Orang Mati, serta Sebuah Janji
"Dia yang mati?" pertanyaan itu keluar dari mulut si pemuda tanpa bisa ditahan, telunjuknya mengacung pada polaroid di pangkuan si gadis.
"Iya."
Semuanya meledak dalam diri pemuda itu. Segala perasaan, ingatan, emosi, semua tercampur menjadi satu sebelum kemudian termutilasi menjadi butiran-butiran tak berarti. Amarah, kepedihan, serta ironi mewujud menjadi kehampaan yang amat gelap di sudut pandangan pemuda itu.
Dia tidak pernah berpikir bahwa Senja sedekat ini, begitu dekat dengan ladang jagung.
Dan dia amat menyesal karena mengetahui fakta bahwa Senja tinggal sedekat ini dengannya setelah gadis itu pergi begitu jauh darinya.
"Kamu nggak tahu? Kukira kamu—" mata merah gadis itu mendadak melebar, mulutnya membentuk huruf o seiring dengan pemahaman yang muncul. "Kamu pasti Padang."
Si pemuda kembali terkejut. "Apa? Namaku bukan—"
"Kamu cowok yang suka ngelihatin Senja di ladang jagung belakang."
Suasana kembali hening selama beberapa detik.
"Kok kamu tahu?" pemuda itu berkata setelah menelan gumpalan besar di tenggorokannya.
"Dia punya penyakit bawaan lahir yang akhir-akhir ini jadi makin parah. Dia betulan bed rest dua minggu. Selama itu, aku sering jenguk dia dan dia cerita banyak ke aku, karena cuma itu yang bisa dia lakuin."
Pemuda itu bahkan tak tahu bahwa Senja-nya sakit. Kehampaan itu masih membuatnya mati rasa.
"Katanya tiap sore ada cowok yang ngelihatin dia dari ladang jagung. Katanya cowok itu senyum ke dia. Katanya dia pengen kenalan sama cowok itu, tapi cowok itu nggak pernah ngajak dia buat menepi sebentar atau yang semacem itu."
Napas pemuda itu terengah. Matanya panas oleh entah bawang apa yang ada di dalam kepalanya. Mungkin amarah adalah bawangnya, amarah pada diri sendiri. Atau malu.
Segalanya terjadi dan tidak terjadi karena dirinya sendiri.
"Dia akhirnya nyerah, nggak berharap lagi buat kenalan, tapi dia bilang dia butuh nama buat nyebut cowok itu. Karena cowok itu spesial, cowok itu menutup hari dengan senyuman."
Sura gadis itu melirih, makin gemetar seiring dengan lelehnya air mata di pipi. Pipi si gadis dan si pemuda.
"Cowok itu selalu berdiri di sisi matahari. Dia selalu kelihatan terang. Dia akhirnya selalu nyebut cowok itu Padang. Dia selalu nyebut kamu pakai nama Padang."
Pemuda itu menggeleng-geleng, ngeri akan ironi tersbut. Dia ingin mencabik dadanya sendiri, memarahi diri sendiri karena tak pernah sekalipun berpikir untuk menyapa sampai yang ingin disapa mati.
Beginikah akhirnya? Gadis yang bernyanyi pada senja hari itu selalu bernama Senja bagi sang pemuda, dan pemuda di ladang jagung itu selamanya bernama Padang bagi sang gadis. Begitukah? Begitu saja?
Segalanya tak berarti lagi sekarang.
Senja sakit, lalu mati. Apa lagi yang bisa diharapkan?
"Harusnya kamu sekali aja, ngomong sama dia."
Ya, pemuda itu pun pernah menyuruh dirinya sendiri melakukan itu. Setelah semuanya terlambat. Setelah Senja dibonceng pada malam itu. Setelah Senja tak lagi mengendarai motor sambil bernyanyi melewati jalan setapak yang membelah ladang jagung bapaknya.
Dia pernah mendeklarasikan janji tak terucap pada senja dan Senja, bahwa dia akan meneriaki gadis pengendara motor itu, memintanya berhenti sebentar, sekedar untuk menanyakan nama.
Setelah. Semuanya. Terlambat.
Pemuda itu memejamkan mata. Perasaaannya hancur tak terkira ... tapi dia masih punya janji.
Semuanya tak ada gunanya sekarang. Tak ada lagi yang berarti. Dia terlambat. Senja sudah meninggal.
Janji.
Di tengah kekelaman pikirannya, pemuda itu pun bertanya,
Kita adalah rasa yang tepat di waktu yang salah.
"Boleh aku tahu, siapa namanya?"
Terima kasih sudah membaca :) (kalau ada hehe).
Sesi curcol : Jadi cerita ini udah lama dibikinnya, dari sebelum pandemi wkwk, cuma males publish aja. Cerita ini selalu mengingatkanku pada hari-hari baik, waktu belum ada pandemi, waktu kita masih bisa interaksi dengan bebas sama teman-teman (nggak nyambung sih, tapi ya gitu, lah).
Yah, jadi semoga hikmah (cielah) dan amanat dari cerita ini tersampaikan.
Buat siapa pun yang baca ini, stay safe, ya. Mari nolep bersama wkwk.
Wabillahitaufikwalhidayah, wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Hanuun.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro