Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

04 - Mei 2023 - Choose Your Story #religi

Judul: Berangkat Tanpa Transit

Penulis: MK.Laylha

Genre : Religi-Cerita Pendek (May 2023 Event: Choose Your Story)

Titimangsa: 02 Oktober 2020, 14.04 WIB (Revisi: 09 Mei 2023, 19.18 WIB)

💕💕💕

Prompt 1: Konon seratus hari setelah kematian si arwah bebas gentayangan. Lantas, ke manakah si arwah melayang? Apakah balas dendam? Mengunjungi orang tercinta yang sudah menikah? Menagih utang yang belum lunas? Menanti si kasih yang belum kembali? Atau apa pun itu. Ayo, bawa kami menelusuri ke mana si arwah melayang.

💕💕💕

Berangkat Tanpa Transit

Tubuh gemuk ini mencoba menggerakkan setiap sendi tubuh yang kaku berulang kali.

Ada apa ini? tanya diri dalam hati.

Saat tubuh masih tak mampu digerakkan, diri pun mulai menajamkan indra. Samar terdengar alunan Surah Yaasin yang terbata-bata dibawakan Liyana Nitimanta--anak bungsuku. Tak butuh waktu lama, sedikit demi sedikit rasa kaku terlerai hingga akhirnya mampu menggerakkan tangan, lalu berlanjut ke seluruh tubuh.

Ah, syukurlah.

Perlahan, aku bangun dari pembaringan dan menoleh ke arah Liyana yang terisak di sisi pembaringan.

Apa yang menyebabkan kesedihanmu, Nak?

Aku mencoba mengelus rambut panjang gadis kecil itu. Akan tetapi, jemari malah menembus tubuhnya. Aku menatap jemari dan mulai memperhatikan sekitar. Kamar dengan dinding berwarna kuning gading ini terlalu ramai.

Ini, kan, kamar pribadiku!

Kini sembarang orang tengah keluar-masuk, tampak sibuk mempersiapkan sesuatu yang tak bisa dikira tentang apa. Meski begitu, tak ada satu pun yang menghiraukan diri ini. Belum hilang terkejutku, Jaka--adik sepupuku--mendatangi Liyana. Ingin menyapa, tetapi laki-laki itu hanya menatap kosong ke arah tempat tidur.

"Sudah waktunya, Li." Jaka berkata dengan suara parau.

"Baik, Mang. Kita segerakan saja. Papa nggak suka nunggu lama."

Belumlah selesai memikirkan maksud kalimat Liyana, tiba-tiba saja Vania Githa--anak tertuaku--merangsek masuk.

"Papaaa!" jeritnya, tetapi matanya tidak menatap diri yang sedang berdiri di sisi gadis yang setengah ambruk ke lantai.

Ada apa ini?

Vania mendelik ke arah Liyana dengan matanya yang penuh air mata. "Jangan sampai ibumu hadir dalam pemakaman. Aku nggak sudi!"

"Pemakaman siapa? Apa yang sedang terjadi?" tanyaku keheranan, tetapi tak ada satu pun yang menjawab.

Iwan Lazuardi--salah satu anak laki-lakiku--berdiri di pintu dengan mata merah. Langkahnya terhenti di ambang dan berpaling ke arah Jaka.

"Mang, apa sekarang saja memandikannya?"

"Iya, Wan. Keburu siang. Oh, iya. Bagaimana dengan Rajendra, sudah bisa dihubungi?"

"Belum bisa, Mang."

"Baiklah. Ayo, kita angkat sekarang!" perintah Jaka kepada Iwan yang mengangguk dan masuk ke dalam kamar.

Meski begitu banyak orang yang mendekat ke atas tempat tidur. Tak ada seorang pun yang menyadari keberadaanku, tak pula menegur diri yang tersingkir hingga pojok ruangan.

Namun, bukan itu yang membuat mulutku ternganga. Melainkan mulai menyadari pada sosok yang mereka angkat dari atas kasur. Banyaknya drama tak membuatku memperhatikan tubuh kaku milikku. Pucat dan tak bernyawa.

Tubuh terbujur itu pun dimandikan. Vanda, Iwan, dan Liyana bergantian menyiramkan air dan mencium kening juga pipi seraya membisikkan kata-kata yang selama ini tidak pernah mereka katakan.

"Maafkan aku, Pa," bisik mereka.

Tangisku pecah hingga tersungkur di depan pintu. Sedetik kemudian, ada tangan dingin terasa menepuk pundak. Di antara isak, diri ini menatap satu-satunya sosok yang bisa melihatku.

"Aku adalah malaikat pencabut nyawa, Andi. Aku akan membawamu berkeliling."

Pusaran angin membuat suasana menjadi kabur, sampai akhirnya kaki terasa menjejak lantai. Diri langsung mengenali tempat yang sering kudatangi bersama kolega, musik techno langsung terdengar mengentak di seluruh ruangan yang remang. Di sudut ruang, aku melihat diri sendiri tengah menenggak minuman bersama seseorang. Wanita dengan riasan tebal yang kemolekan tubuhnya sangat aduhai. Ia tersenyum manis kepadaku lalu memeluk dengan hasrat menggolak, jemariku pun menggerayang tak tahu malu.

Namun, diri terkejut bukan kepalang. Bukan karena jengah dengan perilaku memalukan yang bergelimang dosa maksiat. Melainkan, wajah gadis yang saat itu tak dapat dilihat justru menunjukan rona jijik. Ketika pelukan terlepas, ia dengan cepat memperlihatkan senyumnya yang baru kusadari, ternyata palsu.

Sang Malaikat pun berpaling dan berkata tanpa ekpresi, "Ayo kita ke tempat lain!"

Aku yang merasa marah juga malu secara bersamaan pun mengangguk lesu. Pusaran angin kembali beputar, latar seketika berganti menjadi ruang tengah rumah yang nyaman. Suasana begitu tenang, hanya dengung suara mesin jahit menggema dan selawat lirih--yang terdengar dari bibir pucat tak bergincu, milik istriku.

Aku perhatikan wanita yang tengah menjahit celana kerjaku yang hanya sobek sedikit terkena kawat. Tersenyum manis sambil memandangi hasil kerjanya. Namun, senyum itu memudar saat mendengar anak kunci yang diputar dari arah luar pintu. Dari ambang yang sengaja dibanting sekuat tenaga, Iwan masuk dengan wajah beler. Seperti biasa, Iwan pulang dalam keadaan mabuk

"Dari mana, Wan?" tanya Maryana.

Mendengar sapaan itu, Iwan malah menunjuk wajah Maryana. "Dasar perempuan nggak tahu diri, pelakor! Elo enggak perlu tau gue dari mana!"

Wanita itu hanya memandang prihatin ketika anak tirinya itu berjalan sempoyongan setelah menghardik. Ia berusaha memapah menuju kamar, tetapi malah didorong dengan kasar.

"Enggak usah pura-pura baik!" hardiknya lagi. Iwan pun membanting pintu kamar sampai tertutup.

Istriku hanya diam. Wanita itu pun berjalan ke arah telepon yang berdering.

"Halo."

Terdengar suara dengkus di seberang, "Ma, Papa mana, sih?"

"Belum pulang kerja, Van, lagi menjamu tamu katanya. Apa kabarmu, Nak," tanya Maryana kepada anak tiri sulungnya itu.

"Nggak usah sok perhatian. Bilang Papa, aku butuh uang. Transfer besok!"

"Iya, nanti Mama sampai--" Belum selesai Maryana bicara, telepon sudah ditutup. Desah berat keluar dari bibirnya yang mulai berkedut.

Aku yang tercengang melihat drama ini, terkejut saat mendengar pintu digedor kuat.

Rupanya, diri inilah yang datang dengan mulut bau alkohol dan jatuh tak sadarkan diri di depan pintu.

"Mas, bangun, Mas! Aku nggak kuat ngangkat kamu."

Bukannya bangun malah membasahi daster Maryana dengan muntahan. Aku yang melihat drama ini pun ingin muntah juga. Mual melihat kelakuan tak tahu malu itu. Namun, wanita itu menyeret tubuh berat itu sekuat tenaga ke kamar mandi. Memandikan suami yang teler. Kuperhatikan bulir air mata mulai membasahi pipinya.

Wanita itu, adalah istri keduaku. Maryana harus rela mengurusi tiga orang anak tiri, selagi ia sendiri sedang mengandung anakku. Sedang sang suami malah berada di pelukan wanita lain.

Kini, anak pertamaku sudah selesai menempuh pendidikan S2. Vania tidak pernah pulang sebab selalu sibuk dengan kegiatan kampus. Sedang Iwan, anak ke-duaku, bolak-balik pindah sekolah, sebab selalu bermasalah, entah itu bolos, mencuri, dsb. Sedang Rajendra, adalah anak dari perempuan lain. Ibunya tak pernah kunikahi secara sah. Wanita malang itu meninggal dan keluarganya tak mau mengurus. Ia pun jarang pulang sebab telah bekerja di sebuah perusahan besar.

Satu-satunya buah hatiku bersama Maryana, adalah Liyana, anak paling penurut. Namun, pendidikan impiannya tak pernah terwujud, sebab uangku selalu habis untuk membiayai kehidupanku yang kacau di luar rumah.

Aku menangis tertahan. Penyesalan memang selalu datang belakangan.

"Hai, Malaikat, bisakah aku mengubah keadaan ini? Aku merasa malu telah menelantarkan istri dan membuat anak-anakku membencinya. Padahal salahku sendiri yang tak mampu menahan nafsu," tanyaku penuh harap kepada sosok tanpa rona emosi itu.

"Sudah terlambat, setelah ini kau harus mengikutiku ke tempat terakhir," jawab malaikat yang menarik lenganku.

Aku merasakan lagi pusaran angin yang mengembalikan diri ke tempat semula. Penyesalan semakin berlipat-lipat, apalagi saat melihat Liyana yang masih belia. Diri ini jarang membelai rambutnya, terlalu sibuk sampai tidak sempat memberi nasihat untuk gadis itu, sekadar membantunya menghadapi dunia yang semakin kejam ini.

"Hai, Malaikat. Bolehkah aku meminta sesuatu sebelum kita benar-benar pergi?" Aku mengatupkan jemari, memohon dengan sangat.

"Sudah terlambat, kau sudah terbalut kain kafan."

Diri hanya bisa menunduk dan mengikuti ke mana keranda membawa jasad kasarku. Tanah pekuburan begitu sunyi, hanya suara sepoi angin menerpa. Ini sebabnya aku tak menyukai tempat ini. Tempat aku akan tinggal hingga hari akhir.

Iwan membawa kerandaku di paling depan. Matanya merah seperti saat mabuk hampir setiap malam. Ia pernah dijebloskan ke penjara karena menjadi pengguna narkoba, anak itu dianggap preman oleh para tetangga. Aku yang saat itu merasa malu akan dirinya, malah mengucilkan, mencemooh, tak pernah mencoba mengerti akan dirinya. Sekarang, dia lah yang mengantarkan kepergian hingga liang lahat dan mengumandangkan azan. Panggilan yang selama ini aku abaikan. Padahal lafaz itu pulalah yang pertama kali kuperdengarkan padanya saat Iwan lahir.

Maafkan Papa, Nak, aku terlalu obsesif pada dunia hingga melupakan kodrat. Seharusnya aku membimbing, bukannya menghardik atas kenakalan yang kau buat akibat telah menjadi korban keluarga broken home.

Di sudut lain, Vania menangis menjadi-jadi. "Papaaa ... kenapa ninggalin aku?"

Hati ini sakit mendengarnya. Ia anak tertua, seharusnya diri lebih memperhatikan tumbuh kembangnya. Tahu-tahu, ia telah dewasa dan jarang pulang karena alasan sibuk. Aku bangga padanya. Kupikir itulah seharusnya yang dilakukan seorang anak, sekolah tinggi dan mencapai prestasi. Akan tetapi, lupa menitipkan ilmu akhirat kepadanya. Ia menjadi atheis, kepintarannya menjadi timpang sebab kurangnya iman yang seharusnya ditanamkan sejak kecil.

Maafkan Papa, Nak.

Dari sebuah mobil mewah yang baru saja memasuki pelataran kuburan, keluarlah Rajendra. Ia sudah menjadi orang terpandang sekarang. Aku pun menyadari, betapa ia luput diberikan kasih sayang utuh. Kedatangannya saat ini bukan karena sedih, tetapi sebatas sopan santun saja.

"Udah sampai mana proses pemakamannya, Mang," tanya Rajendra kepada Jaka.

"Kamu nggak mau ikut ngubur, Ndra?" Jaka balik bertanya.

"Ah, disini aja, yang penting datang, kan?" Rajendra tersenyum tipis sambil membuka gawainya.

Ya, Tuhan. Maafkan hamba-Mu yang tidak mengajarkan empati, aku selalu menganggapnya orang luar karena ia anak di luar nikah.

Aku pun terisak.

Para pelayat satu persatu meninggalkan kuburan. Tinggallah Liyana yang masih terduduk di sisi makam. Ia tak meraung-raung, hanya meneteskan air mata yang tak jua berhenti. Di tangannya tergenggam medali.

"Pa, aku mau nunjukin medali. Aku menang juara satu, loh. Papa bangga, kan, sama aku? Aku belum sempat bilang, soalnya Papa jarang pulang, sih."

Tangisku kembali pecah.

Maafkan papamu ini, Nak, yang lupa kalau kamu juga butuh kasih sayang, butuh pengakuan, butuh pujian.

Dari arah pintu makam, Maryana datang. Ia berjalan pelan menuju nisan dan mencengkeramnya seraya berkata, "Maafkan aku, Mas. Aku terlalu lelah berpura-pura kuat menghadapi perjalanan biduk rumah tangga kita. Pada akhirnya, aku tidak dapat menjadi istri soleha untukmu."

"Tidak, maafkan aku istriku. Aku yang membawamu dalam biduk rumah tangga itu, tapi aku tak pernah menuntunmu," kataku kepadanya, tetapi sia-sia sebab wanita itu tak dapat mendengar. Air mata pun kian deras.

Ya Tuhan dosaku begitu banyak. Berhakkah hamba atas surga-Mu? Sedang aku terlalu sombong untuk bersujud, jerit batinku sambil menatap langit.

"Hanya tiga amalan yang akan membawa ke surga kelak, amal jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan doa anak sholeh." Sang Malaikat berkata datar tanpa nada.

Maryana mengajak Liyana yang enggan pergi dari tempat itu.

"Pa, Liyana pulang dulu, ya, nanti kita ketemu di surga. Assalamuaalaikum."

Setelah mereka keluar gerbang TPU. Seorang wanita dengan pakaian sedikit seronok, berjalan cepat mendatangi makam sambil membawa buket bunga. Ia memandangi nisanku dengan sinis.

"Bagus juga dukun itu. Akhirnya mati juga kau, Bang! Kau rasakan sekarang, nggak bisa apa-apa lagi. Hi-hi-hi." Tawanya yang menggema membuatku bergidik ngeri.

Wanita yang kupikir menyukai. Ternyata adalah orang yang selama ini membenci, padahal telah menggerogoti begitu banyak harta. Setelah meletakkan karangan bunga. Ia pun pergi tanpa berdoa, menaiki mobil yang di dalamnya terdapat seorang laki-laki paruh baya lainnya.

"Siapa yang meninggal, Sayang?" tanya laki-laki itu.

"Oh, rival bisnis ayahku, Mas," jawab perempuan itu tak acuh.

Aku terpekur sendiri, di dalam makam yang dingin. Percuma menyesali semua perbuatan, sangat malu kepada Tuhan untuk meminta untuk ampun atas segala dosa. Saat masih menangis dalam kesendirian yang gelap. Terdengar langkah dua sosok yang membuat bulu kudukku berdiri.

"Man Robbuka."

Suara yang ditakuti seluruh umat pun menggema. Menggetarkan jasad yang terbungkus satu-satunya benda yang kubawa setelah mati, kain kafan.

🌺🌺 Tamat 🌺🌺


Just info, ini adalah cerpen terakhir sebelum istirahat menulis dan bergabung di Montase Aksara di tahun 2023. Alhamdulillah, mendapat review yang luar biasa dari para Jurig.

Terima kasih banyak atas segala pengalaman dan mohon maaf, jika selama bergaul ada kata-kata atau perilaku yang kurang berkenan.

Harapannya bisa terus menulis saat keadaan sudah lebih baik.

Teruntuk para sepuh, terima kasih banyak telah diberi banyak kesempatan mengembangkan diri.

Semoga silaturahmi kita tetap terjaga. Aamiin ....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro