25. Menjenguk
Udah sampai part 25 aja. Silakan tinggalin jejak cinta ya. Semoga bisa daily update ....
💕💕💕
Menik tahu, dia salah telah menolak perhatian Joko. Bahkan kenyataan yang dikemukakan Joko itu masih saja dia tepis. Sejak kepergian Ripto, hanya Yuuto yang bisa membuat jantung Menik berdebar kencang.
Cara Yuuto memandangnya dan menangkap badan berisi Menik dengan tangan kurusnya pada pertemuan mereka yang pertama, telah menjerat hati Menik. Terlebih suara dalam dan berat yang berdialek aneh, wajah tirus yang pucat dengan sorot bersahabat serta senyum lebar, mampu membuat Menik terpikat. Kebaikan hati Yuuto dengan memedulikan nasib rakyat pribumi, tak ayal membuat Menik semakin kagum dengan sosok dokter militer itu.
Menik selalu berpikir, seandainya saja tidak ada perang, mungkin saja hubungan mereka akan berhasil. Namun, sepertinya Menik tidak usah berandai-andai. Karena sekarang yang terjadi, dunia menghadapi pergolakan dan Menik ikut terimbas dalam cinta yang menyakitkan.
Keesokan harinya, seperti biasa Menik akan datang ke Sendenbu untuk mengirimkan makanan pada pegawai Sendenbu dan organisasi bentukan Jepang—Jawa Hokokai—yang bermarkas di sana. Dia sengaja berkeliling untuk mengantar makanan lebih dulu, sebelum menghadap Kenta.
Di saat Menik sudah berada di depan Kenta, dia mengeluarkan sebuah rantang blirik hijau bersusun tiga dari dalam keranjang anyaman pandan yang sudah kosong.
"Apa ini?" Alis Kenta mengernyit.
"Ini … untuk Kagami-sensei," cicit Menik. Entah kenapa suaranya saat itu enggan keluar. Pipinya pun sudah seperti udang rebus yang baru matang.
"Ah …." Kenta manggut-manggut, melirik Menik di balik kacamata bulatnya.
Menik menggigit sudut bibir kiri bawahnya. Jemarinya saling bertaut untuk meredam kegelisahannya sendiri. "Kagami-sensei sepertinya kurang makan. Saya buatkan sop ayam kampung. Biasanya beliau lahap bila memakannya."
Kenta terkekeh keras. "Kamu naif sekali!" Kenta masih tak bisa mengendalikan tawanya. "Kamu sudah seperti istri Yuuto saja! Bisa-bisanya kamu melupakan Ripto semudah itu!"
Rahang Menik mengerat. "Maafkan atas kelancangan saya. Saya tidak pernah melupakan suami saya. Sebaliknya, saya memberikan makanan ini sebagai wujud kepedulian saya karena Kagami-sensei juga sudah peduli dengan saya dan keluarga Lela yang saya anggap seperti keluarga saya."
"Kenapa harus Yuuto-kun, Menik-san?" tanya Kenta dengan nada lebih lunak. "Masih banyak laki-laki lain yang menginginkanmu, tapi kenapa justru kamu menyukai Yuuto?"
Menik hanya bisa menggigit bibirnya. "Gomenasai (Maaf). Saya tahu saya yang keterlaluan. Tapi Edogawa-dono tidak perlu cemas, karena saya hanya memedulikan Kagami-sensei sebatas sahabat."
Kenta tersenyum miring. "Tidak. Menurutku, kamu sudah melupakan Ripto-san."
Menik menggeleng. "Tidak. Rasa cinta saya pada Abang Ripto akan terpendam selamanya dalam hati saya. Ketika saya kehilangan pijakan, kehadiran Tuan Dokter seperti udara segar dalam kesesakan hidup saya. Saya hanya ingin membalas budi baiknya karena telah membuat saya kembali pulih dari keterpurukan saya."
Kenta mengembuskan napas. "Jangan berharap banyak dengan laki-laki yang terlibat peperangan. Atau kamu akan terluka, Menik-san."
Menik hanya tersenyum sendu, saat nalarnya menyetujui ucapan itu. "Saya tahu. Terima kasih sudah mengingatkan."
Dengan dada membusung anggun, Menik berbalik, menutupi kecewanya. Tapi, langkahnya dihalangi oleh suara Kenta.
"Tunggu! Apa kamu mau menengok Yuuto? Setelah pulang dari Sendenbu semalam, dia demam."
Menik mengerjap. Seketika dia memutar tubuh. "Demam? Muntahkah?"
Mata Kenta menyipit, menatap Menik yang bereaksi spontan. Walau bibir Menik tidak mengakui perasaannya, tapi Kenta bisa menyimpulkan sendiri.
"Ayo, aku antar ke rumahku. Lagipula hari ini aku harus bermalam ke Kalijodo. Tidak ada orang yang akan merawatnya. Menyusahkan saja anak bungsu Kagami ini!" rutuk Kenta tak jelas.
Senyum tipis terbit di wajah Menik. Dia melipat bibirnya untuk menyembunyikan gejolak perasaan bahagianya. Ya, cukup memastikan Yuuto baik-baik saja, Menik sudah puas.
Setelah memberitahu Udin bahwa dia akan pergi ke rumah Yuuto bersama Kenta, Menik kemudian masuk ke mobil petinggi Sendenbu itu.
Menik dipersilakan duduk di depan, di sebelah Kenta. Saat mobil sudah keluar dari halaman gedung Departemen Propaganda, kabin mobil hanya dipenuhi bising mesin mobil. Sementara itu, Menik duduk dengan gelisah, karena tidak sabar untuk segera sampai. Bila Menik bisa mengemudikan mobil ini, ingin rasanya dia melajukan dengan kecepatan maksimal. Tapi keinginan Menik tak sejalan dengan kenyataannya karena mobil itu bergerak secepat sepeda ontel yang dikayuh oleh laki-laki tua di seberang jalan. Untuk meredam kegundahannya, Menik mengedarkan pandangan ke luar jendela, pada pemandangan lalu lalang sepeda ontel yang dikendarai baik tentara maupun warga sipil dan anak-anak yang berjalan bersama saat pulang dari sekolah rakjat.
"Ano … Menik-san?"
Menik terkesiap mendengar panggilan Kenta. Dia merasa canggung berada dalam satu atap mobil dengan laki-laki yang terkenal hidung belang di Sendenbu. Walau begitu, Menik tahu dari cerita Ripto bahwa Kenta begitu baik. Kenta paling tidak bisa melihat sahabatnya terkena kesusahan. Seperti dulu saat Ripto mencari rumah yang sedianya dipakai untuk tempat tinggal Menik dan Ripto setelah menikah, Kenta bahkan rela berkeliling Djakarta untuk mendapatkan rumah yang murah.
"Maaf … kalau akhir-akhir ini aku terlalu keras. Apa kamu percaya Yuuto-kun akan bermain perempuan?” Gelengan Menik diikuti dengkusan Kenta. Dia paham, bahwa usahanya menipu Menik tidak berhasil.
“Hanya saja …." Kenta menjeda ucapannya. Dia melirik dari balik kacamatanya. “Aku tidak ingin kamu bersedih lagi. Sebelum Ripto-san dieksekusi, aku sempat menemuinya. Dia menitipkan kamu kepadaku. Aku diminta menjagamu, termasuk tetap mengambil pesanan makan siang di tempatmu. Setidaknya sampai kamu mendapatkan kembali tambatan hatimu.”
Menik menggigit bibir bawahnya. Matanya perlahan berkaca-kaca, hingga bayangan Kenta terlihat kabur. “Arigatou. Tapi, saya bisa sendiri.”
“Aku tahu, kamu bisa sendiri. Tapi wasiat, tetaplah wasiat. Setidaknya, bebanku akan berkurang kalau kamu segera menikah. Bukankah kamu dekat dengan Joko-san, adik sepupu Ripto? Akan lebih baik bagimu kalau ada laki-laki yang bisa menjagamu. Tapi bukan kami, laki-laki Jepang yang ditakdirkan bergelut dengan peperangan.” Kenta memutar gagang di badan pintu untuk menurunkan kaca jendela mobil agar angin sepoi masuk ke dalam kabin mobil. Kenta tahu, pembicaraan tentang Ripto bukan merupakan pembicaraan yang membuat hati nyaman. Baik untuknya, maupun untuk Menik.
“Menikah? Sepertinya saya belum berpikir ke sana. Hubungan saya dan Bang Ripto sudah pernah dipersatukan Tuhan dalam ikatan pernikahan suci. Tapi di saat saya sedang bahagia, Tuhan merenggutnya kembali.” Menik menunduk, menyembunyikan wajah sendunya.
“Masalahnya … akhir-akhir ini aku mendengar, banyak penculikan perempuan untuk dibawa ke ianjo. Tak peduli gadis, bersuami, beranak, atau bahkan janda. Ya, aku tahu ini juga ulah kami, demi memasok wanita ke ianjo untuk hiburan para tentara. Bila perempuan itu cantik, nasibnya bisa lebih beruntung, dibawa ke Kembang Djepun atau Kalijodo untuk bisa dinikmati oleh para petinggi dengan harga yang lebih fantastis.”
“Seperti anda?”
Kenta terkekeh. “Ya … begitulah. Itu hiburanku di saat perang seperti ini. Hanya saja Menik-san … aku tidak ingin kamu bernasib sama seperti yang lain. Kamu … istri sahabatku. Aku ingin melindungi kamu. Kalau Ainur-san, Yamaguchi-san sampai mati-matian membawanya ke Sendenbu dan menikahinya. Kalau kamu? Tidak mungkin Yuuto menikahimu, karena dia anak petinggi Kempetai yang disegani. Pernikahan adalah hal yang krusial untuk keluarga Kagami. Setiap anak sudah mendapatkan jodoh perempuan yang dianggap sepadan.”
Menik menelan ludah. “Sepadan?” gumamnya tanpa sadar.
“Ya. Sepadan dalam artian bisa melejitkan karir militer anak-anak mereka. Seperti Kolonel Kagami sendiri yang menikahi putri Jenderal kepercayaan Kaisar,’ terang Kenta sambil masih memperhatikan kondisi jalanan yang berdebu di siang hari yang terik. “Itupun, Kolonel Kagami masih mengambil satu selir karena dia mencintai ibunya Yukihiro."
Menik belum bisa mencerna omongan Kenta. Dia hanya memasang telinga saja.
"Jadi, yang ingin aku katakan di sini, jangan berharap pada Yuuto Kagami.”
Percakapan mereka pun berakhir, saat roda mobil sudah berbelok ke arah halaman yang dibatasi pagar hidup. Bangunan yang didesain dengan mengawinkan gaya arsitektur barat dan arsitektur tropis itu letaknya tidak jauh dari Sendenbu. Rumah yang sekarang ditempati keluarga Edogawa merupakan salah satu rumah rancangan Pieter Adrian Jacobus Moojen, arsitek sekaligus pendiri perusahaan real estate pertama di Hindia Belanda yang bernama N.V. de Bouwploeg, dalam proyek kota taman di kawasan Nieuw-Gondangdia yang pembangunannya dimulai tahun 1920-an.
“Untuk sementara, Yuuto tinggal di sini. Seperti biasa … kalau dia bersitegang dengan ayahnya, dia akan datang kemari,” kata Kenta sambil memimpin jalan di depan.
Menik yang ada di belakangnya, hanya mengangguk saja. Walau tak asing dengan bangunan Eropa seperti ini, Menik tetap saja terpukau dengan interior yang ada di dalamnya. Furniture ukiran Jepara mendominasi perabot yang ada di ruang tamu hingga ruang makan.
“Di sini kamarnya. Aku akan meninggalkan kalian.”
“Tunggu!”
Kenta urung berbalik. “Ada apa?”
“Saya ingin menghangatkan supnya, bila Yuuto-kun … eh, Kagami-sensei bangun nanti.” Pipi menik terasa panas. Dia yakin pipi tembamnya kini sudah semerah tomat karena salah memanggil nama.
“Bisa. Di dapur. Aku akan memberitahu bagian dapur untuk membantumu nanti.”
Sepeninggalan Kenta, Menik akhirnya masuk ke dalam ruangan yang cukup besar. Di atas ranjang kayu jati berukuran besar, dengan kelambu abu-abu yang tersibak, berbaring Yuuto dengan wajah sepucat mayat. Kalau diperhatikan lagi, Yuuto terlihat lebih kurus dari sewaktu mereka bertemu. Perlahan tapi pasti, Menik mengikis jarak. Dia menaruh keranjang yang berisi rantang dan segera duduk di bibir ranjang.
Sementara itu, mengetahui ada pergerakan di ranjangnya, mata Yuuto tiba-tiba terbuka. Dia menggosok mata kasar karena merasa ada yang salah dengan matanya. “Kamu ….”
Menik membungkuk memberi salam. “Ini kali ketiga Tuan Dokter sakit.”
Susah payah Yuuto menegakkan badannya. Dia membeliak sambil mencengkeram lengan Menik. “Bisa-bisanya kamu ke sini? Bagaimana caranya? Kamu tidak tahu isu penculikan itu? Jangan keluyuran sembarangan!”
Menik tertawa walau batinnya tercubit. Ternyata dugaannya kemarin salah. Dia pikir Yuuto tak memedulikannya, tapi ternyata Yuuto tetaplah Yuuto Kagami yang sama, yang selalu mencemaskannya. “Aye bareng Edogawa-dono.”
Yuuto berdecak. Dia menatap dalam-dalam pipi Menik yang menggemaskan. “Jangan pergi jauh-jauh. Sebaiknya kamu minta Joko menemanimu.”
Menik mengeratkan rahangnya. Lidahnya terasa kaku tapi tetap saja dia harus membuka mulut. “Aye tahu kalau aye hanyalah perempuan Betawi bodoh yang kagak ada hak buat milih, termasuk milih laki-laki. Aye juga sadar kalau aye kagak secantik Mbak Ningrum. Sudah untung Bang Ripto memilih aye, dan sekarang Bang Joko juga ada rasa dengan aye. Tapi … tapi, aye kagak bisa. Aye kagak mau memanfaatkan perasaan Bang Joko.”
Yuuto memijat pelipisnya dengan jempol dan jari tengah kanannya. Dia menggeleng-geleng, tak percaya dengan kenaifan Menik. “Apa kamu sadar … di dekatku, kamu tidak akan aman! Aku orang Jepang!”
“Tapi Yuuto-kun orang Jepang yang baik.” Dengan polosnya Menik menjawab, menepis penolakan Yuuto.
“Aku tidak seperti yang kamu kira. Kamu akan takut bila melihat kenyataannya, dan menganggapku monster!”
Menik mengelus pipi kurus Yuuto. “Untuk sekarang … aye hanya ingin mengikuti hati aye. Tiga minggu lebih, aye cemas, dan sekarang melihat sensei seperti ini … aye kagak bisa berdiam diri.” Dia lalu bangkit, tapi tangannya ditahan oleh Yuuto.
“Kumohon pergilah! Lupakan kita pernah bertemu!”
💕Dee_ane💕
Dokter kok sakit mulu?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro