49. Gomenasai ...
Hulla, Deers! Udah hari Senin lagi. Semoga terhibur yak. Buat kalian pejuang cuan, semangat cari cuannya. Semoga menjadi berkat untuk keluarga. Jangan lupa jejak cintanya ya. Aku mau siap2 dulu otewe ....
💕💕💕
Rona di wajah Joko sontak menguap. Darah yang mengalir di lehernya kontras dengan ekspresi ngeri di wajah. Dia yakin hari ini akhir hidupnya. Terlebih desingan peluru dari dalam dan luar markas tak kunjung berhenti dan ujung bayonet yang menusuk kulit itu siap mengoyak pembuluh darahnya.
“Kenapa kamu di sini, Joko-san? Mestinya kamu melindungi Menik-san.” Suara itu membuat Joko membeliak.
“Ka-Kagami sensei?” Bola mata Joko bergulir ke kiri. Dia lalu menangkap bayonet itu dan menepisnya, karena merasa bukan ancaman.
“Pulanglah! Terlalu berbahaya di sini,” kata Yuuto dingin. Sorot tajam mata sipit itu seolah ingin menusuknya.
“Kenapa kamu di sini?” tanya Joko dengan kernyitan tajam.
“Aku ….”
“Soko no (Di sana)!” Seruan itu membuat Joko dan Yuuto tersentak.
Seketika Yuuto meraih tangan Joko, dan melingkarkan pundaknya. Tangan kiri Yuuto dengan cepat mencabut wakizashi yang menggantung di pinggangnya, dan menyelipkan di genggaman Joko.
“Kagami-san!” Joko memelotot.
“Cepat! Berpura-puralah menyandera aku agar kamu bisa keluar!” desis Yuuto dengan bibir yang tidak terlihat bergerak.
Joko belum bisa mencerna situasi untuk sesaat. Tapi begitu melihat dia dikepung, lelaki itu seketika mengikuti rencana Yuuto.
“Jangan bergerak! Atau dokter kalian akan menjadi korbannya.” Joko menggenggam wakizashi Yuuto dan menempelkan bilah pedangnya di leher Yuuto.
“Joko-san, kenapa kamu menjadi serius? Kamu seperti ingin menyembelihku!” Yuuto berusaha mengurai lengan kekar Joko yang kini menguncinya.
“Kalau ingin mereka percaya kamu disandera, aku harus sungguh-sungguh mendalami peranku!” Joko tersenyum miring.
“Arrggghh!” Yuuto mengerang merasakan leher yang tercekik. “kamu sengaja mau membunuhku, Joko-san?¹” Yuuto terus berdesis. Niatnya ingin membantu Joko membuahkan penyesalan, karena Joko sangat menghayati lakonnya.
Dalam hati, Yuuto merutuk karena sudah berinisiatif membantu Joko. Semua kata-kata kasar dia teriakkan, yang justru dianggap orang-orang Jepang, Yuuto ingin melawan.
“Jangan mendekat, kalau ingin Tuan Doktermu selamat!” Joko semakin menempelkan mata pisau wakizashi ke leher Yuuto, hingga cairan merah merembes di lehernya yang kuning dan melumuri mata pisau pedang pendek itu.
Joko menyeret Yuuto menuju gerbang samping kanan dan berniat akan melepaskan anak bungsu Kagami itu begitu bisa keluar. Sayangnya, tentara Kempetai itu masih saja ingin membebaskan Yuuto. Mereka beringsut mendekat, dengan senapan yang siap meluncurkan pelor.
“Kurang ajar!” Joko mulai kesal. Bila dia melepas Yuuto, bisa jadi dia yang akan jadi sasaran tembak. Tapi, mau sampai kapan menyandera lelaki Jepang ini? Yuuto tidak seperti tentara lain yang kecil. Menyeret Yuuto juga merupakan pekerjaan yang melelahkan. Namun, mau tidak mau terpaksa Joko menyeret Yuuto menjauh.
“Kamu mau bawa aku ke mana?” tanya Yuuto merasa ada yang salah ketika Joko membawanya ke baris pertahanan rakyat Indonesia.
“Sebentar! Aku belum aman!” Joko masih berjalan mundur. Kadang berjalan miring seperti kepiting. Sedangkan matanya masih memperhatikan tentara Kempetai yang mengarahkan ujung bedil ke arah mereka.
Sementara itu, tiga pemuda berlari menghampiri Joko, dan semakin menyulitkan posisi Yuuto karena mereka menodongkan ujung bayonet di beberapa bagian tubuh Yuuto. Di belakang, beberapa barisan pemuda yang ada di baris pertahanan sayap kanan juga bersiap menarik pelatuk.
“Lepaskan aku sampai sini!” Yuuto menggeliat. Tangannya berusaha mengurai tangan Joko yang mengunci leher serta wakizashi yang semakin menusuk kulitnya.
“Kamu pikir kami bodoh? Tidak! Sampai perundingan selesai, kamu tidak kami lepaskan!” Seorang dari pemuda menjawab. “Kamu pasti orang penting di Kempetai sampai anak buahmu tidak berani menyerang kami.”
Yuuto mengerang. Dia menyesal sudah membantu Joko. Padahal dia hanya ingin lelaki itu selamat agar Joko bisa melindungi Menik. Kalau dia ikut telibat dalam setiap pertempuran, bagaimana nasib Menik? Dia bisa jadi janda dan akan kesepian di tanah orang.
Pada akhirnya niat baiknya justru membuatnya sungguh-sungguh disandera. Dia diperlakukan seperti tahanan yang melakukan dosa besar. Tangan dan tubuh atasnya diikat dan mulutnya dibekap dengan kain.
“Sopo iki, Mas?” tanya laki-laki yang umurnya sepertinya masih sangat muda.
“Anak petinggi Kempetai. Divisi intel,” jawab Joko sambil duduk di tanah begitu saja. Dia menyeka leher yang berpeluh dan sempat terluka dengan punggung tangannya.
"Mas, lihat! Ada bendera putih!” Seruan seorang laki-laki tinggi kurus membuat Joko sontak berdiri lagi.
Mata Yuuto melebar. Dia penasaran ingin melihat apa yang terjadi. Tetapi, dari tempatnya duduk, dia tidak melihat apapun. Apakah negosiasi sudah tercapai dan pada akhirnya senjata akan diserahkan?
Joko menyipitkan matanya memastikan bahwa yang melambaikan kain putih itu benar-benar Kempetaityo. "Mereka menyerah!" Wajah Joko berbinar.
Joko kemudian bergegas menghampiri Yuuto dan melepaskan ikatan sapu tangan di mulut lelaki Jepang itu. “Terima kasih.”
Yuuto melirik ke arah Joko yang menjalankan perannya dengan sangat bagus sehingga lehernya kini dipenuhi darah yang mengering.
“Oh, iya. Menik menerima lamaranku. Kami akan segera menikah.”
Jakun Yuuto naik turun. Entah kenapa kepalanya seketika pening, seiring dengan desir di dada yang membuat ngilu. “Sampaikan selamatku.”
Joko hanya mengangguk-angguk. “Sekali lagi, terima kasih.”
Yuuto tersenyum. “Bagaimana kamu bisa melindungi Menik kalau kamu bermain-main di pertempuran?”
“Aku bertempur demi orang-orang yang aku sayangi. Agar mereka merasakan udara kemerdekaan di negara yang berdaulat.” Joko mengurai tali tambang yang membebat tubuh dan tangan Yuuto.
Yuuto mengembuskan napas panjang. Dia menunduk sambil mengusap pergelangan tangannya yang memerah.
“Apa yang akan kamu lakukan setelah ini? Apakah kamu ke sini mau menemui Menik?” Suara Joko terdengar serak. Kecemburuan mencekik lehernya.
“Entahlah. Sudah beruntung aku bisa hidup sampai detik ini, mengingat Sekutu semakin gencar melucuti senjata kami dan menangkap kami. Tak hanya itu, rakyat pribumi pun seringkali menyerang kami.” Yuuto mendongak menatap langit jingga yang terlihat damai menaungi bumi yang bergolak.
“Sebaiknya kamu segera kembali. Pertempuran sepertinya sudah berakhir.”
Yuuto mengangguk. “Baik. Aku pulang. Selamat atas pernikahannya.”
Hati Joko tercubit. Dia seperti pencuri yang diampuni korbannya. Namun, dia lalu mengulurkan tangannya untuk menjabat tangan Yuuto. “Jaga diri baik-baik, Dokter Yuuto.”
Mereka berjabat tangan kemudian saling berpelukan. “Titip Menik. Cintai dia sepenuh hati.”
“Tidak usah kamu beritahu, aku sudah tahu.” Joko mendengkus keras.
Yuuto terkekeh. “Aku pergi.”
***
Joko tersenyum miris. Dia sadar, cinta Yuuto pada Menik begitu tulus. Terbukti dia rela mengantar Menik ke stasiun dan menolongnya tadi walau bisa saja nyawa lelaki itu akan terancam.
Lalu apakah tindakannya salah menginginkan Menik? Dia sangat mencintai perempuan itu. Tentu saja Joko ingin memiliki hati Menik sepenuhnya.
Joko mengembuskan napas kasar, menatap punggung Yuuto yang berjalan tegap. Lelaki itu terlihat lebih tangguh dari pada sebelumnya. Aura Yuuto yang menguar membuat Joko segan. Kalau dulu Yuuto terlihat ringkih. Tapi sekarang sorot matanya terlihat tegar. Lelaki Nippon itu seolah tak takut ancaman apapun. Bahkan bila mati seolah Yuuto rela.
Namun, di saat Joko sibuk memperhatikan punggung Yuuto yang menjauh, samar-samar kembali terdengar suara tembakan dari sisi kiri markas. Baku tembak yang sempat berhenti, kembali terdengar. Bahkan desingnya semakin riuh mengiringi tabir kelam yang mulai mendominasi angkasa dengan bau mesiu yang kembali mendominasi udara.
“Lah, kenapa pihak Kempetai masih menyerang? Bukannya mereka sudah menyerah?” Joko menoleh ke kanan kiri dengan mata menyipit karena hari sudah mulai gelap.
“Iya. Mestinya kita sudah melakukan gencatan senjata!” timpal yang lain.
Tiba-tiba pikiran buruk menyusup di otak Joko. Bila pertempuran kembali berlangsung, bisa jadi Yuuto menjadi sasaran tembak karena dikira musuh yang keluar dari markas. Terlebih saat itu, Yuuto memakai seragam rikugun.
Joko berlari ke arah Yuuto. “Yuuto-kun, ayo berlindung dulu.”
Joko menoleh ke arah kiri. Sejumlah rakyat yang nekat, berderap lari menuju ke sayap kanan. Mereka menyebar dan berusaha menyerang dari kanan karena konsentrasi pasukan kempetai yang berada di baris pertahanan sisi kanan sebanyak sisi kiri. Sebagian dari massa itu membawa senapan yang berhasil diambil dari Katsura Butai di Gedung Don Bosco, sebagian yang lain hanya bersenjatakan bambu runcing sederhana. Pakaian sederhana yang menunjukkan kemiskinan tak membuat semangat mereka luntur.
“Ayo! Nanti kamu dikira musuh!” Joko menarik seiring suara langkah kaki yang semakin keras berbunyi.
“Yuu-chan!” Suara Kolonel Kagami terdengar dari arah markas. Lelaki tua itu terengah ketika mendapati laporan bahwa putranya disandera.
Yuuto tersenyum dan mengangkat jempolnya untuk memberitahu bahwa dia baik-baik saja. Dia lalu melepas cengkeraman tangan Joko yang cukup kuat. “Tidak apa-apa. Aku akan berlari ke markas.”
"Tapi …." Joko tak bisa menahan, karena Yuuto telah lari ke arah markas.
Yuuto sempat melihat gerombolan besar orang yang menuju ke sisi kanan. Dia harus cepat sampai ke markas sebelum keberadaan di luar gedung itu disadari oleh rakyat yang mengamuk. Sambil memacu langkahnya, Yuuto melambaikan tangan dan tersenyum pada sang ayah yang menanti di ambang pintu.
Kolonel Kagami masih menajamkan kewaspadaan dengan pistol colt 32 yang siap melontarkan peluru bila ada yang mengancam sang putra. "Cepat, Yuu-chan!" Lelaki itu sesekali melihat ke arah rombongan orang yang mendekat.
Suara riuh yang meneriakkan takbir serta seru merdeka, membuat kuduk Kolonel Kagami berdiri tegak. Dia tak pernah merasakan setegang ini dalam pertempuran apapun. Tapi, saat melihat putranya berlari di tengah arena peperangan tanpa membawa sepucuk senjata pun, batin Kolonel Kagami diliputi kecemasan.
Yuuto mempercepatkan larinya. Namun, baru dua langkah dia menapak, desingan senapan terdengar memekakkan telinga, melontarkan bola timah panas yang melayang di udara.
Detik berikutnya, lolong kesakitan menyusul, ketika peluru itu mendarat dan mengoyak otot punggung Yuuto. Tubuh Yuuto melengkung. Raganya rubuh, disangga lutut dan telapak tangan.
Peluhnya mengucur, karena menahan nyeri seolah kulit dan ototnya dikelupas dari tulang. “Menik ….”
Satu tembakan itu memicu tembakan-tembakan lainnya yang membuat keramaian di sisi kanan markas.
Walau berada di tengah arena pertempuran, dengan desing senapan yang melontarkan peluru tanpa mengenal arah yang benar karena suasana malam semakin kelam, Yuuto masih berusaha bangkit.
Sementara itu, melihat putranya terseok bangkit, Kolonel Kagami melangkah maju tak memedulikan nyawanya terancam.
"Taisa!" Anak buah Kempetai terkejut melihat aksi Kolonel Kagami.
“Hentikan!” Joko pun juga berseru pada massa yang sudah terbakar api amarah terhadap Jepang.
Suara lantang Joko tetap saja tidak bisa memadamkan semangat rakyat yang nekat itu untuk mundur. Mereka tetap berlari dan menarik pelatuk untuk melumpuhkan siapapun orang Jepang yang mereka temui.
“Arrrgghh!” Sekali lagi peluru bersarang di tubuh Yuuto. Padahal dia sudah dikawal beberapa tentara yang bergegas melindungi ayahnya saat keluar dari markas.
Tubuh Yuuto lunglai. Darah segar yang mengalir dari koyakan otot punggungnya semakin menguras kesadaran.
“Yuu-chan, bertahanlah! Jangan tinggalkan Otousan!”
Yuuto justru menarik bibirnya di wajah yang dipenuhi peluh. Ekspresi tulus Kolonel Kagami yang mengkhawatirkannya membuat batinnya hangat walau tubuh mulai menggigil.
Pandangan Yuuto perlahan mengabur. Padahal jarak pintu samping markas sudah semakin dekat. “Otousan … itu … itu Okasan. Dia ada di sana menatapku dan mengajakku.” Yuuto terengah dengan mata merem melek.
“Yuu-chan, jangan membuat Otousan takut!" Wajah Kolonel Kagami semakin memucat. Bahkan lebih pucat dari wajah sang putra.
"Otousan, gomenasai (maaf). Aku bukan anak yang baik." Napas Yuuto satu-satu. Dadanya terasa sesak seperti dihimpit beban yang begitu berat.
"Tidak! Kamu … Yukihiro … adalah anak-anak yang aku banggakan. Otousan begitu mencemaskanmu karena hatimu begitu lemah di masa peperangan ini."
Yuuto mengerang. Kepalanya semakin terasa ringan. Dia tak lagi bisa menangkap kata-kata ayahnya. Dan, sejurus kemudian … Yuuto rubuh di dekapan sang ayah.
***
Di pihak Indonesia, Joko pulang dengan punggung melengkung seolah menjadi pihak yang kalah. Seruan kemerdekaan yang bertubi-tubi diteriakkan tak bisa menyulut kegembiraan Joko walau pertempuran kali ini berhasil menduduki markas Kempetai pada hari kedua. Petinggi Pertahanan Angkatan Darat Jepang di Soerabaja yang memerintahkan agar tentara Kempetai mengosongkan markas dan meninggalkan seluruh persediaan senjata, membuat para pemuda Soerabaja bisa mengumpulkan senjata untuk persiapan melawan Sekutu yang diboncengi Belanda.
Malam itu, Joko tak langsung pulang ke rumah. Walau badannya oenuh debu dan noda darah mengering, dia sengaja datang ke tempat Menik untuk melihat perempuan yang sangat dia cintai. Batinnya terasa sesak karena harus memberitahukan kabar buruk.
"Ada apa, Bang?" Menik mengernyit saat mendapat wajah kusut Joko. Padahal biasanya, Joko akan memeluknya dan mengabarkan kemenangan dengan wajah semringah.
Alis Menik semakin menukik. Dia semakin kalut. Setahu Menik, pihak Indonesia sudah berhasil menguasai markas Kempetai. Tapi melihat wajah Joko, orang mengira dia pulang setelah kalah berperang.
"Ada apa, Bang? Abang kena tembakan?" Menik mengangkat tangan Joko, memastikan laki-laki itu tak terluka.
Joko menggeleng.
"Lalu apa?" tanya Menik.
Lidah Joko kelu. Dia menatap Menik yang mencemaskannya dengan tulus. "Nik, janji ya, jangan sedih."
"Abang kenapa? Bikin aye deg-degan saja!" Menik semakin penasaran. Perasaannya menjadi tak nyaman. Ekspresi ini seperti dulu saat Joko mengabarkan bahwa Ripto akan dieksekusi mati.
Joko menghela napas lalu menarik Menik untuk duduk di kursi anyaman pandan di ruang tamu milik Pak Haji Mitro. Dengan tatapan sayu, dia menatap Menik yang masih setia menanti apa yang akan dia bicarakan.
"Yuuto. Yuuto Kagami …."
Deg!
Seketika jantung Menik terasa ingin leoas dari dadanya. Tenggorokannya tiba-tiba terasa kering. Lama dia tidak mendengar kabar lelaki itu. "Yuu-Yuuto?"
"Dia … dia tertembak karena berusaha menyelamatkan aku. Dan, saat kami berhasil menduduki markas, dia … dia …." Joko meremas tangan Menik. Dia menunduk sambil menggigit bibirnya erat.
"Dia kenapa, Bang?" cicit Menik dengan wajah pucat.
"Me … ninggal …."
Seketika dunia Menik berputar. Jantungnya seolah berhenti berdetak ketika kata-kata Joko menabuh gendang telinganya. Detik berikutnya, raga Menik lunglai seiring kejutan yang mengikis kesadaran.
💕Dee_ane💕
Fakta di balik Fiksi :
1. Insiden Bendera di hotel Oranje terjadi pada tanggal 19 September 1945
2. Untuk persiapan menegakkan kedaulatan negara, arek-arek Soerabaja merebut senjata di beberapa markas Jepang. Pada tanggal 1 Oktober 1945, mereka menyerang markas Kempetai
3. Moh. Jasin adalah salah satu anggota Polisi Istimewa yang mengadakan diplomasi dengan Kempetaityo sehingga Kempetai akhirnya mengibarkan bendera putih. Beliau dikenal sebagai "Bapak Brimob Polri".
Apa kalian tahu fakta ini? Kuy, mengingat sejarah dengan cara yang menyenangkan.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro