Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 3

Jake menyimpan bungkus berisi roti di sampingnya. Mengambil satu permen jeruk dan membuka bungkusnya lalu menghisap dalam mulut. Campuran manis dan asam cukup menenangkan syarafnya yang tegang.

"Maaf, Pak. Apa Pak Direktur kenal dengan gadis itu?" tanya Sopir dari jok depan.

Jake menatap sopirnya. "Gadis yang mana?"

"Itu, Pak. Di teras toko, teriak dan menangis saat Pak Direktur masuk ke mobil."

Jake menoleh ke arah teras toko, mengernyit pada dua perempuan muda yang sedang berpelukan. Mencoba menggali ingatan tentang di mana dan kapan bisa mengenal mereka tapi tidak teringat sama sekali.

"Siapa mereka?"

"Saya nggak tahu, Pak. Saya lihat yang kaos putih berteriak dan menangis."

Jake kembali mengalihkan pandangan ke jalanan. Menghisap permen dengan benak berputar tentang gadis berkaos putih yang dikatakan menangis saat melihatnya. Situasi aneh seperti ini tidak pernah dialaminya, seseorang menangis dan si sopir menduga itu karena dirinya. Tanpa sadar Jake menghela napas panjang. Terakhir kali dirinya membuat orang menangis adalah saat memecat mantan asisten. Perempuan itu ternyata mata-mata dari mantan istrinya. Mana bisa bekerja dan menggaji seseorang yang setiap saat melaporkan apa yang terjadi pada perempuan yang jelas membencinya.

"Aku membencimu, Jake. Benar-benar benci sampai ke ulu hati, aliran darah dan juga paru-paru yang membuatku bernapas. Selama aku hidup, kamu nggak akan pernah hidup bahagia. Tidak akan!"

Kebencian Helena padanya sungguh luar biasa. Berawal dari rasa benci dan kini menjadi permusuhan tanpa henti. Padahal mereka adalah mantan suami istri. Meskipun menikah karena perjodohan, Jake berharap setidaknya bisa berakhir sebagai sahabat tapi ternyata salah. Ponselnya bergetar dan satu pesan masuk, Jake membaca sekilas.

"Kita ke kantor pengacara!" perintah Jake.

"Baik, Pak!"

Mobil melaju tidak terlalu kencang di jalanan yang cukup padat. Sore hari banyak para pekerja sudah selesai jam kerja. Mengendarai kendaraan roda dua maupun roda empat dan bergegas ingin mencapai rumah. Sebuah tempat yang diharapkan bisa meluruhkan rasa lelah dan berbagi cerita. Jake pernah memimpikan hal yang sama, mempunyai keluarga dengan istri cantik dan anak yang lucu. Sekali lagi harus mengalah pada kenyataan pahit.

Tidak ada orang yang ingin rumah tangganya gagal, bahkan Jake yang sedari awal merasa tidak cocok dengan Helena juga berniat mencoba. Setidaknya ingin berlaku layaknya suami dan laki-laki sejati. Membangun keluarga sebagai penerus nama Kalingga. Nasi sudah menjadi bubur, bersatunya dua keluarga besar Vanjirk dan Kalingga diharapkan akan menjadi pondasi kokoh untuk dua perusahaan. Sayangnya pondasi itu runtuh bahkan sebelum dibangun.

Mobil memasuki halaman kantor pengacara. Jake turun dengan membawa roti dan tasnya. Di teras bangunan berlantai dua dengan gaya minimalis serta dinding warna abu-abu, seorang laki-laki nuda berjas abu-abu dengan rokok di tangan menyambutnya.

"Selamat sore Pak Jake?"

Jake mendengkus keras. "Sok ramah. Nih, buat kamu. Seorang klien baru saja membuka toko roti untuk anaknya."

Si laki-laki berjas abu-abu mengangkat kantong tranparan berisi beberapa bungkus roti. "Menarik, kayaknya enak."

"Kita mau ngobrol di sini?" tanya Jake.

"Nggak, di lantai dua saja. Sekalian ngopi dan makan roti."

Keduanya melewati tangga melingkar yang ada di samping pintu. Menaiki anak tangga yang terbuat dari baja dengan cepat dan tiba di lantai dua yang diubah menjadi patio dengan atap tinggi. Ada kursi kayu dengan bantalan lembut, pohon-pohon bonsai beraneka ragam serta kolam ikan kecil. Seorang office boy membawa dua gelas kopi panas dan menghidangkan di depan mereka.

"Ada apa sore-sore gini nyuruh aku datang. Mana dadakan pula."

Candra membuka kantong berisi roti. Membuka satu roti isi abon dan menggigitnya.

"Pengacara Helena baru saja melayangkan surat tuntutan baru untukmu."

Jake mendesah, urusan dengan mantan istrinya ternyata belum selesai. "Tentang apa lagi."

"Pembagian harta gono gini. Yang diminta oleh Helena bukan rumah atau mobil melainkan lahan di Selatan kota. Katanya area itu dibeli saat kalian masih terikat pernikahan."

"Memang, kami membeli setelah setahun menikah. Namun, pembelian menggunakan delapan puluh persen uangku dan dua puluh persen dari Helena. Aku bersedia mengembalikan dua puluh persen ditambah dengan bunga. Semestinya itu cukup."

Chanda mengunyah roti hingga tandas, menyesap kopi dan menggeleng. "Sayangnya mantan istrimu merasa tidak cukup. Semestinya mendapat lima puluh persen dari harga jual lahan. Bisa dikatakan ingin membeli lahan itu. Bila tidak, akan menggugat untuk gono gini."

"Dia gila dan serakah!"

"Memang, tapi siapa pebisnis yang tidak serakah? Helena akan melakukan apa pun untuk mendapatkan harta itu."

Jake mendesah, mengingat perempuan berambut hitam legam dengan tubuh langsing dan wajah tirus. Meskipun cantik dan anggun tapi sama sekali tidak ada kesan baik hati serta ramah darinya. Wujud nyata dari seorang ratu berkuasa dan juga sangat kejam.

"Bagaimana menggagalkan tuntutannya?" tanya Jake. "Menurutku apa yang diminta oleh Helena tidak murni harta gono gini semata."

"Memang, dia mengincar kekuasaan PT. Kalingga. Kalau kamu tanya apa yang harus kamu lakukan untuk menghentikannya? Tidak ada."

Jake menatap pengacara sekaligus sahabatnya dengan tatapan bingung. "Menurutmu begitu? Bukankah tuntutan akan datang lebih banyak lagi?"

Chandra menggeleng dan tersenyum. "Selama citramu baik sebagai suami, maka hakim akan melihat siapa yang bermasalah. Helena yang berselingkuh dengan bukti kuat makanya pernikahan bisa diakhir. Meskipun berdalih pernikahan kalian karena terpaksa, tetap saja seorang istri tidak semestinya mengkhianati suami. Selama kamu bisa menjaga diri dengan tidak melakukan skandal untuk memperburuk namamu, aku yakin usaha Helena akan sia-sia saja."

Sebenarnya bukan hal sulit bagi Jake untuk membuat citranya tetap bersih karena selama ini dirinya bukan tipe orang yang suka berfoya-foya. Hidup dan waktunya didedikasikan untuk perusahaan. Tidak ada keinginan untuk menambah masalah dalam diri setelah apa yang terjadi dengan pernikahannya.

"Itu saja cukup?" tanya Jake.

"Sementara ini karena kesalahan Helena terlalu banyak. Gugatan gono gini dia beberapa kali ditolak hakim. Lahan ini pun akan sama selama kamu diam dan tidak membuat masalah dengannya. Aku memintamu datang untuk berdiskusi, jangan sampai terpancing emosi saat bertemu Helena."

Jake tersenyum kecil. "Kalau bisa, aku bahkan nggak mau ketemu dia."

Itu adalah hal paling besar dan paling murni yang diharapkan Jake sekarang ini. Tidak bertemu lagi dengan mantan istrinya dengan begitu tidak terlibat masalah. Kalau Helena menginginkan kepemilikan lahan, dengan senang hati Jake akan melawan.

"Ngomong-ngomong lahan yang kalian perebutkan ini bukankah pernah terjadi kebakaran beberapa tahun lalu?"

Jake mengangguk dengan wajah muram. "Benar, aku masih ingat tentang panasnya api, jerit tangis anak-anak kecil, isak ketakutan para perempuan."

Jake juga masih mengingat seorang gadis muda pemberani yang menggendong anak kecil dan menyelamatkanya dari kobaran api. Gadis dengan wajah penuh jelaga itu sepanjang malam mengikutinya membantu para korban. Malam yang tidak akan pernah terlupakan dalam hidup Jake, karena setelah itu semua hal dalam dirinya berubah drastis.

**

Suasana hati Emma memburuk setelah pertemuan yang gagal dengan laki-laki itu. Davia menghibur dengan mengatakan bermacam hal padanya.

"Empat tahun udah berlalu. Gimana mungkin kamu masih yakin kalau itu dia?"

"Aku memang yakin itu dia, suaranya masih terekam jelas dalam ingatanku."

"Mana mungkin Emma. Empat tahun loh. Yakali masih ingat. Bisa jadi kamu yang salah bukan? Terlalu kangen pingin ketemu sama laki-laki pujaan sampai menganggap semua suara yang maskulin itu dia."

Emma tidak menjawab, merasa percuma memberi penjelasan pada sahabatnya karena pasti tidak akan dimengerti. Ia mengganti kaos dan celana dengan gaun sexy sebatas paha, dengan tali kecil di bahu serta berbahan lentur dan penuh manik-manik yang gemerlap. Emma sudah merias wajah dengan cermat dan tebal tentu saja. Ia menggunakan make-up layaknya topeng untuk menutup wajah aslinya. Menguncir rambut dan menekuknya hingga pendek lalu memakai wig pirang sebatas pinggang. Warna gaun kuning gemerlap ditunjang dengan wig cerah, membuat Emma terlihat bersinar.

"Cantiknya biduan kita! Pantas saja banyak laki-laki suka." Davia tertawa menggoda sambil mencolek pipi Emma. Malam ini dirinya memakai gaun biru berumbai. "Semoga kita dapat tips banyak. Lumayan buat beli susuk anak."

Davia adalah ibu tunggal dengan anak berumur tiga tahun. Menikah muda menjadikan Davia kehilangan kesempatan untuk bekerja di tempat yang lebih layak. Terutama setelah ditinggal suaminya yang mati karena kecelakaan.

Emma menepuk pundak Davia. "Semangat! Aku juga lagi butuh duit buat bayar cicilan. Mari, kita kuras kantong mereka dengan suara indah kita."

Davia tergelak. "Ada satu lagu dangdut yang diaransemen pop. Sepertinya akan cocok dimainkan oleh kamu."

"Oh, lagu yang lagi populer itu?"

"Benar, kamu pasti sudah latihan. Orang-orang lagi senang lagu itu. Aku yakin malam ini akan banyak yang request."

Bar tempat mereka bekerja terhitung besar dan bagus. Yang menjadi tamu adalah kalangan pengusaha atau karyawan tingkat menengah ke atas. Seperti yang selalu dibilang Davia, di sini tidak ada orang miskin. Semua yang datang pasti berduit. Tidak peduli dari mana asalnya duit mereka.

"Yang perlu kita lakukan hanya menyanyi, meliukkan tubuh, dan uang akan datang dengan sendirinya."

Emma melakukan apa yang diajarkan oleh Davia. Menyanyi dengan sepenuh hati di atas panggung kecil. Meliukkan pinggulnya dan mengedipkan sebelah mata pada sembarang laki-laki yang bersirobok pandangan dengannya. Mereka sangat royal bisa disanjung dan Emma menggunakan keterampilan merayu yang dipelajari dengan susah payah untuk mendapatkan uang.

"Untuk Tuan yang berkemeja putih? Ah, tampan sekali, Anda. Sedari tadi saat melihat wajahmu, dadaku berdebar tiadak menentu. Yang jelas aku berdebar karena terpesona bukan karena ditagih utang."

Laki-laki berkemeja putih tertawa dan bertepuk tangan mendengar gombalan Emma.

"Satu buah lagu untuk Tuan. Tembang lawas milik penyanyi Shania Twain. Judulnya, I Feel Like A Woman."

Saat Emma mulai menyanyi, laki-laki itu naik ke panggung. Ikut menggoyangkan tubuh dan mengeluarkan uang banyak sekali dan mengguyurkannya di atas tubuh Emma. Davia membawa kotak dan memunguti uang-uang itu.

Emma tetap menyanyi meskipun pipinya diusap kecil. Mengenyahkan semua kejijikan demi uang. Seandainya saja Emma bisa bertemu dengan si Direktur yang diharapkan itu. Pasti keadaan tidak akan begini.

"Memangnya kamu pikir dia akan ingat kamu?"

Pertanyaan Davia mematahkan harapan dalam diri Emma. Memang benar, tidak akan orang yang ingat kejadian empat tahun lalu. Termasuk laki-laki itu.
.
.
.
Di Karyakarsa update Bab 25.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro