Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

10. Menuju Tjisaroea

Haloo Deers, yang nungguin Menik n Yuuto ada nggak nih? Silakan kasih vote n komen sebuanyak-banyaknya biar bisa apdet daily😆.  Semoga terhibur yak😍

***

Janji Yuuto pada Menik digenapi malam itu juga. Dia pergi ke rumah Ito-sensei, untuk mendapatkan mobil yang dia pinjamkan kepada Ito-sensei untuk pergi ke daerah Tangerang, guna mengambil sampel vaksin yang tersisa setelah ada laporan kipi (kejadian ikutan pasca imunisasi).

"Kamu yakin pergi malam ini, Letnan Kagami?" tanya Ito-sensei sambil mengembalikan kunci mobil.

"Iya. Kondisinya kurang bagus, walau sepertinya penyakitnya belum terlalu parah." Yuuto menerima kunci yang diberikan oleh Ito-sensei.

"Sensei, bisakah Yudha-sensei menemaniku?" tanya Yuuto pada lelaki pribumi berbadan tegap itu.

"Baik!" sahut Yudha mantap.

Akhirnya, Yuuto dan Yudha pergi kembali ke rumah Lela. Di situ ada Menik yang masih menemani Lela.

"La, lu di sini saja." Menik membetulkan letak kerudungnya.

"Mpok ...." Mata Lela berkaca-kaca.

"Lu pulang ke rumah aye sama Mang Udin. Besok kagak usah jualan dulu." Keputusannya tidak berjualan sudah dipikirkan dengan matang, mengingat gosip yang masih hangat beredar. Kalau seperti ini, lebih baik untuk sementara dia hanya menerima pesanan dari Sendenbu.

Lela semakin terisak. Dia memeluk Menik dengan erat. Menik mengelus punggung gadis yang sudah dianggapnya seperti adik sendiri.

"Oh, ya, ini duit belanja. Besok siapin bahan buat bikin pecel Madiun. Kangkung, kembang turi, kecambah, kacang panjang. Bikin telur ceplok 60 biji. Lu goreng kacang juga. Entar sambel sama peyeknya aye yang bikin." Menik mengambil kantung dari dalam kutangnya. Sekilas dia melihat Yuuto yang memandangnya.

"Mpok, titip enyak Lela, ya?" Lela mengusap matanya, sambil menerima uang dari Menik dengan tangan yang satu.

Menik mengangguk dan akhirnya masuk ke dalam mobil yang akan membawa mereka di daerah perkebunan di Tjisaroea, Bogor.

"Menik-san, ini." Yuuto menyodorkan sapu tangan bermotif kotak-kotak merah.

Alis Menik mengerut. "A ... pa ini?"

"Sapu tangan. Pakai ini. Penularan TBC melalui udara. Ini ... untuk melindungi Menik-san."

Menik melirik ke arah Yudha. Melihat anggukan Yudha, dia lalu menerima sapu tangan itu. Dia lalu mencoba mengenakan sendiri, tetapi tiba-tiba Yuuto sudah ada di belakangnya.

"Aku bantu." Yuuto mengambil ujung sapu tangan yang dilipat segitiga.

Menik spontan melepasnya. Saat jarinya bersentuhan dengan jari Yuuto, degupan seketika menggila. Dadanya naik turun, digedor jantung yang bergemuruh.

"Sudah." Yuuto tersenyum lalu memutar badan Menik. "Kalau seperti ini, kamu akan aman."

Akhirnya mereka membantu Mak Ipeh masuk ke dalam mobil. Pemberangkatan kali ini, Menik duduk di kabin belakang, dengan bahu memangku kepala Mak Ipeh. Sementara Yuuto yang menyetir, dan Yudha berada di sebelah depan kiri, sesekali menoleh untuk melihat kondisi Mak Ipeh.

Perjalanan terasa berat dan berliku. Mereka melalui jalan menanjak yang masih berbatu dan kadang berlumpur karena terguyur hujan. Hanya penerangan dari dua lampu mobil yang memandu jalan yang sunyi.

Dari belakang, Menik melihat jalan di depan mereka begitu kelam dan suram. Pandangannya juga kabur karena kaca depan yang berembun. Padahal, Yudha sudah sering mengelapnya.

Roda yang menggilas bebatuan membuat tubuh penumpangnya berguncang ke kanan-kiri. Kadang terpental, saat Yuuto tak sengaja melalui kubangan dalam. Suasana riuh guyuran air yang menerpa atap mobil, berlomba dengan suara batuk Mak Ipeh yang menumpahkan darah di sapu tangan.

"Sabar, ya, Mak." Menik mengelus berulang lengan Mak Ipeh, disambut anggukan lemah wanita itu.

Kesabaran mereka akhirnya membuahkan hasil. Menjelang pukul sembilan, mobil sudah berhenti di sebuah bangunan berarsitektur Belanda. Beruntung hujan sudah reda, menyisakan kabut yang menyelimuti daerah itu.

Sanatorium vor Lonlojders yang terletak di dataran tinggi Bogor, dikepung perkebunan teh, kopi, serai, dan kina yang dulu merupakan milik tuan tanah Belanda Bruno Theodourus Bik. Hawa dingin yang menusuk tulang menyambut mereka begitu turun dari mobil. Yuuto yang terbiasa dengan hawa panas daerah Djakarta, sempat menggigil.

"Kamu tidak apa-apa?" Yuuto menggosok telapak tangannya.

Yuuto heran, kenapa kalimat pertama yang ditanyakannya selalu menanyakan keadaan Menik. Seolah Yuuto memang tidak ingin perempuan yang ada di hadapannya ini merasa tidak nyaman.

"Tidak," ujar Menik dengan suara teredam di balik sapu tangan Yuuto yang membelit separuh wajah.

Setelah menurunkan Mak Ipeh dan bercakap sebentar dengan seorang dokter pribumi yang mengepalai sanatorium itu, mereka akhirnya pulang kembali ke Djakarta. Kali ini, Yudha yang menyetir.

"Dokter, bisa turunkan saja aye di depan kampung. Aye takut suara mobil membuat tetangga bangun," kata Menik saat mereka masih menuruni daerah pegunungan Tjisaroea.

"Iya, Mbak. Nanti saya antar, ya? Bahaya perempuan keluar sendiri malam-malam begini. Kalau ada tentara patroli kan lebih bahaya." Yudha menjawab dengan pandangan masih fokus ke depan.

"Biar saya yang antar," sahut Yuuto cepat.

Yudha menoleh, dengan kerutan alis.

"Akan lebih aman saya yang mengantar," terang Yuuto lagi, menjawab ekspresi heran Yudha.

Entah kenapa malam ini Yuuto masih ingin bersama Menik. Hanya melihat Menik yang tidur memeluk badannya di bangku belakang mobil dari kaca spion sudah membuatnya puas. Rasanya Yuuto ingin mendekapnya di bawah selimut.

Baru menjelang tengah malam, mobil berhenti di pinggir kampung Menik. Semilir angin sejuk sehabis hujan menyambut Yuuto, ketika pintu mobil terbuka. Sementara itu, Menik masih tertidur dan Yudha turun lebih dahulu karena ingin menuntaskan hasrat membuang air seni yang sudah ditahannya sejak masuk daerah Djakarta.

"Menik-san, ayo bangun. Kita sudah sampai." Yuuto mengguncang pundak Menik.

Namun, Menik bergeming. Dia masih lelap. Bulu mata lentik dan panjang itu berjajar manis di tepi kelopak mata. Yuuto membungkuk dengan separuh badan terjulur ke dalam. Jantung laki-laki itu seketika bergemuruh kencang tatkala mengingat mimpinya yang lalu.

Matanya kini memindai setiap inchi detail wajah bulat, dengan bibir sedang yang sedang terbuka. Menggemaskan sekali penampilannya saat tidur. Pasrah. Tak ada tatapan sengit yang sering ditujukan padanya.

Entah kenapa pandangannya terpaku pada bibir itu. Kelopak merah itu seperti magnet yang menarik wajah Yuuto mendekat.

Sekali saja! Tidak! Itu tidak baik! Ah, sekali saja!

Rupanya dorongan keinginan untuk mencecap bibir Menik itu semakin besar mengalahkan nuraninya. Yuuto semakin mendekat, mendekat dan .....

"Kagami-sensei!"

Yuuto terlonjak. Spontan dia menarik tubuhnya, tak memperhitungkan ada atap mobil di atas kepalanya. Detik berikutnya lolongan terdengar bersamaan dengan bunyi 'dug' keras yang menyakitkan. Yuuto merutuk dalam bahasa Jepang paling kasar. Dia membungkuk lalu jongkok mengusap belakang kepalanya yang berdenyut dan mencengkeram sudut bantalan kursi belakang untuk meredam nyeri. Dia merasa kepala bisa pecah mengingat benturan tadi sangat keras. Mungkin ini hukuman karena berpikiran kotor!

Ya, sepertinya dia harus dibuat jera karena menginginkan janda manis yang punya daya tarik seksual yang membuat Yuuto tidak bisa berpaling. Kecantikan Menik persis seperti yang digambarkan para seniman Sendenbu yang menggambar poster propaganda standar kecantikan Asia. Dengan balutan kebaya atau baju kurung, serta jarik dan sarung yang membebat kaki. Begitu pula dengan wajah khas Indonesianya. Mulai dari pipi tembam yang ingin dicubit, kulit eksotis halus yang ingin dibelai, serta buah mengkal yang ingin dia petik.

Tapi, tak hanya itu pesona Menik. Kepeduliannya pada orang lain saat mendengar cerita Mandra dan kepandaiannya meracik makanan juga membuat hati Yuuto semakin bergetar.

"Sensei, tidak apa-apa?"

Suara Menik yang terdengar cemas membuatnya tertegun. Dia mendongak, menatap mata bulat yang juga memandangnya. Jantung Yuuto kembali berdebar seperti langkah kaki kuda liar yang memburu.

Yuuto berdeham. Dia mengerjap, mengusir air yang sempat menggenang di permukaan mata.

"Tidak!" Yuuto bangkit, meringis menahan denyutan kepala yang protes disepelekan. "Ayo, aku antar."

Yuuto mengulurkan tangannya, hendak membantu Menik turun. Tapi, perempuan pribumi itu enggan menerima uluran tangannya. Yuuto hanya mendengkus panjang, mengamati Menik berjalan lebih dulu setelah berpamitan dengan Yudha.

Sesudah mengambil senter dari laci dashboard mobil, Yuuto mengejar Menik dengan langkah panjangnya. Tak butuh waktu lama, dia berhasil menyebelahi Menik, dengan tangan memegang senter yang memancarkan bias cahaya untuk menerangi jalan gelap dan digenangi air hujan.

"Arrgghh!" Menik terpekik saat sandalnya tergelincir di kubangan yang tertutup air.

"Kiwotsukero (Hati-hati)!" Yuuto dengan sigap menangkap lengan atas Menik. "'daijōbudesuka?"

Mata Menik mengerjap. Walau tak jelas, Yuuto masih bisa menangkap mata bening itu. Dia lalu membantu menegakkan tubuh Menik. Namun, pertanyaannya tetap tak dijawab.

Menik terkikik. Yuuto menelengkan kepala mendengar tawa yang sepertinya tak bisa ditahan Menik. "Ada yang salah?"

"Kenapa sensei selalu berkata 'daijobudesuka'?" Menik melipat bibirnya.

Yuuto meringis, memijat tengkuknya yang tiba-tiba kaku diserbu malu. Rupanya Menik menyadarinya. "Aku ... itu ... ehm, ano ...."

Otak Yuuto tiba-tiba buntu, tidak bisa merangkai kata. Baik bahasa Melayu atau bahasa Jepang. Yang keluar dari mulutnya, hanya kegagapan dari patahan kata tak ada arti.

Menik menutupi mulutnya dengan selendang yang tersampir di bahu. Sementara itu Yuuto hanya bisa membalas dengan senyuman lebar seiring dengan degupan jantung yang menggila ketika kerlingannya begitu tajam seperti panah Cupid menembus hati.

"Kamu tidak apa-apa?" Yuuto menepuk dagunya. Kenapa dia menanyakan hal itu lagi.

Menik kembali terkekeh. "Aye kagak kenapa-kenapa. Malah sensei yang kelihatan sakit. Mukanya merah banget kaya demam."

Yuuto mengerjap. Perempuan pribumi itu bercakap santai dengannya, seperti teman lama. Yuuto lantas tersenyum, sambil mengetuk pipinya berulang dengan tangan kiri. Dia memalingkan wajah dari ekspresi yang menggemaskan itu. Menik tertawa? Perempuan itu tertawa? Bagaimana mungkin tawanya itu terdengar renyah seperti suara gigitan tempura hangat?

Namun, Yuuto tidak ingin larut dalam keterpanaannya. Dia lalu meraih telapak tangan Menik dan menautkan jemarinya. "Ayo, aku carikan jalan supaya kamu tidak tergelincir. Hujannya pasti cukup deras sehingga genangan air di mana-mana."

Awalnya, Menik ingin menepis tangan Yuuto. Tapi, kali ini laki-laki itu semakin kuat meremasnya. Cukup malam ini. Yuuto ingin memastikan bahwa reaksi tubuhnya hanya sekejap. Debaran itu akan hilang seiring dia terbiasa dekat dengan perempuan yang beberapa waktu ini mengganggu tidurnya.

Akhirnya mereka berjalan sambil bergandengan. Ditemani secercah cahaya dari senter redup yang memberi terang pada jalanan yang akan dilalui. Diiringi lantunan burung hantu yang menjaga malam serta detak jantung yang semakin memburu.

Sejurus kemudian, mereka sudah sampai di depan rumah Menik. Menik menarik tangannya yang basah karena keringat Yuuto. Dia saling mengusap kedua tangannya dengan canggung.

"Terima kasih." Suara serak Menik mengalun merdu.

"Sama-sama." Yuuto tersenyum. Menatap mata bulat yang jernih.

"Oh, ya, sapu tangannya saya cuci dulu. Dan ..." Menik melipat bibir, membasahinya sejenak. Menik seolah kembali membentuk benteng. "sebaiknya sensei jangan datang ke tempat saya lagi. Saya tidak ingin situasi menjadi lebih buruk. Selamat malam." Menik membungkuk, meninggalkan Yuuto yang menatap nanar punggungnya.

Penolakan Menik entah kenapa menyayat hati. Melukai egonya, dan merendahkan harga dirinya. Yuuto tidak pernah mendapat penolakan dari perempuan manapun. Tapi, ini?

💕Dee_ane💕

Fakta di balik fiksi

1. Sanatorium Tjisaroea, dibuka pertama pada tanggal 15 November 1938 dengan nama Sanatorium von Lunlojders. Jadi, nggak cuma pemerintah Indonesia aja ya, Deers, yang berjuang melawan TBC. Pemerintah kolonial Hindia Belanda pun juga berusaha memberantas penyakit satu ini. Sanatorium ini sekarang menjadi Rumah Sakit Paru dr. M. Goenawan Partowidigdo.

2. Propaganda.
Propaganda Jepang ditujukan untuk menghilangkan unsur kebarat-baratan. Standard perempuan cantik, meneladani perempuan Jepang. Dari segi fisik, perempuan cantik digambarkan dengan perempuan berkulit bersih, berdada besar, bergigi putih, langsing, dan harum. Sementara itu untuk menghilangkan unsur 'barat', Dai Nippon mengusung adat dan budaya yang mencerminkan keIndonesiaan penduduk jajahannya.


Sumber :  Konstruksi Perempuan Indonesia Masa Jepang oleh Galuh Ambar Sasi

--Gemes banget sama Menik--


--Harus ati2 nih, sama Abang Sensei--


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro