11. Makan Siang Sederhana
Hullaa, ada Dee di sini mau update kisah Menik n Yuuto. Buat yang nungguin silakan merapat dan ramaikan.
💕💕💕
Dada Menik berdegup kencang seiring dentum pintu yang tertutup, begitu Lela membukakan pintu untuknya. Dia buru-buru menatap tangannya yang masih terasa hangat saat digandeng oleh Yuuto.
Diambilnya saputangan kotak merah yang menyumpal ditekan tali kutang, dan menghirup dalam-dalam wanginya. Ah, persis seperti wangi Ripto. Apakah mereka mempunyai minyak wangi yang sama?
Menik menyadari, Yuuto memang berbeda dengan laki-laki Jepang pada umumnya. Cara Yuuto bertindak, membuat Menik merasa tersanjung, dihargai, dan … disayang?
Menik memukul dahinya, untuk mengeluarkan pikiran anehnya. Jepang masa penyayang? Tidak mungkin!
Mungkin Menik terlalu tertekan dan lelah dengan segala macam yang terjadi sehingga berpikir yang bukan-bukan.
"Ada apa, Mpok?" Lela menggosok matanya yang berat.
"Kagak. Sudah lu tidur lagi sana." Menik kembali menyusupkan sapu tangan itu di kap kutangnya, seolah harta yang takut dicuri, seperti kantong uangnya.
Desahan Menik menguar kemudian, saat hatinya berusaha menyangkal apa yang dirasakan. Tak dimungkiri, kehangatan perhatian Yuuto membuat hati beku Menik meleleh. Dia merasa nyaman dan dilindungi oleh lelaki Jepang itu.
Di sisi lain, Menik merasa sebaiknya dia harus memadamkan percikan api ketertarikan sebelum menderita. Bagaimana pun Nippon tetaplah Nippon. Dan tidak mungkin seorang penjajah mencintai pribumi yang dijajah.
***
Siang di hari berikutnya, Yuuto kembali datang. Lela mengabarkan saat Menik sedang memasak sayur asem untuk makan siang mereka.
"Tuan dokter?" Alis Menik mengernyit. Dia masih duduk di dingklik, menghadap perapian yang lidah apinya menjilat pantat periuk.
"Dokter Kagami." Lela menjelaskan.
Menik mendesah. Dia lalu bangkit dari duduknya dan mengusap tangannya di pantat.
"La, baju aye sudah sopan?" tanya Menik sambil memperbaiki gelungan rambutnya.
"Sudah, Mpok. Kan biasanya Mpok pakai baju rapi dan wangi juga. Persis kaya iklan di majalah Djawa Baroe."
Menik meringis. Dia tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama. Setelah memastikan semua rapi, dia masuk ke dalam ruangan yang biasa digunakan untuk warung.
Ruangan itu sekarang kosong. Hanya lelaki Jepang berkulit kuning yang duduk di salah satu bangku panjang.
"Selamat siang." Menik membungkukkan badannya sedikit.
Yuuto bergegas berdiri dan membalas sapaan Menik. "Konnichiwa."
"Ada perlu apa? Bukannya kemarin aye sudah bilang kalau Sensei kagak perlu kemari lagi?" Wajah Menik terlihat tegang dan tegas. Sampai-sampai dia melupakan siapa lawan bicaranya karena memakai bahasa tak baku. Kini dia harus menguatkan diri untuk melawan tatapan mata sipit yang tajam.
"Ano … saya ingin makan!" Katanya patah-patah. Khas seperti orang Jepang kebanyakan yang berbicara.
"Maaf. Warung aye tutup. Dan aye juga terganggu kalau Sensei sering datang ke sini." Menik berusaha menjawab sesopan mungkin. Percuma juga dia mengubah bicaranya. Toh, sudah terlanjur.
Sebenarnya, Menik tidak ingin membangunkan macan tidur. Kebiasaannya berterus terang, sepertinya harus dia tekan. Dia tidak boleh terlalu berani karena bisa jadi kenyamanan hidupnya akan terganggu. Perempuan itu pun juga tidak ingin usahanya yang sudah dia rintis sejak lama terganggu.
"Beri saya makan! Apa pun!" Yuuto bersikeras.
Menik mengeratkan rahangnya. Ada apa dengan orang Nippon satu ini? Kenapa dia harus makan di sini? Dari begitu banyak warung, begitu banyak penjaja makanan bahkan restoran, kenapa harus ke warung miliknya yang terletak di ujung kampung?
"Saya mohon!" ucap Yuuto sambil membungkuk dalam.
Menik membisu. Dia memalingkan wajah sambil bersedekap. Mungkin orang akan heran melihat orang Jepang rela membungkuk dalam di depan perempuan pribumi yang terkesan angkuh. Namun, keheningan mereka tiba-tiba diributkan dengan suara keroncongan perut.
Bola mata Menik bergulir ke kanan, melirik Yuuto yang kini menegakkan badan serta meremas perutnya. Laki-laki itu meringis dengan pipi memerah di wajah pucatnya. Melihat ekspresi memelas Yuuto, hati Menik tidak tega. Lagi pula, laki-laki itu juga terlihat lapar sampai-sampai perutnya berbunyi nyaring.
"Aye hanya masak sayur asam, ikan asin, semur jengkol, dan sambal terasi. Apa Sensei mau?"
Yuuto mengangguk berulang dengan senyum lebar. "Arigatou!"
Mau tidak mau, Menik tersenyum simpul. Lelaki itu terlihat seperti anak-anak yang menagih makan pada ibunya.
"Ano …."
Menik berdecak. Dia kembali berbalik setelah hampir menyibak tirai dapur. "Ada apa lagi?"
"Saya ingin melihat kamu memasak."
Menik memutar bola mata. Untuk apa orang Jepang ini melihatnya memasak? Merepotkan saja!
"Saya mohon …."
Hah, ada apa dengan mata Yuuto? Kenapa selalu matanya seperti berkaca-kaca hingga mukanya tampak memelas? Namun, Menik hanya diam, tak memberi jawaban, hingga diasumsikan oleh Yuuto sebagai tanda persetujuan.
Akhirnya Menik kembali duduk di dingklik kayu di depan tungku. Dia mencicipi sayur yang kuahnya sudah meletup, sementara Yuuto duduk di balai-balai menatap gerak-gerik sang pemilik warung.
"Tambah gula dikit, La. Biar mantap!"
Lela menurut, mengambil toples kaca berisi gula. Dia memberikan wadah itu setelah membukanya.
"Lu kasih gula buat penyeimbang rasa. Biar rasa asinnya jadi lebih gurih." Menik selalu memberi wejangan dan tips memasak kepada Lela. Seperti enyaknya dulu yang selalu memberi banyak pelajaran tentang memasak sehingga ilmu sang enyak menurun ke Menik.
"Nah, ini baru mantap!" Menik tersenyum saat mengetes rasa kuah yang mendidih. "Sekarang siapin lombok, bawang merah bakar sama terasinya, buat nyambel. Mpok mau bikin semur jengkol dulu."
"Iya, Mpok."
Sebenarnya Menik tak nyaman diperhatikan terus oleh Yuuto. Lelaki itu tidak bisa melepas pandangannya sedetik pun dari Menik. Setiap dia bergerak, kepalanya akan mengikuti menoleh dan bertanya apa yang Menik racik. Polahnya seperti anak balita yang ingin tahu ini itu.
"Ini apa?" Yuuto mengendus terasi bakar yang disimpan dalam toples kaca kecil. Dia mengerutkan hidung mancung.
"Terasi. Dari udang rebon." Menik menjelaskan sembari menumis bumbu halus yang terdiri dari bawang merah, bawang putih, dan cabai keriting, bersama dengan irisan bawang merah, daun salam, serai, dan lengkuas.
Mata Yuuto membulat. Dia masih mencium toples terbuka yang menguarkan wangi khas terasi, beradu dengan harum tumisan semur. "Sou desu ne (Oh begitu)."
"Sensei pernah makan sambal terasi?" tanya Lela sambil mulai mengulek sambal setelah menyodorkan bumbu yang dia racik untuk disetujui Menik.
"Sudah. Dulu. Sebelum Dai Nippon memerintah Indonesia. Aku dulu sempat tinggal di Soerabaja. Salah seorang teman baikku, sering mengajak aku makan di rumahnya dengan suguhan sambal terasi. Enak!"
Menik mengangguk-angguk. Suara sutil yang mengaduk bumbu agar tidak lengket di wajan, tidak mengganggu pendengarannya menangkap cerita Yuuto.
"Jengkol pun aku juga makan. Hanya saja kentutku jadi …" Kembali hidung Yuuto mengkerut ke atas, dengan tangan mengipasi di depan hidung. "bau sekali."
Kikikan Lela membuat Menik menoleh sehabis memasukkan jengkol ke dalam wajan. Dia terkesiap. Ekspresi Yuuto itu terlihat lucu. Dia benar-benar tidak mirip seperti tentara Jepang kebanyakan.
Sejurus kemudian, hidangan sudah tersaji di meja. Ada sayur asem dalam panci aluminium, semur jengkol yang ditempatkan di mangkok keramik, sambal terasi di cobek batu kecil, ikan asin, serta tahu sisa pagi tadi, tertata di atas piring lauk. Menik sengaja menata masakannya di balai-balai, seperti kebiasaannya makan siang bersama Lela. Baginya, lebih enak duduk bersila sambil mengangkat kaki, memegang piring dan makan dengan tangan daripada makan di meja makan.
Sementara itu, Yuuto yang duduk bersimpuh layaknya adat kebiasaan orang Jepang duduk di lantai, menatap setiap menu yang disajikan dengan mata berbinar. Aroma dari sayur asam, ikan asin, dan semur jengkol, berpadu merangsang rasa lapar.
"Itadakimasu!" Yuuto menempelkan kedua telapak tangannya sambil membungkuk.
Sementara itu, Menik menghunjukkan tanda salib untuk mengucap syukur atas makanan yang dia makan. Sedang Lela komat kamit merapal doa dan setelah selesai remaja itu mengusap wajah.
"Enak!" Untuk kesekian kali Yuuto memuji masakan Menik.
Menik dan Lela terpaksa hanya makan sedikit karena merelakan nasi di dalam bakul itu ditumpas habis oleh Yuuto. Lelaki itu terus mengunyah tiada henti sampai apa yang ada di atas balai-balai itu bersih.
"Ini … dimakan?" tanya Yuuto menunjuk semur jengkol yang masih ada tiga biji.
Menik dan Lela saling pandang. Mereka menggeleng serentak dan disambut senyum merekah Yuuto.
Bibir Yuuto memerah sambil meniupkan uap panas dari rasa pedas sambal terasi ulekan Lela. Menik segera menuangkan kembali air kendi ke dalam gelas belimbing yang sudah kosong.
Mengetahui gelasnya kembali terisi, Yuuto meneguk satu gelas air di akhir makan siangnya. Di sisi lain, Menik hanya mengerjap menatap wajah puas Yuuto.
"Gochisosama! Terima kasih untuk makanannya." Yuuto tersenyum lebar. Wajahnya lebih merah dan sekarang pipinya terlihat lebih berisi saat ditarik.
Lelaki itu mengurai dua kancing kemejanya untuk mengelap dadanya yang basah keringat karena makan makanan panas dan pedas yang segar. Sendawa keras kembali menguar membuat Menik harus mengipas di depan hidung dengan tangannya untuk mengusir bau jengkol yang menyengat.
"Terima kasih," ucap Yuuto dengan senyum lebar.
Mengetahui tamunya sudah selesai makan, Menik bangkit lalu masuk ke kamar. Dia mengambil seragam yang sudah dilipat dan dibungkus dengan kertas koran bekas.
"Sensei, berhubung Sensei sudah makan, sebaiknya Sensei pulang. Anggap makanan ini sebagai rasa terima kasih aye. Oh, ya, ini seragam Sensei. Aye sudah cuci." Menik menyerahkan buntalan itu kepada Yuuto.
Yuuto mengerjap. Dia belum menerima bungkusan itu. Matanya menyiratkan kecewa. Entah kenapa sorotnya membuat Menik tak enak hati.
"Berapa bayar makanan yang tadi?" Suara Yuuto tiba-tiba menjadi serak. Dia menarik dompet dari saku belakang celana dan bersiap mengeluarkan uang.
Walau Menik sempat menangkap dompet tebal berisi pecahan setengah rupiah sampai seribu rupiah, dia menguatkan hati agar tidak tergoda. Dia butuh uang. Tapi dia tidak ingin dibayar atas makanan yang dia sajikan siang ini.
"Kagak perlu. Simpan saja uang Sensei. Anggap saja makanan tadi sebagai balas budi sudah nolong Mak Ipeh."
"Saya ikhlas menolong Ipeh-san. Ini uangnya." Dia mengambil uang dua ribu rupiah dan meletakkannya di atas meja.
Dengan cepat Menik mengambil lembaran uang itu dan segera menyerahkannya kembali bersama bungkusan itu. Saat tangan Yuuto menyambut barang yang Menik ulurkan, perempuan itu merasa Yuuto sengaja memegang tangannya. Seketika kuduk Menik meremang. Dia hanya menatap nanar tangan kuning yang menyentuh punggung tangannya.
"Menik-san …."
Namun, belum selesai Yuuto berbicara, suara Joko menyeruak, memotong pembicaraan mereka
"Kagami-sensei? Ada perlu apa anda ke mari?"
💕Dee_ane💕
Itadakimasu ....
Abang Sensei ini lapar apa rakus?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro