Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

21. Kambing Hitam

Selama sarapan bertiga dengan Kolonel Kagami serta Yukihiro, Yuuto hanya diam. Kalau biasanya dia memaksakan mengisi lambung untuk amunisi hidup, kali ini nafsu makannya hilang sama sekali. Dia membayangkan seorang perempuan muda ditangkap Kempetai atas tuduhan palsu, berdasarkan laporannya.

Perasaan bersalah yang selama ini menghantuinya kembali muncul. Apakah memang Yuuto tidak normal karena di saat semua tentara rikugun yang terkenal keras dan kejam, Yuuto justru terkesan lembek? Salahkah Yuuto bila mudah kasihan dan menginginkan kedamaian?

"Yuu-chan, sebaiknya kamu mundur dari kasus ini." Tiba-tiba Kolonel Kagami memecah keheningan di ruang makan.

Yuuto memaksakan menelan makanannya yang belum lembut. Hatinya tergelitik untuk membela yang tidak bersalah. Dia meletakkan mangkok dan sumpitnya, sambil tersenyum tipis.

"Bebaskan Nani-san dan Yudha-sensei!" tandas Yuuto dengan tatapan tajam ke arah ayahnya yang juga memandangnya.

"Jangan ikut campur!" Suara Kolonel Kagami bergetar.

"Otousan tahu mereka tidak bersalah! Lagipula karena laporanku, aku tidak ingin ada orang yang mati lagi karena aku!" kata Yuuto sambil meremas pahanya untuk meredam gejolak amarahnya.

"Yuuto, kenapa kamu berbeda? Kamu seperti bukan seorang putra keluarga Kagami yang menjunjung tinggi bushido yang secara turun temurun diwariskan dalam keluarga ini!"

Kolonel Kagami mengembuskan napas panjang. Dia menatap sang putra yang berhati lembut seperti sang istri. "Intelijen Kempetai tahu bahwa Eijkman baru mengadakan penelitian menggunakan spora tetanus. Karena kamu pernah ikut, jadi jangan dekati kasus ini."

Yuuto menggeleng. "Benar! Memang benar mereka mengadakan penelitian menggunakan spora tetanus, tetapi Eijkman tidak mempunyai alat secanggih itu untuk membuat toksin tetanus sehingga bisa mensabotase." Rahang Yuuto mengerat saat desisan dari bibir yang nyaris tak bergerak itu terdengar.

"Yuu-chan, harus ada yang dikambinghitamkan dalam hal ini! Kamu tahu kan hukum rimba peperangan? Dibunuh atau ... membunuh!" sahut Yukihiro sengit

"Bersiaplah untuk dipanggil! Otousan sudah memperingatkanmu! Nantinya ... tak peduli kamu anakku, kamu akan mendapati hukuman yang sama bila masih membangkang!"

Seketika kuduk Yuuto meremang. Dia tahu dalam perang siapapun bisa terbunuh. Saat dunia sedang dilanda perang besar di seluruh belahan bumi, di rumah ini, ada pertempuran dashyat antar anggota keluarga Kagami. Setia pada petinggi atau menuruti hati nurani.

***

Yuuto kali ini datang lebih awal setelah menyelesaikan pekerjaan memeriksa beberapa romusha yang akan dikirim ke Balikpapan. Dia lebih memilih membawa sepeda Asman yang dipinjamkan Menik daripada membawa mobil dinasnya. Sore ini dia mengajak Menik ke sebuah kampung pinggiran, di mana penduduknya banyak terjangkit penyakit diare.

Entah kenapa Menik hanya menurut saat Yuuto mengajaknya. Bahkan dia menyiapkan pisang rebus untuk orang-orang yang di sekitar situ. Begitu roda sepeda memasuki kampung yang sepi dengan rumah sederhana di kiri kanannya, mereka disambut teriakan gembira anak-anak kecil yang berlari telanjang.

Setelah memberikan beberapa pisang, mereka melanjutkan perjalanan hingga sampai di sebuah balai bengong di tengah desa. Sementara Yuuto memeriksa, Menik sibuk membagikan ransum makanan berupa sebuah pisang rebus untuk tiap-tiap orang.

Tentu saja pekerjaan Menik cepat selesai dibandingkan Yuuto yang masih sibuk memeriksa dengan teliti atau sekedar mendengarkan cerita para tetua tentang polah cucu mereka.

"Ini ... bini lu, Tuan?" Seorang nenek tua berpunggung bongkok menunjuk Menik.

Seketika pipi Menik memerah. Pandangannya bersirobok dengan Yuuto sesaat, lalu diedarkan ke arah lain pada gerombolan anak-anak perempuan yang bermain engklek.

"Apakah dia cocok jadi istri saya?" Senyum Yuuto terurai dengan kilat mata jenaka.

Nenek bergigi dua itu terkekeh, sambil menepuk pipi Yuuto, memperlakukan layaknya anak sendiri, alih-alih penjajah. "Kalian ... sangat cocok."

Mendengar Si Nenek berkata demikian, Menik memalingkan muka, menyembunyikan wajahnya yang sudah seperti kepiting rebus. Seandainya itu benar, Menik akan senang sekali. Tapi, apakah bisa seorang pribumi biasa pantas bersanding dengan perwira Dai Nippon?

Menik menggeleng, meleyapkan angan yang ketinggian. Dia tidak boleh berkhayal, dan harus menapak bumi supaya tidak sakit bila terjatuh.

Menjelang ashar, mereka berpamitan. Yuuto sengaja mengambil jalan memutar agar bisa bersama Menik sedikit lebih lama. Roda sepeda yang berputar kini menyisir pinggiran kali Tjiliwoeng. Mereka lalu beristirahat sejenak di bawah pohon sambil menikmati bekal yang dibawa oleh Menik dalam rantang.

"Gochisousamadeshita." Yuuto membungkuk memberi ucapan terima kasih pada Menik yang telah menyediakan makanan.

Setiap kali mendengar kalimat itu, hati Menik menghangat. Dia menangkap sebuah arti yang mendalam seperti ucapan terima kasih yang sering terlontar dari bibir Ripto setiap selesai makan.

"Menik, terima kasih untuk makanannya." Yuuto kembali membungkuk.

"Aye senang kalau lu senang. Lihat lu kurus kering sewaktu awal ketemu bikin aye heran, kenapa ada Dai Nippon yang seperti orang kelaparan. Padahal kami selalu memasok beras." Menik membereskan rantang yang sudah tak tersisa sebiji nasi pun. "Beda sama aye ... walau kami dijajah, lu tahu sendiri badan aye seperti kue lepet kelebihan isi." Menik terkekeh miris. "Tapi aye bersyukur, setidaknya aye masih bisa beli beras di saat beras mahal, sementara orang-orang pada makan gaplek. Aye bisa masak daging, ketika orang-orang kagak tahu bakal makan apa hari ini."

Yuuto duduk menekuk kakinya sementara kedua tangan disandarkan di lutut. Dia mengamati profil manis perempuan berpipi tembam. Sebuah pemandangan langka di masa perang, ada orang seberisi Menik untuk kalangan orang biasa.

"Menik-san, pernahkah kamu ingin memutar waktu?"

Menik membalas tatapan Yuuto. "Pernah. Aye ingin kembali ke masa di mana aye kagak mendukung Bang Ripto bekerja di Sendenbu. Seandainya dia kagak bekerja di sana, tentu kami akan bahagia."

"Berarti kamu tidak ingin mengenalku?"

Menik menggigit kecil bibirnya untuk menahan rintihan batin yang tercubit. Betul ... bila Ripto masih ada, tentu dia tidak akan sedekat ini dengan Yuuto. Menik merasa sejak mengenal Yuuto, hatinya semakin berdinamika. Detaknya selalu bertempo cepat setiap kali berdekatan dengannya.

"Ya. Aku menyesal mengenal seorang Yuuto Kagami." Karena ... ternyata baru pertama kalinya aku merasa jatuh cinta. Cinta yang berbahaya ... Cinta yang hanya bisa dipendam.

Sementara itu, Yuuto menelan ludahnya kasar. Rona wajahnya seolah ikut hanyut terbawa aliran air sungai Tjiliwoeng. "Mungkin, bagimu aku sebuah penyesalan. Tapi bagiku ... kamu adalah berkat terindah dari Tuhan."

Menik tersenyum miring. "Aye Menik ... bunga cabai. Seperti halnya lombok, bila sedikit bisa menggugah nafsu. Tapi, bila terlalu banyak, akan membakar raga lu!"

"Tapi, cabai bikin candu. Seperti halnya kamu, Menik. Seperti kapsaisin, kamu juga bisa menawarkan rasa nyeriku, bisa membangkitkan gairah hidup yang lama redup. Kamu ..." Yuuto beringsut mendekat. Kini jarak mereka hanya selapis baju yang membatasi kulit lengan. "satu-satunya perempuan yang menggetarkan hatiku."

Anak rambut Menik yang dipermainkan angin disibak ke belakang telinga. Gerakan tangan Yuuto yang lembut serta tatapan yang sendu membuat batin Menik menghangat. Rasanya Menik ingin lumer dan diserap bumi karena sorot intens Yuuto yang tajam.

"Jangan lihat aye seperti itu!" Dengan berani Menik menutup mata Yuuto dengan tangan kirinya. Dia tidak tahan dengan tatapan penuh damba itu.

Yuuto tersenyum tenang. Ekspresi Menik terlihat menggemaskan. Kalau boleh, dia ingin mencium bibir tipis itu. Tetapi, Yuuto menahan diri. Dia tidak ingin memberi luka lagi pada perempuan itu. Ancaman Kolonel Kagami tadi pagi bukan main-main. Bila seorang pembesar Kempetai sudah berkata demikian maka mereka tidak akan menjilat ludahnya sendiri.

Yuuto meraih pergelangan tangan Menik dan membawanya ke bibir untuk dia kecup. "Aku ingin melihatmu sampai puas agar mengingat semua detail wajahmu yang manis."

"Yuu-kun?" Menik mengernyitkan alis, menangkap ada makna aneh dari ucapan Yuuto.

"Bila aku terlahir lagi ... aku ingin bertemu denganmu ... lagi, lagi, dan lagi ...."

***

Sepulangnya dari tempat Menik, Yuuto kembali ke kediaman Ito-sensei. Dia membantu seniornya memberikan pelayanan di tempat praktiknya karena Yudha tertangkap dan masih ditahan di markas Kempetai.

Suasana praktik dokter Jepang itu tak berubah walau ada berita penangkapan para staf Eijkman. Pasien pribumi maupun orang China dan Arab, tetap menggunakan dokter sipil itu untuk mengobati penyakitnya.

Setelah pasien terakhir pulang, Ito-sensei

menyajikan makan malam sederhana untuk asistennya malam ini. Sambil menikmati jahe babi panggang, dengan bayam rebus serta sup miso dan acar, mereka bercakap ringan. Hingga akhirnya, Ito-sensei membuka percakapan saat makanannya habis.

"Ano ... masalah Eijkman ...." Ito sensei menjeda ucapannya sejenak. Yuuto menurunkan mangkoknya yang nasinya masih tersisa seperempat. Perhatiannya beralih pada Ito-sensei yang tampak tegang.

"Ada apa?" Yuuto tak sabar.

"Berdasarkan informasi yang saya dapat, sebenarnya Kempetai tidak mendapati bahwa ada botol yang hilang, sehingga mereka tidak bisa membuktikan bahwa terjadi sabotase vaksin. Tapi, Kempetai tetap membuat seolah-olah dokter Mochtar yang memasukkan toksin tetanus itu ke dalam botol vaksin. Aneh bukan? Bagaimana pihak Eijkman memasukkan toksin kalau botol sudah disegel dari Bo'eki Kenkyujo (Pasteur Institute)?" Ito-sensei merendahkan suaranya, sambil memajukan separuh badan.

Yuuto menekan sisa makanan yang belum terkunyah dengan baik. Dia tersenyum miris. Tentu saja dia yakjn bahwa tuduhan itu berasal dari divisi intelijen yang dibawahi ayahnya. "Harus ada kambing hitam." Yuuto menjawab dengan nada miris. Tangannya bergetar memegang sumpit hingga dua tangkai kayu itu patah, untuk melampiaskan kemarahan atas ketidakadilan yang dilakukan bangsanya sendiri.

Ketika Yuuto pulang malam itu, kediaman Kagami terlihat sepi. Kasus penangkapan staf Eijkman rupanya membuat Kolonel Kagami dan Yukihiro mendapat banyak pekerjaan. Informasi yang dia dapatkan dari Ito-sensei, jelas membuat kemarahan Yuuto tersulut. Saking marahnya, tapi tak bisa berbuat sesuatu, menbuat Yuuto kehabisan energi. Seandainya dia tidak membuat laporan kejadian ikutan pasca imunisasi itu, pasti tak ada bukti kejadian tetanus yang menyeret teman-temannya. Bila dia tidak membawa para romusha ke rumah sakit Ika Daigaku, insiden itu pasti tak akan membuat heboh.

Ya, semua karena Yuuto! Dan, kini ... dalam sisa-sisa tenaganya, dia mulai memutar otak untuk mencegah teman-temannya mendapat hukuman atas perbuatan yang tidak mereka lakukan.

Yuuto duduk di depan meja tulis kamarnya. Dia meraih guci keramik hijau yang bertulis kanji.

"Ore wa nani o subeki ka (Aku harus bagaimana), Ripto-san?"

💕Dee_ane💕

Fakta di balik fiksi :
1. Nani Kusumasudja salah satu analis Eijkman yang ditangkap Kempetai pada tanggal 14 Oktober 1944.

Cerita ini walau ada faktanya, fiksi belaka ya gaes. Cerita ini plotnya memang saya sambung2kan saya kejadian yang pernah terjadi di Indonesia biar kita sedikit tahu ternyata ada kejadian ini. Apa ada yang tahu kejadian penangkapan anggota Eijkman?

Makasih yang udah vote n komen. Jangan lupa follow akun wp, ig, dan fb emaknya Menik.




Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro