Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

46. Merelakan

Hulla, Deers! Kalian menunggu bab ini? Semoga terhibur. Jangan lupa jejaknya.

***

Saat Yuuto sudah membungkukkan badan dan hendak mencium Menik, Menik kembali menangis tergugu. Tangannya mengepal untuk melawan rasa takut melakukan dosa. Dia memejamkan mata dengan erat berusaha menentang nurani yang terus berbisik agar tidak melakukan sebuah dosa. Telinganya menepis hujatan-hujatan yang terngiang-ngiang di kepala.

"Dasar Lacur Nippon!"

"Gundik Jepang kagak tahu malu!"

"Janda kegatelan!"

Menik tersentak. Nalar yang menguap seketika kembali terpancang. Dia membuka mata dan mendapati wajah Yuuto yang sangat dekattapi tak sampai menyentuh bibir.

"Yuuto ...," cicit Menik merana. "Aye ... aye ... ternyata kagak bisa. Aye takut ... takut kualat. Takut dosa!"

Menik mencengkeram kemeja Yuuto. Tubuhnya bergetar hebat, karena malu, takut, dan sedih yang bercampur menjadi satu.

Yuuto tersenyum sendu. Wajahnya masih berhadapan dengan muka Menik yang berlinang air mata. "Bagaimana aku bisa menjamahmu kalau kamu menangis seperti ini?"

"Maaf. Aye bingung. Aye kacau. Aye kagak mau kehilangan kamu, tapi aye juga kagak mau terjebak dalam dosa besar. Lu ... lu tahu kan aye, aye selama ini merasa seperti aib. Aye adalah sebuah kutukan karena berdosa menikahi Ripto walau ditentang orang tuanya. Aye memang bodoh, tapi aye tahu mana yang benar dan mana salah." Kepala Menik menunduk. Dahinya bersandar pada dada bidang Yuuto. Walau dia tidak bersekolah, tapi ajaran agama agar tidak berbuat zinah masih tertancap di otaknya.

"Kita memang miskin, Nik. Tapi kita punya harga diri! Kita makan dengan hasil keringat kita bekerja bukan jual diri! Menik teringat kata Babe betapa harga diri menjadi sesuatu yang harus dipegang. Sungguh, pertentangan batin antara naluri alami yang ingin mendominasi dan nurani, telah mengaburkan nalar. Ya, hati Menik sudah ditawan Yuuto, tapi bukan berarti raganya bisa diperbudak olehnya. Tidak menjalani saja, Menik sudah merana karena dicap 'Gundik Jepang', bagaimana kalau dia benar-benar melakukan.

Ya, Menik munafik! Antara ingin tapi nalarnya mengekang. Antara mau tapi takut berbuat dosa!

"Yuuto ... maaf."

"Aku paham. Oleh karena itu, aku juga takut saat kamu terbawa emosi. Aku ingin memilikimu, tapi tidak dengan seperti ini. Sungguh, Menik, aku takut menyakitimu. Hidupmu masih sangat panjang. Jangan sampai kamu dikendalikan oleh perasaan." Yuuto mendorongnya pelan. Sorot matanya tajam dan tenang, seperti tengah samudra yang semakin menenggelamkan Menik dalam kharisma Yuuto. Ya, Yuuto tahu, kalau dia mengikuti gejolak emosi Menik, dengan mudah Yuuto mendapatkan tubuh perempuan itu. Tapi, apa dampaknya? "Aku ingin memilikimu, Menik-san. Hanya saja, bila waktu ini aku memilikimu, apa jadinya hidupmu? Kita akan terjerat dalam bayang-bayang dosa dan juga cinta yang kandas. Nikmat yang kita dapat sekarang akan menjerat kita dan membuatku sulit melepasmu."

Menik mengerjap. Dia tidak percaya Yuuto memikirkannya sejauh itu.

"Kamu ... terlalu berharga bagiku Menik. Aku tidak mau semakin merasa berdosa., karena menodai kesucian istri sahabatku. Bila aku memiliki ragamu ... aku harus bisa menjagamu seumur hidupku." Yuuto menarik bibir tipis dengan menangkup wajah yang terus memperhatikannya. "Aku ingin mendapatkanmu seutuhnya ketika kamu menjadi pengantinku. Berbalut kebaya putih dan dipersatukan di depan altar. Tapi, tapi ... itu mustahil bukan?" Tangan Yuuto bergetar hebat menyapu pipi Menik. Walau naluri kelaki-lakiannya tersentil, dia berusaha memadamkannya.

Menik terkesiap. Pipinya seketika merona dan terasa panas karena malu. Nalar yang diselubungi keputusasaan membuatnya tidak bisa berpikir jernih.

"Sebaiknya kita beristirahat. Hari sudah mau pagi. Aku tidak ingin kamu kelelahan, karena perjalanan masih panjang ke Soerabaja."

Yuuto menuntun Menik berbaring di sisi dalam ranjang. Mereka akhirnya berbaring dengan posisi saling berhadapan sambil memandang penuh damba.

"Yuuto-kun, terima kasih." Menik mengelus wajah Yuuto dengan penuh cinta. Ah, bagaimana bisa Menik tidak semakin mencintai lelaki bijak ini? Lelaki yang masih bisa berpikir jernih sehingga sering kali dianggap aneh oleh sekitarnya. Ketika yang lain harus membunuh, Yuuto ingin menyelamatkan nyawa manusia. Ketika yang lain menyengsarakan pribumi, Yuuto dengan tulus hati membantu orang-orang yang dijajah. Bahkan, dia rela menentang pemerintah untuk menghentikan percobaan vaksin walau nyawanya yang menjadi taruhan. Detik ini, Yuuto juga menjadi seluruh jiwa dan raga Menik walau bisikan setan menggedor-gedor ingin meruntuhkan hati nurani.

Yuuto menarik tangan Menik, lalu menyentil dahi perempuan itu. "Dengar! Kamu tidak boleh seperti ini! Kamu sering terbawa perasaan Menik-san! Baka (Bodoh)! Bagaimana kalau aku tidak bisa mengendalikan diriku tadi? Untung saja prinsipnya yang keras tak terkikis!"

Menik meringis, mengusap sentilan jemari Yuuto di kening, kemudian beringsut di dada Yuuto. Tatapan mata sipit itu benar-benar membuat jantungnya tidak bisa tenang. Dia beruntung karena lelaki itu justru yang menahan diri, dan mengesampingkan naluri.

"Arigatou, Yuuto-kun."

Yuuto menyusupkan tangannya di bawah leher Menik. Dia memejamkan mata sambil meraup feromon manis Menik yang akan selalu ia rindukan.

"Yuuto ...." Menik semakin menenggelamkan diri ke dada Yuuto yang berbaring sambil mendekapnya. Lengan kokoh itu sangat nyaman untuk bantalan kepala Menik. Tabuhan jantung yang berdetak dada Yuuto, membuat Menik tenang.

Yuuto hanya berdeham. Pikirannya berkelana tak tentu arah. Mulai mencemaskan nasib keluarganya, Menik, dan dirinya.

"Apakah kamu akan kembali ke Jepang?" tanya Menik sambil menyapukan jemarinya di dada kiri Yuuto yang berdetak teratur.

"Entahlah. Aku mungkin masih harus di sini sampai ada kabar kami akan dipulangkan." Yuuto menangkap tangan Menik yang mengusap lembut otot dadanya.

Menik menggigit sudut bibir bawahnya. "Apakah benar kita akan berpisah?"

"Kita harus berpisah. Ini jalan yang terbaik." Suara Yuuto serak karena tenggorokannya seperti tercekik kesedihan. "Yang jelas aku ingin kamu aman, selamat, dan bahagia melanjutkan hidupmu. Jadi, aku ingin kita saling melepas dengan senyuman."

Bagaimana bisa Menik melepasnya dengan senyuman ketika detik ini rasa cintanya justru semakin bertambah berkali-kali lipat karena Yuuto masih menjaga Menik dengan tidak menjamahnya?

Sungguh, permintaan Yuuto bukan perkara mudah. Namun, Menik harus berusaha, agar perpisahan mereka lebih mudah.

Sepanjang sisa malam hingga pagi, Yuuto dan Menik berbaring saling berpelukan. Mereka bercakap tentang apapun, mulai dari masa kecil mereka, hingga kenyataan bahwa diam-diam Yuuto memeluk agama Katolik karena pengaruh sewaktu kuliah di Leiden dulu.

Semua rahasia Yuuto terungkap, termasuk tentang kesalahpahaman Joko yang mengira Yuuto menyuntikkan bahan untuk percobaan.

"Morphin?"

"Iya. Ripto yang memintanya saat aku menyuntikkan vaksin TCD untuk beberapa tahanan yang akan dieksekusi. Dia takut mati, sehingga dia meminta agar morphin bisa menghilangkan ketakutannya." Yuuto mendesah panjang. "Hanya saja, semua orang menganggap aku melakukan uji coba khusus pada Ripto, mengingat dia dieksekusi bukan di Ancol melainkan di alun-alun kota. Dan, setelah itu jenazahnya aku ambil."

Menik bergidik. Siapa yang tidak takut mati. Dihukum dengan menggunakan cara apapun, manusia biasa pastilah gentar.

"Oh, ya ... Aku tidak banyak bertemu dengannya. Hanya tiga kali. Saat meminta tolong padanya, saat menemuinya di tahanan, dan saat menyuntikkan morfin. Dia sempat bercerita tentangmu sekilas."

Menik menelengkan wajahnya. "Tentang apa?"

Yuuto tersenyum lebar, sambil memeluk Menik kencang.

***

Keesokan paginya, Menik bangun lebih pagi untuk menyiapkan sarapan bersama Takumi dan dua asistennya. Setelah berpamitan dengan teman-temannya di paviliun yang mayoritas orang Jepang, dia mempersiapkan segalanya, lalu bergegas ke rumah utama.

"Sudah siap?"

Menik mengangguk dengan menenteng koper cokelat kepunyaan enyak. "Sudah."

Yuuto bangkit dan menghampiri Menik. Perempuan itu tampak cantik dengan baju kurung merah pemberian Yuuto dan kain sarung hadiah Yukihiro. Sedang selendang merah marun yang dikenakan adalah pilihan Kolonel Kagami.

"Ini. Untuk kamu."

Menik mengernyit saat Yuuto mengambil tangan kanannya, dan menyematkan cincin berlian di jarinya. "Ini milik ibuku. Beliau ingin aku memberikan cincin pada wanita yang aku cintai."

Lengkung bibir Yuuto yang membentuk senyuman membuat batin Menik seperti teriris sabit. Dia menatap nanar cincin yang kini melingkar di jari manisnya.

"Cantik. Cantik sekali," puji Yuuto tulus. "sangat pas di jarimu."

Mata Menik terasa panas. Padahal dia berusaha untuk tetap tegar menghadapi perpisahan ini. Nyatanya, pertahanan Menik runtuh seiring air mata yang mengucur deras di pipi. "Yuuto-kun, aye ... aye ..."

Yuuto menarik Menik dan merengkuhnya erat. Tangannya mengusap punggung Menik yang bergetar dan mengecup pucuk kepala wanitanya. "Tenang, kamu akan bahagia. Kalau aku terlahir kembali, aku ingin mencari dirimu. Aku akan merengkuhmu dengan erat sehingga tidak ada lagi yang bisa memisahkan kita."

Menik menggigit bibir bawahnya dengan kuat. Dia ingin mempertahankan Yuuto, tapi sisi lain hatinya juga takut karena masa depan yang akan dijalani akan terasa suram terlebih dia tidak tahu bagaimana nasibnya Yuuto kelak. Hanya Joko yang bisa memberikan kenyamanan dalam hidupnya. Hanya saja ... tak ada cinta di hati Menik untuk lelaki pribumi itu? Ya, Menik hanya memanfaatkan Joko sepert Menik dulu mau dipinang Ripto karena menjanjikan ketenangan setelah trauma melihat sendiri kekejaman Dai Nippon.

"Kamu harus bahagia. Jadi, setelah ini bungkus rapat-rapat kenangan indah kita semalam. Berjanjilah untuk tidak menangis lagi setelah ini. Ehm?" Kedua alis Yuuto terangkat saat menyeka pipi Menik.

"Yuuto-kun, berjanjilah agar kamu selamat dan bisa hidup bahagia." Tenggorokan Menik tercekat, dicekik oleh nestapa.

"Hai (Ya)!"

***

Yuuto sengaja mengantar Menik dengan sepeda. Dia juga hanya mengenakan kemeja putih tulang polos dan celana panjang hitam karena tidak ingin ketahuan sebagai orang Jepang. Sejak terjadi kekosongan kekuasaan dan Indonesia mengumumkan kemerdekaannya, orang-orang Jepang tersudut. Banyak bentrokan antara warga yang ingin membalas dendam dengan tentara Dai Nippon.

"Yuuto-kun ...."

"Ya?" Yuuto mengayuh dengan gerakan lambat seolah ingin memperlambat juga putaran waktu.

"Aye boleh panggil 'Abang Yuuto'?" tanya Menik dengan nada manja.

Ah ... kenapa baru kali ini Menik terdengar menggemaskan begini? Hati Yuuto yang meleleh mulai terombang-ambing. Dia semakin tak rela memberikan Menik kepada Joko. Menik semakin mengeratkan pelukan di pinggang Yuuto.

"Boleh. Panggil aku sesukamu." Yuuto mengatur napas. Tak hanya karena terengah saat mengayuh, tetapi perasaan berat yang mendera semakin mengimpit dadanya. "Neng Menik ...."

"Iye, Bang." Walau batinnya ngilu, Menik berusaha tetap ceria agar tak membuat beban bagi Yuuto.

"Hari ini kamu cantik."

"Kalau dulu aye kagak cantik?" Menik meremas kuat kemeja Yuuto. Napasnya semakin sesak karena harus menyembunyikan kesedihan.

"Cantik. Apalagi saat melihat kamu berjalan dari belakang dengan memakai kain batik itu. Rasanya saat itu aku ingin mengejar dan menutupi pantatmu agar tak ada seorang pun yang melihatnya." Yuuto tersenyum mengenang pertemuan pertama mereka. "Aku kesal sekali Kenta-chan menyembunyikan kamu. Padahal beberapa kali dia membawakan aku makanan yang kamu masak."

"Otaknya Abang kotor banget ternyata!" Pukulan Menik di perut Yuuto yang lemah seperti ingin memukul rasa nyeri di hati.

"Aku masih laki-laki sehat. Semalam saja aku susah payah menahannya ...."

Menik susah payah menelan ludah. Dia kembali teringat apa yang terjadi semalam, hingga keduanya berakhir berbaring bersama dan meleburkan rasa melalui deretan kata yang tak kunjung putus.

"Neng?"

Lidah Menik kelu. Susah payah dia berusaha menahan air mata dan menyembunyikannya melalui candaan, tetap saja hatinya ngilu. Menik menyandarkan pipi kanannya di punggung Yuuto yang mulai berkeringat, menyamarkan air mata yang membasahi pipi.

Yuuto tahu, basah di punggungnya tak hanya peluh melainkan buliran bening yang terus menetes dari mata Menik. Yuuto hanya bisa menggigit bibirnya dengan erat agar tidak terseret dalam kepedihan yang akan membuat wanitanya semakin sedih.

Ya, hanya senyuman yang bisa Yuuto berikan sebagai hadiah untuk perpisahan mereka.

***

Tak lama kemudian mereka tiba di stasiun. Begitu masuk Joko sudah berlari menyambut Menik dan membawakan tas yang dibawa Yuuto.

"Kupikir kamu tidak datang, Nik." Joko melihat ke arah kereta yang bersiul kencang.

"Aku ... datang," cicit Menik dengan mata merah, sambil membetulkan letak kerudungnya.

Lokomotif yang memekik menjadi tanda kereta akan berangkat.

"Ayo, Menik. Kereta sudah mau berangkat." Joko menggandeng tangan Menik.

Yuuto urung menahan tubuh Menik yang terseret begitu saja. Batinnya diremas-remas ingin menarik kembali keputusannya.

Tidak! Yuuto harus kuat. Dia sudah berjanji akan mengantarnya dengan senyuman.

"Bang Yuuto." Mata Menik memerah. Tangan kirinya berusaha menggapai Yuuto yang kini mengejarnya.

"Menik-san, kamu harus bahagia! Apapun itu ... lupakan aku!" Yuuto berusaha tersenyum walau matanya mulai panas. Dia menyambut tangan Menik yang terulur ke belakang.

Menik menggeleng. "Aye ... aye ...."

"Ayo, naik!" Joko menepis tautan tangan mereka. Lelaki pribumi itu mempersilakan Menik naik.

Langkah Menik terasa berat menapak satu persatu tangga. Dia tetap menoleh menatap Yuuto yang berdiri dengan tetap memberi senyuman.

"Kagami-sensei, arigatou. Aku anggap keputusanmu telah menebus apa yang kamu lakukan pada saudaraku," kata Joko. Lelaki itu kemudian memberikan penghormatan dan melompat naik untuk mengajak Menik masuk.

Namun, Menik enggan masuk ke ruangan gerbong. Dia tetap berdiri di ambang pintu sambil menatap dan menerima uluran tangan Yuuto sehingga jari mereka saling bertaut. Hatinya begitu hancur saat Yuuto mengusap punggung tangan dan menyempatkan mengecupnya, bersamaan dengan roda besi yang mulai berputar di atas rel.

"Abang Yuuto ...." Menik kalut. Saatnya akan tiba di mana dia akan kehilangan laki-laki yang dia cintai.

Berpisah di saat sedang sayang-sayangnya ....

"Menik ... berjanjilah agar kamu bahagia."

Menik mulai tergugu saat kereta berjalan pelan. Sementara itu kepalanya hanya mengangguk dengan tangan yang masih menggandeng Yuuto.

"Abang harus makan banyak! Kagak boleh sakit, karena kagak bakal ada yang kerokin lagi!" seru Menik dengan sekuat tenaga untuk mengalahkan suara lengkingan lokomotif.

Yuuto mulai berjalan cepat seiring kereta yang semakin laju. "Pasti! Pasti aku akan sehat!"

Yuuto kini berlari untuk mengimbangi kecepatan kereta. "Menik ... aku cinta kamu! Aku cinta kamu!!!"

Pada akhirnya Yuuto tak lagi mampu menyaingi gerak kereta, hingga tautan jemarinya terlepas dan sosok Menik perlahan-lahan menjauh dan lenyap di titik cakrawala.

"Aku ... aku cinta kamu, Menik-san ...."

💕Dee_ane💕

Pergilah kamu setan! Hiaaattt!



Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro