Bab 4
Emma yang baru saja selesai bekerja mendapat telepon dari bibinya. Berkata panik kalau rumah mereka didatangi debt collector.
"Bibi, ini masih pagi buta! Mereka datang sepagi ini untuk apa?"
"Bibi juga nggak tahu Emma. Ada enam atau tujuh orang dan mengobrak-abrik rumah!"
Emma mengesampingkan rasa lelah, mengganti pakaian secepat mungkin dan menghapus make-up tebal di wajah. Davia sedang membagi uang tips untuk para pemusik.
"Malam ini kita dapat tips lumayan, nih!"
Emma menunjuk dompetnya. "Tolong masukin ke dompet. Aku harus bergegas."
"Mau kemana?"
"Rumah Bibi diserbu debt collector."
"Hah, sepagi ini? Matahari bahkan belum bersinar."
"Nggak tahu! Aku harus pergi sekarang."
Davia mencengkeram lengan Emma. "Aku ikut. Takut ada apa-apa sama kamu."
Emma menggeleng. "Nggak bisa, kamu punya anak. Jaga ambil resiko."
"Kamu sendirian bahaya. Paling nggak bawa teman!"
"Siapaa?"
"Aku!"
Seorang laki-laki muda dengan rambut cepak dan bertubuh kekar berdiri di samping pintu kamar ganti. Menatap pada Emma dengan tenang. Sama sekali tidak terlihat kelelahan di wajahnya bahkan setelah satu malam penuh bekerja. Sebagai penjaga keamanan, waktu kerja lebih lama dari penyanyi tapi laki-laki itu tidak terlihat mengantuk atau kusut.
"Yuda? Kamu dengar obrolan kami?" tanya Emma.
Yuda mengangguk, bersedekap dengan kaki membuka. "Dengar dan aku tahu soal debt collector itu udah lama. Yang dibilang Davia benar, kamu butuh seseorang untuk menemani. Ayo, aku antar sekalian aku pulang."
"Tapi—"
"Nggak ada tapi-tapian, Yuda teman yang cocok buat kamu. Buruan!" desak Davia.
Emma tidak ingin melibatkan orang lain dalam masalah pribadinya tapi sekarang ini benar-benar membutuhkan bantuan. Debt collector yang mengamuk bukan lawan yang sepadan untuk dihadapi seorang diri. Terlebih dirinya tidak punya keahlian bela diri apa pun. Bisa saja nyawa melayang kalau memaksakan diri.
"Oke, makasih Yuda."
Yuda mengangguk, bersama dengan Emma dan Davia melewati lorong menuju pintu samping khusus pekerja. Manajer mendatangi mereka, laki-laki berambut putih dengan wajah tirus bertanya pada Emma.
"Diserang lagi rumahmu? Sepagi ini?"
Emma mengangguk. "Iya, Pak. Mereka datangnya nggak bisa ditebak. Saya pulang duluan Pak. Mau ke sana sama Yuda."
Si manajer mengangguk. "Ajak yang lain, Yuda.Aku yakin mereka mau membantu."
Yuda menatap manajernya. "Nanti kalau saya butuhkan mereka siap, Pak. Sekarang ini saya sendiri dulu."
"Ya, semoga nggak ada kekacauan."
Yuda menggunakan motor, membonceng Emma menembus kesunyian kota. Pukul empat lewat, matahari bahkan belum bersinar dan jalanan masih sepi tapi para debt collector sudah beraksi. Termenung di belakang Yuda dengan angin semilir meniup wajah dan rambut, Emma mendesah tanpa sadar. Tidak tahu kapan penderitaan ini akan berakhir. Ia sudah bekerja keras selama tiga tahun ini, sang mama pun banting tulang dan utang tidak berkurang tapi justru bertambah banyak.
"Emma! Jangan terlalu risau. Kamu tegang banget!" teriak Yuda menembus angin.
Emma mencengkeram jaket Yuda dan balas berteriak. "Takut ada apa-apa."
"Nggak akan ada apa-apa, mereka cuma mau uang saja. Memangnya apa yang bisa diharapkan dari dua perempuan tua?"
Memang benar yang dikatakan Yuda. Jika menggunakan logika orang normal, sebengis-bengisnya debt collector tidak akan melawan orang tua tapi tidak ada yang bisa menebak. Emma berharap yang terbaik untuk mama dan bibinya. Ternyata harapannya tidak menjadi kenyataan. Rumah petak kecil itu kaca balau di bagian depan. Pot hancur, kursi plastik terbalik, jendela terbuka lebar dan hampir jatuh di engselnya. Bagian dalam lebih parah lagi berantakannya. Namun langkah Emma tertahan di halaman. Ada beberapa orang berkulit hitam dan bertubuh tinggi menghadang langkahnya.
"Nah, ini dia yang punya uang. Mana, kalian belum bayar setoran bulan ini!"
Emma mendesah. "Baru telat dua hari dan kalian sudah bertingkah?"
"Dua hari kamu bilang hanyaa? Ingat! Kalian sudah sering menunggak!"
"Itu karena kalian menagih dengan kejam!"
Seorang laki-laki yang berumur lebih tua maju dua langkah. Mengamati Emma dari atas ke bawah sambil menyeringai.
"Emma, makin cantik kamu. Makin montok juga. Gimana kalau kita bikin perjanjian untuk menukar kamu dan utang. Jadi—"
Plak!
Emma mengeluarkan seluruh tenaga untuk memukul laki-laki itu. Semua orang bersiaga melihat pimpinan mereka ditempeleng.
"Tutup mulut tua bangka!" maki Emma. "Kalian hanya sekumpulan penjahat! Kalian butuh uang? Aku akan berikan!"
Si pimpinan meraung, Yuda maju dan menghalangi Emma. Mengeluarkan pisau dari balik jaket.
"Sebagai laki-laki ada aturan tidak tertulis untuk tidak melawan perempuan. Kalian ingin kami membayar? Emma akan membayarnya. Berani menyentuhnya, anggap saja kalian cari mati!"
Para debt collector tentu saja tidak gentar mendengar ancaman Yuda. Bagi mereka melawan Yuda yang seorang diri bukan hal sulit. Namun, pagi menjelang dan kini banyak warga sudah terjaga. Beberapa laki-laki keluar dari rumah dan berkerumun di pinggir jalan. Mereka harus mikir dua kali bila ingin membuat keributan. Si pimpinan mendengkus keras.
"Mana uangnya! Jangan ada yang kurang!"
Emma mengeluarkan dompet dan menghitung cepat lalu mengulurkan pada si pimpinan. "Kwitansinya mana?"
Laki-laki itu mengeluarkan kwitansi dari dalam tas kecil yang tersampir di bahu. Menulis cepat menggunakan punggung salah satu anak buah sebagai alas dan merobeknya.
"Ini! Ingat, jangan telat lagi!"
Saat mereka berlalu, Emma mendesah lega. Mengajak Yuda masuk ke ruang tamu kecil yang berantakan. Balika dan adiknya Bintari, sudah merapikan rumah sedikit dan menegakkan kursi. Membuat teh hangat untuk Yuda dan Bintari berinisitif membeli sarapan.
"Nggak usah, Bu. Saya pulang aja langsung." Yuda menolak.
"Nggak apa-apa, Nak. Sarapan aja di sini. Nasi kuningnya enak."
Emma mengangguk pada Yuda. "Tinggal dulu, Yuda. Sarapan baru pulang."
Balika merapikan mengelap meja plastik dan meletakan gelas berisi teh hangat di atasnya. Wajah sendu dengan rambut memutih itu adalah wujud perempuan cantik saat muda dulu. Tergerus waktu dan banyaknya masalah membuat tanda-tanda penuaan menyebar lebih cepat dari yang seharusnya. Terlebih dengan kondisi kesehatan yang makin memburuk. Emma hanya berharap sang mama lebih sehat dengan begitu dirinya juga semangat untuk bekerja.
"Tadi kamu bayar untuk sebulan?"
"Iya, Ma. Ada cicilan di tempat lain juga yang sudah jatuh tempo."
"Maafkan mama, kamu jadi kerepotan."
Emma meraih jari sang mama dan mengguncangnya. "Mama bilang apa? Kita keluarga, sudah semestinya saling bantu."
"Tetap saja, kamu jadi kerja keras."
"Udah biasa, Maa."
Yuda menyesap teh hangat dan mendengarkan celoteh ibu dan anak di depannya. Tidak ingin ikut campur atau menyela karena memang tidak mengerti duduk masalahnya. Bintari muncul, membawa empat bungkus sarapan berikut gorengan dan mengambil empat piring serta sendok.
"Nak Yuda, makan ya, enak ini." Yuda menerima nasi dan menggumamkan terima kasih.
Bintari duduk dan membuka bungkusan miliknya. "Semua masalah ini nggak akan terjadi kalau Kastara sialan itu nggak bawa kabur uang asuransi. Dia seorang ayah, seorang suami, tega melakukan itu pada kalian. Uang asuransi semestinya untuk membangun kembali pabrik malah dipakai untuk menikahi sundal keparat itu! Untungnya ada Pak Direktur Kalingga yang memberikan bantuan. Kalau tidak, kita semua pasti mati di jalanan setelah kebakaran itu."
Tidak ada yang membantah atau menyanggah perkataan Bintari. Memang kenyataan kejam itu terjadi pada mereka. Balika pun terdiam, saat nama mantan suaminya disebut dan meninggalkan luka menganga di hati.
Emma mengunyah perlahan, masih merasakan sakit hati akibat perbuatan papanya. Membawa kabur uang asuransi dan juga uang pertanggung jawaban dari PT. Kalingga untuk pembelian lahan. Belum cukup hanya itu, meninggalkan utang-utang dari pabrik dan kabur bersama pegawai keuangan pabrik. Kejam dan keparat tidak cukup untuk menggambarkan sikap Kastara.
Selesai sarapan Yuda berpamitan. Emma mengantarnya ke halaman dan mengucapkan banyak terima kasih.
"Emma, kita ini teman. Kamu sudah banyak bantu aku juga kalau butuh. Pokoknya apa pun yang terjadi, aku siap bantu kamu."
Yuda dan security yang lain adalah teman. Tidak hanya mereka, tapi semua pegawai di bar itu saling mendukung dan membela. Emma tahu kalau sikap yang ditujukan Yuda padanya sama tulusnya dengan Devia. Ia beruntung punya orang-orang seperti mereka di dekatnya.
Malamnya Emma kembali tampil seperti biasa. Otaknya dipenuhi satu hal saja, uang. Ia bernyanyi dan merayu sebisa mungkin demi mengeluarkan uang dari saku para pengunjung. Meski begitu menerapkan batasan agar mereka tidak sembarang menyentuhnya.
Apakah Emma pernah ditawari uang banyak untuk diajak tidur? Tentu saja sering dapat tawaran dan menolak dengan tegas. Ia menjual suara dan hiburan bukan tubuh. Dirinya membutuhkan uang tapi tidak akan menjual tubuh.
"Emma, ada yang mau ketemu!"
Manajer datang tergopoh-gopoh saat Emma baru selesai manggung.
"Siapa, Pak?"
"Orang penting. Kamu temui di room VIP nomor tiga. Buruan!"
Emma yang tidak mengerti kenapa ada orang penting ingin menemuinya, berjalan tersaruk ke VIP room nomor tiga. Sepenting apa orang itu sampai manajer saja sangat takut. Emma mengetuk pintu dan seorang laki-laki setengah baya dengan jas hitam membantunya membuka dari dalam.
"Emma, duduk! Miss ingin bicara denganmu!" Suara laki-laki itu terdengar tegas.
Emma meneguk ludah dan duduk di sofa, pandangannya tertuju pada perempuan amat cantik dengan rambut hitam dan wajah tirus. Perempuan yang berumur kurang lebih pertengahan tiga puluh tahun itu menatapnya tajam.
"Cantik, muda, dan penggoda. Emma, aku akan menawarkan pekerjaan untukmu!"
.
.
Di Karyakarsa update bab 30.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro