Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

48. 1 Oktober 1945

Udin lewat Agustus, euy ... gimana nasib Menik yak? Ada yang dukung sama Joko kah? Atau masih ngeship ke Yuuto. Happy reading yak.

💕💕💕

Kekalahan Jepang di perang Pasifik, membuat bangsa itu harus mengetatkan penjagaan karena barisan pemuda ingin merampas persediaan senjata untuk mempertahankan kemerdekaan.  Walaupun suasana memanas karena pergolakan, kehidupan Yuuto tetap bergulir.

Dengan atau tanpa Menik.

Walau tahu Sekutu sebentar lagi mendarat di Tanjoeng Priok, Yuuto tetap sering berada di kamp Klender untuk membereskan pekerjaan. Hal itu justru membuat Kolonel Kagami khawatir karena Yuuto sekarang terlihat lebih pendiam sejak kepergian Yukihiro dan Menik.

"Yuuto, Otousan akan ditugaskan ke Soerabaja. Di sana sangat genting, karena banyak penyerbuan ke kesatuan-kesatuan Soerabaja, setelah Insiden Bendera di Hotel Oranje tanggal 19 September kemarin."

"Apa hubungannya dengan kita? Pribumi itu hanya ingim kita memberikan senjata untuk persiapan menghadapi Sekutu," ujar Yuuto yang setelah menelan telur gulungnya. Tamagoyaki buatan Takumi tetap saja terasa berbeda dengan olahan Menik walau menggunakan bahan yang sama.

"Para pemuda itu sudah menyerbu beberapa markas di Polisi Istimewa, kompleks Lindeteves dan nantinya termasuk Kempetai. Otousan diminta membantu strategi pertahanan di sana, dan kamu diminta untuk membantu korban jiwa dari pihak kita," terang Kolonel Kagami. Walau lelaki paruh baya seperti tak terpengaruh kematian Yukihiro, tapi Yuuto tahu setiap malam ayahnya selalu meratap memeluk baju rikugun sang putra yang dibanggakannya.

"Hai!" Yuuto tak mendebat. Dia tidak ingin mempersulit ayahnya. Walau sebenarnya bisa saja Jepang yang sudah kalah itu menyerahkan senjata, sehingga tidak ada lagi pertumpahan darah. Bukankah tak ada untungnya bertahan karena posisi Nippon kini terjepit?

"Besok kita akan berangkat. Berpakaianlah senyaman mungkin seolah kita adalah orang China."

Menururi titah Kolonel Kagami, akhirnya Yuuto menginjakkan kaki di kota Soerabaja pada akhir bulan September. Dia tak percaya akan menghirup udara di kota yang sama dengan Menik. Walau jarak membentang, Yuuto tetap tahu kabar Menik karena mendapat kabar dari Yudha yang bulan September kemarin memutuskan pergi ke Soerabaja karena patah hati mendapati perempuan yang dikasihi mengandung anak lelaki lain.

"Kita harus bersiap, karena para pemuda pasti akan menyerang pada siang hari." Kolonel Kagami mengutarakan pendapatnya saat rapat dadakan yang membicarakan siasat bertahan Kempetai. Sebagai kepala intelijen Kempetai, dia selalu mendapatkan informasi yang valid sehingga bisa menjadi bahan pertimbangan membuat keputusan.

"Apakah ada strategi khusus untuk melumpuhkan mereka?" tanya petinggi Kempetai Soerabaja.

"Ada! Dan sangatlah mudah!" Kolonel Kagami tersenyum miring karena yakin dengan rencananya. "Mereka pasti akan menyangka kita tertidur di siang hari karena siasat kita bertempur selalu dilakukan pada malam hari. Besok, menjalang siang hari, kita akan memberi kejutan orang-orang yang mulai bergerak."

****

Di sisi lain, kehidupan Menik juga tetap berjalan. Dia bekerja di keluarga Haji Mitro yang rumahnya di dekat rumah Joko di daerah Tambaksari. Kota Soerabaja yang sering bergolak karena adanya perebutan senjata di beberapa markas dan kesatuan, tak begitu mempengaruhi Menik.

Menurut cerita dari Joko, sejak adanya insiden Bendera di hotel Oranje tanggal 19 September 1945 yang lalu di daerah Tunjungan, Badan Keamanan Rakyat mulai bersiap untuk pertempuran yang lebih besar lagi. Tak ketinggalan Joko yang direkrut menjadi anggota BKR karena dia adalah mantan anggota PETA, menjadi sibuk untuk mempersiapkan pertempuran. Termasuk melakukan perebutan senjata milik Jepang.

"Bang, hati-hati." Sudah menjadi kebiasaan, setiap akan pergi menggempur markas Jepang, Joko selalu berpamitan pada Menik. Bahkan saat pagi buta seperti hari ini.

“Nik, aku tunggu janjimu. Bila kami bisa pulang dengan selamat, maka kamu akan menerima pinanganku, seperti katamu tadi, bukan?”

Menik tersenyum simpul. “Yang penting, Abang pulang dengan selamat.”

“Jawab dulu. Beri aku kepastian, supaya aku semangat!” Joko mendesak Menik.

Menik mendesah, menatap Joko yang selalu memandangnya penuh damba. Sekarang hanya Joko yang menjadi tumpuannya. Sejak ditinggal pergi Ripto, Jokolah yang menjaganya.

“Piye (Bagaimana)? Aku tidak salah dengar bukan? Lagipula Romo dan Sibu sudah merestui kita. Bukannya kamu ingin kita menikah dengan restu? Tak ada alasan lagi menolak.”

“Iya. Yang penting, Abang pulang dulu. Setelah itu baru kita bicarakan pernikahan.”

Tarikan bibir Joko semakin lebar. “Bener, Nik? Berarti aku tidak salah paham, kan? Kamu mau menerima lamaranku?”

“Iye, Bang. Seperti kata Abang, tak ada alasan aye menolak, bukan? Makanya Abang harus pulang dengan selamat dari Gedung Setan.”

“Iya, aku pasti pulang buat kamu, Nik.” Joko tersenyum lebar. Kilat semangat yang membara terpantul dari sorot matanya.

Setelah berpamitan dengan Menik, Joko akhirnya berangkat menenteng senjata laras panjangnya yang dia dapat saat penyerbuan di Kohara Butai. Sambil mengayuh sepeda, dia berharap waktu segera berputar cepat seperti roda yang menggelinding di jalanan berbatu agar dia bisa bertemu lagi dengan kekasih hatinya.

Rencananya, pada tanggal 1 Oktober ini penyerbuan  akan berlanjut ke markas Kempetai. Joko yang termasuk dalam keanggotaan BKR akan bekerja sama dengan Pemuda Republik Indonesia, Polisi Istimewa dan laskar kerakyatan, menyerbu pada pukul 07.00.

Pihak Indonesia sudah membuat persiapan matang. Sebelum penggemburan Joko bersama Moehammad Jasin, seorang anggota Polisi Istimewa, mendapat mandat untuk memutus kabel telepon agar markas Kempetai tidak bisa menghubung kesatuan lain.

“Joko, koen medhot kabel telepon ndek kono (Kamu putus kabel telepon di sana). Aku jaga di belakangmu,” ujar Jasin yang lebih senior. Untuk urusan merampas senjata, memang Joko ahlinya. Sebelum pemberontakan PETA dia berhasil memasok senjata dengan menyusup ke markas kesatuan di Malang dan mendapatkan beberapa senjata. Bahkan pada tanggal 28 September kemarin, Joko dan kawan-kawan berhasil membuat pimpinan markas Kohara Butai menyerah dan memberikan semua persediaan senjata mereka.

“Siap!” Joko mengendap dan memanjat pohon yang dilalui kabel telepon. Seperti tupai yang lincah, lelaki pribumi bertubuh tegap itu naik ke atas pohon dengan tang potong terselip di pinggang.

Tak sampai sepuluh menit, Joko kembali lagi ke tempat Jasin bersembunyi. Mata mereka jelalatan, mengawasi keadaan.

“Arek-arek udah siap di viaduk kereta api?” tanya Joko sambil menyeka peluhnya. Jantungnya masih berdetak dengan kencang, setelah menyelesaikan tugasnya.

“Sudah. Sekarang, kita menunggu perintah penyerbuan,” ujar Jasin. "Sebentar lagi kita akan menyerbu. Sepertinya pertempuran kali ini akan sengit."

Joko dan Jasin bersama koleganya yang lain, masih mengintai markas itu. Sedianya pada pukul 12.00 tepat mereka akan menyerbu markas Kempetai. Setelah mendapat instruksi, akhirnya Joko bersama pemuda yang lain berlari menggempur markas yang menjadi kekuatan terbesar Jepang. Namun, mereka tidak mengira kalau persiapan Jepang pun cukup matang. Lubang perlindungan itu ternyata melontarkan berondongan peluru yang dibalas dengan perlawanan arek-arek Soerabaja.

Seperti yang Jasin tebak, pertempuran sangat panas. Cukup banyak pejuang Indonesia yang tumbang. Melihat kondisi ini, Joko merasa korban bisa jadi lebih banyak bila baku tembak tidak segera dihentikan.

“Apa tidak ada cara menghentikan pertempuran?” Tangan Joko sudah bergetar. Dia sudah menghabiskan persediaan peluru dan kini hanya tersisa sedikit di dalam ranselnya.

“Aku … akan masuk ke dalam bersama Prapto. Aku akan mencoba berunding,” ujar Jasin yang masih berusaha membalas tembakan dari markas Kempetai.

Walau ada beberapa pejuang yang bisa masuk ke dalam markas, Joko yakin di dalam sana para oemuda sudah disambut malaikat maut. “Mau masuk? Cari mati namanya!”

“Mau bagaimana lagi? Kalau seperti ini kita akan kalah banyak.” Jasin kini menarik badan, berlindung di balik pohon.

“Aku akan menemani!”

“Jangan! Bahaya! Bukannya kamu sebentar lagi mau menikah?” Jasin memasukkan peluru di senjata laras panjangnya.

“Iya. Tapi, aku juga tidak ingin tinggal bila Bung Jasin rela bertaruh nyawa masuk ke dalam markas.”

Mendengar kesungguhan Joko, akhirnya Jasin, Joko, dan Prapto berembuk. Mereka akan menerobos ke dalam markas kempetai melalui pintu samping kanan yang diperkirakan minim penjagaan.

“Ayo!” Jasin memberi aba-aba. Dia berlari lebih dulu, diikuti Prapto dan Joko yang mengawal mereka.

Joko mengedarkan pandang ke segala sudut. Tangannya sigap membawa senjata dengan telunjuk yang siap menarik pelatuk.

Jasin akhirnya berhasil melalui pagar kawat berduri dan berlari masuk untuk menemui Kempetaityo atau pemimpin Kempetai. Prapto juga berhasil membuntuti. Sayangnya Joko yang berada di belakang tak sempat mengejar kedua temannya, karena disambut berondongan peluru.

Joko segera berlindung di balik pohon di dekat dinding pagar yang menjulang. Dia berusaha untuk membalas, tapi tak diberi kesempatan karena tembakan yang membabi buta itu tak mengenal jeda.

“Sialan!” Joko mengumpat. Bahkan untuk mengintip saja dia tidak bisa, apalagi untuk membalas. Pelurunya sudah tidak banyak. Bila dia menembak dengan brutal, peluru-pelurunya akan terbuang sia-sia.

Beberapa detik kemudian, suasana hening. Tak ada lagi tembakan.

“Ini saatnya?” Joko menggigit sudut kiri bibir bawahnya. Alisnya mengerut, menimbang-nimbang.

Namun, saat Joko akan bergerak, dia merasakan benda tajam menempel di leher kirinya, siap merobek arterinya.

“Janc*k!”

💕Dee_ane💕

Semoga part ini ada yang komen😘

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro