Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

43. Kamu dan Kenangan

Hulla, Deers, gimana persiapan Agustusan? Semoga masih betah ya. Jangan lupakan vote n komennya😘
Lagundi mulmed cucok banget sama part ini menurutku.

💕💕💕
3 Juli 1945

Yuuto tersentak saat mendengar kabar bahwa dokter Achmad akan dieksekusi pancung. Bulan Januari lalu, pria bijaksana itu mengakui tuduhan sabotase yang berakhir dengan pelepasan tahanan dari Eijkman yang lain. Termasuk Yudha dan Yuuto yang lebih dulu ditahan. Sayangnya, akibat Yudha ingin melarikan petinggi laboratorium biomolekuler itu, dan berakhir dengan kegagalan, akhirnya hukumannya dipercepat.

Yuuto pun cepat-cepat pergi ke markas Kempetai begitu mendapat kabar dari Yoji untuk mengkonfirmasi kebenarannya.

"Otousan, benarkah kabar dari Yoji-kun?"

Kolonel Kagami menggeram keras. "Jangan memanggilnya seperti itu. Bagaimanapun Nishimura-Chui adalah atasanmu!"

"Otousan, jawab aku!" Yuuto tak sabar.

"Kagami-shoi, untuk apa kamu ikut campur dengan masalah ini? Masalah ini sudah berakhir dengan jatuhnya hukuman pada Achmad-sensei." Kolonel Kagami berusaha bersikap profesional menghadapi Yuuto dengan menggunakan panggilan formal.

Yuuto menggeleng. "Otousan ... apakah benar hukumannya pancung?"

Kolonel Kagami berdeham. Dia kembali menekuri pekerjaannya. Namun, mendapati Yuuto masih ada di hadapannya, Kolonel Kagami terpaksa meletakkan penanya. "Eksekusi sudah dilaksanakan. Jasadnya sudah dibawa pergi. Jangan berani-beraninya kamu membawa jasad pemberontak ke kamp untuk dikremasi atau dikuburkan! Sudah cukup Otousan menutupi kebodohanmu dengan membawa jasad suami Menik."

"Otou-"

"Kembalilah bekerja, Yuu-chan. Kita harus lebih giat bekerja karena negara kita sedang tidak baik-baik saja. Amerika sudah hampir menguasai Jepang. BPUPKI sebentar lagi akan sidang untuk mempersiapkan kemerdekaan negara ini."

Jakun Yuuto naik turun. Dia tahu kenyataan itu. Jepang kalah, hatinya pun akan patah. Nasibnya setelah ini tidak akan tahu. Dan, seperti Yudha, dia mungkin akan melepaskan perempuan yang bersemayam di hatinya.

"Hai!" Tanpa banyak bicara, Yuuto berbalik dengan lesu. Namun, ketika dia hendak membuka daun pintu, suara Kolonel Kagami kembali terdengar.

"Yuu-chan, manfaatkan waktumu dengan Menik sebaik-baiknya sebelum kalian berpisah. Setelah ini, tidak akan yang tahu dengan nasib keluarga Kagami. Jangan katakan cinta ... atau kamu akan melukainya."

Tangan yang menggenggam gagang pintu mengerat. Mata sipitnya terasa panas. "Otousan, apakah Otousan malu mempunyai putra lemah seperti aku? Jujur, aku takut dengan kabar kekalahan Nippon. Aku takut kehilangan Menik."

Embusan napas kasar terdengar dari lelaki paruh baya itu. "Otousan, bangga denganmu. Kamu memang tidak seperti moyang kita yang hidup dengan membunuh musuh. Tapi, kamu justru memilih menjadi dokter yang bisa menyelamatkan nyawa. Karena kamu berbeda, Otousan berusaha melindungi dengan segala cara," kata Kolonel Kagami dengan suara bergetar.

Yuuto masih menatap nanar punggung tangannya yang pembuluh darahnya semakin menonjol. Dia tidak berani menoleh ke belakang. Baru kali ini, dia mendengar nada Kolonel Kagami begitu rapuh dan nelangsa.

"Arigatou, Otousan ...." Dan, sesudahnya, Yuuto pergi meninggalkan sang ayah sendiri di ruangannya.

***

Beberapa hari ini, nafsu makan Yuuto kembali menurun. Asam lambung yang tercetus karena stress yang berlebih membuatnya selalu ingin memuntahkan isinya. Terlebih sudah dua hari inu, dia tidak pulang karena mencari jenazah dokter Achmad yang sengaja disembunyikan di daerah Ancol.

Saat Yuuto pulang, Menik menyambut layaknya seorang istri yang mencemaskan suami. Ah, seandainya angan itu kesampaian, pasti Menik akan senang sekali.

Sementara itu, Menik hanya hilir mudik di depan kamar mandi sambil sesekali menempelkan daun telinganya di pintu yang tertutup. Suara muntahan, membuat ngilu Menik yang mendengar.

"Sensei, sakit? Wajah Sensei pucat sekali?" tanya Menik begitu Yuuto keluar dari kamar mandi.

Yuuto menatap mata bening Menik. Diusapnya pipi tembam itu dengan tangan yang masih basah.

"Aku kerok?" tanya perempuan itu dengan ekspresi cemas yang tulus.

Yuuto tersenyum tipis. "Aku ... ingin tidur. Maukah kamu menemani aku?"

"Sensei!" Nada protes Menik melengking. Alisnya pun mengerut.

Yuuto terkekeh. Walau sebenarnya, sebagai laki-laki normal, dia ingin sekali merengkuhnya bila ada kesempatan. "Aku bercanda. Sudah tidurlah ... sudah malam."

Menik termangu, menatap Yuuto yang berjalan gontai, masih dengan setelan seragam yang sejak dua hari dikenakannya. Rambut yang kusut masai membuat lelaki itu terlihat sangat kusut.

"Bagaimana kalau aku buatkan bakmi kuah? Dengan telur? Kebetulan tadi, kami memasak ramen." Menik menahan tangan Yuuto yang hendak kembali ke kamar.

Mendengar tawaran Menik, Yuuto berpikir sejenak.

"Sensei harus makan. Bagaimana bisa melindungi saya kalau Sensei sakit?" kata Menik.

Yuuto mengerjap. Ucapan Menik menyulut semangatnya. Dia teringat kata Otousan agar menggunakan waktu sebaik mungkin. Ya, mungkin mereka akan berpisah. Satu hari ... dua hari ... Yuuto tak tahu pasti. Tapi, yang pasti tidak akan lebih dari dua bulan.

"Aku mau makan. Tapi setelah itu, temani aku tidur."

"Sensei!" Menik menghentakkan lantai, mendengar penawaran Yuuto.

"Bagaimana? Kamu bisa kerok dan memijat tubuhku sampai aku tidur. Sepertinya tawaranmu, membuatku tertarik."

Menik mendengkus. Dia kembali merasa terjebak karena kebiasaan Yuuto merayunya muncul lagi. Tapi dua hari tanpa Yuuto, Menik merasa hampa. Rayuan aneh yang dia yakin dipelajari Yuuto dari Kenta sudah menjadi makanan sehari-hari untuknya.

"Baiklah. Sensei mandi dulu. Aku akan menyiapkan makanan."

Beberapa saat kemudian, Yuuto sudah segar. Dia duduk di meja makan, ditemani Menik yang sudah bersiap dengan minyak urut andalannya. Dengan mengenakan yukata, aura yang menguar dari Yuuto terlihat sangat berbeda. Yuuto terlihat jantan, dengan sisi lembut melalui sorot mata dan senyumnya.

"Tidak enak?" tanya Menik dengan wajah prihatin karena Yuuto terlihat susah menelan makanannya.

Yuuto menggeleng. "Enak. Hanya saja nafsu makanku hilang bila penyakit lambungku kumat. Tapi aku harus makan, agar bisa melindungi kamu."

Berulang kali Yuuto menggelontorkan makanannya dengan air seolah ingin menggelontorkan juga rasa sedih karena kehilangan dokter Achmad yang dikagumi. Namun, dia tetap berusaha menghabiskan bakmi jawa buatan Menik.

"Sensei, apa ada sesuatu?" Pertanyaan yang dari tadi dipendamnya akhirnya lolos dari bibirnya.

Yuuto menjeda makannya. "Menik ...." Yuuto menggeleng. Dia tidak boleh memberitahu Menik bahwa sekarang dia sedang risau akan masa depannya.

Menik yang duduk bersedekap di depan Yuuto menanti dengan setia lanjutan ucapan Yuuto. Namun, tak ada yang keluar setelahnya. "Ada apa?"

"Tidak apa-apa. Ayo, tidur. Jangan lupakan janjimu."

Setelah Menik membereskan peralatan makan, dia kembali ke ruang utama. Rasanya aneh sekali karena ini kali pertama dia akan memasuki kamar Yuuto pada malam hari.

"Menik, lu mau mijit. Kagak lebih!" ujar Menik pada dirinya saat dia bejalan menyusuri halaman belakang.

Dengan langkah cepat, dia pun sampai di depan pintu kamar Yuuto. Hatinya kembali ragu. Apakah yang akan dia lakukan adalah tindakan yang tepat? Namun, belum selesai otaknya memutuskan, derik pintu terbuka menyusul.

"Aku menunggumu."

Menik mengerjap. Lengan yukata Yuuto merosot menguak bahu yang lebar. Menik terperangah. Walau sudah pernah melihat tubuh Yuuto, tetap saja jantungnya berdebar.

Karena tak kunjung masuk, Yuuto menarik tangan Menik. Dia lalu menutup kembali dan membuka separuh atas yukatanya, memperlihatkan dada bidang berkulit kuning yang halus tanpa bulu.

Susah payah Menik menelan ludah sambil berjalan pelan ke arah Yuuto yang sudah duduk di tepi ranjang. Derak ranjang ketika diduduki mendominasi hening ruangan. Sementara itu, jarak Menik duduk dari Yuuto cukup jauh. Ada satu hasta jaraknya.

"Sensei, berbaringlah. Aku akan memberikan kerokan dan pijatan."

Yuuto tak banyak bicara. Wajah sendu yang tidak bisa dibilas dengan air mandi masih terukir jelas. Dia melakukan titah Menik sehingga perempuan itu bisa melakukan pekerjaannya.

"Menik, apa yang kamu inginkan bila Indonesia merdeka?" Yuuto akhirnya membuka suara setelah kebisuan mencekik keduanya.

"Merdeka? Entahlah ... saya tidak berani bermimpi. Takut bila apa yang saya harapkan tidak sesuai kenyataan," kata Menik sambil menggambar punggung Yuuto dengan koin. Garis-garis merah gelap mulai terlukis di kanvas kulit kuning pucat. "Kalau Sensei?"

"Aku ...." Yuuto menjeda ucapannya. "melepasmu."

Gerakan tangan Menik yang tiba-tiba terhenti,membuat koin terlepas dari genggaman jari. Koin itu melayang dan suara gemerincingnya terdengar saat mendarat di lantai. Buru-buru Menik mengejar untuk mengambilnya.

"Melepas?" gumam Menik. Entah kenapa jawaban Yuuto membuat hatinya tersayat. Ngilu rasanya bagai dicabik sembilu. Koin yang dia genggam, seperti serpihan hati yang tiba-tiba jatuh dan patah.

Lama Menik duduk berjongkok. Walau uang koin 5 sen terbitan Hindia Belanda sudah di tangannya, tapi Menik tidak beranjak. Dia menggenggamnya erat untuk meredam patah hati.

Yuuto beranjak dari berbaringnya. Dia menghampiri Menik dan ikut berjongkok di belakang punggung yang bergetar itu. Dipeluknya erat tubuh padat dan sintal itu, tanpa kata. Dia hanya merengkuh Menik dengan erat sambil mengecup pucuk kepalanya.

"Maafkan aku, Menik-san. Aku sudah membuat hidupmu sengsara. Kamu ... kamu berhak bahagia bersama lelaki yang bisa menjadi sandaranmu. Yang mencintaimu dan kamu cintai."

Tubuh Menik bergetar. Sekuat tenaga dia menggigit bibir agar getaran kepedihannya tidak tersalur kepada Yuuto. Namun, tetap saja isakannya keluar. "Kamu jahat! Selalu jahat!"

Menik meremas tangan berotot yang melingkari pundaknya. Dipukulnya lengan itu yang justru semakin mempererat pelukannya.

"Ya, aku jahat! Jahat karena sudah mengambil suamimu! Jahat karena sudah mencintaimu!" Yuuto menghela napas panjang. Dia merintih di sebelah telinga Menik. "Ya Tuhan, ingin rasanya aku memilikimu! Tapi, aku tidak bisa menambah lukamu! Aku tidak ingin memberikan jejak yang akan membuatmu semakin menderita. Ah, kamu membuatku gila, Menik-san!"

Bahu Menik naik turun. Walau dia berusaha membunuh perasaannya, tetap saja cintanya bersemayam dan tumbuh subur di hatinya. Haruskah dia berbalik menyambut pelukan Yuuto? atau haruskah dia menuruti memupus semua rasa di batinnya? Akhirnya Menik apaham maksud Kolonel Kagami. Yuuto akan melepasnya. Suatu waktu Yuuto harus pergi. Bila cinta terucap, justru akan menyakiti batin mereka.

Yuuto kemudian berdiri. Dia berjalan menuju ke meja dan mengambil guci keramik bertulis huruf kana. Dia lalu kembali berbalik menghadap Menik yang sudah berdiri.

"Ore o yurushite (Maafkan aku)." Yuuto membungkuk dalam, sementara tangannya terulur ke depan.

Menik mengernyit. Dia menatap nanar guci yang bertuliskan nama suaminya.

"Aku kembalikan abu suamimu. Dulu ... aku ingin mencarimu. Tapi aku tidak siap bila harus mendapati wajah berduka keluarga Ripto. Aku tidak menyangka akan bertemu istri ... ya, perempuan yang sangat dia cinta. Maaf bila memisahkanmu darinya."

Mata Menik terasa pedas. Hatinya sudah seperti serpihan abu yang ada di guci itu sewaktu Ripto pergi meninggalkannya. Dan sekarang Yuuto ingin mengembalikannya? Menik mendongak, mencegah air matanya kembali leleh membasahi pipi. Dengan tangan yang bergetar Menik menerima dengan guci itu, lalu mendekapnya. Tangisnya pecahnya saat dia memeluk guci itu, seiring dengan meluapnya kenangan yang sudah dia tenggelamkan.

"Maaf, Bang. Maafkan aye. Kalau saja aye kagak keras kepala membantu Abang, tentu tragedi di keluarga kita kagak bakal terjadi. Maaf ... maaf ...." Menik tergugu, semakin erat memeluk guci, seolah sedang memeluk Ripto sendiri. Bayangan masa lalunya bersama Ripto kembali menari-nari di kepalanya.

Sementara itu, Yuuto yang melihat Menik tersedu sambil memeluk guci Ripto, tercubit hatinya. Entah kenapa Yuuto cemburu. Ya, Yuuto cemburu pada Ripto ... dan kenangan yang tertoreh di benak Menik.

💕Dee_ane💕

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro