23. Baik-Baik Saja
Percakapan Yuuto dan Yudha terhenti saat dokter Achmad Mochtar dibawa masuk ke dalam sel nomor sepuluh di mana kedua dokter muda itu berada. Kedua junior itu, menyambut dokter yang masih tampak tegar walau bajunya sudah mengecap garis merah kecoklatan karena kulit di bawahnya terluka terkena cambukan. Wajahnya pun tak kalah mengenaskan dari Yudha.
Untuk sesaat mereka duduk di lantai dingin dan lembab dalam diam. Sesekali kesunyian mereka diisi dengan tawa tahanan yang akal sehatnya sudah mengabur akibat disiksa dengan tidak manusiawi.
"Yuuto-kun, sebaiknya, anda tidak perlu membela kami. Itu jauh lebih berbahaya untuk anda."
Seperti anak kecil, Yuuto memeluk kakinya yang tertekuk. Kepalanya menggeleng. "Tidak. Aku tahu pasti kalau kalian tidak bersalah. Bagaimana bisa aku diam?"
Dokter Achmad masih bisa terkekeh walau badannya sudah remuk. Yuuto heran, terbuat dari apa mentalnya hingga tak ada rasa gentarpun yang tersorot dari matanya.
"Dok, bagaimana nasib kita?" Suara Yudha bergetar. Selain karena menggigil dingin, tak dimungkiri dia dilanda ketakutan. Sedari radi dia menutup telinganya saat mendengar gemericik air yang mengingatkannya pada siksaan yang beberapa hari ini dia dapatkan.
"Nasibmu baik-baik saja. Kamu akan tetap menikah dengan Dayu." Dokter Achmad mencoba menghibur walau sebenarnya dia juga perlu dihibur. "Tahun depan kan?"
"Dok, bukan itu-"
"Kamu tidak usah khawatir, Yudha. Semua akan baik-baik saja." Senyum dokter Achmad itu menimbulkan desir nyeri di hati Yuuto. Bisakah dia setegar itu dalam menghadapi hidup di masa perang?
***
'Baik-baik saja' yang dimaksud Dokter Achmad akhirnya baru bisa dipahami oleh Yuuto dan Yudha beberapa kemudian. Pagi itu, sebelum subuh bulan November 1944, derak pintu kayu yang terbuka kasar membangunkan mereka bertiga. Badan ketiganya sudah kurus kering. Hanya Yuuto yang masih beruntung tidak terluka karena tidak pernah mendapat penyiksaan. Kolonel Kagami rupanya tetap melindungi Yuuto dengan berbagai cara termasuk menyodorkan surat pernyataan bahwa Dokter Achmad Mochtar dan kawan-kawan mereka yang bersalah.
Begitu sel terbuka, Yudha diangkat paksa oleh seorang tentara, walau pemuda itu belum sepenuhnya terjaga. Sementara Yuuto yang masih gelagapan, mengumpulkan nyawa untuk mencerna apa yang terjadi.
"Lepaskan!" Yudha yang dikunci lengannya ke belakang, berusaha memberontak.
"Ada apa ini?" Mata sipit Yuuto memelotot lebar, bergegas bangun.
"Anda dan Yudha-sensei dibebaskan!"
Yuuto mengernyitkan alis. Pandangannya bersirobok dengan Yudha lalu tatapan keduanya sama-sama beralih kepada Dokter Achmad yang tersenyum sendu.
Yuuto menggeleng. "Kenapa hanya kami? Kenapa tidak dengan Achmad-sensei?"
"Hasil penyidikan mengerucut kepada Achmad-sensei. Beliau akan menjalani pengadilan dan selanjutnya menunggu vonis."
"Pengadilan?" Yuuto tertawa miris. Mana ada pengadilan, karena di markas ini, Kempetai sudah merangkap sebagai hakim dan algojo. "Pengadilan apa maksudmu?"
Yuuto memukul tentara itu hingga jatuh tersungkur. Napasnya kembang kempis dengan dada yang bergemuruh digulung amarah.
Dokter Achmad berdiri, menahan Yuuto untuk mengamuk. "Yuuto-kun!" Lelaki dewasa itu menggeleng. Sorotnya membuat Yuuto segan. "Jangan begini! Masa depanmu masih panjang."
"Tapi, ini tidak adil! Anda tidak melakukan tuduhan itu!" Yuuto berseru hingga pembuluh darah di lehernya menonjol.
"Dalam hidup, banyak hal yang terjadi di luar kendali kita. Tapi ingat, roda kehidupan tetap berputar. Perang akan berakhir. Sekarang ... berhentilah menyalahkan diri sendiri. Keluarlah dari pusaran rasa bersalah itu. Kamu harus yakin, semua indah pada waktunya. Hal baik akan datang pada saat yang tepat."
Detik berikutnya, Dokter Achmad memeluk erat Yuuto, dan berbisik, "Terima kasih. Terima kasih karena masih ada orang baik di tengah peperangan kejam ini. Jangan marah dengan ayahmu, Dokter Kagami!"
Derap sepatu lars yang semakin keras terdengar. Beberapa tentara masuk untuk melerai pelukan terakhir Yuuto. Sekuat tenaga Yuuto berusaha agar bisa membawa Dokter Achmad keluar, tapi tetap saja hal itu adalah sesuatu yang mustahil.
Yuuto dan Yudha kemudian diseret keluar dari penjara yang menguarkan bau amis dan pesing, yang selama beberapa minggu ini menjadi bagian dari napas mereka. Walau meronta, Yuuto tetap saja tak bisa melepaskan diri dari Kempetai yang mengunci lengannya.
"Dokter Achmad, aku pasti akan mengeluarkanmu dari sini! Aku janji!" Lolongan Yudha menggaung di seluruh penjuru sel saat dia dibawa keluar dari pintu yang lain.
Sementara itu, Yuuto justru digiring menuju ke ruangan kepala divisi intelijen yang tak lain adalah ayahnya sendiri. Begitu masuk ke ruangan itu, Yuuto disambut seorang laki-laki yang membaca koran dengan menghisap cerutu. Tampilan Kolonel Kagami masih saja necis, walau semburat lelah tak bisa dihapus di wajahnya.
"Selamat, Yuu-chan, kamu bebas." Kolonel Kagami melipat koran dan meletakkan cerutunya di bibir asbak. Asap yang mengepul, menguarkan aroma yang menyesakkan. Sesesak hati Yuuto yang kini muak melihat ayahnya yang kejam.
"Apa maksudnya ini?" Yuuto berdesis dengan bibir yang tak terlihat bergerak.
"Bersikap baiklah! Achmad-sensei sudah menggadaikan nyawanya untuk menyelamatkan teman-temannya dan ... kamu!" Suara Kolonel Kagami membuat kuduk Yuuto merinding seketika.
"Gadai? Nyawa?" Mata sipit Yuuto membulat di wajah yang terkikis lemaknya itu. "Dia tidak bersalah!"
"Ya! Sekuat apapun kami menyidik tetap saja kami tidak menemukan bukti kuat." Kolonel Kagami menunduk. Dia kemudian menghela napas sejenak sambil menatap lurus mata anaknya. "Yang salah adalah ... Sota Kagami yang ingin melindungi putra bungsunya dari tuduhan menjadi pengkhianat! Kalau tidak ada yang mengaku, bisa jadi kamu ikut terseret. Dan kamu tahu artinya. Ketidaksetiaan mencoreng nama baik keluarga berjiwa samurai kita! Keluarga kita akan lenyap karena kita akan mati di tangan katana warisan lekuhur. Ha-ra-ki-ri!"
Lidah Yuuto kelu. Tenggorokannya tercekat. "Jadi, Otousan yang ...."
"Ya, aku meminta Achmad-sensei menyudahi penderitaan teman-temannya. Aku tahu dia orang baik ... tapi masalah pelik ini dan juga masalah keluarga Kagami tidak bisa diselesaikan dengan hati."
"Jahat!" desis Yuuto dengan wajah makin memerah. "Sejak dulu Otousan selalu jahat! Bahkan dengan Okasan ... Otousan memilih untuk mengorbankannya. Demi kejayaan Otousan!"
Kolonel Kagami menggebrak mejanya hingga selembar kertas terbang di udara. "Aku mencintai ibumu. Dia meninggal ... jelas karena sakit!"
"Tapi, Otousan memilih pergi mengunjungi Kaisar daripada menemani Okasan yang sekarat!" Suara Yuuto kini meninggi. "Otousan hanya ingin nama Kagami dimuliakan. Menggunakan segala cara agar keluarga Kagami bisa terangkat, tapi ...." Yuuto menunduk sejenak. Dia memejamkan mata untuk menahan air matanya. Dengan menghela napas, dia kembali mendongak walau suaranya berangsur lirih. "Otousan tidak memedulikan Okasan. Aku benci ... terlebih Otousan memaksaku masuk menjadi dokter militer yang membuat aku gila! Ya, unit 731 membuatku gila! Anak bungsu Kagami sudah gila!"
Yuuto tertawa keras walau air matanya tidak bisa berhenti meleleh. Hatinya tercabik karena rasa kecewa dan ketidakpuasannya pada sebuah ketidakadilan dan ketidakmanusiaan.
***
Hari ini Menik masih tidak mendapat kabar tentang Yuuto. Walau selama ini dia ke Sendenbu, Menik takut untuk menanyai lagi perihal Yuuto. Sejak Kenta bungkam, Menik tidak berusaha menyelisik lagi. Namun, kali ini Menik sudah tidak tahan lagi. Terlebih dia mendengar cerita para lelaki yang makan di warungnya bahwa bisa jadi Yuuto terseret dalam masalah Eijkman.
"Ya?" Alis kiri Kenta naik sambil menatap Menik yang masih berdiri di depannya.
Biasanya Menik akan menaruh satu bungkus nasi dan setelahnya akan pergi. Tapi, kini perempuan itu masih berdiri di depannya. Bahkan meletakkan keranjangnya di lantai sisi kanannya.
"Ehm, Edogawa-dono ..." Menik membasahi bibir dengan ujung lidahnya. "Apa Tuan tahu kabar Kagami-sensei?"
Kenta mengernyit. "Yuuto Kagami?"
"Hai ...." Menik membungkuk. Dia meremas ujung kebaya yang dia kenakan.
"Aku sudah pernah memberitahu kamu, kalau aku tidak tahu kabar Yuuto. Tapi saranku ... jauhi Kagami-sensei!"
Menik mengeratkan rahang. Kepalanya seperti menggelembung dipompa detak jantung yang menggila karena ditabuh perasaan malu. Lidahnya kelu tak bisa menjawab. Ya, tentu saja Menik harus menjauhi Yuuto karena dia hanyalah perempuan pribumi bodoh yang tidak tahu apa-apa.
"Sa ... saya tahu. Hanya saja saya khawatir," cicit Menik menepis rasa malu. "Bukankah dia terseret kasus Eijkman?"
Kenta terkekeh keras. "Dia baik-baik saja. Pasti akan baik-baik saja karena dilindungi ayahnya. Bisa jadi sekarang dia sedang bersenang-senang dengan wanitanya. Akan lebih baik, kalau kamu tidak bertemu dengannya, apalagi berharap! Bagi Yuuto, kamu sama seperti perempuan Kalijodo yang pesonanya bisa digantikan dengan yang lebih cantik!"
***
Pagi ini seperti biasa Menik mengantar Joko keluar dari rumah. Dia tidak enak hati karena Joko sudah menjaganya selama beberapa malam ini. Terlebih karena isu penculikan perempuan pribumi dan juga isu kedekatan Menik dengan Yuuto, membuat Joko rela berjaga sepanjang malam.
"Nik, jangan lupa nanti sore aku jemput ke Sendenbu."
Otot pipi Menik terasa kaku susah sekali menarik bibir. "Terima kasih, Bang. Aye selalu merepotkan Abang."
Joko tersenyum tulus. "Tidak, Nik. Aku ingin kamu terhibur. Apapun akan aku lakukan demi membuat kamu bahagia."
Menik menelan ludah kasar. Matanya yang berkaca bersirobok dengan tatapan berharap Joko.
"Dandan yang cantik. Aku jemput nanti. Oke?"
Menik memaksakan senyum lebar. Tapi sedetik kemudian senyumnya pudar saat dia melihat sekelebatan sosok yang dia kenal. Perempuan itu sampai menggosok matanya, memastikan penglihatan. Ya, pasti dia salah lihat. Tidak mungkin Yuuto pagi ini ada di sini. Apa saking rindunya dia jadi berhalusinasi?
"... bisa digantikan dengan yang lebih cantik!"
Kalimat yang dilontarkan Kenta kembali terngiang di otak Menik. Sekuat tenaga dia menghela napas, tetap saja tidak bisa mengurai penat yang merongrong batinnya. Sungguh, Menik terlalu percaya diri menganggap Yuuto serius dengan ucapannya. Menganggap laki-laki itu mencintainya.
Daripada memusingkan hal yang tidak perlu, lebih baik dia segera menutup hati ... menutup mata, dan menutup telinga dari nama Yuuto Kagami.
💕Dee_ane💕
Hulla, daku bikin karakternya Menik. Udah lama sebenarnya pengin bikin kek gini. Silakan mampir di ig @dee_ane84
Jangan lupa vote n komen yak😘
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro