Bab 1
Empat tahun lalu ...
Api membumbung tinggi di pemukiman warga yang padat penduduk. Tersapu angin yang menyambar apa saja yang terjangkau oleh lidah merah nan membara. Asap pekat seperti kubangan kabut hitam yang seolah ingin naik dan berbaur dengan langit malam. Aroma kayu, besi, kain, dan benda yang terbakar, menutup paru-paru dan membuat muak. Di samping itu juga menimbulkan kengerian. Apakah yang terbakar? Jangan sampai ada manusia yang terpanggang hidup-hidup. Pikiran orang-orang diiringi kengerian yang sama.
Sirine dari pemadam kebakaran meraung-raung membelah jalanan. Tidak mudah bagi mereka untuk masuk karena ada banyak kendaraan terparkir di pinggir jalan. Warga saling bahu membahu, berusaha memadamkan kebakaran menggunakan apa pun yang ada di depan mereka. Ember, bak, gayung, semua terlalu panik untuk menggunakan alat yang lebih memadai.
Di antara hiruk pikuk teriakan dari warga dan pemadam, jeritan anak kecil dan para perempuan bersahutan di udara. Mencari keberadaan sanak saudara, binatang peliharaan, ataupun meratap saat harta benda mereka dilalap si jago merah.
Di sebuah pabrik makanan kecil, seorang gadis berlari kesana-kemari, membantu memadamkan api yang melahap pabrik dan juga rumah hunian. Ia berusaha dengan keras, memerintahkan para pekerja untuk membantu.
"Pompa air yang banyak. Ayo, siraam! Bantu penduduk yang luka-luka!"
Tubuh dan wajah gadis itu menghitam karena jelaga tapi dirinya tidak peduli.
"Papaaa, mana Mama, Paa?"
Seorang laki-laki berumur setengah abad keluar dari reruntuhan. "Mamamu, dia, aah!"
Si gadis berusaha menarik si papa dan berhasil.
"Paa, mana Mama? Tadi di sini?"
Kastara menggeleng panik pada anak perempuannya. "Emma, kamu lihat sendiri tadi papa juga madamin api. Nggak tahu mamamu di mana?"
Kepanikan melanda Emma saat menyadari keberadaan sang mama yang menghilang dari pandangan. Dalam situasi yang kacau balau, tidak ada yang memperhatikan keberadaan Balika, perempuan berusia lebih dari setengah abad. Emma yang kebingungan, berusaha menerjang kayu yang terbakar untuk mencari sang papa.
"Mamaa, di mana, Maaa?"
Tidak ada yang tahu, semua orang sibuk dengan urusan masing-masing. Berusaha keras memadamkan api yang seolah sedang marah. Emma yang panik, mencari sambil menangis. Tidak masalah kalau harta benda habis, yang terpenting adalah nyawa sang mama selamat. Emma menyeruak di antara kerumunan, hampir menabrak seorang anak laki-laki yang menangis histeris. Emma meraupnya dalam gendongan dan membantu mencari orang tuanya.
"Anak siapa ini?!"
Emma menyerahkan anak itu pada sekumpulan perempuan yang sedang membagikan minuman. Setidaknya anak itu aman sebelum menemukan orang tuanya. Ia kembali ke rumahnya yang tidak lagi berbentuk, berusaha mencari sang mama. Dari kejauhan terdengar raungan sirine mobil pemadam yang makin lama makin banyak.
"Syukurlah! Direktur PT. Kalingga menepati janji. Beliau membantu kita."
Gumaman orang-orang itu hanya selintas memasuki telinganya. Emma tidak peduli siapa yang membantu asalkan api bisa padam dengan segera dan tidak ada korban jiwa. Tidak lama beberapa mobil pemadam datang lebih banyak dan berhasil memadamkan api agar tidak menjalar. Emma yang masih belum menemukan sang mama, berteriak kesetanan dan menyeruak di antara kerumunan. Di ujung gang, ada banyak orang yang duduk karena kelelahan bercampur shock. Emma mendatangi kerumanan itu dan berharap menemukan sang mama.
"Mamaaa! Ini Emma, Maa! Maaa!"
"Emma, mama di sini!"
Emma menoleh saat mendengar suara yang lemah menjawab. Ia terpaku menatap seorang laki-laki tinggi dengan kemeja yang tergulung sampai ke siku. Laki-laki itu menggendong Balika dan meletakkannya dengan hati-hati di atas kardus yang sudah dilebarkan. Emma mendekat segera.
"Maa, aku cari kemana-mana." Emma menangis keras, memeluk sang mama.
"Jangan nangis. Mama selamat karena bantuan Pak Direktur."
Emma menoleh ke arah laki-laki yang tadi menolong sang mama. Kali ini laki-laki itu memerintahkan banyak orang untuk mengeavukasi anak-anak dan perempuan.
"Tenda darurat sudah didirikan. Ada dapur umum dan juga bantuan dari rumah sakit. Bawa yang luka, anak-anak dan perempuan ke sana lebih dulu. Utamakan ibu hamil, anak-anak, dan lansia!"
Suara laki-laki itu begitu dalam dan berwibawa. Membuat orang yang mendengar seakan tidak sanggup untuk menolak. Emma masih belum sepenuhnya sadar dari tatapannya yang menerawang saat laki-laki itu mendekat.
"Ini mamamu?"
Emma mengangguk seketika. "Iya, Pak."
"Ayo, kita bawa mamamu ke tenda penampungan!"
Emma bangkit dan mengiringi langkah laki-laki itu menuju tenda darurat. Menatap punggung yang kokoh dengan lengan yang kuat. Menggendong sang mama seakan tanpa beban. Tinggal laki-laki ini diperkirakan 180 sentimeter, membuat Emma yang mempunyai tinggi tubuh 158 layaknya kurcaci.
Bukan sang papa, paman, ataupun pekerja yang menyelamatkan Balika melainkan laki-laki asing yang tampan. Emma tidak mengenalnya, hanya tahu kalau laki-laki ini adalah direktur perusahaan besar.
"Periksa ibu ini dulu. Takut ada kulit yang terbakar."
Balika didudukan di atas terpal plastik. Seorang tenaga medis menghampiri dengan kotak P3K di tangan.
"Terima kasih, Pak. Sudah menyelamatkan saya," ucap Balika dengan terbata.
"Bu, tenang saja. Biar diperiksa."
Saat laki-laki itu berdiri, hampir saja menubruk Emma yang berada di belakangnya. Sebelum Emma terjerembab, lengan yang kokoh merangkul bahu dan pinggangnya.
"Kamu nggak apa-apa?"
Emma menggeleng, wajahnya memanas bukan karena api tapi sentuhan laki-laki ini di tubuhnya. Tidak pernah ada laki-laki yang berdiri dan menyentuh dirinya sedemikian intim. Untung saja wajah Emma penuh jelaga, kalau tidak pasti terlihat memerah seperti kepiting rebus.
"Aku melihat yang kamu lakukan tadi. Hebat, gadis sekecil kamu bisa membantu orang-orang."
"Terima kasih, Pak."
"Untuk apa terima kasih?" Laki-laki itu merogoh saku celana dan memberikan dua bungkus permen. "Makan permen ini biar hati kamu tennag. Rasanya nggak cuma manis tapi juga segar. Sekarang kamu duduk di sini temani mamamu dan sisanya biar kami yang bereskan."
"Iya, Pak."
Laki-laki itu melepaskan cengkeramannya di pinggang Emma dan berlalu bersama beberapa petugas kebakaran. Emma menatapnya hingga sosok tinggi itu menghilang di antara keriuhan. Membuka telapak tangan dan menatap dua bungkus permen jeruk di tangan. Membuka satu bungkus dan memasukkan ke mulut. Campuran rasa asam dan manis yang menyegarkan. Dengan permen di dalam mulut, ia bergegas menghampiri sang mama untuk melihat kondisinya.
"Gimana bisa Mama kepisah sama Papa?"
Balika menggeleng dengan wajah sayu, membiarkan petugas medis membebat kaki dan tangannya yang luka. Untungnya tidak ada luka bakar serius, hanya beberapa goresan dan juga luka berdarah karena terantuk benda tajam.
"Mama nolongin tetangga kita yang lagi hamil dan punya bayi. Sampai lupa sama keselamatan diri sendiri. Saat mau menghindari api, nggak sengaja jatuh ke lubang dan kaki mama keseleo. Untungnya ada Pak Direktur yang melihat dan membantu mama."
Siapa pun nama direktur itu, Emma sangat berterima kasih padanya karena sudah menyelamatkan sang mama. Ia duduk menatap perumahan yang dulunya sangat ramai kini hanya tersisa puing-puing saja. Yang terbakar bukan hanya rumah dan harta benda tapi juga harapan serta hidup para penghuninya. Emma tidak tahu bagaimana usaha keluarganya setelah ini.
Di pabrik makanan kecil itu ada sekitar lima belas orang yang menggantungkan hidup mereka. Belum lagi dua sopir, serta para pekerja lepas yang merupakan pemasok makanan dari warung ke warung. Tidak ada yang tersisa dari pabrik itu, semuanya ludes dilahap api. Tidak ada yang tahu, dari mana api berasal karena mendadak muncul dan membesar karena angin.
"Emma, kamu di sini?"
Sang papa muncul, terlihat kusut masai dan berantakan. Emma menunjuk ke terpal di mana mamanya berbaring.
"Kaki Mama keseleo, Pa."
Emma tidak beranjak saat orang tuanya berbincang. Ia mengedarkan pandangan, mengamati sekitar yang penuh dan ramai. Anak kecil menangis, perempuan hamil mengusap perut mereka dengan wajah bengkak dan memerah karena air mata. Beberapa orang menemukan keluarga dan saling bertangisan.
"Ayo, masak lagi mi yang banyak. Pak Direktur baru saja mengirim mi dan obat-obatan!"
Seorang perempuan bertubuh gempal dan berseragam putih meminta orang menyalakan kompor. Berdus-dus mi instan, popok, serta obat-obatan diturunkan dari mobil. Emma bergegas bangkit untuk membantu mereka.
"Katanya ada yang sengaja membakar area ini," ucap seorang laki-laki yang menggotong kardus berisi air mineral pada temannya yang sibuk membuka kardus mi intan.
"Dari mana kamu tahu? Jangan fitnah."
"Ini bukan fitnah, semua orang tahu kalau wilayah ini ada sengketa. Jangan-jangan sengaja dibakar untuk membangun apartemen. Biasanya kayak gitu."
"Oh, mungkin karena kita nggak mau pindah."
"Bisa jadi, namanya juga berita simpang siur!"
Emma menajamkan pendengaran, antara percaya dan tidak dengan pembicaraan mereka. Ia memang pernah mendengar sedikit masalah penggusuran ini dari orang tuanya tapi tidak tahu menahu kelanjutannya. Apakah benar dibakar oleh orang seperti kata mereka, atau memang murni kecelakaan? Apakah dunia bisnis begitu hitam dan kejam sampai-sampai tidak peduli nyawa orang.
Emma yang selesai membereskan kardus, kali ini membantu anak-anak dan bayi yang tidur di alas seadanya berganti popok. Tidak banyak pakaian yang bisa merekan gunakan, hanya yang menempel di badan itupun sudah rusak dan compang-camping.
"Bapak dan Ibu semua, malam ini tidur di sini dulu. Pekerja saya sedang mengumpulkan selimut dan juga bahan pokok."
Si direktur kembali, berbicara dengan suaranya yang dalam dan menenangkan. Emma mendongak, menatap laki-laki itu di tempatnya bersimpuh. Pandangan mereka bertemu dan laki-laki itu tersenyum padanya. Mengeluarkan sesuatu dari saku celana dan mengulurkan pada Emma.
"Basuh wajahmu dengan air. Jangan sampai mukamu terluka tapi kamu nggak sadar. Seorang gadis harus menjaga wajah cantiknya."
Emma menerima uluran sapu tangan itu dengan tangan gemetar. Meletakkan di hidungnya dan mencium aroma parfum mahal yang maskulin dan menenangkan. Ia bergegas membasuh wajah dan berniat kembali menemui laki-laki itu setelah bersih. Sayangnya, harapannya tidak terkabul. Si direktur menghilang dan tidak pernah kembali.
Bantuan dari PT. Kalingga terus menerus datang dan membuat para pengungsi tidak kelaparan. Petugas medis tersedia, pejabat daerah berdatangan untuk melihat dan semua membicarakan tentang si direktur.
"Kalau Pak Direktur nggak sigap bertindak. Wilayah ini pasti habis terbakar."
"Kenapa Direktur Kalingga bisa ada di sini?"
"Katanya nggak sengaja lewat."
"Pak Lurah percaya?"
"Percaya nggak percaya, kenyataannya beliau membantu kita. Kamu pikir dari mana ada tenda besar, dapur umum, tambahan unit mobil kebakaran, serta tim medis kalau bukan dari beliau?"
Hari itu juga Emma tahu kalau kekayaan dan kekuasaan digunakan dengan benar, ada banyak orang yang terbantu. Hari berganti Minggu dan menjadi bulan, tanpa sadar Emma menanti laki-laki itu kembali. Sayangnya hingga bulan berganti tahun, harapan itu tidak pernah terwujud. Emma patah hati pada saat pertama kali menyukai laki-laki yang baru dikenalnya dalam satu malam
.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro