Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

35. Ancaman

Yuuto n Menik datang lagi. Udah double update kan hari ini? *Walau cerita berbeda plaaakkk ... makasih yang udah ngikutin cerita ini. Semoga terhibur.

***

Yuuto duduk tercenung di belakang kemudi sambil mengingat kembali obrolan sarapan pagi. Perjalanan Menteng ke Klender, tak terasa lama, karena otaknya disibukkan mencerna informasi terkini yang terjadi.

"Daru ternyata mau dipindah karena ingin merealisasikan rencana itu?" gumam Yuuto sambil menggeleng tak percaya. Dia teringat pertemuannya dengan Daru dengan Yudha, yang memercayakan adik Daru pada Yudha bila terjadi sesuatu. Dan ternyata, kemungkinan terburuk itu terjadi. Pemberontakan gagal dan Daru kini diburu.

Namun, saat Yuuto akan tiba ke kamp tempatnya bekerja, tiba-tiba laju kendaraannya harus terhenti. Yuuto terpaksa menekan pedal rem dan kopling, ketika melihat pemuda yang melintas. Matanya sipitnya memicing.

"Yudha-sensei?"

Pandangan Yuuto mengikuti gerakan Yudha yang berjalan terseok menghampiri mobil dan membuka pintu yang belum terkunci. Ketika masuk, mata Yuuto membeliak lebar mendapati Lengan lelaki pribumi itu yang terluka dan dibebat sapu tangan yang kini sudah berwarna merah. Napas Yudha pun  terengah seolah habis berlari berkilo.

"Apa yang terjadi? Kenapa Sensei terluka seperti ini?"

"Sembunyikan saya!" Yudha kehabisan napas. Dia hanya menyandarkan punggungnya kasar.

"Apa yang terjadi?" Yuuto mengulang pertanyaannya karena tak mendapat jawaban dari Yudha.

"Cepat! Sembunyikan saya!" Yudha hampir memekik. Tapi suaranya tak mampu keluar karena dia kehabisan tenaga. Dia mengerang tertahan sambil meremas lengannya. Lelaki pribumi itu meringis.

"Kenapa harus bersembunyi?" Kini Yuuto yang tak sabar. Dia masih membiarkan mesin mobil dalam keadaan netral.

"Saya … saya … gagal menyelamatkan Dokter Achmad." Embusan udara kasar terlontar dari mulut Yudha. Wajah kesakitannya dibanjiri peluh

Mata sipit Yuuto semakin membulat. Tak berpikir panjang, Yuuto kembali melajukan mobil dan memutar kemudi mobil ke arah sebaliknya.

"Kita ke mana?" Yudha terengah. Wajahnya semakin pucat seiring darah yang terus mengalir.

"Rumah Edogawa-san. Di situ tempat paling aman." Wajah Yuuto lebih tegang. Dia terpaksa mengingkari janjinya pada Kolonel Kagami agar tidak berurusan dalam kasus dokter Achmad.

Yudha masih terengah. Dia menatap Yuuto yang terlihat mencemaskannya. "Gomen (Maaf)… arigatou (terima kasih) …."

Yuuto hanya bisa tersenyum tipis. Setelah menentang hati nuraninya selama beberapa tahun ini, dia ingin menuruti kata batinnya. Setidaknya apa yang Yuuto lakukan ini bisa untuk menebus dosa atas semua tindakan yang pernah dia lakukan dahulu.

Tak lama kemudian, mobil yang Yuuto kendarai sudah masuk ke rumah Edogawa. Rumah itu hanya dihuni oleh Kenta dan satu orang pembantu pribumi. Yuuto segera membawa Yudha masuk ke dalam rumah di saat Kenta baru saja akan berangkat.

"Korehanandesuka (Apa-apaan ini)?" tanya Kenta sambil mengikuti Yuuto yang memapah Yudha.

"Kita sembunyikan Yudha-sensei di sini. Dia gagal menyelamatkan Achmad-sensei."

"Watashitachi no (Kita)?"

Yuuto tak mengindahkan nada protes Kenta. Dia membaringkan Yudha lalu memeriksa luka di lengannya.

"Ini … luka tembak?" Yuuto membeliak.

Yudha meringis, menahan perih. "Aku ketahuan saat akan melarikan dokter Achmad. Kami berdua tertangkap sebelum bisa keluar dari halaman. Hanya aku yang bisa lari walau sempat tertembak. Beliau diringkus pihak Kempetai …." Yudha mengerang ketika Yuuto mengurai simpul sapu tangan yang melilit lengannya. Dengan napas satu-satu, dia melanjutkan bicara. "Beliau … beliau pasti disiksa."

Kenta bergidik. Dia memalingkan wajah saat Yuuto membuka sapu tangan di lengan Yudha. Darah segera merembes dari lengan lelaki itu membasahi sprei putih.

"Yuu-chan, kenapa kamu ikut campur? Bukannya kamu sudah berjanji pada ayahmu tidak akan berurusan dengan kasus ini." Kenta mengerang kesal. "Parahnya, selalu saja kamu melibatkan aku!"

"Ini masalah nyawa! Aku menyelamatkan sahabatku." Pandangan Yuuto masih tidak lepas dari lubang di otot lengan Yudha yang ditembus bola timah panas.

Kenta mendecih. "Banyak sekali sahabatmu itu? Dulu orang desa sehingga kamu minta beras. Lalu Soeripto. Gara-gara mereka kamu hampir dianggap pengkhianat. Aku juga tersangkut dan ditangkap. Untung ayahmu menggunakan banyak cara untuk membebaskan anaknya dan aku ikut terbebas. Kalau tidak, pasti …." Lidah Kenta menjulur, saat memperagakan menggorok leher dengan jarinya.

Pandangan Yuuto nanar. Telinganya berdenging, mendengar komentar  Kenta. "Jangan ungkit lagi!"

"Kamu kira … kita akan selamat kali ini? Kalau kamu berbuat aneh-aneh, ayahmu justru yang akan melenyapkan orang-orang yang terlibat. Lama-lama dia bisa membunuhku juga!"

Yuuto menghela napas. Dia kembali berusaha fokus memeriksa kedalaman peluru yang bersarang di lengan Yudha. "Tidak akan kubiarkan dia melukai orang-orang terdekatku!"

"Bila kamu menyelamatkan Yudha dengan menyembunyikannya, aku yakin Menik-san yang akan menjadi tumbalnya!" tandas Kenta.

Yuuto menatap Yudha yang wajahnya telah pucat. Lelaki itu hanya mengerang memanggil nama Dayu. "Sekarang nyawa Yudha-sensei yang utama. Untuk selanjutnya … aku akan memikirkannya lagi."

Keputusan Yuuto tidak dapat diganggu gugat. “Oleh karena itu, lebih baik kamu diam dan bantu aku menyiapkan air panas, Edogawa-sama.”

Kenta mendengkus kesal. Tapi tetap saja dia selalu menuruti keinginan Yuuto. Tak sampai lima belas, Kenta sudah meletakkan air panas dalam baskom di atas kursi yang didekatkan ke ranjang.

“Apa kamu berbuat baik pada pribumi agar mereka nantinya akan membantumu?”

“Maksudnya?” Yuuto melipat kain pergelangan tangan kemejanya setelah memasukkan peralatan bedah minor di baskom tembaga yang mengepulkan uap.

“Kamu tidak tahu kita sepertinya akan kalah di perang Pasifik? Amerika Serikat sudah hampir menguasai Iwojima. Kalau pertahanan paling luar Nippon bisa dikuasai, mereka akan merambah ke Okinawa, selanjutnya kamu pasti tahu sendiri ….” Kenta menarik kursi ke dekat ranjang untuk melihat Yuuto bekerja.

“Ah, itu ….” Yuuto seolah tidak terpengaruh dengan kabar itu. “Aku tahu. Tapi, apakah berbuat baik harus ada pamrihnya?”

Kenta mendengkus. “Apa kamu senaif, seperti putra sulung dari unit Sato, Semarang. Dia berbuat baik tapi ujung-ujungnya harus terlempar di pulau paling luar Jepang untuk menghadang Sekutu. Aku yakin dia tidak akan selamat. Dan, kuharap kamu tidak mendapat hukuman yang sama karena dianggap pengkhianat.”

***

Yuuto sebenarnya tahu peperangan di Pasifik tidak membawa keuntungan bagi Dai Nippon. Serangan di Pearl Harbour itu seperti membangunkan macam kelaparan yang tertidur dan kini mereka kewalahan menghadapi amukan Amerika. Dia bahkan sudah tahu kemungkinan terburuknya bahwa kejayaan Dai Nippon tidak akan bertahan lama.

Namun, semua itu tak membawa pengaruh baginya. Yuuto hanya ingin perang panjang usai. Dia hanya berharap bisa mengakhiri kegilaan obsesi petinggi yang ingin menguasai Asia.

Di saat, Yuuto disibukkan dengan pikiran-pikiran yang muncul di otaknya, ketukan pintu menggaung. Lamunan Yuuto buyar. Dia lalu menyuruh anak buahnya masuk.

Setelah menerima laporan dari bawahannya, Yuuto mempersilakan tamunya masuk.

“Joko-san?” Sudah beberapa bulan ini Yuuto tidak bertemu dengan Joko. Sejaka pertemuan terakhir mereka, lelaki itu rupanya tampak baik-baik saja. Padahal menurut kabar Yukihiro, beberapa tentara PETA dari Jagamonyet yang ditugaskan ke Blitar terlibat pemberontakan. “Kenapa kamu berkeliaran?”

Joko tetap memberi penghormatan kepada Yuuto sebagai atasannya. Bagaimanapun Yuuto adalah perwira yang harus dihormati. “Entah aku harus bersyukur atau tidak, tapi pada saat eksekusi rencana pemberontakan yang mendadak, aku diutus ke Soerabaja mengantar tamu sehingga aku bisa kembali ke Djakarta.”

“Jadi, kamu terbebas dari perburuan itu?” Entah kenapa Yuuto ikut senang, walau masih prihatin dengan kondisi Daru.

“Apa Sensei menyesal aku terbebas?” Joko kemudian duduk di kursi di d2pan meja yang penuh dengan buku dan kertas, setelah dipersilakan oleh Yuuto.

“Bukan. Aku … senang kamu selamat. Menik-san begitu mencemaskanmu.”

Joko mendengkus sambil tersenyum miring. “Syukurlah. Setelah ini Menik tidak perlu mencemaskanku karena aku akan mengambilnya kembali.”

“Mengambilnya?” Alis Yuuto menukik.

“Ya! Aku akan mengambilnya. Aku hanya menitipkan Menik kepadamu, Sensei. Apa Sensei lupa dengan obrolan terakhir kita?” Joko memandang tajam Yuuto yang wajahnya kini menegang. “Atau mungkin kamu berharap aku mati?”

Jelas masih basah di ingatan Yuuto ucapan Joko yang membuat wajahnya pucat. "Aku tahu kamu adalah dalang penyebab kematian kakak sepupuku. Kamu harus menjaga Menik baik-baik. Jangan pernah menjamahnya … atau dia akan mengetahui kebusukanmu. Aku yakin dia akan membencimu." Kalimat itu selalu terngiang. Membuat Yuuto selalu berusaha menjaga diri agar tidak melampaui batas, karena bersama Menik dia yakin bisa hilang nalar. Keinginan untuk memilikinya bisa mendominasi sehingga mengaburkan norma dan menghalalkan dosa.

“Menik-san baik-baik saja di rumahku. Kamu tidak perlu mencemaskan. Aku bisa menjaganya,” khilah Yuuto sambil melelas kacamata bacanya. Dia memijat pangkal hidung yang tiba-tiba berdenyut.

Joko terkekeh kecil. “Apa aku harus melakukan peringatanku? Ya mungkin sebaiknya aku memberitahu Menik kalau kamu yang membawa jasad Ripto dan melakukan eksperimen padanya."

"A … apa maksudmu?" Kini Yuuto memelotot leher. Suaranya meninggi hingga pembuluh lehernya menonjol.

"Aku tahu kamu adalah dokter unit 731 yang terkenal kejam dan tidak punya hati. Sebelum kematian Soeripto, aku tahu kamu menyuntikkan sesuatu kepadanya.”

“Da-dari mana kamu tahu?”

Joko terbahak. “Aku tahu. Kamu sering mengunjunginya. Apalagi kalau bukan untuk mencobakan vaksin itu? Bukankah kamu diminta menyuntikkan vaksin itu selain ke para romusha tapi juga para tahanan?”

Rahang Yuuto mengeras. Dia meremas kertas yang ada di hadapannya, sambil memandang Joko.

“Aku penasaran bagaimana reaksi Menik bila tahu kamu sudah berbuat kejam kepada suaminya. Membuat dia terjebak karena ayahmu ingin menyelamatkan putra kesayangannya?” Joko tersenyum miring.

“Kamu mau mengancamku?” desis Yuuto. Bibirnya terlihat tak bergerak tapi suaranya masih bisa tertangkap dengan jelas. Dia berusaha mengatur napas agar tak terpancing emosi.

“Apa Kagami-sensei merasa terancam?” Joko tak menghiraukan wajah tegang Yuuto. “Kalau begitu, kembalikan Menik, dan rahasia itu akan terkubur bersama denganku saat aku mati. Setidaknya. Menik akan tetap mengingatmu sebagai penyelamatnya.” Joko lalu berdiri, dan memberi penghormatan.

Yuuto mendongak dengan badan yang menggetarkan amarah. Bagi Yuuto, penghormatan Joko tak lebih sebagai ejekan yang membuatnya meradang.

“Jangan harap bisa membawa Menik. Kamu tidak akan pernah bisa membayangkan seberapa dekat kami selama kamu pergi.”

Seringai Yuuto membuat Joko mengepalkan tangan dengan erat. Yuuto tidak peduli. Dia tidak akan membiarkan Joko mengambil Menik darinya dan mengatakan masa lalu yang tidak ingin Menik tahu.

***

Malam ini, Yuuto pulang lebih larut. Namun, anggota keluarga Kagami lainnya belum terlihat di rumah.

"Sensei …." Menik terbangun begitu mendengar langkah Yuuto. Matanya terlihat merah dilanda kantuk.

"Kamu belum tidur, Menik-san?" Yuuto mengernyit. Dia mengedarkan pandang ke sekeliling ruang makan.

"Bagaimana saya bisa tidur kalau Kolonel belum pulang? Letnan Yukihiro juga belum datang. Sensei sudah makan?"

"Belum." Yuuto menghampiri meja makan yang masih kosong. Namun, tiba-tiba dia mendengar suara gemuruh pelan. Lelaki itu mengernyit, menatap Menik yang meremas perutnya.

"Kamu … belum makan?"

Menik menggeleng. Dia menggigit sudut bibir kirinya seperti menahan perih. "Belum."

"Kalau begitu, kita makan sama-sama."

"Tidak usah. Sensei istirahat saja. Saya akan hangatkan air sekaligus makanan dulu." Saat Menik akan melangkah, tangan Yuuto tiba-tiba melingkar di bahunya. Lelaki itu memeluk tubuh berisi yang sedikit susut dari belakang. Hampir saja pekikan Menik memecah sunyi malam. "Sensei … lepas."

Namun, Yuuto tidak melepaskannya. Rengkuhannya semakin kuat. Bahkan, dagunya kini mendarat di bahu Menik.

"Sensei …."

"Tunggu sebentar. Aku ingin memelukmu." Mata Yuuto memejam, menghidu aroma wangi yang menguar dari leher Menik.

"Apa ada masalah?" tanya Menik hati-hati. Tubuhnya membeku merasakan embusan napas Yuuto yang menyapu tengkuk.

"Menik-san, apa kamu mencintaiku?" tanya Yuuto lirih.

"Ke-kenapa bertanya itu?"

"Jawab aku …," bisik Yuuto lembut di daun telinga Menik.

Kebisuan Menik menyayat hati Yuuto. Lelaki itu menghela napas panjang. "Apakah kamu akan melepaskan aku bila menemui hal yang menyakitkan?"

"Yuuto-kun, apa ada sesuatu yang terjadi?" Menik mengurai tangan Yuuto dan berbalik. Dia menatap wajah kusut Yuuto.

Yuuto mengelus pipi Menik. "Aku menginginkanmu. Sangat menginginkanmu. Bagaimana caranya agar kamu bisa jadi milikku?"

💕Dee_ane💕

Mulai deh posesip ...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro