5. Lotek
Seneng banget liburan! Pada kemana nih, Deers? Besok harpitnas buat yang lima hari kerja. Biar semangat di sore hari ini, Dee mau kasih cerita ini buat kalian. Jangan lupa vote n komen ya.
💕💕💕
Rahang Menik seolah ditarik oleh gravitasi hingga mulutnya menganga lebar. Dia terkejut mendapati seorang laki-laki berseragam tentara berdiri di rumahnya. Tak hanya itu, laki-laki itu kini basah kuyup dari atas hingga bawah.
"Ano ... bau apa ini?"
Manik mengerjap mendengar pertanyaan laki-laki itu. Haruskah dia menjawab?
"Ini ... air apa?" tanyanya lagi sambil mencari sumber aroma tak sedap itu.
"I ... itu?"
"Mpok, baskom cucian di mana ye? Lela mau nyiram halaman. Sayang kalau dibuang!"
Seruan Lela membuat Menik berdecak sambil memejamkan sebelah mata. Dia memalingkan wajah tak berani menatap lelaki Jepang yang terlihat lebih jangkung dibanding temannya yang lain. Sungguh, kali ini Menik berdoa agar Lela tidak keluar dan mengomelinya karena mengangkat baskom itu sendiri.
"Mpok, kok baskomnya ada-"
Menik lalu bergegas menghampiri Lela dan menangkup mulut gadis itu. Bibirnya komat-kamit walau mulutnya terlihat tak bergerak. "Lu ke belakang!"
"Tu ... pi ...."
Menik memelotot dan mendorong Lela ke dalam. Dia memberikan senyum aneh karena merasa bersalah. Apalagi melihat laki-laki itu melepas atasan cokelatnya hingga menguak otot liat berkulit kuning yang tercetak karena kaus putih ketatnya basah.
Laki-laki itu mendatangi Menik dan tiba-tiba tangannya menjulur menyampirkan baju dril di pundak Menik yang bertengger tali kutang hitam.
"Jangan keluar seperti ini. Walau katanya kamu janda, tapi tubuhmu bisa mengundang mangsa." Laki-laki itu menyelubungi tubuh Menik hingga dia tampak seperti orang kedinginan.
Menik menunduk. Dia masih bisa mencerna kalimat dalam bahasa Melayu yang terdengar aneh, tapi cukup lancar. Seketika wajah pucat digusur rona pekat. Dia teringat telah melepas kebayanya sewaktu mencuci piring. Kini Menik hanya membisu. Tubuhnya kaku. Tangannya mencengkeram kuat atasan laki-laki yang belum dikenal namanya itu, seperti sesuatu yang berharga.
"Yuuto, kamu tidak sabar sekali!"
Menik menoleh. Menatap Kenta dan seorang pribumi yang sering dia lihat di Sendenbu.
"Nani ka mondai ga arimasu ka (Apakah ada yang salah)? Kenapa basah seperti ini?" Lalu Kenta menutup lubang hidungnya dengan telunjuk. "Bau apa ini?"
"Gomennasai (Saya minta maaf)!" Menik membungkuk dalam. Seketika dia kalut mengingat kecerobohannya. Bagaimana kalau laki-laki itu marah dan meminta Kenta untuk memutus pesanan nasi bungkusnya?
"Daijobu (Tidak apa)." Lelaki itu menegakkan tubuh Menik. Seketika tubuh Menik bergetar karena ada laki-laki Jepang yang menjamahnya. Apakah dia akan dihukum dengan dijual untuk melayani nafsu bejat para tentara? Atau diserahkan ke kempetai untuk dianiaya?"
"Gomen ...." Suara Menik bergetar. Dia menunduk ketika tubuhnya sudah kembali tegak. Kini kakinya terasa lemas seperti jeli. Sementara itu detakan jantung karena didera rasa was-was menggedor rusuk-rusuknya.
Laki-laki itu menarik dagu Menik. Dia tersenyum hingga membuat kerjapan mata panas Menik meloloskan air matanya. "Aku terima maafmu. Sebagai gantinya, buatkan aku makanan."
Walau pandangannya kabur karena bola matanya tertutup air mata, tapi Menik bisa melihat senyum ramah yang tak pernah dia lihat selain Kenta. Namun, berbeda dengan senyum atasan suaminya itu, tarikan bibir laki-laki yang dia tahu bernama Yuuto karena Kenta sempat memanggilnya tadi, terlihat sangat ... manis.
Menik menggeleng. Dia menghela napas kuat. Manis terlalu banyak membuat eneg. Seperti janji manis Dai Nippon yang kini membuat sengsara.
"Maaf, tapi ... warung saya sudah tutup. Makanan kami habis."
Yuuto berdecak. "Tidak adakah sisa-sisa sedikit untukku? Kata Kenta kamu hari ini memasak ...." Yuuto mengernyitkan alisnya, mengingat nama yang disebut Kenta.
"Gudeg." Menik menambahi.
"Ya, itu!" Mata sipit itu berbinar.
"Maaf. Sudah habis. Kalau ingin memesan, saya akan antar lebih ke Sendenbu." Menik masih takut-takut menatap laki-laki yang masih memegang dagunya.
"Aku mau sekarang!" ucapnya tegas penuh dengan dominasi.
"Tapi ...."
"Menik, buatkan makanan apapun untuk dia. Kasihan dia datang dari Klender karena ingin mencicipi makananmu." Kenta menengahi. Wajahnya tiba-tiba memelas. "Lihat wajah pucatnya. Dia kelaparan."
Ah, bagaimana mungkin tentara Jepang kelaparan. Pasokan beras mereka terjamin setiap waktu. Sedang kami hanya mendapat sisa karung goni kosong berkutu! Rutuk Menik kesal.
"Kumohon! Lagipula, jangan takut. Dia teman baikku!" Kenta menepuk pundak Yuuto.
Menik melirik takut-takut ke arah wajah tirus yang seolah tak dialiri darah. Bibirnya pucat seperti orang yang sudah mati beberapa jam.
Menik mengembuskan napas kasar, untuk membuang gentar. "Ba-baiklah! Silakan masuk."
Saat Menik berbalik, dilihatnya mata tetangga yang memperhatikan mereka. Cibiran sengit didapatnya seolah mengejek seseorang yang berdosa. Menik menduga kedatangan dua laki-laki Jepang itu, besok pasti akan menjadi berita panas di kampung.
"Tuan, sebaiknya anda membasuh badan. Saya akan meminjamkan baju ganti milik suami saya. Daripada Edogawa-dono tidak nyaman," kata Menik dengan ekspresi bersalah.
"Oh, ya. Namaku Yuuto. Yuuto Kagami." Yuuto menahan lenganku yang hendak berbalik mengambil baju di kamar. Tangannya menjulur, menawarkan jabat tangan.
"Saya ... Menik," ujar Menik menyambut tangan Yuuto.
***
Katanya, Yuuto mau memakan menu apapun yang Menik sediakan. Padahal dia tak punya sayuran lagi. Hanya sayur kangkung yang tumbuh di kebun belakang, sisa gorengan, kecambah, dan timun. Setelah memakai baju yang pantas, dia berpikir sejenak, hingga akhirnya sebuah ide datang. Dia lalu menyuruh Lela memotong kangkung di belakanh, mencuci serta merebusnya. Lela juga diminta untuk memotong timun dan mencucinya.
Baru kali ini Menik menyiapkan makanan dalam keadaan tekanan. Dua pasang mata, Kenta dan Jarwo, mengikuti setiap gerakannya. Tangannya bergetar saat meletakkan dua siung bawang putih, sebuah cabai, satu sendok teh terasi bakar, kencur, dan satu setengah sendok teh garam. Dia menumbuk tak nyaman, sambil melirik Kenta dan Jarwo. Dua-duanya memandang dengan sorot lapar. Kenta menatap adonan bumbu kacang yang Menik racik. Sedang Jarwo melihat ke dadanya yang bergoyang saat menumbuk bumbu.
Yuuto berdeham begitu masuk ke dalam ruang paling depan rumah. Dia terlihat lebih seperti laki-laki normal bila memakai kaus dalam putih milik Ripto dan celana hitam tiga perempat yang biasa digunakan Ripto.
"Jarwo, kamu boleh pulang. Bisa jalan kaki? Aku nanti akan mengantar Edogawa-san ke rumahnya sebelum pulang."
Terlihat raut kecewa dari wajah lelaki itu. Setelah menerima lima lembar uang pecahan sepuluh rupiah, lelaki bermata mesum itu meninggalkan rumah.
Sementara itu, Yuuto memindai isi rumah sederhana yang terlihat rapi dan bersih. Suara ulekan dan batu cobek yang beradu, menjadi pengiring suasana beku di siang hari yang panas.
"Maaf kalau tidak ada lontong. Saya akan mengganti dengan nasi." Menik menyodorkan tiga piring lotek ke hadapan dua orang tamunya setelah selama dua puluh menit meracik.
Yuuto menatap makanan dengan bumbu kacang itu. Seperti biasa dia akan mencicipi terlebih dahulu rasanya. Matanya lagi-lagi membulat. Senyumnya terurai.
"Oishii (Enak). Apa nama makanan ini?" tanya Yuuto mengambil sendok dan mencoba mencicipi bersama bahan yang lain.
"Lotek. Makanan khas Sunda."
Yuuto melirik ke arah satu piring lotek yang sedianya diperuntukan bagi Jarwo.
"Itu ... punya siapa?" Yuuto mulai melahap makanannya. Makanan lotek ini mirip salad, dengan saus kacang yang segar.
"Tadi saya pikir, Bang Jarwo akan makan di sini," kata Menik masih dengan perasaan was-was.
"Bungkuskan untukku!"
"Hai!" Menik membungkuk sedikit dan membungkus satu porsi lotek dengan daun pisang yang sudah dipanasi supaya tidak mudah robek.
Entah kenapa, mata Menik mencuri pandang ke arah Yuuto. Dibanding Kenta, dia lebih waspada pada laki-laki pucat itu. Kulitnya seolah tak pernah dibakar matahari, berbeda dengannya yang berkulit lebih gelap
Di samping itu, hal lain yang menarik perhatian Menik adalah cara makan Yuuto yang lahap. Dengan punggung tegap, tangan kanannya memegang sendok, sedang tangan kirinya memegang piring seolah takut piring itu akan terbang. Gerakan mulut menggiling makanan pun terlihat sangat sopan. Menurut Menik yang pernah ikut bekerja dengan Enyak di kediaman keluarga Van Persie, cara makan Yuuto seperti cara makan keluarga terpandang dan kaya.
Ah, jelas saja kaya dan terpandang. Lelaki itu mempunyai pangkat dan selalu membawa mobil.
Walau Yuuto orang Jepang, tapi saat dia duduk di warung Menik dengan baju seperti petani pribumi dan makan dengan lahap masakan tradisional itu, kewaspadaannya mengendur.
Yuuto melirik Menik. Pandangan mereka bersirobok. Menik terkesiap. Kepalanya menunduk, menyembunyikan semburat merah di pipi tembamnya.
"Ini, Kagami-dono." Menik menyerahkan bungkusan lotek. Dia letakkan di sebelah piring yang isinya sudah tandas. Tak bersisa.
Yuuto bersendawa sembari menepuk perut yang penuh. Menik merasa risih dengan suara yang keluar dari mulutnya.
"Enak sekali! Aku ... suka," puji Yuuto tulus.
Menik melipat bibirnya, menyembunyikan rasa bangga dan senang, sambil menyibakkan anak rambut yang lepas dari gelungan di tengkuk ke belakang telinga. "Arigatou."
"Besok siang, ah ... sial! Aku tidak bisa ke sini!"
"Ada acara? Vaksin lagi?" Kenta mengorek sisa makanan di antara giginya.
"Iya. Aku harus membuat beberapa laporan," jawabnya kecewa. "Ehm, kalau begitu kirimkan satu bungkus makanan untukku ke Sendenbu. Kamu masak apa? Kata Jarwo, makanan yang kamu jual di sini selalu berbeda."
"Mungkin ... saya akan masak nasi tumpang."
"Jangan lupa bawakan untukku, ya? Titipkan ke Edogawa-san," titah Yuuto
Menik meremas kain yang dia pegang. Seharusnya dia tidak mengangguk. Tetapi, entah kenapa kepalanya bergerak memberi persetujuan.
💕Dee_ane💕
Yuuto pasrah dibasahin sama Neng Menik
Duit yang dikasih Yuuto ke Jarwo
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro