Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

27. Desas-desus

Hallo, Dee datang lagi. Selamat Idul Adha untuk yang merayakan. Semoga kalian terhibur. Jangan luoa ramaikan yak

💕💕💕

“Menik! Kamu dari mana saja?” Sergahan Joko menyambut Menik yang baru saja datang pagi itu. Satu tangannya menjinjing keranjang anyaman bambu yang sudah diisi dengan beberapa bahan mentah untuk dimasak dan dijual nanti.

Menik tersenyum sambil meletakkan keranjangnya di atas meja panjang. Walau masih pagi, keringat Menik sudah bercucuran membasahi baju kebayanya. Dia meraih gelas belimbing lalu menuang air dari kendi tanah liat.

“Aye dari pasar. Kenapa?” jawab Menik setelah berhasil meneguk segelas air. Dia memang tidak berbohong. Sewaktu dia pergi meninggalkan kediaman Edogawa, Menik memutuskan untuk langsung mampir ke pasar.

“Aku menunggumu sepanjang malam! Kamu tidak pulang!” Raut Joko masih sangat masam. Suaranya sudah meninggi satu oktaf hingga membuat Lela berdiri membeku sambil memegang sapu.

“Maaf. Aye ada perlu.”

“Perlu apa? Perlu apa sama Edogawa-dono yang tukang gali lubang perawan?” Kini wajah Joko sudah memerah, tak bisa menahan kemarahannya lagi.

Menik masih duduk di tempatnya, menatap nanar Joko yang meluapkan amarahnya. Dia tidak berusaha membela diri, ataupun mengiyakan. Lagipula, Menik sendiri yang memutuskan mau diajak ke kediaman Edogawa.

“Maaf. Aye janji kagak bakal terjadi lagi hal seperti ini.” Menik mengembuskan napas panjang. Sorotnya tampak sendu. Walau senyumnya menghiasi bibir, tetap saja hatinya tidak bisa berbohong.

Joko kemudian mengalah. Dia lalu duduk di sebelah Menik dan membelai anak rambut yang menjuntai acak menutupi pipi yang tak setembam dulu. “Maaf. Aku hanya mengkhawatirmu, Nik.”

“Aye tahu. Kali ini aye janji kagak akan bikin Bang Joko khawatir lagi.”

Satu detik kemudian, tubuh Menik yang terlihat sedikit susut itu sudah direngkuh oleh Joko. Dia berbisik pelan. “Aku khawatir nasibmu sama dengan Asih. Walau nasibnya lebih baik daripada para perempuan yang dibawa ke ianjo, tetap saja harga dirinya direndahkan seolah dia barang. Bahkan keperawanannya dilelang dan dihargai dengan uang. Sekarang untuk mengeluarkan Asih, Udin tidak mampu.”

Mata Menik terpejam. “Nasib lebih baik? Apakah menjadi pelayan kebutuhan biologis laki-laki di Kalijodo itu nasibnya lebih baik?”

“Setidaknya … mereka masih dianggap manusia. Tidak seperti di ianjo yang memperlakukan perempuan seperti anjing di musim kawin.”

Menik bergidik, lalu menarik badannya. “Bang, kapan perang berakhir? Sepertinya tak hanya kita saja yang menderita. Orang-orang Dai Nippon pun pasti menderita.”

Joko tersenyum miring. Dia menyandarkan punggungnya di meja yang terletak di belakangnya. “Perang akan berakhir … jika Dai Nippon minggat dari bumi Indonesia!”

Mendengar ucapan Joko, hati Menik mencelus. Bila Dai Nippon pergi dari negeri Zamrud Khatulistiwa ini, lalu bagaimana dengan hatinya. Bagaimana dengan Yuuto?

Menik kemudian menarik napas panjang untuk mengisi paru-parunya, seiring dengan keputusan bulat yang akan dia ambil.

Ya, aku harus melupakan Yuuto Kagami.

***

Hidup Menik kembali bergulir. Seperti dulu. Sewaktu Yuuto tidak ada di dalam hidupnya. Dia ingin kembali hidup tenang, di tengah situasi dunia yang meradang. Bagi Menik, biarlah penguasa berperang, asal dia masih bisa makan dan mengumpulkan uang untuk dikirim ke kampung, itu saja sudah cukup.

Ketiadaan Yuuto, dimanfaatkan Joko untuk benar-benar melindungi Menik. Terlebih karena desas-desus yang santer beredar itu, Joko juga selalu berusaha mengantar Menik berbelanja ke pasar saat subuh.

Walau sudah mendapat protes dari Joko, nyatanya pekerjaan menyetor makanan ke Sendenbu pun tetap Menik lakukan. Sebagai jalan keluar dari kecemasan Joko, maka untuk pengiriman makanan Menik meminta tolong Udin, agar dia tidak perlu keluar dari rumah. Menik tetap bersikeras mengambil pesanan karena dia mendapat untung yang lumayan dari pekerjaan itu.

Menjelang pukul sebelas, Lela sudah mempersiapkan keranjang berisi bungkusan makanan. Hari ini Udin tidak bisa mengantar karena harus pulang ke Bandung, sehingga dengan terpaksa Menik pergi sendiri. Walau Lela sudah menawarkan diri, tapi Menik takut melepas Lela.

Setelah Lela memanggilkan dokar, Menik pun naik ke atasnya bersama dengan keranjang yang dipenuhi bungkusan daun pisang.

"Mpok, apa kagak minta Mang Dadang saja yang mengantar?" Lela tampak cemas.

"Kang Dadang kagak tahu tempatnya. Tahu-tahu nanti malah salah." Menik membetulkan letak kerudungnya agar menjuntai menutupi dada montoknya. Dia selalu teringat kata Yuuto untuk memakai baju kurung yang longgar, agar tidak membuat mangsanya lapar.

Lela berdecak. "Bang Joko sudah pesan—"

"La, aye butuh duit. Kalau aye kagak kerja, darimana aye bisa dapat rezeki? Emang berkah itu datang dari langit? Kagak juga, 'kan?" Setelah memastikan duduknya nyaman, Menik kemudian memberi titah pada Dadang, "Kang, ayo berangkat."

Pandangan Lela yang cemas, mengantarkan setiap langkah kaki kuda yang menapak di jalan berdebu, saat menarik kereta. Menik melambaikan tangan, memberi isyarat agar remaja putri itu segera masuk dan melanjutkan pekerjaannya.

Sudah seminggu ini, Menik tidak menginjakkan kaki di Sendenbu. Ketika dokar Kang Dadang berhenti di samping luar pagar, Menik merasa dunia di luar rumah Menik tetaplah sama, walau perasaan Menik yang berbeda. Ya, sejak kepergian Ripto, gedung di daerah Menteng 31 ini menyisakan berbagai kenangan tersendiri.

Bila memasuki gedung bekas bangunan hotel pada era Hindia Belanda, berbagai perasaan campur aduk bersatu seperti gado-gado. Kalau dulu, batinnya akan menghangat saat melihat lukisan Ripto saat yang masih terpajang manis di sepanjang lorong gedung itu. Di sisi lain, ketika dia melihat pintu jati tinggi yang menjadi pintu ruangan Kenta, batinnya terasa perih karena tempat itu menjadi tempat pertemuan dengan Yuuto yang kini menyisakan luka.

Suara sandal yang dikenakan Menik terdengar menggema keras saat menapak lorong panjang yang sepi. Tak ada suara keriuhan yang bisa ditangkap oleh telinganya. Entah kenapa, hari ini, Sendenbu terlihat lengang. Berita disekapnya dokter Achmad Mochtar, rupanya membuat para pemuda yang sering berkumpul di situ menjadi was-was. Menurut cerita Joko, pergerakan para pemuda di dalam asrama Angkatan Baru Indonesia yang awalnya dibentuk oleh Jepang itu semakin terselubung, agar dicurigai.

Saat akan mengedarkan makanan, Menik semakin heran karena menghadapi ruangan kosong. Dia juga bingung ketika mau meletakkan makanan, sehingga akhirnya memutuskan untuk menemui Kenta.

“Menik-san? Kenapa kamu di sini?” tanya Kenta keheranan saat melihat Menik masuk ke dalam ruangan. Laki-laki itu tampak tergesa membereskan berkas, seperti dikejar sesuatu.

“Mengantarkan makanan. Sekaligus mau mengambil uang makan. Sepertinya Mpok Nori tidak datang.” Menik masuk begitu saja dan meletakkan bungkusan makanan berisi oseng kacang panjang dan telur dadar serta tempe, di atas meja Kenta.

Kenta berdecak, sambil mengacak rambutnya yang sejak Menik datang sudah terlihat tidak rapi. “Kemarin saya sudah mengatakan pada Udin-san agar tidak perlu mengantar makanan.”

Menik menelengkan kepala. Dia memang sempat bertemu Udin kemarin, sewaktu mengembalikan keranjang dan uang. "Mang Udin tidak mengatakan apapun. Tapi, ke-kenapa? Apakah ada masalah?”

Kenta mengambil dompet di saku belakang celananya, lalu menarik beberapa lembar uang. “Bisa dikatakan ada masalah. Kekuatan militer Dai Nippon terdesak di Pasifik. Bahkan gajiku sepertinya belum dibayarkan, karena pemerintah mengalami pailit. Ini, uangnya.” Kenta menyodorkan beberapa lembar uang yang seharusnya dia dapat dari Nori.

“Lalu apa hubungannya dengan pesanan makanan?” Menik masih belum bisa mencerna maksud Kenta.

“Pertama, karena pemerintah mengalami kerugian dan tidak bisa membayar gaji karyawan, sehingga membuat kami harus mengencangkan ikat pinggang. Ya … sebenarnya tidak ada dana khusus untuk makan siang. Kalau dulu kami memang patungan untuk membeli makan siang itu. Tapi sepeninggalan Ripto, tidak ada yang mengelola uang itu, sehingga aku memakai uang … ku.”

Menik mengerjap. Mulutnya seketika terbuka lebar mendengar kenyataan itu. “Lalu kenapa Edogawa-dono sampai repot-repot seperti ini?”

Kenta mendesah. Dia tersenyum dengan sorot sendu. “Selain karena makananmu memang enak, sepertinya aku harus membantu istri teman baikku yang tiba-tiba menjanda.”

Menik menelan ludah kasar. DIa tidak percaya selama ini dia mendapatkan belas kasihan dari Kenta. Tapi, dia tahu Kenta tidak mengharapkan apapun darinya. Perhatian Kenta seperti perhatian seorang kakak. Tidak lebih. Menurut cerita Ripto, Kenta selalu memperlakukannya dengan baik.

“Sebaiknya kamu jangan berkeliaran sendirian. Beberapa wanita di Sendenbu, termasuk Nori-san sudah dua hari ini tidak terlihat. Bahkan aku sendiri tidak tahu di mana perempuan itu berada.” Wajah Kenta terlihat tegang memperhatikan Menik yang masih menghitung uang.

“Ini ada kelebihan seribu.” Menik mengulurkan selembar uang seribu. Tak memperhatikan perkataan Kenta.

“Terima saja. Segeralah pulang setelah ini. Aku takut keselamatanmu. Ianjo membutuhkan banyak pasokan gadis baru karena para tentara membutuhkan hiburan untuk melepaskan kegelisahan karena akan dikirim perang ke perbatasan menghadapi Amerika.”

Menik menatap uang yang ada dalam genggamannya. Dia tak tahu apakah harus menolak, atau justru menerimanya. Yang jelas, yang dia tahu, untuk keesokan harinya, dia harus bekerja ekstra agar tetap bisa mengirimkan jatah bulanan kepada Mpok Indun.

Setelah mengucapkan terima kasih, akhirnya Menik berpamitan kepada Kenta. Dia berjalan dengan punggung melengkung saat keluar dari ruangan salah satu petinggi di Departemen Propaganda itu. Hidup tenang yang Menik idamkan sepertinya tidak akan semudah itu terwujud. Apalagi sekarang dengan pemasukan yang berkurang separuhnya, tentu akan membuat Menik tidak tenang karena harus berpikir agar bisa menutupnya.

Ketika Menik turun dari serambi gedung dengan pilar tinggi yang besar menyangga atap, tiba-tiba seseorang menghampirinya. Laki-laki pribumi dengan penampilan necis—kemeja bersaku depan warna putih tulang dengan celana panjang—itu menyapanya ramah. Rambutnya yang klimis ditata teratur dengan belahan menyamping.

“Kagami-sensei memanggilku?” tanya Menik dengan kernyitan alis, dan hidung mengerut. Ada bau tak nyaman yang menyeruak di penciumannya.

“Iya. Beliau ingin menemuimu di rumahnya.”

“Rumah di mana?” Menik merasa ada yang janggal.

“Ah, kebanyakan bicara. Ayo ikut saja!” Orang itu mulai menampakkan aslinya.

Menik semakin curiga. Ingatannya pada kabar buruk tentang penculikan perempuan kembali terlintas di kepala. “Kagak! Kalaupun Kagami sensei mau ketemu aye, pasti dia datang ke rumah aye."

Namun, laki-laki itu sepertinya tidak mengindahkan perkataan Menik. Dia justru menarik lengan Menik dan membekap mulutnya.

Sementara itu, mata Menik membeliak lebar saat telapak tangan itu menutup mulut dan separuh hidung. Dia berusaha melepaskan tangan yang menutup mulutnya, walau sia-sia. Suaranya pun teredam terhalang oleh telapak tangan yang kasar.

Mati aye! Ya Tuhan, apa yang harus aye lakukan? Sekuat tenaga Menik membebaskan diri dari cengkeraman tangan pemuda berbau tengik itu. Menik yakin dia memakai minyak kelapa yang sudah lama, alih-alih minyak rambut yang dijual di pasaran.

Walau Menik sudah mengerahkan seluruh energinya untuk melawan lelaki itu, tapi dengan mudah laki-laki itu bisa menariknya ke arah yang berkebalikan dari yang seharusnya. Menik masih terus berusaha berteriak memanggil Dadang yang terkantuk-kantuk di dokarnya hingga seluruh pembuluh lehernya menonjol dan mukanya merah.

Gusti, tolong aye!

Menik ditarik begitu saja oleh laki-laki yang berjalan terseok. Dia terlihat kewalahan menghadapi Menik yang terus melawan dan justru tidak membiarkan Menik bisa bergerak sesuka hati. Bahkan ketika sandal yang Menik kenakan terlepas karena terjegal batu, laki-laki itu membiarkannya.

Sementara itu, Menik tidak bisa mengimbangi langkah panjang laki-laki itu sehingga kakinya hanya terseret hingga membentuk dua garis di tanah berdebu. Dia berusaha memukulkan keranjang ke muka laki-laki kurus itu, yang membuat laki-laki melempar keranjangnya. Sekarang mata Menik sudah merah. Wajahnya basah selain karena air mata kengerian yang tak bisa dibendung, juga karena peluh di wajah akibat bekapan erat laki-laki itu.

Kepala Menik mulai pening karena tak bisa bernapas lapang. Telapak tangan itu sedikit menutup lubang hidung. Ditambah bau badan yang menyengat membuat lambung Menik mual. Ah, kenapa hari ini Sendenbu begitu sepi? Malang benar nasib Menik! Sekuat tenaga dia meronta, tetap saja tak bisa menandingi tenaga laki-laki kurus itu. Sampai di gerbang belakang, akhirnya Menik bisa sedikit lega, karena laki-laki itu melepas bekapannya walau masih mencengkeram kuat lengannya. Aroma tak enak itu akhirnya samar dihapus oleh embusan angin segar. 

Menik berusaha mengedarkan pandang ke segala arah. Di belakang gedung ternyata ada sebuah gerbang kecil yang menghubungkan ke jalan. Di jalan itu sudah ada truk yang menunggu. Rupanya tak hanya Menik saja korbannya. Sudah ada beberapa perempuan yang ada di atas bak truk.

"Ayo, naik!" Seorang tentara berseragam Dai Nippon yang berdiri di atas bak menyeringai puas melihat Menik seperti melihat mangsa gemuk yang mengundang rasa lapar.

Menik enggan. Bola matanya bergulir ke kanan kiri mencari celah. Tidak semudah itu dia bisa diculik. Masih ada tanggungan keluarga Bang Asman yang harus dia pikul. Terlebih dia sudah berjanji pada Lela dan Joko bahwa dia akan bisa menjaga diri.

Ketika laki-laki itu melonggarkan pegangan, Menik merasa saat itu waktu yang tepat untuk melarikan diri.  Dengan sisa energinya, Menik menepis kasar tangan itu dan menarik sarungnya ke atas hingga sebatas lutut untuk memudahkan pergerakan ayunan kaki. Tentu saja pelarian Menik segera dikejar oleh laki-laki beraroma busuk tadi. Dia yakin lelaki itu tidak akan membiarkan dia terlepas.

Napas Menik tersengal, saat melalui halaman samping gedung Sendenbu yang sepi. Dia menengok ke belakang sejenak dan melihat lelaki itu berlari pincang. Seketika ingatan Menik terhubung pada dua centeng yang pernah melecehkannya. Ya, laki-laki itu adalah centeng kurus yang kakinya pernah ditembak Yuuto.

Kurang ajar! Darah Menik sontak mengalir deras ke kepala. Energi yang hampir habis seolah terisi kembali oleh bara api kemarahan karena sudah hampir dilecehkan oleh orang yang sama dua kali. Namun, rupanya Dewi Fortuna tidak sepenuhnya berpihak pada diri Menik.  Saat dia akan berbelok, seseorang berhasil menyergapnya dan memukul tengkuknya dari belakang.

Seketika pandangan Menik kabur. Kesadarannya perlahan terkikis hingga akhirnya tubuhnya lunglai.

💕Dee_ane💕

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro