Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

22. Berpisah

"Mpok, ini makanannya diapakan?" Sudah kali ketiga Lela menanyakan hal sama kepada Menik saat dia masuk ke dapur.

Menik menghela napas, menatap makanan sisa malam ini. Jarum jam dinding sudah menunjukkan angka delapan. Nasi di bakul sudah dingin karena sudah satu jam tak terjamah. Sop dan tempe masih tersisa 3 potong.

"Mpok ...?"

"Kasih ke anaknya Bang Eman saja, La. Tuan Dokter paling kagak datang."

Keesokannya harinya pun, Menik masih menunggu dengan membuka pintu dapur walau malam sudah beranjak larut. Namun, yang dia dapat tetaplah kekecewaan karena tidak mendapati sosok Yuuto yang tersenyum lebar menyembul dari balik pintu dapur seperti biasanya.

Udara panas akhir bulan Oktober di tahun 1944, semakin membuat gerah hati Menik. Sedari pagi, Menik terlihat tidak fokus dengan pekerjaannya. Dia lebih banyak melamun, memikirkan Yuuto yang tiba-tiba menghilang begitu saja sejak dua minggu lalu.

"Mpok, telurnya belum dipotong!" Untuk kesekian kali, Lela menegur Menik.

Menik mengerjap sambil menatap nanar piring berisi nasi gudeg yang dipesan seorang pelanggannya. "Duh Gusti, La! Untung lu ingatkan."

Lela mendengkus. Dia mengambil alih pisau yang mata pisaunya dipegang Menik ke atas. "Mpok istirahat saja. Biar Lela yang teruskan."

Sepertinya Lela benar. Dia butuh istirahat. Ketiadaan Yuuto hampir dua minggu ini membuat pikiran Menik kacau. Setelah mengajak berjalan-jalan ke kampung pinggiran Menteng, Yuuto tak ada kabarnya lagi. Bahkan Kenta pun enggan memberi tahu keberadaan Yuuto.

Rupanya kegelisahan Menik, juga ditangkap oleh Joko. Laki-laki itu kini duduk di pinggir ranjang untuk memeriksa Menik yang katanya berbaring saja sejak siang tadi. Padahal suhu tubuh Menik terasa normal. Tak menunjukkan adanya tanda demam.

"Nik, kamu kenapa? Aku lihat akhir-akhir ini kamu murung."

Menik yang tidur menyelubungi tubuh dengan selimut itu hanya menggigit bibirnya erat. Dia ingin bertanya pada Joko apa yang terjadi pada dokter militer itu. Hanya saja, Menik takut Joko akan marah dan menganggapnya pelacur Jepang.

Sementara itu, Joko mengelus lengan Menik, gadis yang diam-diam dia suka saat Ripto mengenalkan padanya. Tidak biasanya, Menik bermuram durja hingga seperti anak kecil yang merajuk. Menurut informasi yang Joko dapat dari Lela, Menik terlihat aneh sejak Yuuto tak lagi datang ke warung mereka.

"Nik, kamu ... khawatir sama Letnan Kagami?"

Menik mengeratkan rahang, tidak ingin mengakui bahwa dia tidak hanya sekedar khawatir tapi juga rindu.

"Nik ...." Joko menyibak paksa selimut Menik dan mendapati punggung Menik yang menghadap ke dinding semakin bergetar hebat. Saat menarik tubuh itu agar memutar menghadapnya, Joko terperangah melihat penampakan Menik yang kacau-rambut yang acak-acakan, wajah yang basah tertutup kedua telapak tangan. Joko yakin air itu bukan sekedar keringat tapi juga air mata.

Batin Joko tercubit. Dia ingat sekali kondisi Menik ketika ditinggal Ripto. Tangisnya tidak meraung, tapi air matanya tidak berhenti meleleh. "Nik, kamu ... kenapa?" Walau Joko bisa menyimpulkan bahwa apa yang dialami Menik ada hubungannya dengan lelaki Jepang itu, tapi hatinya berusaha mengelak.

"Aye ... aye ... kagak apa-apa, Bang. Abang keluar saja." Menik berbalik memunggungi Joko.

"Letnan Kagami ... dia ditangkap Kempetai. Kamu tidak usah berurusan dengan dia. Dia menjalani penyidikan dan menjadi saksi untuk kasus sabotase vaksin." Joko memberikan kabar yang dia tahu tentang kasus yang sedang hangat diperbincangkan di berbagai kalangan. "Nik, jauhi Letnan Kagami! Dia ... dia itu Dai Nippon! Dia yang menjajah bangsa kita! Kalau kamu tidak memutus perasaanmu secepatnya, kamu yang akan hancur!"

Awalnya Menik tidak menanggapi ucapan Joko. Tapi, kalimat yang terakhir mengusik hatinya. "Apa maksudnya hancur?"

"Karena kedekatannya dengan dokter dan ilmuwan Eijkman, dia dicurigai. Sekarang dia tidak akan dibebaskan sebelum memberikan kesaksian yang memberatkan. Kalau dia membantu dokter Achmad Mochtar dan kawan-kawannya di Eijkman bebas, dia akan dicap pengkhianat bangsanya. Hukuman bagi pengkhianat sama berat dengan hukuman bagi pemberontak. Kamu tahu imbasnya kalau dia dicap pengkhianat? Dai Nippon tak segan melacak semua orang yang berhubungan dengannya. Itulah kenapa Mas Ripto tidak mengundang banyak orang saat pernikahan kalian. Dia takut kamu terimbas dengan pergerakan Angkatan Baru Indonesia. Bahkan orang-orang Sendenbu pun hanya sedikit yang tahu kamu istri Mas Ripto."

Menik meremas jarik dengan sangat kuat. Matanya yang berkaca menangkap ekspresi serius Joko. Sementara itu, Joko mengusap pipi basah Menik dengan tangannya yang kasar.

"Buka hatimu buatku, Nik. Aku tidak akan membiarkan setetes air pun mengalir dari matamu," ujar Joko sendu.

"Aye ... kagak bisa. Bang Joko sudah aye anggap abang sendiri," kata Menik sendu.

"Tidak sekarang. Pelan-pelan saja. Aku akan menunggu kamu. Yang perlu kamu lakukan cukup dengan melupakan Letnan Kagami!"

***

Sejak percakapan singkat itu, Joko selalu menyempatkan singgah ke rumah Menik. Bahkan dia terkadang memilih bermalam walau Menik sudah berusaha mengusirnya secara halus.

"Menginap di sini lagi?" Menik melongo saat Joko mulai menata kursi panjang untuk dipakai tidur.

Joko tersenyum lebar hingga matanya menyipit. "Iya. Untuk menjaga kamu. Udah terlalu malam juga kalau mau balik ke markas. Kamu tahu, 'kan, walau nggak ada jam malam, kalau berkeliaran malam-malam begini bisa dicurigai. Lagipula, sekarang banyak isu penculikan perempuan untuk dibawa ke ianjo."

Menik bergidik ngeri. Dia sampai mengelus berulang lengan atasnya. "Bukannya kenapa-kenapa, hanya saja aye kagak enak Abang tidur di sini. Ngomongan orang mulai aneh-aneh, Bang."

"Iya, aku tahu. Udah sana tidur." Joko memilih memakai sarung, bersiap untuk tidur.

Menik mencebik. Dia kemudian masuk ke dalam kamar di mana sudah ada Lela tidur di sebelah dalam ranjang. Sebenarnya, bukan Menik takut dengan omongan orang, Menik hanya tidak ingin Joko terlalu berharap padanya. Perhatian Joko membuat Menik tak nyaman, karena bagaimanapun Menik sudah menganggap Joko adalah sepupu iparnya sendiri. Gelar ningrat dari keraton Jogjakarta yang melekat di depan nama Joko seperti halnya Ripto membuat Menik tidak ingin berurusan dengan kaum bangsawan lagi.

Tapi, saat dia tidak ingin berhubungan dengan priyayi, kenapa harus Yuuto? Di antara semua laki-laki, kenapa harus pemuda Nippon? Anak petinggi Kempetai pula!

***

Di sisi lain, Yuuto sekarang sudah terkurung di dalam markas Kempetai selama seminggu lebih, bersamaan dengan penangkapan dokter Achmad dan dokter Ali Hanafiah. Suara gemericik air selokan di sisi dinding sel berterali kayu itu tak bisa memecah raungan para tahanan yang mendapat siksaan waterboarding atau cambukan untuk membuat tahanan mengakui kesalahannya.

Kolonel Kagami kali ini tidak ada ampun menangkap dan menempatkan Yuuto bersama staf Eijkman yang dicurigai. Walau tidak mendapat deraan, Yuuto tidak mendapat keistimewaan tempat tahanan. Namun, yang dilakukan ayahnya, justru membuat nalar Yuuto semakin terkikis karena gendang telinganya ditabuh lengkingan kesakitan Yudha yang didera di ruang penyiksaan. Yuuto tahu betul, Yudha tidak bersalah. Demi Nani agar dibebaskan, Yudha mau menanggung tuduhan yang tak dilakukannya hingga laki-laki itu mendapat waterboarding.

Di sudut sel, Yuuto menggigil. Bukan rasa takut yang menyergapnya, tapi lebih karena rasa bersalah yang menggerogoti akal sehatnya. Kenangan lamanya kembali muncul, menari-nari di otak memutar kembali kejadian pada akhir tahun 1943.

***
Desember, 1943

Saat itu, Yuuto sekuat tenaga menginjak pedal, untuk melajukan mobil ke markas Kempetai. Dia mendapati kabar dari radio bahwa ada pribumi yang mengambil beras yang seharusnya disetorkan kepada pemerintah. Beberapa hari kemudian, pribumi tersebut mengaku bahwa pelukis dari Sendenbu yang mengambilnya.

Tanpa gentar, Yuuto langsung menerobos markas, menuju ke ruangan di mana Kolonel Kagami menyidik.

"Otousan!" Napas Yuuto terengah begitu dia bisa mendapati ayahnya yang sedang menginterograsi seorang laki-laki yang duduk terikat di kursi. Kolonel Kagami mencengkeram rahang laki-laki yang wajahnya dipenuhi luka.

"Kagami-shoi! Berani sekali ..." Mata Kolonel Kagami membulat saat mendapati putranya ada di situ.

"Bebaskan Ripto-san! Dia tidak bersalah! Aku yang menyuruhnya mencarikan beras untukku!"

Kolonel Kagami mendengkus. Dia menyuruh anak buahnya di situ keluar. Dengan wajah berang, dia mendatangi Yuuto, dan melayangkan pukulan di pipi sang putra, hingga Yuuto terhuyung. "Jauhi tempat ini! Jangan permalukan Otousan karena mempunyai putra tidak waras yang membela pribumi daerah jajahan Dai Nippon."

"Aku tidak gila! Setidaknya aku tahu mana yang baik dan jahat! Dia tidak bersalah!" desis Yuuto sambil menegakkan tubuh dengan senyum miring.

"Dia bersalah karena menuruti permintaan dari orang gila sepertimu! Hanya tentara gila yang tidak mau membunuh dalam perang! Ya, tentara itu ... kamu, Kagami-shoi!"

***

Yuuto mengembuskan napas kasar saat kenangannya kembali muncul. Sekuat tenaga Yuuto mencoba membebaskan Ripto, tetap saja tak bisa membebaskan Ripto dari tuduhan penggelapan beras.

"Harus ada kambing hitam! Atau kamu yang akan dihukum, Yuu-chan!" Begitu kata Kolonel Kagami kemudian yang membuat Yuuto muak dengan kata 'kambing hitam'. Sama seperti sekarang, karena ulahnya lagi, nyawa manusia tak berdosa terancam. Kali ini, Yuuto bersumpah tidak akan membuat kesalahan lagi.

Gemerincing kunci saat diputar terdengar, diikuti derak kasar pintu teralis kayu saat seorang tentara kempetai memasukkan tahanan. Seperti karung beras tak bernyawa, Yudha yang basah kuyup dengan wajah penuh lebam tersungkur di lantai dingin.

Yuuto segera bangkit dan menghadiahi tentara tadi pukulan dengan wajah yang memerah dibakar amarah. "Kenapa kamu memperlakukan Yudha-sensei seperti penjahat? Dia dokter! Dia orang pintar!" seru Yuuto dalam bahasa Jepang.

Yuuto mencengkeram kerah tentara itu. "Kalau mau pukul, pukul aku! Kalau mau siksa, siksa aku!"

Tentara lain berdatangan dan melerai Yuuto yang mengamuk. Sekuat tenaga dia melawan tetap saja, Yuuto tak bisa menandingi dua tentara yang menyergapnya.

"Gomenasai (Maafkan, kami), Kagami-shoi." Mereka membungkuk, merasa tidak enak dengan Yuuto yang merupakan anak petinggi Kempetai, sebelum akhirnya keluar dari sel itu.

Napas Yuuto terengah. Kepalan tangan erat itu bergetar hebat. Yuuto masih bernasib baik karena merupakan putra petinggi Kempetai. Walau ditangkap dan dijebloskan ke sel, dia tidak disiksa seperti halnya Yudha, dokter Achmad dan kawan-kawannya. Perlindungan Kolonel Kagami membuat batinnya justru semakin tersiksa. Dia yakin, Kolonel Kagami tidak akan membiarkan dia dihukum berat dan dianggap sebagai pengkhianat.

Lamunan Yuuto buyar, saat mendengar rintihan Yudha. Yuuto segera menghampirinya dan membantunya menegakkan tubuh. Pandangan Yuuto nanar saat melihat mata Yudha yang bengkak hingga susah terbuka. Sudut mulutnya yang terluka masih mengeluarkan darah.

"Yudha-sensei ...."

"Yuuto-kun, aku ... aku takut." Yudha menggigil. Basah di wajahnya sulit diidentifikasi apakah murni dari basah karena penyiksaan air atau kini dia sedang menangis.

Yuuto mencelus. Selama ini Yudha selalu memanggil dengan nama keluarganya, tapi kini dia memanggil dengan nama kecilnya. Batas antara mereka sebagai penjajah dan pribumi telah rubuh.

"Ada aku ... ada aku di sini!" Yuuto memeluk sahabat yang menyapanya dengan senyum ramah ketika dia datang pertama di Eijkman, sebelum ditempatkan di Klender.

Dokter pribumi itu jatuh dalam keterpurukan. Badannya bergetar dihajar gentar akibat didera oleh penyidik Kempetai yang tidak manusiawi.

"Aku ... takut. Aku ... ada Dayu yang menunggu."

Yuuto hanya bisa menelan ludah. Dia tidak mengenal siapa orang yang dimaksud, tapi Yuuto yakin gadis itu sangat berharga di hati Yudha.

Sementara itu, rintih kesakitan Yudha semakin keras dalam ketidakberdayaan, membuat Yuuto semakin kalut oleh kegelisahan. Dia yakin akan menjadi gila bila semua temannya dihukum karena laporan kasus yang dia buat yang bisa menjadi bukti kuat adanya sabotase.

"Aku ... akan menyelamatkan kalian ... bagaimanapun caranya! Aku tidak ingin hal yang kedua kalinya terjadi."

Yudha menoleh, menatap Yuuto yang terlihat kabur. "Dua kali?"

Yuuto mengangguk. "Ya. Jangan sampai ada kejadian yang sama berulang. Beberapa bulan lalu aku meminta Kenta mencarikan beras. Dia meminta pelukis Sendenbu mencarikannya untukku. Nahasnya ... dia ketahuan oleh mata-mata pribumi dan dijebloskan ke sel. Saat itu ... ayahku bersikeras tidak boleh menemuinya, hingga akhirnya aku mendapat berita kalau dia tewas digantung."

Yuuto menjeda sesaat ucapannya. Mengingat peristiwa itu membuatnya sering menyalahkan dirinya karena telah membuat orang yang tidak bersalah mati sia-sia.

"Saat aku datang di alun-alun ... Ripto sudah tak bernyawa. Dia hendak dibiarkan menggantung di sana untuk peringatan agar rakyat tidak memberontak. Beruntung ayahku memperbolehkan aku membawa jasadnya. Setidaknya aku bisa mengantarnya ke peristirahatan terakhir dengan layak. Aku membakar jasadnya dan menyimpannya dalam sebuah guci, dengan harapan, suatu saat aku akan memberikan abunya pada orangtuanya. Setelah kejadian itu ... aku tidak pernah menginjakkan kaki di Sendenbu. Aku berusaha melupakannya dengan tidak membahas peristiwa itu. Ya, aku membohongi diriku seolah kejadian itu tidak pernah ada. Tanpa aku tahu ... semesta bekerja sama untuk membuatku bertekuk lutut di hadapan kekasih ... ah bukan istri Ripto yang kujadikan janda."

Yudha masih setia memperhatikan Yuuto. Baru kali ini dia mendengar curahan hati Yuuto. "Jadi rumor tentang jasad pemberontak yang diambil untuk bahan penelitian tidak benar?"

"Adakah rumor seperti itu?" Yuuto mengernyit.

"Iya. Di kalangan rakyat santer terdengar begitu. Salah satu temanku di sana mengatakan, mereka tidak akan membahas Ripto lagi. Seolah Ripto tidak pernah ada. Takut kenapa-kenapa bila dihubung-hubungkan. Ya, seperti ada kesepakatan tidak tertulis."

Yuuto mengangguk paham. Akhirnya dia tahu kenapa dia sampai tidak tahu Menik adalah istri Ripto. Selain karena Yuuto juga jarang datang ke Sendenbu, ternyata sikap orang-orang yang terkesan diam saja karena takut akan bernasib sama dengan Ripto.

Desahan Yuuto terdengar keras. Sekarang, yang menjadi ganjalan di hatinya, Yuuto tidak ingin Menik tahu kalau dia yang menyebabkan perempuan itu menjanda.

💕Dee_ane💕

Fakta dalam fiksi :
1. Dokter Achmad Mochtar dan Ali Hanafiah ditangkap pada tanggal 14 Oktober 1944.
2. Waterboarding atau water torture adalah teknik interogasi yang dikenakan kepada tahanan dengan cara mengikat tangan dan wajah, kemudian kepalanya ditutup dan dituangkan air.

Udah komen belum?😊




Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro