Bab 2
Dug-dug-dug!
Suara gedoran pintu yang terus menerus membuat Emma terbangun. Ia menggeliat dan berusaha membuka mata. Kesadaran menyerbunya kalau sekarang sedang berbaring di atas ranjang kecil. Gedoran kembali terdengar bahkan lebih keras darii sebelumnya. Emma mengayunkan kaki dan duduk dengan kepala sedikit pusing. Tidur saat menjelang pagi, harusnya ia memdapatkan porsi yang lumayan panjang hingga tengah hari. Baru pukul delapan sudah ada yang menggedor pintu. Matahari menyelusup masuk dari celah gorden. Ada suara-suara orang bercakap ditimpa dengan dengungan suara kendaraan bermotor.
"Kak Emma, waktunya bayar kos!"
Emma mendesah, rupanya yang datang adalah mami kos. Berusaha mengingat tanggal berapa hari ini, kenapa sudah ditagih pagi-pagi begini.
"Kak Emmaa!"
"Iya, Mamii!"
"Hari ini tanggal lima belas, waktunya bayar kos!"
"Iya, Mami. Bentaar!"
Emma bangkit dengan tertatih, menarik laci meja dan mengeluarkan dompet. Menghitung jumlah uang dan membawanya ke pintu. Di tempat lain, membayar kosan bisa menggunakan tranfer atau dompet digital, hanya di sini yang masih menggunakan uang kontan. Untungnya Emma sudah mempersiapkan uang dari dua hari lalu. Meskipun setelah membayar isi dompetnya menipis, setidaknya ada tempat berteduh untuknya. Ia membuka pintu, mengganjal dengan kaki dan mengulurkan uang.
"Ini Mami."
"Emma nggak pernah telat bayar. Anak baik."
Mami kos seorang perempuan paruh baya dengan rambut keriting sebahu. Berwajah bulat dan terlihat ramah, padahal aslinya sangat galak. Banyak penghuni kos mengeluh kalau si mami terlalu ketat dalam hal pembayaran. Telat dua hari akan diusir. Meski begitu kosan yang bersih dan terhitung murah menjadikan tempat ini tidak pernah kosong dari penghuni.
"Tanda terima." Si mami mengulurkan tanda terima.
Emma menerima kwitansi. "Terima kasih."
"Tunggu!"
"Ya?"
Emma yang hendak menutup pintu mengurungkan niatnya saat si mami menahan tangannya.
"Kalau bisa sebelum berangkat kamu mampir ke kamar mami. Ada pangsit ayam buat kamu."
Senyum Emma melebar seketika. "Terima kasih, Mami."
Saat perempuan itu melenggang pergi, Emma kembali terduduk di ranjangnya. Mengusap-usap wajahnya yang lembab karena keringat. Mimpi tentang kebakaran yang terjadi empat tahun lalu kembali menyerbu. Menekuk kaki di atas ranjang dan memeluk diri sendiri, Emma berusaha mengenyahkan trauma. Suara jeritan, api yang membumbung tinggi, luka bakar, dan tangisan para korban. Malam paling mencekam dalam hidup Emma. Setelah malam itu terjadi, hidupnya tidak sama lagi.
Ada luka yang menganga dan sampai sekarang tidak sembuh juga, bukan oleh api atau pun benda tajam tapi karena perbuatan manusia. Orang yang dikirinya paling dekat dalam hidup, ternyata mengkhinatinya. Pabrik yang semestinya bisa berdiri kembali dengan uang kompensasi dari asuransi, tidak bisa dilakukan karena sang papa membawa pergi uang itu. Bagaimana bisa orang tua yang semestinya menjadi tempat bersandar justru menorehkan luka paling dalam?
"Bagaimana kita hidup dengan keadaan seperti ini? Utang banyak dan uang nggak ada sama sekali?"
Rintihan sang mama tak ayal membuat Emma panik. Dirinya hanya gadis biasa, sehari-hari mejalani hidup yang juga biasa saja. Kuliah, bermain, sesekali ke pabrik untuk membantu pekerjaan sang papa. Mendadak dihadapkan pada tanggung jawab yang besar. Terlalu besar sampai Emma tidak mengerti bagaimana harus melakukan semuanya sendiri dengan kondisi kesehatan sang mama yang mulai menurun.
"Mama akan kerja jadi apa saja, biar kamu bisa kuliah."
"Nggak, Emma akan bekerja, Ma. Kita harus tanggung ini bersama-sama."
"Kamu mau kerja apa semuda ini?"
Saat itulah Emma bertemu dengan Davia, teman sekolah yang pernah ikut ektrakurikuler bersamanya.
"Emma, suaramu bagus. Ikut kerja gue aja."
Semenjak itu Emma bekerja bersama Davia, menjadi penyanyi bar yang bekerja saat malam dan tidur kala siang.
"Emma, berangkat agak awal. Gue mau traktir makan roti. Ada toko yang baru buka nggak jauh dari bar."
Davia mengirim pesan dan Emma membalas cepat. Kembali merebahkan diri dan berniat untuk tidur lagi pada akhirnya Emma terjaga hampir sepanjang siang. Ia mengingatkan diri sendiri untuk mengatakan pada mami kos agar lain kali menagih saat siang. Tidak tahan berada di kamar lebih lama karena hari ini jauh lebih panas dari biasa, Emma bergegas mandi dan mengganti pakaian. Menggunakan celana denim dan kaos putih ketat berlengan pendek, Emma berniat untuk menunggu Davia di toko roti. Setelah memastikan colokan tercabut dan lampu menyala, ia mengunci pintu. Suara terguran yang sok akrab terdengar saat dirinya menuruni tangga.
"Hai, Cantik! Tumben jam segini sudah keluar? Biasanya nunggu habis mangrib."
Namanya Rafli, anak Mami Kos yang pengangguran. Ngakunya mahasiswa tapi sampai sekarang belum sarjana juga. Berambut gondrong dengan tubuh kurus, Rafli yang berumur 27 tahun dengan muka tirus menatap Emma dari anak tangga paling bawah. Emma hanya mengangguk sekilas saat melewatinya.
"Emma, mau aku antar? Kebetulan hari ini kuliah lagi kosong."
"Nggak usah, makasih." Emma menjawab singkat.
"Kenapa nggak mau? Padahal kalau sama aku irit ongkos dan dijamin lebih cepat sampai."
"Udah ada ojek langganan."
"Hemat uang!"
Emma jengkel setengah mati dengan Rafli yang memaksa. Lebih jengkel lagi saat langkahnya dihadang. Lengan Rafli terentang dengan senyum lebar. Bersikap sok keren dan sok akrab yang menyebalkan.
"Minggir!"
"Emma yang cantik. Kenapa keras kepala? Padahal aku berniat baik sama kamu."
"Nggak butuh!"
"Jangan begitu, jalan sama aku dijamin aman."
Emma mendesah, memutar otak untuk keluar dari situasi ini. Melirik sekitar lalu berteriak.
"Mamii! Rafli di sini!"
Berhasil, Rafli ngacir bahkan tanpa mengecek apakah Emma berbohong atau tidak. Bergegas meninggalkan lari tanpa menoleh lagi. Bukan rahasia kalau Rafli sangat takut dengan sang mami. Anak satu-satunya yang sangat dimanja tapi juga diatur dengan ketat. Rafli merasa apa yang dilakukan sang mama sangat merepotkan sedangkan Emma justru iri dengannya. Dengan senang hati akan bertukar nasib kalau bisa, dengan begitu dirinya tidak perlu pusing memikirkan biaya hidup. Menyenangkan bisa semua masalah keuangan ditanggung oleh keluarga.
Dulu Emma punya kehidupan yang menyenangkan seperti itu sebelum terjadi kebakaran. Peristiwa itu bukan hanya menghanguskan harta benda tapi juga menghacurkan ikatan keluarga karena sang papa memilih untuk menyelamatkan orang lain.
Tiba di toko roti, Emma antri untuk mendapatkan tempat duduk. Para pembeli mengular hingga ke teras toko. Davia mengatakan akan segera datang. Emma akhirnya mendapatkan meja di sudut. Baru saja meletakan pinggul di kursi dan sedang mengecek barang di tas saat terdengar suara sapaan.
"Terima kasih untuk kunjungannya. Semoga Anda menyukainya, Pak."
"Rasa rotinya enak, barusan saya coba dan suasana tokonya cukup nyaman."
Deg
Hati Emma berdebar mendengar suara laki-laki yang kedua. Ia mengenali suara itu meskipun sudah tidak mendengarnya selama bertahun-tahun. Ia mendongak dan pandangannya tertutup oleh banyaknya orang yang berlalu lalang. Suara dalam yang maskulin kembali terdengar.
"Pak Direktur saya harap bisa kembali ke toko.
"Tentu saja, saya akan kembali. Saya suka permen jeruk di sini. Rasanya manis dan asam yang menyegarkan."
Itu dia, laki-laki yang selalu dalam ingatan Emma selama beberapa tahun belakangan. Tidak salah lagi, si direktur yang dicarinya tanpa disangka muncul di sini. Emma bangkit dari kursi, meninggalkan barang-barangnya di atas meja dan bergegas menghampiri sumber suara. Menajamkan pendengaran, berjinjit di antara orang-orang yang berkerumun dan menemukan sosok yang dicari.
Tampilan dari belakang sama persis seperti yang diingat Emma. Tinggi, kokoh, dengan bahu lebar. Emma terus mendekat.
"Pak Direktur!" Ia berteriak.
Sosok laki-laki itu keluar dari kerumunan. Emma terus mendesak dan mengejarnnya. Ada anak perempuan yang menangis dan menubruknya. Si ibu dari anak itu menggumamkan permintaan maaf. Berikutnya pegawai toko menghalangi langkahnya dengan membawa nampan berisi toples kosong. Saat Emma tiba si teras, melihat laki-laki itu masuk ke mobil mewah.
"Pak Direktuur! Paaak, ini saya!"
Emma tidak memedulikan sekitar, berteriak keras untuk mencapai mobil mewah yang kini melaju meninggalkan toko. Emma tertegun di tempat, kehilangan kesempatan baik yang sudah dinantikannya.
"Emma, ngapaian kamu di sini?" Davia muncul dengan heran.
Emma menoleh, hatinya luruh dan kosong seketika. Tanpa sadar terisak kecil.
"Emma, kenapa nangis? Ada apa?"
Emma memeluk Davia dan berbisik sambil terisak. "Pingin makan permen jeruk."
"Cup-cup-cup, jangan nangis. Di sini ada jual permen jeruk yang enak. Ayo, kita masuk."
Hari ini Emma membeli banyak sekali permen jeruk. Makanan yang sama dengan yang disukai oleh si direktur itu. Emma tidak suka makanan manis tapi khusus permen jeruk bisa diterima. Sayangnya tidak peduli berapa banyak yang dimakannya, rasa permen jeruk kali ini tidak semanis dulu.
.
.
.
Di Karyakarsa updat bab 20.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro