45. Hukuman Menik
Malam-malam update dulu ah. Betewe, jangan lupa klik bintang dan jejak cintanya, ya! Semoga terhibur😘
💕💕💕
Bom kedua yang dijatuhkan di Nagasaki pada tangal 9 Agustus, membuat Kaisar Hirohito akhirnya menyerah kalah pada Sekutu. Pidato resmi yang disiarkan disuruh radio Jepang membuat bangsa Indonesia menggeliat untuk memerdekakan diri karena terjadi kekosongan kekuasaan.
Saat Bung Karno memproklamasikan kemerdekaan, para romusha di kamp Klender akhirnya dilepaskan. Tak ada alasan lagi untuk mempertahankan mereka, karena Jepang telah menyerah tanpa syarat kepada Sekutu serta Indonesia pun sudah menyatakan diri merdeka,
“Giyono-san, sebaiknya kamu tinggal di sini!” Lelaki kurus kering yang kondisinya belum stabil sejak dia sering mendapat penyiksaan fisik dari kepala kamp itu, beringsut menjauh. Dia ketakutan melihat Yuuto. “Kamu belum pulih.”
“Pergi, Setan! Kami sudah merdeka! Pergi! Pergi!” Lelaki pribumi itu menepis tangan Yuuto dan berjalan terseok menuju gerbang kamp.
Yuuto mendesah, sambil menatap nanar lelaki yang pernah menjadi objek uji coba vaksin yang sangat ditentangnya. Hatinya menjadi ciut karena kini dia sendiri tak tahu nasibnya.
Namun, saat dia masih memandang gerbang yang terbuka itu, dilihatnya sosok yang tidak asing. Laki-laki bercambang dengan kumis dan jenggot lebat itu berlari menerobos romusha yang berjejalan keluar.
“Joko-san?” Alis mengernyit. Langkahnya cepat menyongsong lelaki yang selama ini dicari-cari. Tentu saja sekarang dia berani memperlihatkan diri, mengingat kekuasaan Jepang sudah runtuh.
“Aku ingin mengambil Menik.” Napas Joko masih terengah. Peluhnya memenuhi wajah.
“Mengambil Menik?” Alis Yuuto mengernyit. Jantungnya berdentum kencang saat itu juga.
“Nippon sudah kalah. Seperti halnya Nippon yang rela meletakkan kekuasaannya atas Indonesia, kamu pun harus menyerah pada Menik. Menik tidak akan aman bersamamu!” Joko menyeka keringatnya hingga kini sorot tajam itu semakin jelas.
Yuuto paham, maksud Joko. Kini dia bahkan tidak bisa pulang karena di depan kamp terdapat kerumunan massa yang mengamuk, ingin melampiaskan dendamnya setelah tiga setengah tahun menderita. Tentu saja Yuuto sadar, bersamanya, hidup Menik tidak akan nyaman. Walau sebenarnya hati Yuuto ingin menolak, tapi mengingat Menik yang hidupnya selalu susah, dia tidak ingin egois dan memberikan beban lagi pada perempuan itu.
"Menik tidak mau aku jemput. Dia … menunggu kamu melepasnya."
Jakun Yuuto naik turun. Tangannya mengepal erat. Susah payah lidah bergetar untuk berkata, “Baiklah.”
Ya, hanya kata itu yang berhasil meluncur dari bibirnya.
“Aku akan membawanya ke Soerabaja. Besok, temui aku di Stasiun Kota.”
***
Yuuto baru bisa pulang menjelang tengah malam, setelah kerumunan orang telah bubar. Hatinya begitu berat ketika dia mengingat kembali pertemuannya dengan Joko.
Apakah ini saatnya dia harus melepaskan Menik?
Yuuto menggeleng. Hati kecilnya tak rela, walau nalarnya mengatakan bahwa dia tidak boleh egois. Hanya saja, akankah Yuuto bisa mengantar kepergian perempuan yang sudah menjadi ratu hatinya itu dengan senyuman lebar?
Tentu saja itu sangat berat dilakukan! Bahkan kalau bisa, Yuuto ingin melarikan perempuan bertubuh sintal itu untuk memiliki Menik seutuhnya.
“Kamu mau lari ke mana, Yuu-chan? Tak ada tempat untukmu lagi!” Yuuto mengerang mengacak rambutnya. Dia menggigit bibirnya dengan kuat agar erangan nestapanya tak terdengar memilukan. “Menik … apa yang harus kita lakukan?”
Tak sampai setengah jam, akhirnya Yuuto sudah sampai di rumah. Menik menyongsongnya begitu dia masuk ke ruang tamu. Mereka saling berpandangan tanpa bicara untuk sesaat.
“Kamu tidak apa-apa, Yuuto-kun? Aku khawatir.” Menik mengelus pipi lelaki Jepang itu dengan lembut.
Yuuto tersenyum, meremas tangan Menik dan menariknya ke depan bibir untuk dikecup. Mata Yuuto berkaca menatap perempuan yang semakin hari semakin cantik dia lihat. “Itu kata-kataku. Kenapa kamu mengambilnya?”
Menik mendengkus. Hatinya pilu karena melihat sorot mata lelaki itu yang tampak menderita. Menik memeluk Yuuto yang menguarkan feromon manis yang selalu membuatnya nyaman.
“Ayo, mandi. Aye akan menghangatkan makanan,’ bisik Menik dengan lirih.
Yuuto membalas pelukan Menik dengan erat. Saking eratnya, napas Menik sampai sesak.
“Yuuto-kun ….”
“Sebentar. Sebentar saja …,” kata Yuuto pelan dengan hati nelangsa, karena dalam hitungan jam, dia akan kehilangan Menik. Dia ingin waktu berhenti berputar sehingga detik jarum tak lagi merayap dan membentangkan jarak di antara mereka.
Setelah mandi, akhirnya Yuuto kembali duduk di depan Menik. Sepiring nasi goreng hangat dengan telur dadar yang disuwir menjadi menu makan malam dini hari. Yuuto makan dengan sangat pelan, berharap pagi tak datang. Dia rasa nasi goreng ini adalah penutup cerita cinta mereka.
“Menik ….”
“Aye tahu. Lu bakal suruh aye pergi dengan Abang Joko,” potong Menik.
Makanan yang belum terkunyah sempurna itu tertelan begitu saja. “Joko sudah menemuimu?”
Menik mengangguk, memandang sendu Yuuto. Tadi pagi, Joko memang datang ke rumah keluarga Kagami dengan menyamar menjadi penjual sayur, untuk menjemputnya. Namun, Menik menolak.
"Bersiaplah. Besok akan kuantar kamu ke stasiun." Tangan Yuuto bergetar. Sekuat tenaga dia tidak ingin menangis di depan Menik.
Yuuto menghirup napas dalam-dalam, sambil berusaha menatap wajah Menik. "Kamu bebas, Menik. Selamat. Indonesia sudah merdeka. Perang telah berakhir." Suara Yuuto terdengar sangat serak karena tenggorokannya tercekat. "Kamu bebas. Merdeka. Impian Soeripto-san dengan teman-temannya akhirnya terwujud. Hidup tenang yang kamu dambakan juga segera datang"
Yuuto kembali menunduk. Kali ini matanya terasa berkabut. Pandangannya kabur karena air matanya menggenangi wajah. Hatinya tercubit saat melihat mata hitam kelam itu. Ah, Yuuto Kagami memang lemah! Ia selalu takut dengan perpisahan.
Walau mata Menik berkaca, dia tetap berusaha menerbitkan senyum. "Yuuto-kun, apa yang bakal terjadi sama kamu? Aye kagak tahu apa-apa tentang dunia luar. Aye hanya mendengar saja dari orang-orang. Tapi, apa memang kondisinya segenting itu?"
"Iya. Dai Nippon kalah. Pribumi meradang. Kalau kamu bersama aku, kamu bisa dianggap pengkhianat." Yuuto meremas sendoknya untuk menetralkan gejolak yang ada di hati. "Lagi pula, itu demi kebaikanmu. Kamu berhak bahagia. Kamu berhak mendapatkan ketenangan dalam hidupmu."
"Yuuto …." Kini buliran bening itu mengalir di pipi Menik. "Aye … aye tahu lu akan melakukan segalanya biar aye bahagia. Biar hidup aye tenang."
Yuuto meraih tangan Menik yang ada di seberangnya. Dengan tersendat, Yuuto berkata, "Menik-san, kita harus berpisah. Tapi ketahuilah … aku … aku cinta kamu. Aku bahagia bisa mengenal sosok perempuan kuat yang keras sepertimu."
Menik tergugu. Hatinya seperti diremas-remas. Akhirnya dia tahu, maksud Kolonel Kagami yang memintanya berjanji agar tak ada kata cinta yang diucapkan mereka. Ya, ternyata … kata cinta ini memang mampu membelenggu dirinya. Membuatnya terikat dan terjerat pada kharisma Yuuto. "Aye … aye … kagak mau pisah. Aye cinta."
Sekonyong-konyong, Yuuto bangkit dan melupakan makanannya. Dia menghampiri Menik dan mengangkat dagu perempuan itu. Dengan membungkuk, dia mengecup bibir Menik dengan lahap seolah dia sedang kelaparan.
Menik tak menolak. Dia membalas ciuman itu. Bahkan kedua tangannya merangkul leher Yuuto ingin menyesap seluruh napas lelaki itu untuk mengisi hatinya yang tiba-tiba hampa.
Inikah saatnya yang dikatakan Kolonel Kagami? Inikah sebabnya Menik tidak boleh mengatakan cinta? Ya, rasanya sangat sakit. Hatinya ngilu seperti dicambuk sembilu.
Yuuto terengah, melepas ciuman mereka. Ditatapnya Menik dengan sorot mata layu. "Menik, aku harus bagaimana? Aku ingin bersamamu, tapi kebahagiaan dan keselamatanmu begitu berharga untukku."
"Miliki aku, Yuuto …. Sebelum kita berpisah … miliki aku seutuhnya …."
Yuuto mengerjap. Dia tak menyangka Menik akan berkata demikian. Selama ini … sejak perempuan itu mengatakan cinta, dia ingin sekali memilikinya.
Hatinya … tubuhnya … jiwanya!
Semua yang ada pada diri Menik, Yuuto ingin jelajahi. Namun, walaupun niatan itu selalu menggelitikinya, sekuat tenaga Yuuto menepis. Dia berusaha menahan agar tangannya tak tergoda ingin meremas dan memanjakan daging kenyal yang menggiurkan itu. Lidahnya dikekang agar tak tergiur ingin menyapu permukaan pucuk buah yang ranum.
Sungguh, dia tidak ingin menodai Menik dengan menikmati tubuhnya seperti dia menikmati makanan olahannya. Dia takut perbuatannya membuat perpisahan mereka semakin terasa sulit.
"Yuuto-kun …."
Namun, kini Yuuto tak lagi mengekang nalarnya. Dia menuruti hati dan membopong Menik dalam sekali tarikan napas.
Menik terpekik saat tubuhnya melayang bersandar pada lengan kekar Yuuto. Dia pun spontan mengalungkan tangan di leher kekar sang dokter tentara. Matanya menatap ekspresi Yuuto yang terengah dengan wajah memerah.
"Aye berat?" tanya Menik dengan kerjapan matanya.
Yuuto melirik perempuan sintal yang sering kali membayangi malamnya. Bulu mata yang mengerjap itu ibarat bayu yang menggetarkan hatinya yang pilu. "Tidak."
"Tapi kenapa wajahmu merah?" Menik menyeka tepian rahang Yuuto.
Rahang Yuuto mengerat. "Aku … aku lapar. Aku mau 'memakanmu'."
Otak Menik tak langsung mencerna omongan Yuuto. Namun, ketika dia sudah memahami maksudnya, Menik kembali mengerjap. Wajahnya memerah hingga terpaksa dia menyembunyikan mukanya di pundak Yuuto.
Yuuto tersenyum tipis mendapati sikap malu-malu kucing Menik. Dia lalu mendorong pintu agar menutup dengan kakinya begitu memasuki kamar. Diturunkannya tubuh Menik hingga perempuan itu kembali memijak lantai. Mereke berdiri berhadapan di depan lemari jati kayu yang berdiri kokoh, hendak menjadi saksi kisah asmara dua insan.
"Kamu yakin, Menik-san?" tanya Yuuto sambil menangkup wajah Menik dengan kedua tangannya.
Menik mengangguk lemah. Batinnya kembali bergolak. Menik telah terjebak di antara menuruti nurani dan dosa.
"Aye … aye … apa yang bisa aye berikan buat lu selain hati aye?"
Jakun Yuuto naik turun. "Tapi, kita akan berpisah …."
Air mata Menik semakin meleleh, membasahi pipi. Yuuto mengecup mata Menik, seolah ingin menyesap air mata kesedihan perempuan itu. "Aku menyayangimu, Menik-san. Apapun yang terjadi dalam hidupku … hatiku sudah dipenuhi oleh pesonamu."
Menik memejamkan matanya dengan menggigit bibir keras. Bahunya bergetar naik turun menggetarkan pilu perpisahan yang akan terjadi seiring jarum jam yang berdetik.
Sebelum ciuman Yuuto turun ke bibir, dan melahap kelopak yang selalu ingin dia cecap, dia kembali menatap perempuan bermata sayu itu. "Menik-san, apa kamu rela aku menjajah tubuhmu?"
Menik mengangguk lemah. Dia memalingkan wajah yang memerah.
"Kamu tidak menyesal karena aku akan menangkapmu dan menyiksamu dengan kenikmatan?" Yuuto menarik dagu Menik.
"Aku adalah tawananmu, Yuuto-kun. Kemanapun aku pergi, hatiku sudah dipenjara di hatimu …." Telunjuk Menik membelai lembut dada Yuuto yang masih berbalut yukata.
Belaian Menik menggelitik naluri yang selama ini Yuuto tahan. Dia lalu menarik tubuh sintal yang mungil itu melekat erat di tubuhnya.
"Malam ini … aku akan menghukummu karena menggodaku, Menik-san!"
💕Dee_ane💕
Kyaaaa, Menik mau diapain???😱
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro