menyebut Kolonel Kagami seperti Yuuto menyebut sang ayah.
"Aku sudah kehilangan Yukihiro. Aku tidak ingin kehilangan Yuuto. Walau ini seperti tindakan pengecut, tapi aku ingin anakku tetap hidup." Kolonel Kagami mengangkat dagu Menik. "Lahirkan cucu-cucu bagiku. Lahirkan generasi Kagami yang baru. Yang lembut seperti ayahnya, tapi kuat menghadapi tekanan. Yang keras seperti ibunya, tapi berani menghadapi apapun."
Mata Menik berkaca. Alih-alih menakutkan, Menik melihat tentara yang dulu dia takuti itu seperti ayahnya sendiri. "Otousan!" Menik menghambur memeluk Kolonel Kagami.
Kolonel Kagami terkesiap. Dia tidak pernah mempunyai anak perempuan. Beginikah rasanya mempunyai anak perempuan yang manja dan perhatian? Ya, sejak Menik datang di rumah Kagami, tidak hanya Yuuto yang jatuh hati. Bahkan dia dan Yukihiro pun menyukai perempuan Betawi itu. Perhatian Menik diwujudkan melalui makanan lezat yang disajikan hingga pagi hari mereka menjadi penuh semangat. Tak lupa seragam yang disetrika dengan sangat licin sebelum mereka memakainya sehingga tubuh mereka hangat.
"Menik-chan, jaga Yuu-chan, ya? Aku harus pulang. Bila semesta berkehendak, aku akan pulang. Bila tidak, kunjungi aku di pusaraku membawa anak-anak kalian." Kolonel Kagami mengecup pucuk kepala Menik.
Menik tergugu. "Otousan harus sehat! Aku akan memasakkan makanan Yuuto Okasan."
***
Menik tak percaya bisa melihat Yuuto yang sedang berbaring di ruang rawat inap sederhana. Mata sipit itu terpejam dan napas yang beraturan menandakan dia tidur dengan nyenyak. Sudah dua jam Menik di situ, Yuuto masih belum siuman.
Melihat lengan Yuuto ada darah kering, maka Menik mengambil baskom di sisi bawah meja. Dia meninggalkan Yuuto beberapa saat untuk mengisi baskom dengan air, dia meletakkan baskom.di atas nakas sisi tempat tidur dan membasahi kain untuk menyeka lengan itu.
Hati Menik berdesir melihat darah kering yang cukup banyak. Saat mengusap pelan kulit kuning itu, Menik masih bisa merasakan suhu badan Yuuto yang panas. Setidaknya Menik bersyukur, lelaki yang dia sayang itu masih bernapas.
Menik kemudian duduk di bibir brankar untuk mengelap punggung tangan Yuuto. Wajah Yuuto yang terlelap menjadi magnet sehingga menarik Menik membelai rambut yang sudah mulai panjang. Dikecupnya kening lelaki itu sambil berbisik, "Bang Pram, aye datang." Lagi-lagi tak ada jawaban dari Yuuto.
"Abang mimpi apa sampai tidur lelap seperti ini? Abang kagak rindu sama aye?" Menik mengecup pelipis lelaki itu dan aroma khas tubuh Yuuto yang manis dibalut anyir darah dan bau tajam obat-obatan. "Kalau Abang bangun, aye mau masak apapun kesukaan Abang sepanjang hidup aye. Lagipula aye punya rahasia yang kapan lalu belum aye ceritakan ke Abang."
Menik tersenyum lalu menggigit bibirnya. "Abang mau tahu kagak? Makanya bangun!"
Menik melipat bibir ke dalam dan membasahi dengan ujung lidah. Jantungnya berdetak kencang saat teringat rahasia yang tak seorangpun tahu. Rahasia itu masih dia pendam, dan tak disampaikan pada Yuuto malam sebelum dia pergi. Padahal, Yuuto telah memberitahu semua rahasianya pada Menik. Ya, dia akan memberitahu Yuuto entah dia mendengar atau tidak.
Menik lalu membungkuk dan menyetarakan mulutnya di samping telinga Yuuto. "Abang tahu kagak kalau aye … aye masih perawan. Aye janda kembang."
"Aku sudah tahu, Menik." Tiba-tiba suara Yuuto menggema di udara.
Seketika Menik menegakkan badan dan menggosok telinga serta mata. "Abang? Kapan Abang siuman?"
"Tadi. Baru saja. Sewaktu kamu pergi mengambil air."
Alis Menik mengernyit. Dia memukul dada Yuuto hingga lelaki itu terbatuk. Tentu saja Yuuto mengerang karena dia belum pulih betul.
"Menik-san …." Yuuto menggeleng. Dia harus menghilangkan kebiasaan memanggil dengan imbuhan -san. "Menik, aku masih sakit. Kamu tega?"
"Jadi Abang pura-pura tidur?" Bibir Menik mengerucut. Dia menaruh kain lap dengan kasar di bibir baskom. Tangannya bersedekap dengan mata menyipit.
"Aku juga tidak menyangka bisa bangun. Aku pikir aku akan mati karena sepsis walau peluru dan perdarahan bisa dikendalikan." Yuuto meringis. Pukulan Menik cukup membuat lukanya perih.
Namun, Menik masih merajuk. Dia bahkan duduk menghadap dinding, tak sudi memandang Yuuto.
"Menik …" Yuuto menarik kebaya Menik. Panggilannya bernada manja. Sangat bertolak belakang dengan tubuh kekarnya. "Jangan marah."
"Bagaimana aye kagak marah? Aye cemas karena katanya semalam Abang sempat demam dan kejang, trus pagi ini kagak bangun-bangun. Menyebalkan!" Nada Menik meninggi.
"Maaf …."
Menik mengembuskan napasnya. Dia memandang sengit ke arah Yuuto. "Kata Abang, Abang tahu rahasia aye."
Yuuto mengangguk.
"Dari mana?"
"Dari Ripto sewaktu dia meracau setelah efek morfin bekerja. Dia bilang, 'Nippon Setan! Bahkan aku belum sempat malam pertama dengan istriku! Menik … Menik Sayang, maafkan aku membuatmu menjadi janda'," ungkap Yuuto.
"Jadi, selama ini Abang tahu? Dan diam saja?" Nada Menik meninggi.
"Ya, apa aku harus bilang, 'Menik-san, aku tahu kamu janda kembang'?"
Menik mengerang. Pipinya memerah. Dia kini tak berani memandang Yuuto.
"Nik, makanya aku tidak mau menjamahmu malam itu, karena tidak mau mengambil yang tersisa di dirimu. Kesucianmu … harga dirimu." Yuuto mengelus lengan Menik dengan lembut. "Seperti halnya kasih. Cinta … itu sabar. Bila aku mencintaimu, aku tidak boleh melakukan yang tidak sopan dan tidak boleh mencari keuntungan walau aku tahu waktu itu kita diliputi keputusasaan dan emosi. Dan demi kebahagiaan dan melindungimu, aku rela menanggung segala sesuatu. Entah baik atau buruk."
Kata-kata Yuuto begitu indah didengar dan membuat batin Menik menghangat. Dia tergugu sambil meremas jariknya. "Aye tahu Abang sayang sama aye. Demi aye aman, Abang rela melepas aye. Tiap malam, aye berdoa Abang akan selalu sehat dan selamat."
Ranjang berderik saat Yuuto menarik tubuh Menik. Dia ingin sekali memeluk perempuan yang sering kali menangis di hadapannya.
"Apa kamu sudah menyelesaikan urusanmu dengan Joko?" tanya Yuuto saat tubuh Menik sudah berada dalam rengkuhannya.
"Sudah."
Yuuto tersenyum lebar. "Jadi, apakah kamu mau menjadi istri seorang Pramana yang bukan siapa-siapa tetapi hanya dokter biasa yang miskin?"
Menik mengerjap. Jantungnya seketika berdetak kencang. "Abang melamar aye?"
"Iya. Kamu mau jadi istriku Menik?" Yuuto mengulangi pertanyaannya.
"Iya. Aye mau. Sangat mau!"
Air mata Menik meluap. Dia tak menyangka akan menjadi pasangan jiwa lelaki yang sangat dia cintai. Ya, mungkin harus dengan jalan berliku dan menyakitkan dulu agar mereka bisa bertemu dan menyembuhkan luka batin masing-masing hingga cinta itu tumbuh dan berkembang di hati keduanya.
💕💕💕 Rampung alias Tamat alias The End💕💕💕
Thanks God, akhirnya cerita Menik selesai. Cerita ini nggak nyangka banget tereksekusi karena idenya udah dari taon lalu. Karakter Menik dan Yuuto kadang membuatku melenceng dari plot dan mereka seolah menentukan kisahnya sendiri. Yang jelas, aku nggak nyangka endingnya begini.
Semoga terhibur yak, Deers! Kalian bisa kasih kesan buat cerita ini👉
Yang kasih kesan, bakal dapat G.A pulsa sebesar 50k (untuk dua reader beruntung), dengan undian yang aku bakal tayangkan di story ig.
Oh, ya, September ntar bakal loncing cerita hisfic baru : Serat Sang Putri Djawa.
Contekan blurbnya :
"Kamu itu wong wadon! Kanca wingking bagi suamimu yang mengurus dapur, sumur, dan kasur!"
R. A Padmini Larasati, bangsawan Mangkunegaran tersingkir yang dididik secara modern oleh pamannya, harus menikah dengan R.M Haryo Bayuaji yang feodal dan ambisius. Ketika Padmini sering memberi saran agar suaminya menjadi pejabat yang bijak, dia dicap sebagai istri yang aneh.
Karena dianggap tidak bisa menjalankan sebagai istri yang baik, Sibu mertuanya ingin menggeser kedudukan Padmini sebagai garwa padmi.
Akankah Haryo menuruti keinginan Sibu untuk mengambil selir ataukah lelaki itu tidak mengikuti arus ketika priyayi zaman itu mempunyai banyak istri?
"Kangmas, apa saya ini belahan jiwa Kangmas? Garwa yang Kangmas cintai?"
Ups, ada romance yang lain juga … ini contekan ceritanya.
Blurb Lovemeter :
Hana ingin pernikahan sekali seumur hidup. Tapi, sejak Hana keguguran, hidupnya berubah. Abas tak lagi sama. Pertengkaran demi pertengkaran terjadi hingga akhirnya mereka memutuskan anulasi dan bercerai.
Ketika proses cerai, mereka mendapat surat untuk menghadiri Marriage Encounter yang membuat mereka terjebak di dunia gim. "Pasanganmu akan mati, kalau lovemetermu habis, dan kamu akan melupakan pasanganmu. Are you ready for the game?"
Bagaimana nasib Hana dan Abas? Apakah mereka bisa meningkatkan lovemeter pasangan agar nyawa mereka tertolong?
Kira-kira cerita mana yang bakal kalian tunggu?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro