Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

12. Merasa Sendiri

Hai, Deers! Akhirnya Menik update lagi. Semoga tetep ditunggu yes. Jangan lupa vote dan komen sebanyak-banyaknya ya ^.^

💕💕💕

Buntalan itu jatuh. Menik dan Yuuto menoleh, melihat laki-laki berperawakan cukup tinggi dengan kulit kuning, menatap mereka.

"Joko-san?" Yuuto meneleng. Dia mengenal shodanco PETA itu karena sering berkunjung ke markas PETA di Jaga Monyet. 

Menik menatap bergantian dua laki-laki di depannya. Yang satu matanya sipit dengan tatapan tajam. Yang lain matanya belok dengan sorot sengit.

"Ada perlu apa Kagami-sensei kemari?" tanya Joko lagi. Dia melangkah mendekat, masih memperhatikan Yuuto. Joko memanggil Yuuto tanpa memanggil pangkat kemiliterannya sesuai keinginan laki-laki itu.
"Ano—"

"Kagami-sensei adalah salah satu pelanggan aye." Menik memotong ucapan Yuuto. Yuuto mengernyit, tapi justru Menik mengedip dan tersenyum lebar yang aneh.

"Ha … hai." Yuuto menjawab. Mengiyakan ucapan Menik. Walau begitu, dia tidak berbohong karena memang Yuuto suka makanan yang ditawarkan Menik.

Sementara itu, Joko justru mencium sesuatu. Melihat dari ekspresi dan reaksi keduanya, Joko menjadi sangsi. Di ruangan itu sepi. Tidak ada pelanggan. Di depan juga tak didapatinya papan tulis menu yang dijual hari ini. Itu artinya warung sudah tutup. 

Melihat kecurigaan Joko, Menik segera memutar otak mencari alasan. Dia justru melirik buntalan yang tergeletak di lantai. Dia takut Joko tahu ada seragam perwira Jepang di buntalan itu. 

Ah, untuk apa takut? Menik tidak berbuat salah. Hanya saja, Menik khawatir Joko berasumsi lain. Hanya Joko yang tidak menyalahkannya atas tragedi yang terjadi pada Asman dan Ripto. Berbeda dengan keluarga Ripto yang justru membuatnya semakin tertekan.

"Dasar pembawa sial! Dari awal aku wis ndak setuju kalau dia sama perempuan Betawi itu!"

Ucapan ibu mertuanya saat mendengar kabar Ripto ditangkap Jepang, kembali terngiang di kepala Menik. Setelah itu berjejalan ingatan di otaknya, ucapan kasar keluarga besar Soerabadja yang membuat Menik tertekan. 

Hanya Joko ….

Hanya Joko yang mengatakan bahwa Menik tidak bersalah. Hanya Joko yang mempercayai bahwa dia bukanlah pembawa sial seperti yang dituduhkan keluarga Ripto yang datang dari Jawa Timur hanya untuk mencercanya.

"Papannya sudah tidak ada. Bukannya sudah tutup? Biasanya kamu beres-beres setelah tidak ada pelanggan." Joko mengamati ruangan dengan tiga meja di setiap sisi dinding yang dipasangkan dengan bangku kayu panjang. Bahkan kursi kayu itu sudah ada di atas meja, dengan posisi terbalik.

"Iya. Baru saja tutup. Saya datang. Kecewa." Yuuto berkata dengan patah-patah. Tiba-tiba otaknya susah sekali mengalirkan kalimat bahasa Melayu.

"Iya. Kagami-sensei sudah mau pulang." Menik berjongkok, mengambil bungkusan itu dan menyerahkan pada Yuuto. "Ini. Barang anda jatuh."

Yuuto membungkuk sedikit saat menerima bungkusan dengan tatapan nanar. Walau dengan cara halus, dia tahu Menik mengusirnya. Akhirnya Yuuto mengalah. Dia meminta diri dan pergi dari situ tanpa diantar oleh tuan rumah. 

Sementara itu, Menik masih berdiri terpaku di tempatnya. Dia tidak bisa mengalihkan pandangan dari punggung tegap yang menjauh. Rasa bersalah menyusup karena Menik mengusir Yuuto seolah laki-laki Jepang itu adalah penjahat yang tidak selayaknya ada di warungnya. Padahal, Yuuto sering menolongnya. Tangan kekarnya yang kasar sering menopangnya saat dia akan jatuh, dari awal pertemuan mereka. 

“Nik, koen ga ono hubungan karo wong iku, to (Kamu tidak ada hubungan dengan orang itu, ‘kan)?”

Menik mengerang frustasi. Dia memang paham bahasa Jawa karena sejak Ripto menjadi kekasihnya dua tahun lalu, Ripto selalu mengajarkan bahasa Jawa dengan logat Jogja yang halus dan Surabaya.

“Abang kagak usah ngomong pakai bahasa Jawa. Aye kagak demen!” Menik bersikap ketus. Entah kenapa dia paling tidak suka diajak ngobrol dengan bahasa Jawa sejak Ripto pergi karena itu akan mengingatkan Menik pada hinaan keluarga besar Ripto dengan bahasa Jawa yang kasar.

Joko menghela napas. Dia mengelus kepala Menik yang rambut hitam lurusnya digelung di tengkuk. “Maaf. Aku … tidak suka kamu dekat dengan Jepang. Tidak cuma kamu, Nik, yang terluka. Aku … juga!”

Mata Menik terasa panas. Dia menghela napas dalam agar bisa meredam perasaannya yang bergejolak. Menik tahu, dia salah karena menghardik Joko.

"Maaf, aye …." 

Menik berbalik dan masuk ke dalam bilik kecil. Pintu berdentum kencang sesudahnya hingga rontokan debu atap jatuh mengenai kepalanya yang bersandar di daun pintu. Menik menggigit bibirnya erat. Otaknya kusut mengingat semua peristiwa yang terjadi.

Seandainya Menik tidak bertemu Yuuto beberapa hari lalu, tentu usaha yang dia rintis sebelum menikah, tidak akan kacau. Kilasan kenangan bersama Ripto kembali hadir di otak Menik.
***
Oktober, 1943

"Nik, kowe (kamu) mau ya nikah sama aku?" Ripto menggenggam tangannya. 

Menik menatap nanar genggaman tangan Ripto. Sejak dia bertemu dengan lelaki itu sewaktu dia kehilangan juragan Londonya, Ripto yang memulihkan kesedihannya. Setiap Minggu, dia datang dari Menteng ke Kampung Sawah untuk menengok Menik. Setelah menyatakan cinta sejak beberapa bulan mereka bertemu, akhirnya Ripto melamarnya.

"Aye … bingung. Aye merasa kagak pantas buat Abang. Abang … ganteng, pinter, ningrat pula." Perasaan Menik campur aduk, membalas tatapan teduh Ripto. "Aye orang kampung. Kampung sawah. Cuma bisa tani."

"Siapa bilang?" Ripto tersenyum sambil menyibak anak rambut Menik ke belakang telinga. "Kowe kuwi manis. Persis gula jawa yang bisa membuat hidupku yang pahit seimbang rasanya. Bersama kamu, aku bisa tertawa dan bahagia."

"Pahit bagaimana? Bang Ripto itu darah biru. Punya kesempatan sekolah tinggi sampai ke negeri Belanda, habis itu punya pekerjaan bagus. Kurang manis apa lagi?" protes Menik.

Ripto menggeleng. "Semua kurang nek ora ana kowe, Nik (Semua kurang kalau tidak ada kamu, Nik)."

Walau Menik tahu, hubungan mereka ditentang, Menik tetap menerima pinangan Ripto. Sejak saat itu Menik dibawa ke Djakarta. Untuk mengisi waktu, dia menerima pesanan dari Sendenbu karena teman-teman Ripto menyukai bekal yang disiapkan Menik. Karena masakan Menik disukai, maka Ripto memberi modal Menik untuk membuka sebuah kedai di pinggiran Menteng, tempat tinggal Menik sebelum mereka menikah. 

"Abang, aye harus jualan apa?" Menik mengerucutkan bibir saat Ripto mencetuskan idenya.

"Jual saja masakan yang ingin kamu masak hari itu."

Menik mengerutkan alis. "Mana ada warung makan menjual menu yang acak kayak gitu, Bang?"

"Aku suka masakanmu. Segala jenis masakanmu. Makanan yang kamu olah membuat hati yang memakannya bahagia, karena kamu memasaknya dengan segenap hati dan penuh suka cita. Aku pengin semua orang juga bisa merasakan hal yang sama seperti yang aku rasakan."

Jantung Menik seketika berdetak kencang. Dadanya kembang kempis penuh dengan kebanggaan karena pujian Ripto.

"Terserah Abang saja. Aye cuma bisanya masak."

Akhirnya, pada awal bulan Desember, Menik membuka usahanya atas dukungan Ripto. Seolah usaha itu adalah warisan Ripto yang berupa kail agar Menik bisa memancing rezeki sendiri tanpanya karena sebulan setelah itu, Ripto ditangkap dan meninggalkan Menik untuk selama-lamanya. 
***
Bulir bening kembali meleleh ketika perasaan Menik carut marut. Bahunya naik turun seiring dengan isak yang berusaha dia tahan. Berkali-kali dia menepuk dada untuk menggelontorkan nyeri kehilangan.

"Maafkan aye, Bang. Aye … kagak bisa meneruskan usaha di rumah yang Abang kasih buat aye." Menik sesenggukan mengingat bagaimana keluarga Ripto mengusir Menik dari rumah yang dibeli Ripto untuk ditempati Menik lebih dulu sewaktu mereka belum menikah. "Tapi … di mana pun tempatnya, aye tetep bakal meneruskan ide abang. Menyebarkan kebahagiaan lewat makanan yang aye bikin."

Namun, dada Menik berdesir nyeri saat mengingat gosip tentang hubungan Menik dan tentara Jepang serta penembakan centeng di rumahnya. Dia khawatir pelanggannya tidak mau datang lagi. Padahal … dia harus mendapat uang bagaimanapun itu.

Sore itu, Menik mendapat kabar dari Dasa, kakak sepupunya, bahwa Indun—istri Asman—melahirkan. Tak berpikir panjang, dia lalu segera datang ke Kampung Sawah ditemani oleh Joko, yang masih ada di rumahnya.

Setelah menghabiskan perjalanan satu jam tiga puluh menit dengan sepeda, mereka akhirnya memasuki Kampung Sawah. Desa masa kecil Menik itu adalah sebuah daerah di pinggiran Djakarta, yang banyak dihuni oleh masyarakat Betawi dengan keberagaman agama. Ada Islam, Katolik, dan Kristen. Sawah yang terbentang di kanan kiri jalan menjadikan daerah itu berkelimpahan padi. Padi yang kemudian akan menjadi asal muasal tragedi dalam hidupnya.

Begitu melalui gereja Santo Servarius yang kini terlihat suram, mereka memasuki sebuah halaman berlatar luas. Rumah khas betawi menyambutnya dengan balai-balai di sisi kiri serambi dan meja kursi kayu jati di bagian kanan. 

Menik masuk dengan membawa buntalan kain untuk membawa pakaiannya. Dia pikir akan menghabiskan waktu beberapa hari untuk membantu Indun. 

"Mpok, aye datang!" Menik membuka tirai kamar. 

Indun, yang sedang duduk bersandar di kepala ranjang besi, menyusui bayi, mengerling dengan tatapan sengit. 

Menik hanya bisa mengeratkan rahangnya. Dia tahu Indun tidak menyukainya karena membuat suaminya ditangkap dan meninggal setelah didera dengan kejam. Padahal hubungan mereka dulu sangat dekat. 

Meski mendapat sambutan dingin, Menjk tetap melawan tatapan tajam itu dan duduk di sisi tempat tidur.

"Mpok, ini … duit bulan ini. Maaf, kalau kagak banyak."

Indun melirik ke arah bungkusan kertas yang disodorkan padanya. 

"Aye kagak butuh duit lu! Lu udah bikin hidup gue dan anak-anak gue menderita. Entong, Neneng kudu kehilangan bapaknya. Lu puas? Gara-gara lakik lu yang lu bela-belain minta beras, akhirnya hidup aye ikut keseret menderita. Sekarang bayi aye kagak tahu bapaknya!"

Hardikan Indun itu membuat telinga Menik memanas. Dia meremas bungkusan uang kertas jerih payahnya selama ini.

"Mpok, aye janji bakal nanggung hidup Mpok. Aye janji kagak bakal bikin susah Entong dan Neneng. Aye … aye …." Menik tergugu. Dia hanya bisa menunduk.

"Satu karung padi … Aye inget lu mohon-mohon sama abang lu. Dia sudah bilang kalau itu jatah Nippon. Tapi aye kagak nyangka lu nekat ambil kunci gudang dan di saat lu bahagia, abang lu sengsara." 

Menik semakin sesenggukan saat Indun selalu melontarkan kalimat yang menghujam batinnya. "Mpok … maaf. Maaf."

"Maaf kata lu? Kagak ada!" Sergahan Indun membuat bayi laki-laki di pelukannya terlonjak dan menangis kencang. "Pergi dari sini! Jangan pernah kembali!"

Air mata Menik berurai, membasahi pipi tembamnya. Dadanya terasa sesak dengan pengusiran Indun. "Maaf, ini buat Entong, Neneng, sama adiknya. Aye pulang, Mpok."

Pandangan Menik kabur. Dia bangkit dan berbalik, hendak meninggalkan Indun. Namun, beberapa detik kemudian Indun melempar bungkusan uang itu hingga pecahan bernilai seribu, seratus, dan sepuluh rupiah berhamburan terbang dan mendarat di lantai semen.

"Aye kagak butuh uang haram. Lu kira aye kagak tahu kalau lu jadi demenan Jepang. Dasar lacur!"

Langkah Menik tertahan. Dia kemudian berbalik dan mengumpulkan lembar demi lembar uang yang dia peroleh dengan keringatnya. Demi uang ini, dia rela bangun pagi dan menembus malam untuk berbelanja ke pasar. Demi uang ini, Menik rela dilecehkan dengan lisan walau rasanya menyakitkan. Semua demi Indun dan anak-anaknya. Demi menebus rasa bersalahnya.

Joko yang mendengar suara lantang Indun menyeruak masuk. Langkahnya tertahan mengetahui Menik berjongkok, mengambil uang yang berserakan di lantai. Dia lalu masuk, menghampiri Indun.

"Bang …." Menik bergegas berdiri untuk menahan lengan Joko. Air matanya semakin deras mengucur.

"Ape lihat-lihat? Sana bawa demenan lu! Dari awal aye udah curiga kalau lu demen sama perempuan sial itu!" Indun memelotot tajam.

"Mbak, tolong omongannya dijaga! Menik ndak salah! Menik hanya dimintai tolong Mas Ripto!"

"Pergi lu dari sini! Abang lu yang bikin hidup aye hancur! Pergi, Setan!" Indun histeris melempar bantal ke arah muka Joko, tak menghiraukan tangis bayinya.

Menik mencengkeram lengan Joko dan menariknya. "Aye mohon, Bang! Jangan bikin aye tambah susah!"

"Nik …." Joko menoleh, menatap Menik yang memberikan tatapan memohon.

"Ayo, pulang." Menik lalu meletakkan uang itu di kursi kayu dekat tempat tidur, kemudian keluar dengan hati yang gamang.

Mereka akhirnya pulang ditemani derik rantai sepeda yang memutar roda sepeda tua milik Ripto yang sekarang dipakai Joko. Angin malam mempermainkan rambut Joko yang sudah mulai panjang. Sementara itu, di belakang, Menik hanya bisa menunduk, menyembunyikan wajah yang basah.

"Nik, kita mampir ke gereja dulu ya? Ketika kita tidak ada kekuatan, hanya Tuhan andalan kita."

Tuhan andalan kita? Rasanya Menik mau tertawa. Dia merasa Tuhan telah meninggalkannya dan membiarkan semua hal buruk terjadi.

"Tuhan? Di mana Tuhan?" Suara Menik sengau. Dia mendongak menatap pemandangan gelap hamparan sawah yang sekelam hatinya. 

Rem berdecit, menghentikan roda. Kaki panjang Joko menapak tanah kerikil. Masih duduk di sadel, dia memutar badan. 

"Nik? Jangan gitu. Ojo oleng! Gusti mesti ada buat kamu. Gusti mboten sare. Gusti akan mengirim orang di sekelilingmu untuk membantumu melalui ujian. Kaya aku, Nik. Aku akan jadi orang yang akan menemanimu … menggantikan Mas Ripto."

💕Dee_ane💕

Gusti, ujianku terlalu berat

Promo dulu ah ... ikutin kuy Anatomy of Love. Cerita romantis anak-anak kedokteran.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro