32. Ayah Yuuto
Ada yang nyariin Yuuto n Menik nggak ya? Udah Minggu malam lagi. Artinya besok Senin. Semangat yak. Biar makin semangat, kalian bisa ditemenin sama cerita ini. Ramaikan gaes!
Bonus video :
Seketika rona di wajah Menik menghilang. Dia takut untuk menoleh. Kuduknya tiba-tiba merinding. Peluh yang sempat diseka oleh Yuuto itu kembali mengucur.
“Siapa?” Bibir Menik bergerak tanpa suara. Bola matanya bergulir ke kiri.
“Kagami-Taisa. Dia ayahku. O-tou-san.” Yuuto melafalkan kosakata Jepang dengan jelas.
Menik manggut-manggut. Otaknya mencerna sebuah ancaman. Bila orang yang memanggil itu adalah ayah Yuuto, berarti begitu turun dia langsung mendapati petinggi Kempetai.
“Ayo, kita turun. Aku akan mengenalkan pada Otousan dan Onichan.”
Rasanya tubuh Menik ingin meleleh terserap bumi, agar bisa melarikan diri dari keadaan yang membuat jantungnya bekerja dengan ekstra keras. Bagaimana bila orang itu tidak menyukainya? Sungguh, bayangan ketakutan dan kecemasan membuat perut Menik melilit.
Sementara itu, Yuuto turun lebih dulu. Dia berjalan cepat ke beranda depan di mana ayahnya sedang menikmati kopi bersama Yukihiro.
“Kamu dari mana? Dua hari ini tak terlihat di rumah,” selidik Kolonel Kagami yang sudah berdiri di ujung undakan serambi, menanti putranya. Pandangannya tidak terarah pada sang putra, tapi pada kaca jendela yang terlihat buram.
“Saya ada di Klender. Menyelesaikan beberapa pekerjaan.” Yuuto menjadi was-was. Mata sipit ayahnya tak ubahnya seperti mata Elang. Dia mudah curiga dan selalu memperhatikan setiap detail lingkungannya. Sangat cocok dengan pekerjaannya sebagai intelijen Kempetai.
“Itu siapa? Kamu mulai membawa pelacur ke rumah ini?” Dagu Kolonel Kagami terarah ke mobil yang terparkir.
“Dia … Menik. Tukang masak yang akan bekerja di sini.” Entah kenapa kali ini suara Yuuto menjadi tak jelas. Lidahnya kaku melihat wajah penuh selidik sang ayah.
“Tukang masak?” Kini tatapan Kolonel Kagami menghujam ke arah Yuuto yang berdiri di bawah undakan. “Aku sudah menyediakan tukang masak terbaik. Kubo-san. Kenapa kamu mencari lagi? Perempuan pribumi pula! Apa kamu ingin bermain-main dengan perempuan, Yuuto?”
“Tidak! Dia tukang masak ulung. Dia perempuan yang memasak untuk Sendenbu.”
“Sendenbu?” Mata Kolonel Kagami memelotot lebar. Dia mengeratkan rahang lalu menghela napas panjang. “Suruh dia kemari.”
“Otousan … tolong terima dia.”
“Yuu-chan, kenapa kamu pikir ayahmu ini bodoh? Otousan tahu yang terjadi di setiap jengkal tanah ini. Termasuk kamu yang suka bermain-main dengan janda laki….”
“Otousan!” Yuuto memotong ucapan sang ayah. Dia menggeleng seraya memberikan tatapan memohon. “Kalau Otousan memang tahu, seharusnya Otousan berterima kasih dengan Menik-san karena sudah memberi aku makanan.”
Kolonel Kagami memandang tajam putranya yang dengan berani membalas tatapannya. Namun, pada akhirnya dia hanya mengembuskan napas dan menyuruh Yuuto membawa Menik keluar.
Di sisi lain, di dalam mobil, dada Menik sudah kembang kempis. Dia tidak menyangka berbuat nekat dengan menerima pekerjaan di rumah petinggi Kempetai. Tapi, nasi sudah menjadi bubur. Pilihan ini sudah menjadi yang terbaik daripada menjadi penghalang pergerakan Joko dan kawan-kawannya, bila dia ikut ke Blitar. Atau dia harus hidup seorang diri di tengah ancaman penculikan.
Di saat batinnya disergap kecemasan, p1intu samping terbuka. Yuuto membungkuk, dan mengulurkan tangannya. “Jangan takut. Mendengar kamu datang, Otousan sangat senang.”
Menik mendengkus, miris. Namun, tetap saja dia menyambut uluran tangan Yuuto. Dia menunggu koper yang diturunkan Yuuto. Selain untuk mengulur waktu, dia juga tidak mengizinkan Yuuto membawanya. Bagaimanapun Menik sadar akan posisinya.
Tak lama kemudian, dia sudah berdiri di bawah undakan menuju serambi, menghadapi petinggi Kempetai dan perwira Rikugun.
Menik hanya bisa menunduk sambil membawa kopernya. “Selamat malam, Kagami-dono.” Suara Menik bergetar. Kecemasan mencekik tenggorokannya saat dia membungkuk dalam. Menik berusaha mengingat tata krama yang pernah diajarkan Ripto bila berhadapan dengan orang Jepang.
“Jadi, kamu tukang masak yang menerima pesanan makan siang dari Sendenbu?” Suara berat Kolonel Kagami membuka percakapan. Lelaki itu duduk di salah satu kursi jati dengan kaki kanan menopang di paha kiri.
“Hai! Saya orangnya, Kolonel.”
Mata Kolonel Kagami menyipit. “Kamu … ada perlu apa mendekati anakku?”
“Otousan!” Yuuto membeliak.
“Sa-saya … ditawari untuk bekerja di sini. Saya tidak ada maksud apapun. Maaf bila Kolonel tidak berkenan.” Menik kembali membungkuk dalam.
“Aku tidak mempercayai pribumi. Terlebih dia adalah istri mendiang pemberontak. Apa kamu tahu kenyataan bahwa aku bekerja di Kempetai? Salah satu orang yang mengurusi kasus suamimu?”
Telinga Menik seketika terasa panas. Lututnya lemas saat sang kolonel mengungkap apa yang terjadi tentang Ripto.
"Sa-saya tahu …."
"Dan, kamu masih mau bekerja di sini?" Kolonel Kagami tak mengalihkan pandangannya dari Menik.
"Iya. Saya hanya ingin memasakkan makanan untuk keluarga Kagami. Tidak lebih. Bila Kolonel berpikir saya ingin membalas dendam, saya tidak punya niat itu. Saya tahu suami saya salah." Hanya itu jawaban terbaiknya.
"Kamu tahu kenapa dia menyelundupkan beras?" Bola mata Kolonel Kagami bergulir ke kanan.
Jakun Yuuto bergerak naik turun. Dia menggigit bibir dengan erat.
"Setahu saya, dia hanya ingin membantu sebuah desa yang kelaparan. Hanya itu," jawab Menik terus terang.
Bibir Kolonel Kagami tertarik ke samping. Dia masih memperhatikan gerak-gerik Yuuto, alih-alih Menik. "Baiklah. Kamu akan bekerja di sini. Tapi ingat, jangan pernah masuk ke kamar anakku! Aku tidak ingin ada skandal di rumah ini."
Akhirnya Menik bisa lega karena Yuuto mengantarnya masuk ke pavilliun melalui halaman samping. Dia berjalan di belakang Yuuto sambil menenteng koper. Suara gemericak kerikil yang terinjak menjadi teman mereka.
“Menik-san, biar aku yang bawa kopernya.” Yuuto berbalik setelah setengah perjalanan.
Menik menggeleng. Matanya yang berkaca memantulkan cahaya penerangan dari lampu di taman samping.
“Kamu … kenapa?” Yuuto menunduk, menyetarakan pandangannya dengan mata Menik.
Susah payah Menik menelan kegetiran perasaannya sendiri. Dia menatap Yuuto yang mencemaskannya dengan tulus. “Apa pilihan aye ini tepat?”
Menik menggigit bibir bawahnya dengan kuat. Saking kuatnya, dia bisa merasakan asin di lidahnya.
Yuuto tersenyum miris. Batinnya sendiri bergemuruh menyangsikan masa depan mereka. "Tenang, aku akan ada di sampingmu. Tak akan aku biarkan kamu terluka. Baik tubuh ataupun hatimu."
**
Menik terbangun pada waktu subuh seperti biasa. Tidak ada yang berbeda. Yang terasa lain hanyalah tempat di mana dia berbaring. Rumah yang dia tempati memang hangat, berbeda dengan rumah Menik yang hanya berdinding anyaman bambu. Tapi, aura yang menyelimuti ruangan itu terasa suram. Ditambah dengan ornamen bendera Dai Nippon yang terpajang di kamar di paviliun itu menimbulkan rasa dingin yang ingin membekukan batinnya.
Pagi Menik sudah disibukkan dengan keriuhan dapur. Suara senandung Takumi, juru masak rumah itu, berpadu manis dengan desisan kaldu sop miso yang menggelegak. Tawa dan canda beberapa assisten koki yang memanggang ikan terkesan seolah bahwa mereka tak terpengaruh dengan kondisi dunia yang meradang. Bahkan, dua pemuda seusia Menik itu sering mengajak Menik—yang sedang membuat adonan telur dadar gulung—mengobrol dengan bahasa Melayu yang logatnya lebih aneh
Setidaknya, Menik bisa terhibur di tempat kerjanya pada hari pertama. Kepulan asap yang melambung, menerbangkan kecemasannya. Aroma rempah yang menguar, memberi semangat pada jiwa yang tertekan.
Pada pukul 07.00, Takumi Kubo, sudah menyiapkan sarapan untuk atasannya. Sementara itu, Menik berkumpul dengan tentara yang berjaga di situ beserta dua pemuda asisten dapur yang berpangkat kopral.
"Menik-san, kamu dipanggil Kagami-Taisa," kata Takumi begitu masuk dapur yang berada di paviliun belakang.
Seketika Menik terbatuk. Dia lalu menutup mulut dengan punggung tangan kiri, sementara tangan lain meraih gelas untuk menggelondorkan makanan yang salah jalur.
"Sa-saya?" Menik menunjuk dirinya dengan mengerjap, berharap apa yang didengarnya salah.
"Iya. Kamu." Lelaki berbadan gempal itu tersenyum ramah seraya menepuk pundak Menik sebelum ikut duduk dengan yang lain.
Bola mata Menik bergulir ke kanan dan kiri. Dia berdiri dengan enggan, lalu segera memasuki rumah utama.
"Apa tamagoyaki ini kamu yang membuatnya?" tanya Kolonel Kagami begitu Menik menghadap.
"Hai." Menik membungkuk. Jantungnya berdebar sangat kencang ketika tiga pasang mata memandangnya intens.
Tak ada sahutan lagi ada Kolonel Kagami. Heningnya suasana di ruang makan itu justru membuat peluh Menik merembes di telapak tangannya. Walau dia sudah meremas ujung baju kurungnya, tetap saja telapaknya terasa basah.
"A-apakah rasanya tidak enak? Sa-saya hanya menambahkan wortel dan daun sop untuk memberikan isi pada telurnya. Juga menambahkan sedikit gula," cicit Menik.
"Tidak. Ini enak … enak sekali! Persis masakan ibu Yuuto."
Beban di hati Menik seketika menguap. Perlahan dia menengadah, melirik ke arah Kolonel Kagami yang menatap nanar potongan dadar itu.
"Rasanya mirip … tidak, ini sama persis dengan tamagoyaki yang sering dibuatkan oleh ibunya Yuuto."
Sekilas, Menik menangkap mata Kolonel Kagami yang berkaca-kaca. Hati Menik mencelus. Dia tidak menyangka lelaki paruh baya yang sangat ditakuti itu bisa terharu melihat telur dadarnya.
"Sudah aku katakan, kemampuan Menik-san tidak diragukan lagi." Yuuto menggunakan kesempatan itu untuk meyakinkan ayahnya.
"Tanpa kamu katakan, Otousan tahu. Otousan pernah makan masakannya ketika Shimizu-san membawa bungkusan makanan ke markas. Tapi, Otousan tidak menyangka rasa tamagoyaki ini begitu sempurna seolah dari tangan ibumu sendiri yang memasak. Sangat berbeda dengan buatan Kubo-san."
Yuuto tersenyum. "Ini baru sebuah tamagoyaki. Aku yakin hati Otousan akan menghangat dan bahagia saat merasakan makanan yang Menik-san buat." Pujian Yuuto yang tulus itu membuat bibir Menik tertarik lebar.
"Kalau begitu, kamu siapkan jamuan makan untuk malam nanti. Aku mengundang pejabat Djawatan Pos, Telegraf, dan Telepon beserta keluarganya. Kamu bisa memasak masakan spesial beserta camilannya."
"Hai."
Perasaan Menik sekarang campur aduk. Dia tidak membayangkan Kolonel Kagami akan menyukai masakannya. Dan hari ini, gara-gara telur dadar gulung itu, dia dipercaya untuk menyiapkan sajian makan malam untuk tamu keluarga.
Setelah berembuk dengan Takumi, selaku penanggung jawab di dapur rumah itu, akhirnya Menik memutuskan untuk membuat selat sebagai makanan pembuka. Tempura, sambal goreng hati, bistik daging, tumis sayur, dan acar, akan disiapkan Menik untuk makanan utama. Sedang kudapannya, Menik ingin membuat sosis, dan pisang goreng.
"Untuk hidangan penutup sebaiknya kita membuat wedang ronde. Bagaimana Kubo-san?"
Takumi mengerjap. Pengetahuan Menik tentang memasak begitu luas. "Aku tidak bisa membuat makanan yang kamu sebutkan. Untuk tempura udang, percayakan pada kami. Kami ahlinya. Tapi apa kamu yakin bisa memasaknya sendiri?”
Menik tersenyum mantap. “Saya yakin.”
Hari ini akan menjadi hari yang sibuk bagi Menik. Di hari pertama, dia sudah mendapat tanggung jawab yang besar. Walau Menik sudah terbiasa dengan hiruk pikuk dapur karena semenjak kecil dia memang sudah sering bergaul dengan kepulan asap dapur dan harumnya bumbu yang ditumis, tetapi berada di dapur asing dan teman yang belum bisa mengikuti ritmenya bekerja cukup menjadi kendala. Bila biasanya memasak enam makanan dari mulai penganan, makanan pembuka hingga penutup, bagi Menik bukan perkara yang sulit, tapi kini dia kewalahan. Keyakinannya menguap seperti uap air yang mendidih. Padahal, dahulu keluarga Van Persie sering sekali mengadakan jamuan makan malam bersama kolega di rumah dan Menik selalu terlibat menyiapkan makanannya. Sekarang mendapatkan tugas pertamanya dari Kolonel Kagami, dia merasa kesulitan karena Takumi dab dua asisten mudanya tak paham apa yang harus dia lakukan selain membuat tempura, memotong bawang dan sayur, serta mencincang daging.
Tepat ketika azan maghrib berkumandang lirih dari surau yang tidak jauh di kediaman Kagami, tarikan bibir lebar terukir di wajah Menik. Akhirnya pekerjaannya selesai dengan matangnya kuah selat. Setelah mengetes rasa, cairan kecokelatan itu mampu menggoyang lidah. Pas rasanya.
“Oishii (Enak)!” Mata Takumi membulat. Dia puas dengan masakan terakhir yang dia cicipi. “Kamu sangat pandai memasak. Kamu cocok menjadi istriku!” Takumi terkekeh hingga perutnya bergoyang.
Menik hanya mengulum senyum. Dia mulai terbiasa dengan gurauan Takumi yang berusaha menghilangkan ketegangannya selama seharian memasak.
“Kubo-san!”
Menik terlonjak mendengar seruan yang tak asing di telinganya.
Takumi menoleh dan memberi penghormatan kepada Yuuto yang pangkatnya lebih tinggi.
“Apa kamu sudah memastikan semua siap?” tanya Yuuto dengan wajah serius. Bila menggunakan ekspresi itu, Yuuto tak ada bedanya dengan tentara yang lain.
“Siap, Letnan! Semua telah siap!” Badan Takumi yang tegak tampak aneh dengan perut yang menonjol. Celemek putih yang melapisi baju seragamnya, tak membuat aturan bersikap hormat pada senior menjadi kendur.
Sementara itu, Menik memicingkan mata menatap Yuuto yang begitu datang wajahnya tampak kusut. Biasanya dia berwajah begitu bila Menik berdekatan dengan Joko.
“Kalian … pastikan piring dan gelas yang akan dipakai untuk jamuan nanti telah siap," titah Yuuto tegas.
Takumi beserta dua asistennya, akhirnya meninggalkan Menik dan Yuuto yang masih ada di ambang pintu. Yuuto kemudian mendatangi Menik yang kembali menyibukkan diri untuk meracik selat.
"Menik-san, kenapa kamu mau digoda Kubo-san? Kurang ajar sekali!"
Menik memelotot. Bisa-bisanya tuan muda di rumah ini memasuki dapur dan mendatanginya.
"Kagami-sensei, tempat anda bukan di dapur. Saya akan memastikan semua baik-baik saja." Menik berbalik. Menghentikan kegiatannya.
"Aku tidak senang kamu tersenyum pada Kubo-san!"
Menik menyipitkan matanya. Dia menyelisik wajah Yuuto yang terlipat. Alis lelaki itu mengerut, sementara tangannya bersedekap di dada.
"Kagami-sensei, saya sedang bekerja. Saya harus bersikap baik dengan siapa saja di rumah ini. Kubo-san di sini adalah senior saya," sanggah Menik.
"Aku tahu! Tapi aku tidak suka!"
Menik mendengkus. "Sensei, saya di sini hanya seorang juru masak. Tidak lebih. Sensei jangan bersikap berlebihan."
Yuuto mencengkeram lengan atas Menik. Dia ingin menyanggah, tapi apa yang diucapkan Menik mengandung kebenaran.
"Sensei …." Menik meringis, berusaha mengurai jari Yuuyo.
Yuuto mengembuskan napas kasar lalu melepas lengan Menik. "Gomen (Maaf). Aku … aku hanya tidak ingin kamu dekat dengan laki-laki lain."
"Aku bisa menjaga diri. Sensei tenang saja."
Tak sampai satu jam, tamu undangan sudah berdatangan. Menik sudah membasuh muka, walau tak sempat mandi. Dia bersiap dengan kebaya yang layak karena akan membantu Takumi menghidangkan makanan. Dia juga harus memastikan makanan yang akan disajikan lengkap dan cantik.
"Sudah waktunya makan malam." Takumi menyeruak masuk ke dapur.
Mengetahui petunjuk Takumi, Menik bergegas menuangkan kuah selat dan menatanya di atas nampan. Dia membawa nampan menuju rumah utama dibantu dengan Tasuku dan Kengo. Mereka berdiri di ambang pintu ruang makan, menunggu Takumi memberi isyarat.
Sementara itu, dari tempatnya berdiri, Menik bisa melihat dengan jelas Yuuto yang duduk di sebelah gadis yang dia tahu bernama Ningrum. Mereka terlihat dekat. Sesekali Yuuto tersenyum dan mendekatkan kepala untuk mendengarkan ucapan Ningrum.
Menik menelan ludah kasar. Pegangan di nampannya mengerat, untuk menahan desir nyeri yang tiba-tiba menggelitik.
"Menik-san! Aku sudah memberi kode dari tadi. Ayo, cepat sajikan makanan pembukanya." Takumi mendekati Menik dengan wajah kesal.
Menik terkesiap. Dia lalu bergegas masuk ke ruang makan. Saking cepatnya dia melangkah, dia tidak memperhitungkan perbedaan ketinggian lantai yang tidak mencolok. Tubuh Menik seketika limbung ke depan. Walau dia ingin mempertahankan keseimbangan tubuhnya, beban yang ada di lengan semakin menariknya sehingga dia tersungkur bersamaan dengan keriuhan piring sup yang jatuh dan pecah saat menumbuk lantai marmer.
Mati … aku!!
💕Dee_ane💕
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro