Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

42. Jangan Bilang Cinta

Halllooooo, Deers! Rabu yang cerah, semoga hati kita juga ikut cerah. Awali hari dengan senyum. Kalau lagi rehat, nih ... Dee bakal update kisah Menik dan Yuuto. Semoga terhibur yak.

💕💕💕

"Saya mandi dulu saja. Badan saya lengket." Menik mengurai gandengan tangan Yuuto. Dia merasa tidak nyaman dengan penampilannya. Kebaya yang robek, wajah yang penuh memar dan debu, serta keringat yang melekat.

Menik memeluk badannya sendiri, sambil membuang muka saat Yuuto menatapnya dengan intens.

"Baiklah. Setelah mandi, aku akan ke kamarmu untuk membawakan obat."

Dari sudut matanya, Menik bisa menangkap senyum manis Yuuto yang selalu membayangi mimpi-mimpinya. Seketika jantung berdetak dengan kencang karena rasa rindu yang selama ini dia tekan, berjejalan ingin meledak.

Apakah ini cinta? Atau hanya sekedar rasa kagum karena ada orang Nippon yang baik hati?

Namun, tiba-tiba dia teringat pembicaraan dengan Kolonel Kagami siang tadi. "Pulanglah ke rumah Kagami. Di sana kamu aman. Aku akan membuat kamu sebagai tahanan rumah. Kamu aman, maka Yuu-chan tak akan bertindak nekat."

Ya, Menik tidak akan mengira dia akan kembali ke rumah itu. Bertemu lagi dengan lelaki yang selalu menghantui malam-malam panjangnya.

Menik lantas berlari ke belakang. Begitu memasuki kamar, dia mengunci pintu. Disandarkannya punggung yang bergetar karena diguncang perasaan yang menggelegak.

Tidak bertemu satu bulan saja, wajah Yuuto yang tirus itu terlihat sangat menawan. Apalagi kumis tipis yang menghiasi atas bibirnya. Ah, tiba-tiba Menik teringat kecupan panjang dan dalam Yuuto di pinggir Kali Ciliwung yang membuat desir di sepanjang tulang belakangnya karena belaian bulu halus di wajah Yuuto.

Menik menggeleng kencang. Bagaimana mungkin dia kembali mengingat kejadian itu? Tapi, begitu melihat Yuuto yang tergopoh menyongsong kedatangannya dengan wajah cemas, Menik sebenarnya juga ingin menghambur ke pelukan lelaki itu untuk meluapkan rasa rindunya.

Setelah bisa menetralkan jantung yang berdetak kencang karena pertemuannya kembali dengan Yuuto, Menik lalu membasuh badannya. Entah kenapa, walau malam sudah larut dan badan Menik terasa lelah, tangannya masih setia menggosok kulitnya. Dia tidak ingin ada setitik pun daki yang menempel. Bahkan Menik sudah menghabiskan hampir seperempat sabun batang yang baru, berharap wanginya bisa menutupi bau asam, anyir, amis, dan pesing ruangan sel yang bersatu dengan peluhnya.

Selesai mandi, langkah Menik terhenti saat membuka kamar. Dia membeliak mendapati Yuuto sudah duduk di ranjangnya dengan tas berisi obat dan alat pemeriksaan yang selalu dibawa Yuuto. Wajahnya seketika memerah karena dia hanya mengenakan jarik yang digunakan untuk melilit tubuhnya.

"Sensei ...." Menik berbalik. Dia bingung, hendak maju atau mundur. Kalau mundur, dia akan keluar dari kamar. Kalau maju, Yuuto ada di depannya. Dia merutuk dirinya karena tidak membawa baju ganti dari kamar. Padahal sebelumnya dia tidak pernah berbuat seperti itu.

Menik hanya bisa berdiri terpaku di lantai marmer menghadap pintu dengan tangan yang menggenggam erat ujung jarik di dadanya. "Sebaiknya Sensei keluar dulu. Saya akan berganti baju."

Derik ranjang terdengar. Suara langkah sepatu lars yang mendekat semakin keras. Menik menyangka Yuuto akan mengikuti ucapannya.

Tetapi, alih-alih keluar, Yuuto justru memeluk Menik dari belakang. Lelaki itu menurunkan kepalanya di bahu Menik sambil memejamkan mata. "Harum ... aku hampir ketiduran menunggumu mandi Menik-san."

Susah payah Menik menelan ludahnya sendiri. Apalagi ketika embusan napas hangat yang menguarkan wangi manis itu menggelitik tengkuk yang belum kering betul. Ah, bagaimana bisa dia menepati janji pada Kolonel Kagami agar tidak mengucapkan cinta. Rengkuhan Yuuto justru membuat rasa yang ada di hatinya ingin meluap. Bila kata itu terucap, Menik yakin itu akan menyakiti mereka berdua.

"Ja-jangan begini!" Sekuat tenaga Menik memancang nalar.

"Sebentar saja. Aku rindu."

Raga Menik semakin bergetar hebat. Rasa rindu yang berusaha dia kubur kembali berjejalan di kalbu. Dia menggigit bibir untuk menahan semua emosi yang menderanya.

"Sa-sa-yaargh ...." Ah, kenapa suaranya justru seperti mendesah karena kecupan Yuuto di belakang telinganya. Menyebalkan! Yuuto Kagami selalu mempermainkannya! Lebih baik Yuuto berlaku kasar, karena Menik akan membalas kembali. Namun, sapuan bibir di kulit eksotisnya, seolah ingin menarik tabir untuk menutup logika.

"Aku janji pada diriku sendiri... bila kamu ada di hadapanku, aku tidak akan melepaskanmu," bisik Yuuto mesra.

Menik mengeratkan rahang. Dia harus menahan napas dan memejamkan mata karena udara yang menyusup di telinganya berhasil menggedor nalurinya sebagai perempuan sehat. "Jangan seperti ini."

Jujur, Menik takut. Takut bila dia menodai kesuciannya sebagai seorang janda Ripto. Bila dia terbius dengan godaan Yuuto, omongan Indun akan menjadi kenyataan. Katakan Menik munafik. Tapi, otaknya kini mengatakan bahwa dia tidak boleh berharap banyak dengan Yuuto mengingat nasib Dai Nippon sepertinya sudah di ujung tanduk. Rasa yang ada di hati mereka harus ditumpas tuntas, agar tak ada luka saat harus berpisah.

Desahan kecewa berembus dari bibir merah Yuuto. Dia melepaskan Menik dan membalikkan raga mungil sang perempuan. Sementara itu, Menik melengos enggan menatapnya. Dengan gerakan pelan, Yuuto menarik dagu Menik sehingga kini mereka saling berhadapan. Wajah mereka sangat dekat. Hanya berjarak dua jengkal, sehingga Menik bisa menghidu manisnya napas Yuuto yang pernah dia sesap.

"Apa kamu takut aku akan berbuat kasar lagi?" tanya Yuuto pelan. Tangan kirin mengelus sudut rahang Menik dengan lembut.

Bola mata Menik bergerak ke kanan kiri. Dia tidak kuat ditatap dengan sorot tajam yang seolah ingin menelanjanginya. Namun, Menik menguatkan diri, membalas tatapan mata itu.

"Tidak! Untuk apa aku takut? Hidupku sudah lebih menakutkan dari paksaan Sensei! Kalau aku takut, untuk apa aku ke sini?"

Wajah Yuuto tetap tenang, tak terprovokasi nada tinggi Menik.

"Jangan lupakan fakta bahwa Sensei yang membunuh suami saya."

Seketika Yuuto melepaskan dagu Menik. Wajahnya terluka saat Menik mengungkit kenyataan tentang Ripto. "Gomen (maaf) ...." Yuuto berbalik dengan punggung melengkung.

Akhirnya Menik bisa bernapas lega. Berdekatan dengan Yuuto memang tidak baik untuk kesehatan jantungnya.

"Sensei, silakan keluar."

"Tidak perlu mengganti baju. Aku sudah memeriksa lukamu sekilas. Ada memar di dadamu. Kalau memakai baju, aku tidak bisa memeriksa lebih jelas."

Menik mengernyit. Luka di dada? Menik lalu menghadap cermin. Dia membeliak melihat kulit dadanya tergores garis merah. Ada tiga guratan, dan Menik yakin ini adalah luka cakaran Fatimah yang berhasil merobek baju kurungnya.

"Ayo. Tenang saja, aku di sini dokter. Aku tidak akan memakanmu." Yuuto memangku tasnya dan mengeluarkan alat yang sering dia lihat bila seorang dokter memeriksa pasiennya.

Menik mengerjap. Aura Yuuto yang menenangkan, seperti magnet yang menariknya mendekat. Dia bahkan sudah duduk di tepi ranjang di sebelah Yuuto, masih dengan kemben, memeluk baju kotor, serta rambut setengah basah yang digelung ke atas.

Yuuto tersenyum. Dia memasang ujung alat di telinganya, sementara tangan kanannya memegang ujung seperti kerucut. "Ini namanya stetoskop. Digunakan untuk memeriksa denyut jantung, dan suara organ yang lain. Konon sebelum alat ini tercipta, bila seorang dokter hendak memeriksa detak jantung pasien, dia harus menempelkan telinga ke dada si pasien."

Mata Menik yang mengawasi tangan Yuuto, kini menatap lelaki itu. Dia mengernyit mendengarkan cerita yang terdengar menarik.

"Beruntungnya aku bila alat ini belum tercipta. Telingaku pasti bisa menempel di dadamu," canda Yuuto sambil melirik Menik.

"Sensei kagak lucu!" Walau begitu wajah Menik memerah, membayangkan bila hal itu benar terjadi.

"Aku periksa, ya?"

Mendapati anggukan Menik, Yuuto lalu menempelkan membran kerucut ke dada Menik. Lelaki itu memejamkan mata sambil mendengar setiap debaran jantung Menik.

Ah, kenapa Yuuto memakai alat itu? Bila seperti ini dokter Jepang itu akan mendapati detak jantung Menik yang menggedor rongga dadanya! Menyebalkan! Menik mengeluh dalam hati, walau matanya menatap ekspresi Yuuto yang sangat serius. Wajah yang begitu dekat itu terlihat lebih kurus dibanding saat Menik bekerja di rumah itu. Apakah Yuuto tak bisa makan lagi?

Apakah dia sakit?

Tiba-tiba pandangannya bersirobok dengan Yuuto. Lelaki itu masih menempelkan alat itu dan meminta Menik menghela napas.

"Seandainya alat ini bisa untuk mendengarkan suara hatimu, aku pasti sangat senang. Aku ingin sekali tahu apa yang kamu rasakan ... apa yang kamu pikirkan." Yuuto menyudahi pemeriksaannya. "Tapi, yang aku dengar hanya denyut jantung dan suara napasmu. Setidaknya aku bersyukur kamu masih hidup walau debaranmu cepat sekali. Apakah kamu benar-benar takut denganku?"

Rona yang masih menempel di pipi Menik semakin pekat. Seperti yang dia duga, dia tidak bisa menyembunyikan debar jantung yang membuat dadany kembang kempis. Beruntung Yuuto tidak mengira dia gugup, walau sebenarnya itulah yang terjadi.

"Sudah aku bilang aku tidak takut."

Bibir Yuuto tertarik tipis. Dia mengambil sebuah tempat keramik kecil. Di dalamnya ada pasta berwarna kuning. "Ini ramuan buatan sahabatku sewaktu kuliah di Leiden. Kakek buyutnya adalah seorang tabib istana, dan ramuan ini bermanfaat untuk mengobati luka."

Menik mengerucutkan bibir. Semua kata yang keluar dari bibir Yuuto tak ingin dia lewatkan walaupun sebenarnya tidak ada pentingnya mengetahui hal itu. Tapi, dia akhirnya paham, pasta itu sangat mujarab karena dulu memang bisa mengobati luka bakarnya sehingga tidak berbekas.

Saat tangan Yuuto mengoleskan pasta itu ke wajah Menik, Menik meringis. Rasa perih dan panas kembali menyerang. Untuk meredakan nyeri, kepala Yuuto mendekat, sehingga dia bisa meniupkan udara pada luka Menik di dekat bibir.

Saking dekatnya wajah Yuuto, mata Menik menjuling. Kembali mereka saling melempar pandang.

"Aku mencintaimu. Walau kamu membenciku, aku akan selalu mencintaimu."

"Cinta? Apa itu cinta? Sensei hanya merasa bersalah denganku saja. Aku tidak butuh itu." Menik memalingkan muka. Ah, kenapa kata cinta terucap? Hati Menik sekarang terasa terikat.

"Apa tidak boleh menebus rasa bersalahku dengan mencintaimu?" Kepala Yuuto belum bergerak. Matanya masih memindai Menik.

"Cinta Sensei menyesakkan! Membuat aku sengsara! Oleh karena itu, tolong bunuh perasaan itu, seperti Sensei membunuh suamiku!"

***

Yuuto mendesah. Sudah empat bulan usahanya mendekati Menik sia-sia. Bahkan ketika Yudha perlahan mulai pulih, sepertinya Yuuto tidak bisa membebat luka di hati Menik. Yang ada, tembok di batin perempuan itu semakin tinggi dan susah Yuuto daki.

"Yuu-kun, kamu kenapa?" tanya Yudha yang sedang diganti perbannya.

Yuuto mengembuskan napas kasar sambil menggeleng. "Susah betul mendekati Menik. Keras seperti batu!"

Sontak Kenta dan Yudha terkekeh. Mereka tahu bahwa sebentar lagi mereka akan mendengarkan curahan hati Yuuto yang panjang.

"Sudah kamu praktikkan usulku, Yuu-chan?"

Geraman keras menyambut pertanyaan Kenta. "Praktik? Sejak awal bertemu, aku sudah melakukan saranmu. Memeluknya dari belakang, mengelus lembut ujung rahangnya, dan arrrggghhh ... rayuan itu!!!"

Yuuto melempar kain bebat kotor ke arah Kenta. "Jangan ajari aku rayuan menjijikan itu lagi!"

"Rayuan yang mana?" Terlalu banyak saran rayuan Kenta sehingga Yudha pun bahkan tidak mengingatnya lagi.

"Yang ... 'kamu bagaikan cabai ... yang menghilangkan rasa nyeri di hatiku'?" tebak Kenta.

Yuuto mencibir. "Bukan. Yang 'aku ingin mendengar suara hatimu lewat alat ini'. Sejak saat itu, dia semakin menghindariku!"

Tawa Yudha dan Kenta semakin meledak. Mereka tahu, Yuuto paling tidak bisa merayu. Hidupnya yang kaku, menjadikannya tak bisa berkata manis.

"Sudahlah, Yuu-kun. Jangan dipaksakan. Bukan kata manis yang dibutuhkan, Menik. Tapi perasaan cinta yang tulus dan tindakan nyata bahwa kamu memang mencintainya." Yudha menepuk pundak Yuuto.

Yuuto terenyuh. Di saat Yudha raganya hancur dan juga hatinya patah, dia masih bisa menghiburnya. "Maafkan aku, Yudha-kun. Tidak seharusnya aku mengeluh."

Yudha tersenyum. "Tidak apa-apa. Kadang dalam hidup, apa yang kita inginkan tak sejalan dengan kenyataan. Mendengar cerita bahwa Dayu ada di Soerabaja dan sudah menikah dengan lelaki Tionghoa, sahabat Daru itu, aku sudah senang."

"Kamu mengenal Yu Lian?" tanya Yuuto.

"Tidak. Tapi aku sering mendengar Daru bercerita tentang sahabatnya yang sering dia jumpai saat pulang ke Soerakarta. Mendengar ceritamu tentang Yu Lian yang ternyata juga sahabatmu, sepertinya dia memang lelaki yang baik. Ya, setidaknya membuat hatiku lega," ucap Yudha dengan senyum miris.

Yuuto memandang sahabatnya, terenyuh. Pasti sakit, merelakan perempuan yang dikasihi bersama lelaki lain. "Apa aku bisa seperti kamu, Yudha?"

"Aku harus. Bersamaku Dayu akan sengsara. Tapi, bukannya Menik sudah berada di sisimu? Kalian sudah berbuat apa saja?" Yudha menaik turunkan alis.

Yuuto tercenung, menghentikan gerakannya membebat pundak Yudha. "Berbuat apa? Bahkan berbicara dengannya saja aku tidak bisa. Bagaimana mau memeluk dan menciumnya? Tapi, setidaknya aku lega karena dia aman dan berada di dekat. Ya ... walau mungkin, ada saatnya aku harus melepasnya."

Mendengar perkataannya sendiri, Yuuto terasa getir. Akankah hatinya siap bila hari itu memang terjadi?

💕Dee_ane💕

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro