17. Anak Durhaka
Hallo, ada yang menanti Menik? Yamg minta part panjang, siapin dulu matanya biar kagak bosen. Selamat membaca dan jangan lupa saweran vomentnya
💕💕💕
Di sisi lain, Joko dengan bersemangat pulang membawa satu buah durian yang dia dapat dari teman sesama anggota PETA, Dewandaru. Dia tahu Menik sangat menyukai durian. Di tangan Menik, durian ini tak hanya menjadi buah, tetapi juga bisa menjadi olahan makanan yang enak dinikmati.
Sambil mengayuh pedal, Joko sudah membayangkan ekspresi ceria Menik bila melihat durian ini. Bersamaan dengan azan maghrib yang berkumandang dari langgar yang ada di ujung depan kampung, Joko akhirnya sampai di depan rumah Menik. Namun, Joko heran saat melihat rumah Menik tertutup. Biasanya menjelang maghrib, pintu rumah masih terbuka lebar.
Setelah turun dari sepeda, Joko memutuskan memutari rumah untuk lewat dari pintu belakang. Namun saat melalui jendela kamar Menik, dia mendengar sesuatu yang tak biasa.
“Aku lepas bajunya …."
Otak Joko kemudian berkelana tak tentu arah. Dia menggeleng mengusir pikiran anehnya saat mendengar suara berat dengan logat aneh. Padahal Joko selalu berupaya untuk mengusir secara halus laki-laki itu karena bagaimanapun Yuuto adalah seorang perwira militer. Joko juga sudah memperingatkan Menik supaya tidak bergaul dengan Yuuto. Tapi nyatanya, apa yang dia lakukan tak mempan, karena kini dia mendengar kembali desahan orang Jepang yang selalu merecoki Menik setiap hari setiap waktu.
“Kurang ajar!” desis Joko.
Laki-laki asal Soerabaja itu akhirnya mempercepat langkahnya dan menyandarkan sepeda begitu saja di dinding bambu rumah. Melihat pintu belakang terbuka, dia masuk, tanpa mengucapkan salam pada Lela yang sedang meracik bahan untuk makan malam.
Wajah Joko sudah memerah. Dadanya yang kembang kempis, seolah memompa percikan api cemburu dalam batinnya. Kali ini dia punya alasan kuat untuk mengusir putra petinggi Kempetai itu karena sudah berbuat tak senonoh pada Menik … wanita yang Joko cinta.
***
Sementara itu Yuuto tak mendengar titah Menik. Yuuto justru meremas kain kemejanya. Alisnya semakin mengernyit karena mendengar perintah Menik. Apa maunya perempuan itu? Mimpi yang sering hadir di tiap-tiap malamnya kembali menjejali kepalanya. Yuuto menggeleng berulang. Apa dia terlalu mabuk?
"Lepas bajunya," kata Menik sekali lagi.
Mengetahui Yuuto justru bergeming, Menik yang berbalik mendengkus keras. Dia lalu membantu Yuuto membuka kancing baju.
"Aku lepas bajunya …." Pipi Yuuto merah padam. Jakun Yuuto naik turun. Dia belum permah melepas baju di depan perempuan lain. Bahkan di hadapan kekasihnya sekali pun Yuuto tidak pernah telanjang dada. Namun, dia hanya menurut, dan akhirnya mengurai satu persatu kancing hingga terkuak kaus dalam ketat yang membalut tubuh.
Di sisi lain Menik tampak mengeluarkan sesuatu dari dalam lemari. “Sensei, silakan baring. Aye mau ….” Menik menunjukkan uang pecahan sepuluh sen dengan satu sisi terukir wayang Arjuna di tangan kanannya sedang tangan kiri memegang botol minyak essential.
Yuuto mengerjap. Dia di situ seolah seperti pasien yang diceramahi dokternya. Tawa Yuuto hampir tersembur, tapi dia melipat bibir agar tak menyembur. Dia khawatir kehilangan perhatian Menik. Ya Tuhan, dia pikir Menik ….
Yuuto menepuk dahinya keras. Ya, dia tidak bermimpi dan masih sadar. Tidak mungkin Menik akan melakukan hal aneh. Perempuan hanya ingin … ngeroki, kata orang Jawa.
“Ayo.”
Menik mengedarkan pandangan ke segala arah. Dia tidak menyangka menyuruh laki-laki Jepang membuka seragam di kamarnya. Ah, mungkin dia sudah gila! Tapi dorongan rasa kasihan lebih berkuasa.
Kini Yuuto sudah bertelanjang dada. Otot dada dan perutnya terukir cantik dibungkus kulit kuning. Pipi Menik memerah. Tapi dia mengusir rasa sungkannya, dan duduk di bibir ranjang. “Silakan berbaring di sini.”
Yuuto meringis, menggaruk tengkuknya. Dia canggung saat menghampiri ranjang dengan sprei biru bermotif bunga. Baru kali ini, dia membaringkan tubuhnya dengan dada polos di depan perempuan lain selain ibunya.
“Aye mulai, ya?” Menik meminta izin. Dia mulai membalurkan minyak di punggung Yuuto.
Sapuan jari Menik membuat kuduk Yuuto meremang. Apalagi saat kulitnya seperti dielus dengan tepian uang logam, Yuuto mengerang tertahan.
“Ini minyak adas. Konon katanya orang tua dulu berkhasiat untuk meredakan perut kembung. Sensei itu perutnya banyak gasnya, jadi mual dan muntah. Lihat kulitnya gosong-gosong. Itu artinya Sensei memang masuk angin parah.”
Yuuto tidak mencerna, apa yang dimaksud masuk angin. Tapi satu hal yang pasti, belaian Menik mampu menyapu hormon kortisol yang berlebihan sehingga mengurangi ketegangan ototnya dan kepala yang berdenyut.
Saat dia bersendawa untuk kesekian kalinya karena desakan gas dari lambungnya, suara Joko menyeruak membuat dia dan Menik terlonjak.
"Menik! Kali—" Pandangan memelotot Joko bergulir dari Menik, kemudian beralih di arah Yuuto.
"Bang Joko."
Otak Joko masih memahami situasinya. Yuuto berbaring telungkung dengan punggung dipenuhi garis-garis merah. Sementara Menik duduk di pinggir ranjang dengan memegang botol minyak adas dan uang logam sepuluh sen. Joko mengerjap, menyalahkan pikiran anehnya.
"Kalian …." Joko terdengar gagu. Apa yang dibayangkannya tidak sesuai dengan kenyataan.
Seketika Yuuto bangkit. Dia meraih bantal untuk menutupi dadanya. "Joko-san …."
"Aye ngerok dokter Kagami. Dia tadi muntah." Menik berusaha menjelaskan keadaan mereka.
Joko mendengkus. Mungkin niat Menik baik, tapi bagaimana pun, sangat tidak pas laki-laki dan perempuan berada dalam satu kamar, walau pun kamar tersebut dibuka.
Dengan masih menatap Yuuto yang kikuk, dia mengambil uang logam Menik. "Biar aku saja. Kamu bisa masak makan malam."
Menik merasakan aura yang tidak biasa. Tatapan Joko sangat tajam seolah ingin menguliti Yuuto. Menik khawatir, bisa-bisa kulit Yuuto lecet semua.
"Biar aye—"
"Udah, sana! Tidak bagus perempuan sama laki-laki berada di satu kamar." Joko menggerakkan kepala, menitahkan Menik keluar.
Mau tidak mau Menik menurut. Sementara Yuuto merasa kehilangan saat perempuan itu beranjak ke luar dari kamar.
"Ayo, Sensei, saya kerok punggungnya."
Yuuto meringis. Dia ingin menolak, tapi Joko sudah duduk di sampingnya. Apalagi, dia merasa tak nyaman dengan senyuman Joko yang aneh.
"Jangan sungkan. Saya akan beri pijatan ekstra sehingga Sensei akan kembali pulih." Seringai Joko terlihat menakutkan. Tapi Yuuto hanya bisa pasrah saat Joko duduk di pinggir kasur, memaksanya kembali berbaring.
Sedetik kemudian, punggungnya mulai merasakan kasarnya tangan Joko yang sedang mengoles minyak adas. Berbanding terbalik dengan kelembutan usapan Menik.
Apalagi saat Joko menyapukan tepian uang logam itu, Yuuto langsung mengerang. "Aarrghhhh, Joko-san, kamu …!" Rasanya sangat sakit, seolah Joko sedang memarut kelapa. Cepat dan menekan.
Sementara itu, Joko tersenyum miring. Dia tahu, di antara semua tentara Jepang, Yuuto terlihat berbeda. Dia tidak seperti anggota keluarga Kagami yang garang. Walau Yuuto terkesan baik, dia tidak ingin laki-laki Jeoang itu ada di sekitar Menik. Oleh karena itu, Joko tidak mau melewatkan kesempatan emas untuk membuat Yuuto jera. Dia ingin Yuuto tahu sakitnya kerokan sehingga jangan sesekali laki-laki itu mau dikerok oleh Menik.
"Aarrggh, Joko-san, pelan-pelan!" Yuuto meringis. Wajahnya memerah. Kerokan Menik dan Joko sangat berbeda. Kalau tahu begitu, dia sebaiknya menolak saja tadi.
"Ini sudah pelan. Sabar! Lihat … merah semua! Sensei masuk angin parah." Joko terkekeh dalam hati. Rasakan kerokan mautku!
Badan Yuuto seperti cacing kepanasan. Dia menggeliat untuk meredam perih. Dia pikir, kulit punggungnya akan terkelupas. "Sudah! Saya … sudah sembuh!"
Joko menghentikan gerakan tangannya. Senyum kemenangan terukir di wajah Joko. Yuuto langsung menegakkan separuh tubuh dan segera duduk di bibir ranjang.
"Bagaimana, Sensei?" tanya Joko tanpa merasa bersalah.
Mata sipit Yuuto semakin mengecil. Dia merasa Joko sengaja melakukannya agar membuatnya kesakitan. Sudah sering laki-laki pribumi itu mengusirnya halus atas nama kebaikan Menik.
"Arigatou. Hebat sekali efeknya. Saya langsung sembuh." Dalam hati Yuuto merutuk kenapa tiba-tiba Joko datang dan membuyarkan semuanya. Padahal Yuuto sedang menikmati belaian tangan Menik di punggungnya. Yuuto menduga punggungnya pasti sudah lecet.
"Sama-sama. Kalau mau kerok, Sensei bisa minta tolong saya."
Gerakan tangan Yuuto yang mengancing kemeja tertahan. Dia sudah memutuskan kerokan Joko ini menjadi pertama dan terakhir dalam hidupnya!!
***
Hanya bersama Menik, di warung Menik, menikmati makanan Menik, ketegangan Yuuto bisa kendur. Dia bisa melupakan sejenak kepenatan pekerjaan yang berseberangan dengan nuraninya.
Namun, tetap saja, tekanan demi tekanan diterima oleh Yuuto. Hingga kalimat terakhir Kolonel Kagami waktu lalu, membuat kesadaran Yuuto tersentak. Betul, kata Otousan, bila dia membangkang, keluarganya juga akan terimbas. Kolonel Kagami … Yukihiro. Semua yang mereka usahakan akan lenyap begitu saja.
Akhirnya, demi melindungi keluarganya, dengan terpaksa Yuuto memerintahkan anak buahnya untuk membongkar kardus dan mengumpulkan romusha di halaman.
Jantung Yuuto bergemuruh kencang saat dia mulai menyedot satu per satu cairan yang ada di botol. Cairan bening itu masih mengandung misteri … apakah kali ini Yuuto menjadi pembunuh, atau justru vaksin itu berhasil meningkatkan imunitas para romusha. Dalam hati, dia berdoa agar kali ini dia tidak menghabisi nyawa romusha tak bersalah itu.
Rupanya, apa yang diharapkan Yuuto tak terwujud. Menjelang sore hari, seorang anak buahnya mendatangi Yuuto.
"Lapor, Letnan! Para romusha yang disuntik tadi siang mengalami kejang-kejang."
Gerakan tangan Yuuto yang sedang membereskan barang-barangnya untuk bersiap pulang, terhenti. "Kejang? Berapa orang?"
"Tujuh puluh? Ehm … seratus? Saya tidak yakin."
Seketika jantung Yuuto seperti mau meloncat dari rongga dadanya. "Telepon rumah sakit pusat, dan setelahnya siapkan truk untuk mengangkut yang bisa diselamatkan!"
Anak buah Yuuto bingung. Dia masih terpaku di tempatnya.
"Ayo! Saya akan memeriksa para romusha." Yuuto menyambar tas yang berisi alat pemeriksaannya. Beruntung kejadian ini sudah dia antisipasi bila ada kejadian tidak diinginkan dengan meminta anak buahnya menyiapkan truk.
Langkah kaki Yuuto memburu seiring dengan detak jantung yang berderap kencang. Telinganya menangkap raungan kesakitan dari para romusha yang mengalami efek samping dari suntikannya.
Begitu sampai di salah satu barak, mata sipit Yuuto membeliak. Raga-raga kaku sudah bergelimpangan di lantai. Sebagian ada yang kejang-kejang, dan yang lain menggigil di atas tempat tidur tanpa kasur.
"Dai Nippon … setan! Yuuto … Kagami … dokter setan!" Rutukan itu berulang kali tertangkap oleh pendengaran Yuuto.
Namun, dia menguatkan hati. Dia berjalan masuk untuk memilah siapa romusha yang bisa diselamatkan.
"Setannnn!!"
Langkah Yuuto tersendat. Pergelangan kaki kirinya ditangkap seorang romusha yang tergeletak di lantai. Yuuto berjongkok untuk melepas tangan yang mencengkeramnya kuat.
"Lepas! Saya harus menyelamatkan kalian!" Namun, ketika Yuuto sedang sibuk mengurai kaitan tangan laki-laki kurus itu, tubuhnya terhuyung ke lantai.
Badannya ditindih oleh tubuh kekar seorang romusha dari Semarang yang baru saja tiba. Rambutnya ditarik kuat hingga kepalanya mendongak. Lehernya seketika dikunci dengan lengan besarnya hingga Yuuto tak bisa berkutik. Tenggorokan yang tercekik, membuat udara tak mampu memenuhi paru-parunya. Yuuto mengerang. Kuncian lengan kekar di leher membuatnya tak bisa bernapas.
Mungkin ini balasan yang harus Yuuto dapatkan karena sudah membunuh seratus lebih orang tak bersalah melalui suntikannya. Bila dia harus mati hari ini di tangan para romusha yang mengamuk, Yuuto pasrah.
"Cih!" Ludah orang itu mengenai pipi Yuuto. "Dai Nippon memang setan! Kalian menggiring kami ke sini untuk kerja paksa serta melecehkan istri dan anak gadis kami! Sekarang, kamu … Kagami-Shoi (letnan Kagami) … kamu akan mati di tangan kami sebelum kami mati!"
Tubuh Yuuto menggeliat, berusaha membebaskan diri. Namun, usahanya nihil, karena kekuatan laki-laki itu begitu besar. Orang-orang yang lain bahkan ikut membantu mendera Yuuto dengan menendang, bahkan meludahinya.
"Bebaskan … aku! Sebe … lum ada banyak korban jiwa …." Yuuto terbata-bata.
Tetap saja ucapan Yuuto tak membuahkan hasil. Laki-laki itu membuatnya berdiri tanpa melepas kaitan tangannya di leher. Sementara itu, beberapa orang kemudian mengerumuninya dan bergantian memukulnya.
Suara tembakan membahana, membubarkan para penyerang, diikuti jerit kesakitan laki-laki yang terkena peluru.
"Bubar!" Sergahan itu membuat semua orang menyingkir menyelamatkan diri.
Tubuh Yuuto lunglai. Dia jatuh berlutut lalu menahan raganya agar tidak roboh dengan menumpukan telapak tangannya di lantai tanah yang dingin. Yuuto tak berhenti terbatuk saat dia bisa membebaskan diri dari serangan bertubi romusha yang mengamuk. Kini badannya terasa nyeri karena pukulan dan tendangan yang mengenai ulu hatinya.
"Kagami-Shoi, anda tidak apa-apa?"
Yuuto mengusap sudut bibirnya yang terluka. "Evakuasi korban yang bisa diselamatkan ke rumah sakit pusat!"
"Demo (tapi) …."
"Laksanakan!"
Suara Yuuto melengking menegaskan titahnya. Tak menghiraukan wajah yang luka, Yuuto segera mengevakuasi satu per satu romusha yang bisa diselamatkan, karena tidak ingin malamnya dihantui rasa bersalah yang mencekik nalar.
***
Dengan jantung yang berdebar dikejar malaikat maut, Yuuto mengemudikan mobilnya sendiri di belakang truk yang membawa ke Ika Daigaku Byongin (rumah sakit pendidikan). Di sana, rombongan romusha yang sekarat itu disambut oleh beberapa dokter Jepang dan pribumi.
Setelah melaporkan keadaannya, Ito-sensei yang bekerja menjadi salah seorang pengajar di Ika Daigaku, menghampirinya.
"Kagami-sensei!" Panggilan terdengar saat Ito-sensei berjarak lima langkah dari Yuuto.
Yuuto menoleh dan membungkuk membalas sapaan Ito-Sensei, seniornya sewaktu kuliah di Leiden.
"Aku dengar dari Tanaka-sensei, ada kejadian ikutan pasca imunisasi di Klender."
"Hai (ya)."
Ito-sensei menaikkan kacamata bulatnya. Seketika dia membeliak saat melihat wajah Yuuto yang penuh luka dan pakaiannya lusuh terkena debu tanah. Kini dia juga melihat unit gawat darurat dipenuhi para romusha.
Dokter yang berusia tiga puluh tujuh tahun itu lalu menarik Yuuto ke tampat sepi. Dia menoleh ke kanan kiri, memastikan tak ada orang yang lalu lalang.
"Yuuto-chan, apa kamu tidak terlalu berani membawa para romusha keluar kamp?" Mata Ito-sensei membeliak.
Yuuto menggeleng lemah. "Saya sudah berkoordinasi dengan Tanaka-sensei sebelumnya. Beliau sebenarnya juga tidak menyetujui tindakan pemberian vaksin tersebut. Jelas sekali vaksin itu adalah vaksin tetanus yang sedang dikembangkan. Jadi, beliau mau membantu bila ada kejadian yang tidak diinginkan."
"Tapi, ini berbahaya! Kejadian luar biasa ini bisa menjadi santapan wartawan anti Dai Nippon! Kalau tersebar ke internasional, pemerintah bisa digugat melakukan kejahatan perang!" Walau berbisik, suara Ito-sensei terdengar jelas.
"Kita sudah melakukan kejahatan! Dan, saya tidak mau menjadi pembunuh orang yang tidak bersalah."
Ito-sensei mendesah kencang. "Kamu … bisa jadi akan ditangkap Kempetai! Bisa jadi … kamu akan berurusan dengan ayahmu sendiri!"
Jakun Yuuto naik turun. Jelas dia tidak melupakan hal itu. Sekali ini … dia ingin mengikuti kata hatinya, walau itu akan menjadikannya anak durhaka di mata Kolonel Kagami.
💕Dee_ane💕
Bisa kalian tebak di mana faktanya? 🙈
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro