Bab 7
Sebelum datang ke rumah Jake, Emma mengajukan resign pada pihak bar. Sang manajer tentu saja menolak, mengatakan kalau Emma punya banyak penggemar di sini. Mengingatkan Emma untuk berhati-hati mrembuat pilihan hidup, jangan sampai menyesali bila salah dalam melangkah.
"Memangnya kamu mau kerja apa di luar sana, Emma? Pendapatanmu nanti cukup nggak buat utang dan biaya hidup keluargamu? Ingat, mamamu sakit loh?"
Perkataan sang manajer dijawab dengan lembut oleh Emma.
"Pak Manajer ingat tamu VIP yang kali itu datang menemui saya?"
"Oh, ya, Nyonya yang cantik dan kaya raya itu?"
"Benar, beliau yang menawarkan pekerjaan. Pak, ijinkan saya mencoba di tempat lain. Kalau semisalnya nggak cocok, saya janji akan kembali kemari, Pak."
Si manajer terlihat berat memberikan surat resign untuk Emma. Mengingat kalau di bar ini penganggum Emma sangat banyak, tentu saja itu hal menguntungkan bagi mereka. Kalau Emma keluar, secara otomatis akan berkurang jumlah pengunjung.
"Emma, pekerjaan apa yang dijanjikan Nyonya itu padamu?"
Emma tersenyum kecil. "Pekerjaan yang tidak mengharuskan saya bergadang. Pak Manajer, tolong dimengerti keinginan saya. Bukannya saya tidak tahu terima kasih sudah ditolong di sini tapi saya membutuhkan pekerjaan lain, Pak."
"Kamu yakin mau keluar?"
"Iya, Pak."
Setelah ijin resign dari manajer diterima, hal paling berat bagi Emma tentu saja berpamitan dengan teman-temannya. Para pemusik, penyanyi, serta pramusaji bar. Semua orang yang sudah memperlakukannya dengan baik selama ini. Paling utama adalah Davia. Sahabat yang menolong dan membersamainya dalam suka dan duka, sangat bersedih saat mendengar rencananya untuk resign.
"Kamu yakin sudah dapat pekerjaan yang jauh lebih bagus dari sini?"
"Iya, makanya aku harus resign."
"Gajinya?"
"Jauh lebih bagus."
"Tingkat kesulitan kerja?"
"Sangat sulit tapi aku harus berusaha. Maaf, Davia tapi ini kesempatanku untuk mendapatkan uang lebih banyak dari sini. Mamaku kecelakaan, nggak bisa kerja lagi sedangkan utang menumpuk. Aku nggak mungkin hidup hanya untuk membayar utang mau nggak mau cari kerjaan yang gajinya lebih besar."
Davia mengulurkan kedua tangan untuk mengusap-usap lengan Emma. Merasa sedikit sedih karena sahabatnya harus pergi. Namun mengerti kesulitan yang sedang duhadapi oleh Emma. Tidak mungkin bertahan di sini bila tidak mencukupi. Setiap orang harus menghadapi kesulitan masing-masing dan Emma paling mengerti dengan dirinya sendiri.
Mereka sudah bersama bertahun-tahun, saling berbagi kegembiaraan dan kesedihan. Davia menganggap Emma bukan hanya teman tapi juga saudara seperjuangan. Emma yang tidak pernah serakah soal uang, selalu membagi rata tips yang didapatkan, dan tidak pernah bicara jelek tentang orang lain. Ada satu penyanyi baru yang dianggap lebih cantik tapi tetap kalah populer dan menumbuhkan rasa iri. Hingga akhirnya memusuhi Emma tanpa ada sebab jelas.
Emma yang baik hati, tidak pernah membalas perlakuan buruk orang lain padanya. Selalu adil dan perhatian pada pegawai lain hingga membuatnya mendapat cinta dari banyak orang. Davia merasa sangat kehilangan.
"Ya sudah, aku percaya kalau kamu telah memutuskan untuk memilih yang terbaik bagi dirimu. Emma, jaga dirimu baik-baik di mana pun itu. Kalau kamu punya kesulitan apa pun itu, jangan ragu untuk mendatangiku."
"Terima kasih, kamu memang sahabat sejati."
Perpisahan yang paling sulit selain dengan Davia juga dengan Yuda. Laki-laki muda itu selama ini bersikap layaknya kakak laki-laki yang melindungi adik perempuan. Ada desas-desus yang mengatakan kalau Yuda naksir Emma. Sejujurnya bukan itu yang dirasakan Yuda. Semua sikap baik dan perhatian untuk Emma hanya perasaan layaknya saudara saja.
"Jaga kesehatan. Aku senang kalau kamu punya pekerjaan yang bisa dilakukan di jam normal."
Emma menggenggam Yuda dengan erat dan memberikan jabatan perpisahan yang hangat.
"Terima kasih sudah menjagaku selama ini, Yuda."
"Datang saja kemari kalau butuh bantuanku, Emma."
"Iya, aku akan datang bila rindu sama kamu, Davia, dan semua pegawai di sini."
Acara perpisahan dilakukan dengan sederhana tapi penuh makna. Semua orang mengucapkan selama berpisah untuk Emma, kecuali penyanyi baru yang bernama panggung Sella. Tidak ada yang peduli dengannya meskipun tidak muncul. Yang terpenting ada yang ingat untuk mengundangnya. Terserah apakah Sella mau datang atau tidak.
Semua orang memeluk Emma sambil menangis. Membisikkan penyemangat dan kata-kata berpisah untuk Emma. Selama tiga tahun ini, bar ini adalah rumahnya dan sekarang harus ditinggalkan demi pekerjaan dari Helena. Tidak ada yang tahu kalau ternyata duda yang harus digoda oleh Emma adalah Jake.
Selama seminggu pertama di rumah Jake, Emma melakukan semua pekerjaan yang diperintahkan oleh Romiah padanya. Seorang diri membersihkan delapan kamar tidur berikut sembilan kamar mandi, belum lagi dua dapur yaitu dapur basah dan dapur kering. Belum lagi ruang tamu, ruang makan, teras, dan juga ruang kerja. Satu-satunya tempat yang tidak dijamah oleh Emma adalah ruang tidur Jake. Khusus ruangan itu Romiah sendiri yang melakukan pembersihan karena takut Emma tidak cukup bagus kerjanya.
Romiah memerintahkan Emma membereskan semua pekerjaan dalam satu hari. Diberi istirahat hanya saat makan saja. Itu pun hanya setengah jam. Selebihnya Emma sibuk dengan penyedot debu, lap, tongkat pel, dan cairan pembersih.
"Ayo, Emma. Jangan malas! Kamu kerja di sini buat jadi pelayan bukan model!"
Romiah selalu mencelanya. Mencerewetinya seperti induk ayam yang sedang mengasuh anak-anak. Emma hanya mendengar sambil lalu, fokus dengan pekerjaannya sendiri. Begitu banyak pekerjaan yang dibebankan padanya, apakah Emma merasa keberatan? Capek tentu saja namanya juga manusia tapi satu hal yang selalu ada dalam hatinya adalah Jake. Rumah ini milik laki-laki pujaannya, ia sudah menunggu bertahun-tahun untuk bertemu Jake. Tidak peduli apakah Romiah menyiksanya, selama berada di bawah atap yang sama dengan Jake, ia sanggup menahan semua penderitaan dan beban berat.
Seminggu berlalu, selama itu pula Emma tidak pernah membantah Romiah dan mengerjakan semua pekerjaan dengan baik, cekatan, dan rapi. Membuat Romiah jadi kehilangan alasan untuk marah. Pada akhirnya sikap keras perempuan itu melunak di dua Minggu Emma bekerja. Suatu siang, Romiah menyodorkan nasi ayam untuknya. Padahal biasanya Emma membuat sendiri makanannya.
"Cuci tanganmu dan duduk, makan ini sebelum kerja."
Emma menatap nasi dengan ayam goreng katsu, tumis kangkung, dan tahu. Mendongak dengan bibir tersenyum pada Romiah.
"Terima kasih, Bi. Enak sekali ini kelihatannya."
Romiah mengangkat bahu. "Makan aja. Nggak usah banyak omong!"
Emma makan dengan lahap, menandaskan semua yang diberikan Romiah di atas piringnya. Ia harus tetap tunduk dan menurut pada Romiah bila ingin bekerja di sini. Jake sangat percaya dengan Romiah karenanya harus menundukkan hati perempuan itu lebih dulu sebelum melanjutkan rencana. Ia mempunyai waktu enam bulan untuk melakukan rencannya. Lebih cepat akan lebih baik baginya.
"Aku mau ke supermarket belanja bulanan. Selesai makan kamu bersihkan ruang tengah. Harus rapi sebelum Tuan Jake pulang."
"Iya, Bi."
Selama dua Minggu di sini, Emma jarang sekali melihat Jake. Laki-laki itu pergi pagi buat dan pulang sangat larut. Tidak pernah makan di rumah, yang dilihat Emma sejauh ini Romiah membuat kopi saat pagi. Hanya itu saja. Tidak ada sarapan, makan siang, apalagi makan malam layaknya keluarga umumnya. Apakah Jake begitu sibuk sampai tidak bisa makan di rumah? Emma harus memutar otak untuk mendekati laki-laki itu. Sekarang ini yang paling penting adalah mendapatkan kepercayaan Romiah lebih dulu.
Emma membersihkan ruang tengah dengan cepat. Mengelap perabot serta mengepel lantai. Romiah belum kembali juga saat Emma sudah selesai dengan pekerjaannya. Ia menunggu Romiah kembali dengan duduk di atas karpet ruang tengah. Angin semilir dari pintu samping ditambah kelelahan yang dialami membuat Emma mengantuk dan tertidur sambil bersandar di sofa.
Jake yang baru kembali dari kantor, tertegun di pintu ruang tengah. Menatap Emma yang tertidur sambil duduk. Angin menerpa rambut dan wajah Emma yang terlelap. Jake mendekat, mendapati dirinya menatap paha yang mulus, belahan dada yang menggoda, serta wajah cantik tak tercela. Menggeleng sesaat untuk menjernihkan pikiran, Jake masuk ke kamar dan mengambil handuk besar dari dalam lemari. Kembali ke ruang tengah, menghamparkan handuk ke atas tubuh Emma.
"Kamu ini kenapa sembarangan tidur di tempat terbuka." Jake menggumam, mengamati Emma yang tidak terjaga dan bahkan meringkuk lebih dalam untuk mendekap handuk di dada. "Tambah nyenyak setelah pakai selimut? Mestinya kamu kerja nggak pakai seragam itu."
Jari Jake terulur untuk menyibak anak rambut di dahi, menyusuri pipi yang mulus dengan bekas riasan yang masih cukup tebal di kelopak mata dan lipstik merah di bibir. Jake yakin Emma bahkan lebih cantik tanpa make-up tebal di wajah.
"Gadis aneh! Entah kenapa aku merasa pernah melihatmu sebelumnya. Tapi di mana?"
Setelah menggumamkan keheranannya, Jake meninggalkan Emma yang terlelap. Ia tidak habis pikir ada seorang pelayan yang suka berpakaian terbuka dan bermake-up tebal. Untungnya pekerjaannya bagus dengan begitu tidak ada yang perlu dikritik dari Emma kecuali penampilannya yang menor.
Jake bisa merasakan kalau rumah ini tidak terlalu sunyi setelah Emma datang. Padahal ia tidak pernah berharap banyak pada pelayan muda yang terlihat lemah itu. Siapa sangka kalau Emma ternyata sungguh-sungguh dalam bekerja. Tidak peduli seberapa keras Romiah memperlakukannya, pekerjaan yang bertubi-tubi, dan itu tidak membuat Emma menyerah.
"Emma, nama yang unik. Sebenarnya kamu ini siapa, Emma?" ucap Jake dalam hati. Ada sesuatu yang mengusiknya tentang si pelayan baru dan ia tidak suka perasaan terusik yang aneh ini.
.
.
Di Karyakarsa besok ending.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro