Bab 6
Suara lenguhan dan erangan panjang terdengar memenuhi ruangan besar dan mewah. Lampu hias menyala redup di dekat dinding. Sofa kulit besar berada di dekat jendela dengan lampu kristal menggantung di langit-langit yang tinggi. Semua perabot yang ada di ruangan terbuat dari bahan berkualitas tinggi, baik kayu maupun stainles dan juga keramik yang terpasang di lantai. Ada bunga palem yang diletakan di sudut ruangan dekat kepala ranjang. Sprei warna abu-abu yang tebal dan elegan dibuat kusut oleh dua orang yang saling membelit dan mengecup di atasnya. Pakaian, tas, dan aksesoris lain berserak di atas karpet tebal yang menutup lantai.
"Aaaghh, tubuhmu indah sekali, Sayang. Nggak pernah puas menciumimu."
Si laki-laki membuka lebar paha pasangannya, mengecupi leher dan bahu yang telanjang. Menunduk di atas dada yang membusung, meremas lembut bergantian dengan lidah yang menjilat dan mengulum puncak dada yang menegang.
"Dadamu luar biasa, kulitmu lembut dan harum."
Helena mendesah, mengusap rambut pasangannya yang sibuk mengecupi tubuhnya. Darahnya sudah mendidih karena nafsu tapi laki-laki di atasnya masih sibuk dengan mengecupi kulitnya.
"Sayang, bisa nggak sekarang?"
Laki-laki berahang tegas yang ditumbuhi bulu-bulu halus di dagu mengangkat wajah. Meremas dada yang membusung sekali lagi.
"Belum, Sayang. Kita baru saja mulai. Apa yang kamu kejar?"
Helena mendesah. "Waktu. Ada banyak hal yang harus dibicarakan."
Si laki-laki mengangkat tubuh dan melumat bibir yang merekah. "Untuk apa terburu-buru. Semua hal ada penyelesaiannya. Yang penting sekarang fokus pada percintaan kita."
"Aaaghh, Sayang." Helena terengah-engah saat bibir dan lidah si laki-laki berada di area intimnya. Mengecup dan mencium dengan lembut dan penuh kemesraan. Membuat Helena menggeliat menahan gairah. "Yaah, gitu, Sayang."
Rintihan penuh kenikmatan meluncur dari bibir Helena. Jarinya mencengkeram permukaan sprei yang basah oleh keringat mereka. Ia mendesak ke atas, dada membusung dengan paha membuka lalu mengait di belakang leher pasangannya.
"Sayang, sekarang!"
Si laki-laki mengusap bibir, membalikkan tubuh Helena dan membuka paha lebar-lebar lalu menghujam masuk dan bergerak cepat.
Plak-plak-plak
Tangan si laki-laki menampar keras pinggul Helena yang putih, mencengkeram rambut dan menghujam cepat serta keras tanpa henti. Tidak peduli kalau Helena memekik kesakitan saat lehernya dicekik dari belakang.
"Sex seperti ini yang kamu inginkan, Helena? Ingin ditunggangi dengan keras dan kasar? Kalau begitu kamu diam dan biarkan aku mengisimu!"
Si laki-laki mengambil kain merah yang berada di dekat bantal, membuat tali dan menutup mulut Helena dengan itu.
"Sekarang, kamu ingin berteriak pun tidak bisa. Sepenuhnya berada di bawah kendaliku."
Helena mengerang dengan suara teredam, sementara tubuh telanjangnya terayun ke depan dan belakang. Pinggangnya dicengkeram, rambut ditarik ke belakang dan dirinya dimasuki dengan brutal. Sesekali dipukul di pinggul atau dada. Tidak cukup hanya itu, tubuhnya digulingkan hingga terlentang, kakinya dinaikkan ke atas pundak si laki-laki dan kembali dihujam kasar.
"Aaaghh, nikmatnya tubuhmu Helena. Kamu yang suka dikasari saat bermain sex memang pasangan tepat untukku."
Kenyataannya memang begitu, Helena akan puas kalau bermain cinta dengannya harus kasar, keras, dan bercampur dengan rasa sakit. Tidak keberatan kalau dirinya dipukul dan disakiti asalkan saat bercinta. Ia justru menerima semua rasa sakit itu dengan gembira dan makin keras pukulan serta percintaan, makin puas dirinya.
"Aaagh!"
"Teriak yang kencang, Sayang!"
Plak!
"Aaagh!"
Mulut Helena terbebas dari tali yang longgar dengan begitu bisa berteriak lebih kencang. Terengah-engah dan mengerang panjang karena kenikmatan. Saat tubuh bersimbah keringat dan dirinya terbaring lemas tidak berdaya.
"Enaknya," desah si laki-laki. Berbaring di samping Helena yang pandangannya menerawang. "Aku suka bercinta denganmu."
Helena mendesah. "Kamu selalu bilang hal yang sama."
"Kenyataannya memang begitu. Mau bagaimana?" Si laki-laki memiringkan kepala, meremas dada Helena yang membusung dan mengkilat karena keringat. "Aku akan memesan kopi pada pelayan. Kamu mau sesuatu?"
"Boleh, minta mereka bikin jus tanpa gula."
Setelah gairah mereda, keduanya duduk sambil merokok di balkon. Helena memakai jubah tidur yang diikat longgar, rambut hitamnya dibiarkan tergerai menutup pundak. Rokok menyala di sela jari, sesekali dihisap dengan asap beraroma tembakau menguar di udara. Pelayan datang membawa kopi dingin dan jus, kedunya menyesap minuman sambil terus merokok dalam keheningan.
"Kamu pasti ingin cerita soal mantan suamimu. Bagaimana? Sudah dapat orangnya?"
Helena mengetukkan rokok di asbak. "Sudah. Hari ini mulai bekerja di sana."
"Apa kamu yakin gadis itu akan mampu menuruti permintaanmu?"
"Harusnya bisa, kalau menilik dari latar belakangnya. Dia butuh uang, terjerat utang banyak, ibunya sakit dan paling penting, pekerjaanya membuatnya mudah menaklukan laki-laki. Aku yakin seorang yang suci dan dingin seperti Jake pun akan takluk oleh gadis itu."
Si laki-laki menaikkan sebelah alis. "Sehebat itu? Apa pekerjaannya?"
"Penyanyi di bar. Setiap hari banyak laki-laki mengantri hanya untuk memberinya uang."
"Perfect kalau begitu. Mantan suamimu memang semestinya dilayani oleh orang yang sepadan. Sayang, kamu hebat sekali bisa menemukan gadis itu? Dengan begitu, semakin mudah bagi kita untuk mendapatkan lahan di Selatan kota."
"Memang itu tujuanku. Mendapatkan lahan tanpa perlu mengotori tangan dengan memukul atau membunuh orang. Cukup membuat Jake kehilangan muka, kita bisa menang untuk semua kompensasi yang aku inginkan."
Si laki-laki mematikan rokok, meneguk es kopi dan mencengkeram dagu Helena lalu mengusap lembut dengan ibu jari.
"Itulah yang aku suka dengan kamu. Memikirkan semuanya dengan baik dan jernih. Membiarkan orang lain melakukan apa yang kamu mau. Jake dan gadis itu akan bertarung dan kita hanya menonton saja."
Helena mengedipkan sebelah mata. "Sayang, kamu tahu aku bagaimana bukan?"
Cengkeram di dagu terlepas. "Perempuan hebat dan selalu membuatku kagum. Itulah kenapa aku menyukaimu, Helena."
"Kamu menyukaiku atau tubuhku?"
"Keduanya, Sayang. Bukan hanya itu, aku juga suka caramu berpikir. Tenang, dingin, tapi penuh perhitungan. Semoga saja gadis yang kamu kirim tidak membuatmu kecewa. Ngomong-ngomong, siapa nama gadis itu?"
"Emma."
"Ehm, nama yang sederhana. Semoga saja orangnya juga sederhana dalam berpikir."
Helena mengharapkan hal yang sama. Tidak ingin Emma punya pendapat dan sikap sendiri yang akhirnya menghancurkan rencananya. Emma hanya boneka, tidak boleh punya pendapat dan sikap. Hanya menurut apa katanya karena dia adalah tuan dan pemilik dari boneka itu.
**
Emma menatap laki-laki yang bertanya dengan nada tegas bercampur heran. Tidak beranjak dari balik meja, padangannya tertuju pada Emma dengan menyelidik. Tajam, tenang, dan dingin, membuat bulu kuduk Emma meremang. Kegembiraan yang dirasakan Emma saat melihat laki-laki itu kini menguap meski tidak sepenuhnya padam.
"Tuan, pelayan baru datang tapi sayang, pakaiannya kurang pantas."
Perkataan Romiah membuat Emma tersadar dengan baju yang dipakainya. Sangat pendek dengan bagian depan terbuka hingga menunjukkan belahan dadanya. Belum lagi make-up tebal yang menghias wajahnya. Emma merasa malu dan tidak percaya diri. Ingin membalikkan tubuh dan pergi tapi langkahnya tertahan oleh perjanjuan dengan Helena.
"Se-lamat mata, Tuan," sapa Emma dengan suara pelan dan menunduk. Tidak berani menatap wajah Jake. Laki-laki yang selama bertahun-tahun dicarinya kini ada di depann mata. Sayangnya sikap yang dingin membuat nyali Emma menciut seketika. "Saya Emma. Pelayan baru di sini."
Jake mengamati gadis muda dengan rambut kecoklatan dan mata berbentuk almond. Wajah gadis itu tidak terlalu tirus, bahkan bisa dikatakan oval dengan pipi yang menggemaskan. Kulit putihnya terlihat bercahaya tanpa kain yang menutupi terutama di lengan dan paha.
"Siapa yang memberimu seragam?" tanya Jake.
Emma meneguk ludah. "Yayasan."
"Memangnya nggak ada seragam lain?"
"Saya ku-rang tahu, Tuan."
"Halah! Yayasanmu itu pasti ada maksud buruk makanya mengirim kamu ke rumah ini." Romiah berkata mencela. Melirik ke arah Emma yang menunduk dengan tatapan penuh cemooh dan benci. "Mana ada pelayan kayak kamu, hah?"
"Bi ...."
Teguran Jake membuat Romiah menutup mulut. "Iya, Tuan. Maaf kalau lancang."
Jake bertanya pada Emma yang menunduk. "Kamu bisa kerja apa di rumah ini, Emma?"
Emma mengangkat wajah dengan dada berdesir, panggilan Jake padanya sungguh luar biasa terdengar di telinga. Begitu dalam, halus, dan tegas. Tidak berbeda dengan suara yang ada dalam ingatannya. Ia berusaha menahan diri untuk tidak berteriak.
"Saya bisa semuanya, Tuan. Memasak, membersihkan rumah, dan setrika."
"Benarkah? Kebanyakan anak muda sepertimu lebih suka bekerja di kantor atau toko."
Emma menggigit bibir, tidak berani menatap Jake yang sedang mengajukan pertanyaan. Takut kalau sandiwaranya terbongkar. Benaknya berputar bagaimana bisa menjawab dengan meyakinkan tanpa membuat Jake curiga. Ia baru datang, bila tidak bijak menjawab bisa-bisa akan diusir sekarang juga. Tidak boleh terjadi, uang dari Helena sudah digunakan untuk membayar utang. Entah bagaimana kedepannya, yang terpenting dirinya harus tetap di sini.
"Sa-ya juga ingin kerja di kantor, Tuan. Ta-pi, orang tua miskin jadi nggak ada koneksi."
"Di mana rumahmu?"
"Pinggiran kota, Tuan. Arah Selatan."
"Orang tuamu kerja apa?"
"Mama buruh di pabrik dan papa, nggak tahu kemana sekarang."
Tidak ada kebohongan dalam jawaban Emma. Semuanya sesuai dengan realita. Dalam hal ini, ia mempertaruhkan segalanya untuk bisa dipercaya oleh Jake. Romiah sepertinya pelayan paling lama di sini, karena itulah bersikap tidak suka padanya karena menganggap kalau pelayan baru hanya datang untuk menggoda majikannya. Meskipun kenyataannya memang demikian, Emma akan bersikap seakan tidak tahu apa-apa.
"Kenapa seragammu begitu? Yayasan yang memberikan?"
Emma menahan tangan di sisi tubuh agar tidak menutupi dada. "Iya, Tuan."
Jake menimbang sesaat, kalau mengikuti kata hati jelas Emma tidak cocok bekerja di rumahnya. Gadis cantik yang terlihat rapuh itu bisa dipastikan tidak punya tenaga untuk bekerja keras menemani Romiah. Namun kata hatinya terketuk saat mendengar cerita keluarga Emma. Entah bohong atau tidak, gadis ini membutuhkan pekerjaan.
"Baiklah, kamu kerja di sini mulai hari ini. Tapi, ada Bi Romiah yang akan mengawasimu. Kalau menurut Bibi kamu nggak cocok, kamu harus keluar dari rumah ini. Paham, Emma?"
Emma menengadah dan senyum lebar menguar dari bibirnya. "Saya mengerti, Tuan. Terima kasih."
Jake tertegun sesaat, senyum lebar dan binar mata Emma mengingatkannya akan seseorang tapi lupa siapa. Sepertinya seseorang yang pernah dijumpai di masa lalu dan kini sudah dilupakannya.
.
.
Di KaryaKarsa sebentar lagi ending.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro