30. Keputusan Menik
Hai, Deers! Yuuto dan Menik datang lagi. Btw, kalian ... ada tiktok kah? Bisa tuh follow tiktokku Dee_ane84. Jangan lupa ramaikan yak^.^
💕💕💕
“Sen-sensei mau apa?” Menik mencicit seperti mangsa terpojok.
Yuuto menyeringai dan justru mengikis jarak di antara mereka. Semakin Menik beringsut, tarikan bibir Yuuto semakin lebar. Saat tangannya terangkat menyentuh bahu Menik tiba-tiba sundulan keras membuat Yuuto melolong nyaring. Seperti sifat Menik yang keras kepala, rupanya kepala perempuan itu juga keras seperti batu.
Sontak Yuuto menggelepar jatuh seraya mengerang. Dia yakin otaknya kocak karena benturan yang nampaknya disengaja dan sudah dipersiapkan matang-matang pada jarak tepat. Seperti ahli strategi, Menik bisa memperkirakan kapan saat yang tepat melawan. Pada jarak berapa dia menghantam musuhnya dengan senjata rahasianya. Kepala batu ….
Yuuto mendengkus sambil bergelung, dan menggosok dahinya yang memerah. Sementara itu Menik tidak menyangka perbuatannya akan membuat Yuuto kesakitan.
“Sen-sensei tidak apa-apa?” Menik menjorokkan badannya. Telunjuknya menekan tulang kering Yuuto untuk memastikan laki-laki itu tidak terluka.
Tak ada jawaban dari Yuuto. Menik justru semakin waspada jangan sampai Yuuto membalasnya. Lima menit kemudian, Yuuto menegakkan tubuh dengan wajah yang merah. Dia mendekati Menik sambil memperhatikan setiap detail wajah Menik agar tidak mengalami kesalahan yang sama karena meremehkan kekuatan perempuan yang terdesak.
Menik semakin menjauh. “Sensei, jangan be—”
Namun, yang terjadi, justru Yuuto meraih tangan Menik dan menarik tubuh perempuan itu ke dalam dekapannya. “Percuma aku khawatir. Ternyata kamu begitu kuat. Kepalamu sangat keras seperti sifatmu.” Yuuto mengecup pucuk kepala Menik.
“Lepas ….” Menik masih was-was. Dia berusaha mendorong dada Yuuto menjauh. Tapi rengkuhan Yuuto semakin kuat seolah ada lem yang membuat tubuh mereka rekat.
“Kenapa kamu takut denganku? Kamu pikir aku akan menodai kesucianmu sebagai janda? Walaupun aku ingin, aku tidak akan melakukannya tanpa persetujuanmu.”
“Lalu … lalu kenapa ….”
Suara berat Yuuto yang terkekeh membuat Menik mengernyit. Kepala Menik mendongak, walaupun masih menempel ke dada Yuuto. Jarak wajah mereka begitu dekat, sehingga Yuuto bisa melihat jerawat kecil yang tumbuh di dekat alis Menik. Apalagi saat melihat bibir Menik, jantung Yuuto tiba-tiba menggila. Dia memutuskan melepas tubuh perempuan itu, daripada ada hasrat yang kembali menggeliat.
“Aku hanya ingin mengambil seragam yang kamu pakai untuk selimut.” Yuuto mengusap dahinya kasar, berharap suara gemerisik rambut bisa menyamarkan debaran di dadanya.
“Ah ….” Wajah Menik seketika memerah. Dia membuang pandang ke arah lain lalu melepas baju itu. Dia mengulurkan pakaian Yuuto ke arah pemiliknya tanpa berani melihat.
Yuuto mengulum senyum. Sungguh menggemaskan sekali ekspresi malu Menik. “Maka dari itu, jangan mudah berpikir buruk.”
“Aye hanya menjaga diri!” sahut Menik cepat dengan mata menyipit sengit. “Lagipula kenapa Sensei kagak bilang.”
Yuuto bersorak ‘banzai’ dalam hati mendengar Menik melupakan kalimat baku yang selama sehari kemarin dipakainya untuk berbicara. Namun, rupanya Menik menyadari mimik Yuuto yang menahan tawa kecil.
“Seharusnya Sensei katakan sejak dari tadi.” Menik tetap tidak mau disalahkan. “Maka dari itu, saya bisa menjaga diri.”
Bibir Yuuto tertarik lebar, kemudian mengacak rambut Menik yang sudah kusut. Mulut Menik mencebik, walau hanya terlihat sekilas.
“Bagus. Tapi lebih bagus, kalau tadi kamu benar-benar bisa melumpuhkanku sehingga aku tidak berkutik. Bagaimana kalau aku benar-benar berniat jahat?”
Menik menggeleng. “Tidak mungkin. Hati Sensei begitu baik dan lembut. Sensei tidak akan mencelakaiku.”
“Lalu … tadi? Kenapa menyerangku?”
Menik menunduk dengan bibir terkatup rapat. Namun, Yuuto sudah bisa menduga jawabannya. Menik mempertahankan harga dirinya sebagai janda Soeripto ….
***
Setelah sarapan, Yuuto akhirnya membuka suara karena sedari tadi Menik hanya terdiam. “Jadi, apa keputusanmu?” tanya Yuuto seraya mengusap sisa air di bibir merahnya.
“Saya … harus pulang.”
Hati Yuuto mencelus. Rahangnya seolah tertarik gravitasi sehingga mulutnya menganga lebar. Mata sipitnya pun mengerjap. “Ka-kamu pulang? Kamu memilih Joko?” Lidah Yuuto terasa kelu seolah pita suaranya terjepit.
Menik menunduk. “Maafkan … Tapi saya sudah putuskan.”
“Kamu memilih Joko?”
“Ya. Kenapa tidak? Bang Joko lelaki yang baik, berpendidikan, ningrat, dan … cukup kaya. Setelah dipikir-pikir kembali, tidak ada salahnya saya memilih Bang Joko.”
Jakun Yuuto naik turun, kesusahan menelan ludahnya sendiri. Dia menyambar gelas yang ada di sisi kanannya, dan meneguk cepat. Ingin rasanya Yuuto menggelondorkan nyeri yang menyangkut di dada.
Menik memilih Joko? Yuuto menggeleng masih belum mempercayai apa yang didengar. Dia meletakkan gelas itu dengan kasar hingga alat makan yang lain bergetar dan sendok yang ada di atas piring Menik berdenting pelan. Tangan kekar itu mencengkeram gelas hingga pembuluh darah di punggung tangannya menonjol, untuk melampiaskan kekecewaan.
“Baiklah. Kalau itu maumu … aku akan memulangkanmu setelah sarapan.”
***
Selama perjalanan, tak ada percakapan di dalam kabin mobil. Hanya deru mobil yang melaju yang memeriahkan sunyi mereka. Walau mata Yuuto memandang ke depan pada sekelompok anak kecil yang berangkat ke sekolah, tapi pikirannya tak ada di situ.
“Awas!” Menik memekik saat nenek tua berjalan membawa kayu di punggungnya. Seketika Yuuto menginjak pedal rem dan kopling untuk menghentikan putaran roda hingga decitan memekikkan mengundang perhatian semua pengguna jalan.
Yuuto mengumpat dalam bahasa Jepang yang paling kasar, tapi Menik tahu bahwa lelaki itu dalam kondisi suasana hati yang tidak nyaman.
“Maaf ….” Menik sedikit membungkuk.
“Sudahlah! Aku tidak ingin dikasihani!” Setelah nenek yang menyeberang itu menepi, Yuuto kembali menginjak pedal gas dengan tiba-tiba hingga tubuh Menik tersentak. “Aku sudah melakukan yang aku bisa, Menik-san. Aku hanya ingin melindungi kamu. Walau sejujurnya, aku sendiri tak bisa memastikan keamananmu … dan masa depan kita.”
Menik menggigit bibirnya. Dia menoleh ke arah kaca jendela, menatap pepohonan yang lari ke arah berlawanan.
“Apa rencanamu setelah ini?” tanya Yuuto mendapati kebisuan Menik. “Berarti … kamu akan mengikuti Joko-san ke Blitar.”
“Bisa jadi. Bang Joko pernah mengajak saya.” Suara Menik yang lirih seolah menggaung di telinga Yuuto dengan keras.
Yuuto mengeratkan pegangan di kemudi bulatnya. “Kalau misal … tadi aku nekat. Apakah kamu mau bersamaku?”
Menik menoleh, dan tersenyum sendu. “Kata Anne, seorang gentleman tidak akan menyakiti gadis. Saya tidak tahu apa arti gentleman … pria yang lembut?” Menik menelengkan kepala. “Yang jelas, bertemu Kagami Sensei, membuat saya tahu artinya seorang pria yang lembut hatinya.”
Tetapi juga jantan …. tambah Menik dalam hati.
Yuuto mendengkus. "Katakan saja pada Joko."
Menik tersenyum.
"Sial! Kenapa malah senyum-senyum? Kamu sebegitu senangnya berpisah denganku?" Suara Yuuto meninggi. Dia bahkan memukul setir hingga raungan klakson mengagetkan seorang tukang kerak telur keliling.
"Ya sudah, saya tidak tersenyum. Saya senyum saja untuk Bang Joko."
Yuuto menggeram. Tangannya bergetar hebat karena darahnya mendidih terpercik api cemburu. Daripada mereka berulang kali hampir menabrak orang, maka Yuuto berusaha fokus menyetir dan tidak membahas tentang Joko.
Lima belas menit berlalu, hingga akhirnya gang menuju perkampungan Menik terlihat dari pandangan.
"Sensei … berhenti di sini saja."
Rahang Yuuto mengerat. Dia mengikuti titah Menik dan menepikan mobil di bahu jalan. Laki-laki Jepang itu menatap wajah sendu Menik yang tersorot cahaya matahari.
"Saya tidak ingin terlihat menumpang di mobil tentara Dai Nippon."
Yuuto menghela napas panjang, berusaha menghalau kesedihan akan perpisahan. Perkataan Menik membuat Yuuto menyadari posisinya. Dia sudah berusaha, tapi hasilnya justru mengecewakan. Yuuto terlalu percaya diri, menganggap perempuan itu akan memilihnya.
"Baik." Suara Yuuto serak. Tenggorokannya dicekik oleh kekecewaan akan kehilangan. Dia memalingkan muka enggan melihat kepergian Menik.
Namun, suara derik pintu yang terbuka tak juga terdengar. Akhirnya Yuuto menoleh pelan.
"Menik-san?" Alis Yuuto mengernyit.
"Bagaimana saya bisa pergi kalau Sensei merajuk seperti balita?"
Mata Yuuto mengerjap. Dia memperbaiki mimiknya. Menik pasti menganggapnya seperti laki-laki yang mengenaskan nasib cintanya. "Aku tidak merajuk."
"Itu." Menik mengangkat dagunya.
"Mana?" Yuuto menepuk pipinya dengan keras.
Mendengar kekehan Menik yang keras, Yuuto menyipitnya matanya tak senang. "Sudah sana. Aku mau kembali bekerja."
"Benar aye diminta pergi?"
"Mak-maksudmu?" Alis Yuuto semakin menukik tajam hingga tercetak dua guratan di pangkal hidung.
Menik melipat bibir, sambil menyibak anak rambutnya ke belakang telinga kanan. "Aye mau jadi perempuan yang mengisi lambung Sensei yang kosong sehingga Sensei bisa sehat. Aye mau memenuhi jiwa Sensei dengan kebahagiaan dan semangat seperti dulu."
Satu per satu kata yang terlontar dari bibir Menik itu menabuh gendang telinganya, menggetarkan perasaan bahagia yang membuat bibir Yuuto tertarik lebar.
Sementara itu, batin Menik menghangat melihat paras cerah seperti mentari yang menyinari bumi pagi ini. Walau tahu jalan yang mereka lalui akan terjal dan berliku.
"Tapi … kenapa tiba-tiba berubah pikiran?"
Menik mendesah. "Yang kutahu, aku tidak bisa bersama bersama Bang Joko."
"Kenapa?" Yuuto masih tidak percaya dengan keputusan Menik.
Menik hanya tersenyum. "Tunggu saya di depan gang sesudah maghrib nanti. Saya akan memulangkan Lela dan juga berpamitan dengan Bang Joko lebih dulu."
"Tapi …."
"Percaya saja. Saya akan muncul."
***
Langkah Menik terasa berat saat menapaki jalan gang yang berdebu. Dia sudah memilih. Tak ada lagi jalan mundur. Semua telah dia pikirkan baik-baik. Bahkan sebelum tidur dia berdoa rosario untuk mendapat petunjuk.
"Mpok, Mpok kemana saja? Lela takut!" Lela menghambur ke pelukan Menik begitu perempuan itu memasuki rumah.
Joko sudah ada di situ bersama dengan laki-laki tinggi yang dia tahu bernama Dewandaru.
"Ah, ada Bang Daru." Menik tersenyum.
Joko bangkit, menghampiri Menik dan berganti memeluknya. "Nik, kamu dari mana? Aku wedi banget (Aku takut sekali)!"
"Abang tenang saja. Aye bisa jaga diri." Menik tersenyum sendu. Matanya berkaca. Mungkin pilihannya akan membuatnya kehilangan sosok kakak yang sangat baik.
"Koen saka endi wae (Kamu dari mana saja)?" Joko mengulangi pertanyaannya karena belum mendapat jawaban.
"Aye kemarin dari Sendenbu. Aye hampir diculik, tapi aye bisa melarikan diri karena dibantu Kagami-Sensei."
Joko dan Dewandaru saling pandang. "Kami dengar, memang penculikan itu digagalkan Kagami Sensei. Tapi kamu sendiri yang menghilang, sementara, perempuan lainnya bisa pulang."
"Kagami Sensei membawaku ke Klender." Menik duduk di bangku panjang sebelah Daru, diikuti Joko. Dia berdeham. Mengatur kalimat untuk menyampaikan kabar keputusannya. "Sendenbu memutus pesanan. Mak Ipeh mau pulang. Bang Joko juga akan pergi ke Blitar. Jadi, aku akan menutup warung dan menerima tawaran Sensei untuk menjadi juru masak di kediaman Kagami."
"Apa?" Semua yang ada di situ sontak mengatakan hal yang sama. Bahkan Menik menduga bola mata Joko bisa keluar saking lebar pelototannya.
"Sepertinya tawaran itu bukan ide yang buruk."
Joko menggeleng. "Tidak! Tidak bisa! Lagipula aku akan membatalkan pergi ke Blitar."
"Sodancho Joko! Apa maksudmu?" Kali ini suara Daru meninggi.
"Mas Daru … aku … aku …."
"Sodancho Soeprijadi sudah menunggu kita. Kamu tahu kan apa yang akan kita lakukan?" Suara Daru berusaha ditahan. Matanya bergulir ke kanan kiri memastikan tidak ada yang menguping di balik dinding anyaman bambu.
"Aku tahu. Tapi, setelah kejadian tadi … hatiku rasanya remuk saat tahu Menik tidak ada." Joko terlihat linglung.
"Bang, kediaman Kagami adalah tempat yang paling aman. Aye tahu Abang ke Blitar bukan semata-mata dipindah tugaskan. Ada urusan yang lebih penting yang menunggu." Menik berusaha tenang, walau batinnya bergemuruh. "Kalau aye memilih ikut Abang, pergerakan Abang bakal terhambat."
"Tapi, Nik … dia … dia …." Lidah Joko kaku, tak bisa menggetarkan kata.
Sementara itu, kedua alis Menik terangkat menanti lanjutan perkataan Joko. "Dia apa, Bang?"
"Dia … Yuuto Kagami sebenarnya …."
💕Dee_ane💕
Abang Sensei ngambek ih, kek balita ...
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro