Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 24. Membaik

Suasana yang seharusnya berakhir romantis itu kacau karena target yang menjadi tokoh utamanya malah kabur. Teman yang Dikta mintai tolong menyiapkan bunga serta cokelat sebagai sarana pemuda itu menyatakan cinta sampai melongo melihat Gyana malah kabur. Antara lucu, menyebalkan, entahlah, Dikta yang memilih untuk tidak melanjutkan lagunya bangkit untuk mengejar Gyana.

Beruntung gadis yang dikejarnya belum sempat melarikan diri. Gyana tampak tengah mengenakan helm dan siap naik ke atas sepeda motornya.

"Gy, tunggu!" Dikta berdiri di depan kendaraan roda dua milik Gyana itu agar gadis itu tidak bisa kabur.

"Awas! Gue mau pulang."

Dikta malah tertawa geli melihat Gyana yang menunjukkan wajah merah karena malu. "Maaf," ujarnya saat sadar jika gadis di depannya ini bukan seseorang yang bisa dirinya perlakukan seperti gadis lainnya. Gyana spesial, itu menurutnya, meski akan dipandang aneh oleh orang lain, tetapi pemuda itu tidak peduli.

"Gue yang seharusnya minta maaf," cicit gadis itu karena sudah merusak rencana romantis yang Dikta buat untuknya. Namun, jangan salahkan dia yang memang tidak suka dengan suasana romantis juga menjadi tontonan umum seperti tadi. Romantis tidak harus seperti itu.

"Ya udah lupain aja, kamu tunggu sebentar, ya." Dikta mengatakan itu sembari melangkah ke arah kafe, tetapi berhenti dan memutar langkah untuk mengambil kunci sepeda motor milik Gyana.

"Takut kamu kabur," ujarnya dengan kekeh geli lalu melanjutkan langkah. Tidak memedulikan pelototan kesal yang Gyana berikan.

*

Gyana menatap cokelat serta buket bunga lily di tangannya. Dikta tidak mengatakan apa pun saat memberikan semua itu padanya tadi. Dan hal itu entah mengapa lebih terasa nyaman baginya. Kini keduanya tengah duduk di sebuah taman komplek.

"Aku bingung harus mulai dari mana," ujar Dikta yang sejak tadi diam. Gyana yang baru sadar jika ada orang di sampingnya seketika mendongak. Menemukan wajah Dikta yang kini tengah mengarah padanya.

"Apanya yang harus dimulai?" tanya Gyana bingung.

"Hubungan kita." Dikta menunjuk sosok Gyana dan dirinya menggunakan telunjuk secara bergantian.

"Memang harus dibahas terus, ya?" Gyana sendiri merasa jengah dengan pembahasan ini. Kenapa Dikta tidak merasa seperti itu juga?

"Memang kamu nggak butuh kepastian?" Dikta mengernyit bingung karena dia pikir, pemikiran seorang gadis itu lebih rumit.

"Memang apanya lagi yang harus dipastiin?" Gyana merasa tidak lagi ada yang perlu diperjelas. Dia sudah mengatakan cukup, apa itu kurang jelas lagi?

Dikta malah tampak berpikir, jangan sampai ada ketimpangan perasaan lagi di sini. Atau perbedaan persepsi antara dirinya atau pun gadis di sampingnya ini. Tadi tujuannya di kafe itu adalah untuk menyatakan cinta pada Gyana, lalu mereka akan memperjelas hubungan mereka. Namun, karena semuanya kacau, maka dia harus memilih cara lain.

"Aku cuma takut kita akan berbeda pendapat," ujar Dikta serius. Gyana pun mendengarkan dengan serius.

"Aku suka sama kamu, dan kamu suka sama aku?" Gyana mengangguk santai, tetapi langsung salah tingkah saat sadar jika dia terlalu blak-blakan.

Dikta tersenyum lega melihat anggukan kepala itu. "Kamu udah maafin aku untuk semua kesalahan aku di masa lalu?"

Gyana kali ini memgangguk pelan. Memandang sosok Dikta sudah tidak lagi sama. Di matanya, pemuda ini bukan lagi musuh abadi yang harus dibenci.

"Jadi aku bisa bilang ke orang-orang kalau kamu pacar aku?" tanya Dikta hati-hati. Gyana tidak langsung menjawab, gadis itu malah menunjukkan wajah malu.

"Boleh?" tanya Dikta lagi dengan begitu sabar, seolah-olah tengah merayu anak kecil agar mau diajak untuk belajar atau melakukan hal penting lainnya.

Gyana mengangguk pelan, menggigit bibir agar senyum yang sudah muncul itu tidak terlalu terlihat. Jika saja Viko dan Reni ada di sini, Gyana yakin dua temannya itu akan meledeknya habis-habisan karena bersikap menggelikan.

"Kita bakalan lanjutin perjodohan yang dimau orang tua kita?" Dikta tersenyum saat menanyakan itu. Apalagi saat kepala gadis di sampingnya kembali mengangguk.

"Oke," ujar Dikta sembari berdiri. "Sekarang mau langsung pulang atau—"

"Tunggu," ujar Gyana saat ponselnya berdering dan memunculkan nama sang ayah.

"Ya, Yah, kenapa?" tanya gadis itu pada ayahnya di seberang sana setelah mengucapkan salam.

"Pakan ikan?" Gyana mengernyit sembari menatap wajah Dikta yang tengah mengarah padanya. "Iya nanti aku beliin."

"Kenapa?" tanya Dikta setelah Gyana menutup teleponnya.

"Ayah suruh beliin pakan ikan," ujar gadis itu sembari memasukkan ponselnya.

"Ya udah aku yang beliin, kamu tunggu di rumah aja," usul Dikta yang langsung dibalas anggukan kepala oleh Gyana. Gadis itu sepertinya sudah tidak lagi memiliki selera untuk mendebat apa pun yang dikatakan maupun diusulkan oleh Dikta.

*

Rain : Maafkan aku yang nggak kaget karena aku udah bisa nebak hal kayak gini bakalan kejadian.

Balasan yang Gyana dapat dari sahabat dunia mayanya itu setelah menceritakan apa yang dilaluinya hari ini. Tentang statusnya dan Dikta yang sudah bisa dibilang pacaran? Yah, anggaplah seperti itu.

Gyana : Harusnya kamu belaga kaget gitu kek, Rain. Buat aku seneng.

Rain mengirimkan emoticon tawa sebelum mengetikkan pesan berisi kalimat.

Rain : Dari pada kaget, mending kamu ajak aku makan-makan virtual aja.

Gyana tersenyum membaca pesan itu. Andai saja mereka berada di satu kota, sudah Gyana datangi sahabat yang belum ditemuinya ini. Jarang sekali Gyana bisa merasa nyaman dengan seseorang dan sampai bisa menceritakan hal paling pribadi. Mungkin karena Rain ada di dunia maya maka Gyana merasa aman, percaya jika Rain tidak akan mungkin menyebarkan aib serta rahasianya.

Gyana : Kamu datang lah ke Tangerang aja.

Pesan itu tidak terkirim, Rain biasanya mematikan data jika ponselnya dipegang oleh adiknya. Gadis itu pun memutuskan untuk bangkit dari kasur untuk keluar.

*

"Kamu ngapain?" tanya Gunawan bingung melihat sikap putrinya yang menurutnya aneh. Sejak tadi Gyana duduk di ruang tamu dengan ponsel di tangan. Namun, kepala gadis itu terus melongok ke arah luar melalui jendela seolah-olah tengah menunggu kehadiran seseorang.

"Nggak ngapa-ngapain," jawab gadis itu sembari duduk manis. Pura-pura sibuk dengan ponselnya, padahal sebenarnya tengah menunggu kedatangan Dikta.

"Tadi Dikta bilang mampir ke suatu tempat dulu buat beli sesuatu, makanya lama." Gunawan tahu yang sejak tadi dilakukan putrinya adalah menunggu kehadiran pemuda itu.

Gyana yang merasa tertangkap basah sedang melakukan hal konyol hanya bisa diam. Merasa malu, tetapi tidak bisa mendebat karena ayahnya akan tambah mengodanya.

"Tuh dia dateng!"

Gyana langsung melongok jendela, dan berdecap malas pada ayahnya yang kini tertawa geli. Tanpa dijelaskan pun Gunawan sadar jika hubungan Dikta dengan putrinya ini sudah berubah menjadi sesuatu yang lebih spesial. Gunawan sungguh salut dengan Dikta yang tidak pernah menyerah, dan akhirnya mampu menaklukan hati Gyana.

"Itu beneran dateng," ujar ayah Gyana itu lagi dengan sisa tawa gelinya.

Gyana kali ini hanya diam, memilih untuk tidak terpancing godaan sang ayah walaupun dia tahu kini sosok Dikta memang benar-benar datang. Terdengar suara motor yang masuk ke pekarangan kecil rumahnya.

Suara salam memancing bibir Gyana untuk tersungging. Apalagi saat sosok pemuda yang sejak tadi ditunggu kedatangannya kini muncul dari ambang pintu.

"Ada yang nunggu dari tadi ini, Dik." Gunawan bangkit untuk meninggalkan dua anak muda itu.

"Ayah apaan, si," gerutu Gyana yang merasa malu, apalagi Dikta ikut menunjukkan tawa geli.

"Sori lama, tadi aku nyariin kamu ini dulu, katanya lagi pengin." Dikta mengangkat kantung berisi es krim cincau.

Gyana bukannya senang malah tampak mengerutkan kening bingung. Bukan masalah apa yang Dikta bawa, tetapi kalimat yang Dikta pakai itu sedikit aneh. 'Katanya lagi pengin', dia memang sedang menginginkan minuman yang Dikta sebutkan tadi. Namun, tadi dia mengatakan kalimat itu bukan pada Dikta, melainkan pada sahabat dunia maya yang sekalipun belum pernah dilihat wajahnya.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro