Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

20. Jangan Terluka

20. Menik

Seketika telinga Yuuto terasa pekak, seperti disengat ribuan lebah. Wajahnya yang sudah pucat semakin memudar ronanya. Kenangan pada akhir tahun 1943 kembali muncul di otak.

Saat itu ... Yuuto baru beberapa minggu datang ke Hindia Belanda yang sudah berganti nama menjadi Indonesia. Ini kali kedua dia menginjakkan kaki di tanah Djawa yang subur.

Sebelum mendapat penempatan, Yuuto ditempatkan di Eijkman untuk membantu penelitian yang menggunakan spora tetanus. Setidaknya pekerjaannya kali ini bisa memulihkan jiwanya yang terguncang setelah dia hampir ingin mengakhiri hidupnya karena telah membunuh seorang perempuan hamil untuk dijadikan objek penelitian sehingga membuat perempuan itu keguguran. Karena kehilangan janin, di depan mata Yuuto perempuan China itu mengutuknya sebelum menyusul janin yang luruh.

Berbagai upaya Kolonel Kagami tempuh untuk menyembuhkan putra bungsunya. Di antaranya memindahkan tugas Yuuto dari Harbin ke Indonesia. Di Djakarta, Yuuto menghabiskan waktu dengan penelitian bersama Yudha yang menjadi staf muda Eijkman.

Di sore hari, Yuuto akan berkeliling ke daerah-daerah pinggiran untuk memberikan pelayanan bagi penduduk yang nasibnya semakin mengenaskan dibanding sewaktu diduduki pemerintah kolonial. Kelaparan merajalela, membuat gizi buruk melanda di mana-mana. Beberapa orang tewas karena busung lapar, dan yang lainnya menderita penyakit TBC karena sanitasi buruk dan gizi yang tak tercukupi.

"Kenta, kamu bisa bantu aku sediakan beras? Cukup satu karung. Kalau bisa kamu cari di daerah lumbung beras. Harga di pasar sangat mahal." Yuuto sengaja mampir ke Sendenbu untuk meminta tolong pada Kenta. Sahabatnya yang bekerja di departemen propaganda itu banyak mengenal orang pribumi.

"Tenang saja. Aku akan meminta tolong temanku. Dia pelukis di sini. Dengar-dengar kekasihnya dari Kampoeng Sawah. Sawahnya luas sehingga setoran beras ke pemerintah juga banyak. Kapan kamu membutuhkannya?" Kenta mendongak dengan kedua alis terangkat.

Wajah Yuuto semringah. Dia akhirnya bisa memberi makan satu keluarga yang hidupnya sangat mengenaskan. Bahkan untuk membeli gaplek saja mereka tidak punya uang. Sudah dua minggu ini, Yuuto membeli beras beberapa karung, tetapi tak mencukupi karena gajinya belum cair. "Seminggu lagi?"

"Baik. Kita sekarang ke asrama para pemuda. Mereka kebetulan berkumpul. Akan kukenalkan pada Ripto, yang bisa membantumu mendapatkan beras murah."

Namun, sayangnya beras itu seharga nyawa Ripto. Perkenalan Yuuto dengan Ripto menyisakan kenangan yang membuatnya merasa bersalah.

"Hai! Saya akan mengirimkan lebih cepat," ujar Ripto begitu mendengar cerita Yuuto.

"Tidak perlu cepat. Paling tidak seminggu ini." Yuuto merasa tidak enak karena menurut Kenta, Ripto adalah pelukis handal kebanggaan Sendenbu. Pekerjaannya pasti sangat banyak, mengingat poster propaganda lelaki pribumi itu menghiasi di setiap sudut kota.

"Saya akan menikah. Oleh karena itu, saya akan mengurus permintaan sensei lebih cepat."

***

Jadi, Ripto menikah dengan Menik? Perempuan yang kemudian aku suka?

Selama ini, dia hanya berhubungan sekali dengan Ripto sewaktu meninjau kegiatan Angkatan Baru Indonesia bentukan Hitoshi Shimizu bersama Kenta.

"Lalu ... kenapa kamu takut?" Suara Yuuto bergetar. Dia tidak ingin terlalu jauh berpikir.

"Aye ... aye ... kagak mau Yuuto-kun luka."

"Kenapa?" kejar Yuuto.

Menik menunduk, masih sesenggukan. Dia melipat bibirnya erat. Apa yang harus dia katakan? Salahkah bila Menik khawatir?

Yuuto tersenyum tipis dengan perasaan getir ketika perasaan bersalah melingkupinya. Akibat permintaannya, Ripto ditangkap, hingga membuat Menik menjanda.

Susah payah Yuuto menegakkan tubuh dan menarik tubuh sintal Menik ke dalam pelukannya, tanpa menunggu jawaban Menik. "Mulai sekarang, kamu tidak perlu takut. Aku akan melindungimu."

Kecupan lembut didaratkan di pucuk kepala Menik. Seolah kecupan itu ingin menghapus ingatan Menik tentang kenangan buruk yang terjadi beberapa bulan yang lalu.

Sementara itu, Menik hanya bisa pasrah saat Yuuto membawanya untuk bersandar di dada kekarnya yang beraroma maskulin. Wangi yang menguar mengingatkan Menik pada kehangatan pelukan Ripto. Walau terasa nyaman, Menik yakin hatinya akan semakin patah bila hanyut dalam perhatian Yuuto.

Di saat nalarnya ingin menolak, justru hatinya mendamba sandaran kokoh. Dia membalas pelukan Yuuto dengan sama erat.

"Aye ... mohon, jangan sakit. Jangan terluka ...."

Senyum sendu terukir di wajah Yuuto. Dia tak bisa menjawab. Jalan yang dilalui terasa begitu berat. Bila dia memenuhi permintaan Menik, dia akan menutup mata pada ketidakmanusiawian yang terjadi pada teman-temannya. Tapi, kalau dia membela hak hidup warga pribumi, nyawanya bisa terancam karena dianggap tidak setia.

Rasa mereka larut dalam sebuah pelukan tanpa lisan. Masing-masing bibir mengunci lidah agar tak mengucap apa yang terpendam.

Menik menarik pelan tubuhnya. Dia mengusap mata dengan punggung tangan sembari berkata, "Ayo, aye oles dulu punggungnya. Setelah itu aye siapin makanan."

Setelah Menik mengoles punggung Yuuto dengan minyak, Menik segera menyelubungi Yuuto dengan selimut dan meninggalkan laki-laki itu agar beristirahat. Dia segera ke dapur mendapati Lela yang masih memasak bubur.

"Mpok kenapa?" Mata berkaca-kaca Menik ditangkap oleh penglihatan.

Menik mengusap matanya sambil duduk di dingklik. "Kena minyak, La. Ayo, buruan masak."

Lela hanya mengendikkan bahu. Percaya saja pada ucapan Menik. Sementara itu, Menik duduk di dingklik sambil meremas baju kebaya di dada. Jantungnya bergemuruh kencang seolah ingin mendobrak rongga dada. Ada pula desir nyeri saat melihat wajah Yuuto penuh luka.

Haruskah dia bertanya kenapa Yuuto bisa terluka seperti itu? Menik menggeleng. Tak ada gunanya bertanya. Lagipula Menik hanya perempuan Betawi bodoh yang tidak mengenyam pendidikan seperti layaknya Yuuto. Sudah beruntung, Ripto dulu mau meminangnya, walau tanpa persetujuan sehingga pernikahan mereka pun hanya dihadiri orang terdekat.

Setengah jam kemudian, Menik meminta Lela menyiapkan baskom berisi air dan handuk kecil. Dia perlu menyeka wajah Yuuto agar lebih segar. Setidaknya dengan memberi makan dan sedikit merawatnya, Menik bisa meringankan apa yang dialami Yuuto.

Setelah membangunkan, Menik membersihkan wajah Yuuto yang berdebu. Dengan bersandarkan dua bantal sehingga posisi kepalanya menjadi lebih tinggi, Yuuto mampu memindai kegelisahan yang diembuskan napas Menik.

"Menik-san, aku tidak mati."

Menik menggigit bibirnya. Harusnya Menik bisa menahan tangisnya, tapi kenapa malah sekarang air matanya lolos. "Aye ... tahu."

Yuuto yang merasa lebih segar setelah bisa tidur sejenak mengurai senyum tipis. "Kawai ne ...." Yuuto mengurut garis rahang Menik dengan pandangan mendamba.

"Yuuto, bisa kagak lu janji supaya lu sehat. Bilang saja lu mau makan apa? Aye bakal buatkan." Entah kenapa air mata Menik menghapus batas yang dulu dia tarik. Meleburkan hati beku karena kehilangan. Menghilang bahasa formal di antara keduanya.

Yuuto mengerjap. Dia merasa ada yang salah dengan telinganya.

"Yuuto, lu dengar aye kagak?"

Yuuto mengangguk berulang. Kini dia yakin, kalau dia mendengar Menik bercakap santai dengannya.

"Yuuto ... lu sehat? Mana yang sakit?" tanya Menik cemas, karena tidak memperhatikannya. Bahkan Menik mengecek

"Aku ... senang. Kamu bicara seolah aku teman baikmu. Terima kasih mencemaskanku."

Menik tergugu. Pipinya sudah basah oleh air mata. Ingin dia memeluk lagi perempuan itu, tapi dia takut kebablasan.

"Kamu belum menjawab pertanyaanku tadi? Kenapa kamu menangis ... kenapa kamu tidak mau aku terluka?" tanya Yuuto sendu.

Susah payah Menik menelan ludah. Dia tidak bisa menjawab pertanyaan Yuuto. Siapa lelaki Jepang itu untuknya. Yang ada, Menik menghela napas panjang sambil menegakkan tubuh.

"Karena Yuuto-kun seorang dokter. Dokter harus bisa menjaga dirinya sebelum dia bisa melayani orang lain."

Hati Yuuto mencelus. Ucapan Menik walau ada benarnya tapi terselip kecewa di hatinya. Bukan itu jawaban Menik yang Yuuto harapkan. Ditatapnya dalam-dalam perempuan berpipi tembam di depannya, lalu Yuuto mengangkat dagunya dengan lembut. Sorot sendu Menik itu membuat dadanya kembang kempis. Terlebih bibir yang memerah karena digigit itu mengundang untuk dikecup. Tapi Yuuto sadar diri ... perempuan itu pribumi. Dirinya adalah Dai Nippon yang menjajah bangsa ini. Sepertinya Yuuto harus memendam semua perasaan yang kini membuncah di batinnya.

***

Keesokan harinya, Yuuto terbangun. Dia terkejut mendapati wajahnya disorot cahaya matahari yang menyusup dari celah-celah dinding anyaman bambu. Badan Yuuto teras lebih nyaman walau badannya nyeri. Dia mengerang saat berusaha menegakkan tubuhnya.

"Yuuto-kun. Jangan bangun dulu!" Menik yang baru masuk membawakan nampan berisi nasi, telur dadar gulung, dan bayam bening segera meletakkan bawaan di nakas samping kasur.

Mendengar namanya disebut dengan nama kecilnya, senyuman cerah Yuuto terbit, secerah matahari yang baru saja muncul dari timur.

"Aku harus berangkat kerja." Yuuto meringis ketika dia mengubah posisi duduk.

"Sensei belum sehat. Bagaimana bisa kerja?" Menik ikut duduk di samping Yuuto di tepi ranjang.

"Banyak pekerjaan. Aku harus selesaikan cepat, sebelum ...." Ucapan Yuuto terpotong. Dia tidak mungkin bicara pada pribumi apalagi dia seorang ... perempuan.

Tapi Menik masih menanti lanjutan perkataan Yuuto. "Sebelum apa?" tanya Menik dengan kernyitan alis.

"Sebelum siang ...." Yuuto memberikan jawaban sekenanya. Tidak mungkin dia membocorkan rahasia pekerjaannya pada orang lain.

"Baiklah. Makanlah dulu. Sensei bisa pakai sepeda abang aye."

Begitu makan dan mencuci wajahnya, dia segera berangkat ke Klender. Nasib kamp yang menjadi tempat kerjanya tetap sama. Dijaga ketat kempetai dan tak ada satu pun yang lalu lalang.

Saat masuk, Yuuto bertemu dengan Yoji dan Hideo Nakamura yang sudah berada di ruangannya. Dengan wajah gusar, Yuuto merampas berkas yang ada di tangan Yoji.

"Sedang apa kalian di ruanganku?" sergah Yuuto kesal. Dia tidak memedulikan wajah penuh lukanya.

Hideo tersenyum miring. Lelaki itu memang sangat licik, melalui goresan penanya. Seingatnya, Hideo pernah menuduhnya berkhianat karena bersekongkol dengan pribumi.

"Sedang membuat laporan. Tentu saja kasus yang sudah tersebar luas ini harus ada pihak yang disalahkan!" Seringai Hideo terlihat menjijikan. Saking jijiknya, Yuuto ingin sekali menginjak-injak wajah itu.

Melihat wajah Yuuto yang belum menangkap maksud ucapannya, Yoji menyambung, "Kami harus membuat laporan berkenaan kontaminasi bakteri tetanus. Laporan ini bersifat rahasia dan akan segera ditindak lanjuti kempetai dan rikugun. Kami meminta data lengkap darimu. Ya, cukup untuk bukti yang memberatkan dokter-dokter pribumi sok pintar itu."

"Kalian mau mengkambing hitamkan dokter pribumi? Dokter pribumi siapa yang kalian maksud?"

"Achmad Mochtar, Ali Hanafiah ... Yudha Satria."

"Aku yakin mereka tidak bersalah! Dan ... Yudha Satria?" Mata Yuuto memelotot tajam. "Dia dokter muda berbakat! Dia hanya asisten dokter Ito dan Ali. Dia pegawai muda Eijkman yang berbakat!"

Hideo dan Yoji serentak tertawa seperti paduan suara yang kompak walau tanpa aba-aba. Ucapan Yuuto tak ubahnya seperti lelucon yang menggelitik telinga mereka.

"Mau sejenius apa pun, dokter-dokter itu masih kalah dengan kita. Dai Nippon!"

Rahang Yuuto mengerat dengan kepalan tangan kuat. Dia yakin laporannya akan mendatangkan korban jiwa! Tidak ... bukan seperti itu yang Yuuto inginkan dari laporan yang dia buat. Dia hanya ingin pemerintah menindaklanjuti dengan menghentikan program vaksin sebelum vaksin itu disempurnakan dan aman untuk manusia.

"Kumohon, gunakan laporan itu, bukan untuk mengkambinghitamkan orang yang tidak bersalah." Suara Yuuto bergetar saat dia membungkuk dalam. Dia tidak ingin merasa bersalah lagi karena membuat seseorang mati karena ulahnya.

***

Awalnya Yuuto masih bisa bersyukur saat kabar kasus vaksin itu mereda. Hanya saja, dua bulan kemudian, di pagi hari yang cerah, berita penangkapan ilmuwan Eijkman menggaung di ruang kerja Yuuto.

"Kemarin siang, staf muda Eijkman Nani Kusumasudjana ditangkap oleh pihak Kempetai karena keterlibatannya melakukan sabotase terhadap vaksin TCD yang membuat ribuan romusha tewas. Setelah ditangkap seminggu lalu, tepatnya tanggal 7 Oktober, Nani yang berusia 23 tahun kembali diciduk. Sedang dokter muda Yudha Satria yang ditangkap semalam, kini sedang menjalani penyidikan Kempetai. Mereka ditangkap berdasarkan laporan dari Letnan Kagami Yuuto yang mengungkapkan adanya kecurigaan kontaminasi toksin tetanus di dalam vaksin."

Mata Yuuto membeliak ketika mendengar siaran berita radio dari Hoso Kyoku Djakarta dalam bahasa Indonesia.

"Nani Kusuma? Yudha Satria? Mereka?" Yuuto seketika meremas kertas yang baru saja dia tulis untuk mencatat romusha sehat yang akan dikirim ke Palembang.

Dugaan Yuuto selama ini beralasan. Pemerintah seolah mencari kambing hitam agar apa yang terjadi di beberapa kamp romusha tak menyudutkan Dai Nippon. Dan, hal itu membuat Yuuto merasa semakin tertekan karena laporannya menjadi senjata yang menikam teman sejawatnya.

Yudha Satria.

💕Dee_ane💕

Ada yang tahu Mas Dokter Yudha? Btw, cerita ini seuniverse sama Peony dan Rana Cinta, ya? Ada yang udah baca?

Sedih kalau kagak ada yang komen ...









Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro