Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 21. Canggung

Perjalanan pulang tidak jauh berbeda dengan perjalanan saat berangkat kemarin. Hanya saja, wajah Gyana yang hari itu terlihat ketus, kali ini menunjukkan aura lain.

Gadis itu membuang pandang ke luar jendela bukan karena kesal pada pemuda yang kini duduk di sampingnya untuk mengemudi. Namun, karena lebih ke bingung dan juga canggung. Setelah berbicara dengan ayahnya semalam, Gyana memikirkan satu kesempatan untuk menerima penyesalan yang Dikta berikan.

Sayangnya gadis itu bingung bagaimana caranya untuk berdamai dengan pemuda yang diam-diam terus meliriknya itu sejak mobil mulai melaju.

"Dik, belok ke toko oleh-oleh bentar, ya. Mama mau beli buat dikasih tetangga," ucap Septi yang segera dibalas anggukan kepala oleh Dikta. Pemuda itu pun segera membelokkan mobilnya ke salah satu pusat oleh-oleh yang biasa mamanya datangi jika sedang liburan ke puncak.

"Ayah mau beli sesuatu?" tanya Gyana sembari menoleh ke belakang. Ayahnya dan Om Pram memutuskan untuk tinggal di mobil karena malas ikut repot dengan urusan makanan.

"Kamu beli aja buat camilan di rumah." Gunawan sebenarnya hanya ingin memberi kesempatan Dikta untuk mengikuti Gyana. Dan setelah gadis itu mengangguk, turun, Dikta yang merasa ini kesempatan bagus untuk berbicara dengan Gyana ikut turun.

"Biar aku bawain keranjangnya," ujar pemuda itu saat Gyana berniat mengambil satu keranjang untuk tempat barang yang akan dibeli.

"Kenapa nggak bantuin nyokap aja?" Gyana yang merasa bingung saat berada di dekat Dikta mencoba mengusir pemuda itu. Namun, saat mengedar pandang, sosok Septi tidak ditemukan di mana pun. Keduanya tidak menyadari ibu Dikta yang diam-diam pindah ke toko sebelah untuk memberi mereka kesempatan berbicara.

"Mama udah ngilang." Dikta mengatakan itu sembari tertawa lirih. Bisa menebak apa tujuan membeli oleh-oleh kali ini. Dan beruntung Gyana tidak lagi memberi protesan. Gadis itu melanjutkan langkah dan mulai memilah makanan yang akan dia beli. Dia juga harus membeli oleh-oleh untuk Viko dan juga Reni.

Sepanjang acara berbelanja itu tidak ada yang bersuara. Dikta dan Gyana sebenarnya bingung dari mana harus memulai obrolan. Gyana yang ingin memberi kesempatan, bingung bagaimana caranya mengatakan pada pemuda yang kini terus membuntutinya.

Sementara Dikta, kebingungan bagaimana cara memancing Gyana agar mengatakan satu kesempatan itu kepadanya. Entahlah, keduanya mendadak bodoh dalam waktu yang bersamaan.

Hingga akhirnya kesempatan yang ada hilang begitu saja. Keduanya terus bungkam bahkan setelah mobil melaju dan sampai di Kota Tangerang.

*

'Menurut kamu aku harus gimana?'

Pesan yang Gyana ketikkan untuk sahabat dunia mayanya Rain. Meski belum pernah bertemu langsung, entah kenapa lebih nyaman saat harus membuka rahasianya pada gadis seusianya itu.

Reni dan Viko saja tidak masuk ke daftar sahabat yang akan Gyana jadikan tempat curhat. Sebab keduanya seringnya tidak mengurangi bebannya setelah bercerita, tetapi malah menambah beban karena terus meledek curhatannya.

Rain : Jadi kali ini kamu beneran ngaku suka sama Dikta?

Gyana memang sudah menceritakan apa yang terjadi di vila. Semua hal penting yang sebenarnya membuatnya malu sudah diceritakan pada Rain. Namun, dia tidak mengatakan kalau suka pada Dikta. Hanya saja ada rasa kesal setiap kali mendengar kata Luna.

Gyana : Aku nggak bilang suka dia.

Rain : Tapi kamu cemburu sama Luna.

Jawaban pesan dari Rain begitu cepat masuk. Dan hal itu membuat Gyana berpikir, cemburu?

Gyana : Kata siapa aku cemburu? Aku cuman kesel.

Rain : Kata aku. Dan asal kamu tahu, cemburu dan rasa kesel kamu itu beda tipis.

Gyana kembali merenung, belum mau mengakui jika dirinya cemburu. Padahal sebenarnya dalam hati yang terdalam dia mengakui itu.

Rain : Kalau kamu nggak jujur aku nggak bisa kasih komen apa-apa tentang kebingungan kamu itu. Lagian, kesempatan macam apa yang mau kamu kasih ke Dikta?

Kesempatan macam apa? Kalimat itu terus melintas berulang di kepala Gyana.

Rain : Kamu suka dia, udah ngaku aja Gya.

Gyana memejamkan mata, sebelum akhirnya membalas kembali pesan yang Rain kirim.

Gyana : Kalau aku ngaku suka dia, apa nggak akan malu-maluin?

Rain malah membalas dengan emoticon tawa yang begitu banyak. Bahkan Gyana sampai bingung bagian mananya yang lucu dari pertanyaannya.

Rain : Kamu lucu banget si, Gy, aku pengin nyubit jarak jauh rasanya.

Gyana mau tidak mau tersenyum membaca pesan tersebut. Lalu kembali memikirkan tentang suka dan cemburu yang tadi sahabat onlinenya itu maksud.

Rain : Udah ngaku aja kalau kamu suka dia. Nggak bakalan diketawain kok. Dia kan juga suka kamu dan ngejar kamu.

Gyana : Tapi Luna?

Tentu saja Gyana tidak bisa mengabaikan Luna begitu saja. Apalagi gadis itu memang benar-benar menyukai Dikta. Dan secara tidak langsung karena dirinyalah akhirnya Dikta memanfaatkan gadis itu. Jadi apakah dia harus menyakiti gadis lain untuk mendapatkan seorang Dikta?

Rain : Justru kamu lagi nyelametin Luna dari Dikta yang cuman manfaatin dia. Dikta nggak suka sama Luna tapi jadiin pacar, itu pasti bukan hal menyenangkan untuk Luna juga.

Gyana : Jadi, apa yang harus aku lakuin?

Rain : Samperin Dikta dan bilang cukup, itu kata sandinya, kan?

*

Temui Dikta dan katakana cukup. Tentu saja kalimat itu terlihat simple dan mudah diucapkan. Namun, pada kenyataannya tidak semudah saat diucapkan karena Gyana malah akan selalu menghindar jika sosok Dikta terlihat dari kejauhan. Jangankan berbicara dengan pemuda itu, hanya tidak sengaja bersitatap saja rasanya sudah panas dingin. Gyana sampai bingung dengan apa yang dirasakannya kini.

"Lo kenapa, si, Gy?" tanya Reni yang sudah tidak tahan melihat sikap aneh Gyana. Sejak dua hari ini, temannya itu selalu saja meliarkan pandang saat mereka sedang berjalan di area kampus.

Entah itu saat akan ke kantin, perpustakaan, atau tempat mana pun yang ada di kampus. Dan nanti, tiba-tiba saja gadis itu akan membelokkan langkah secara mendadak entah karena apa.

"Kenapa gimana? Gue baik," jawab Gyana tak acuh. Pura-pura tidak paham dengan apa yang Reni maksud. Padahal dirinya baru saja bertingkah aneh dengan membelokkan kaki secara mendadak. Apalagi alasannya jika bukan karena matanya menangkap gerombolan Dikta di kejauhan sana.

"Kita kan mau ke perpus, ngapain lewat sini!" Reni berhenti sambil mendesis kesal.

"Kan bisa muter lewat kantin." Gyana sungguh berharap Reni tidak akan memperpanjang masalah ini. Meski nyatanya jalan menuju perpustakaan yang benar adalah saat melewati tempat Dikta dan gerombolannya kini tengah duduk.

"Ogah! Lo aja sono." Reni memutar langkahnya menuju jalan yang benar. Gyana yang tidak mungkin melalui jalan sempit itu sendiri memutuskan untuk mengikuti Reni. Berharap Dikta dan teman-teman pemuda itu sudah pergi dari tempatnya. Namun, harapan itu memang seringkali tidak sepaham dengan kenyataan.

"Oh, jadi karena ini." Reni tersenyum jahil saat akhirnya sadar apa hal yang mampu membuat seorang Gyana salah tingkah sekarang.

"Udah, deh, nggak usah banyak komentar, mending percepat langkah!" Gyana setengah menarik Reni yang kini mengikik geli.

Gyana yang sudah merasakan resah terus melangkah sembari menggandeng tangan Reni. Apalagi saat segerombolan pemuda itu mulai terlihat, juga sosok Dikta yang sadar kehadirannya. Gyana memilih untuk melempar pandang ke mana pun asalkan tidak melihat pemuda yang terus saja menyunggingkan senyum ke arahnya itu.

Suara obrolan yang tadi terdengar malah terhenti saat kaki Gyana dan Reni sudah mendekat. Membuat gadis dengan rambut sepanjang bahu itu semakin tidak berani mengangkat kepalanya. Gyana yang ketus dan tidak pernah takut apa pun mendadak seperti anak baru yang minder saat bertemu dengan senior.

"Pada mau ke mana ini?" Entah siapa yang bertanya dan Gyana enggan sekadar menoleh atau pun menjawab.

"Mau ke perpus Kak, permisi, ya." Reni yang menjawab sembari melempar senyum. Gyana yang kesal hanya memilih diam dan terus melangkah masih sambil menyeret tangan Reni.

"Gya nggak nyapa Kak Dikta dulu?" Pertanyaan itu bahkan tidak membuat gadis itu berniat menoleh. Padahal Gya yang kemarin pasti akan melesatkan tatapan tajam pada siapa pun yang berani menggodanya. Kalau sekarang lebih baik dia diam dan terus melangkah agar cepat lepas dari tatapan Dikta yang diyakininya masih terarah kepadanya.

"Sayang!" Akan tetapi, saat suara manja itu terdengar dan Gyana sadar berasal dari siapa, kaki kecil itu berhenti, kepalanya bergerak cepat ke arah Dikta yang kini sudah ada Luna di sampingnya. Gadis itu bergelayut manja di lengan Dikta yang tampak terlihat biasa saja.

"Pamer kemesraan jangan di depan umum dong! Takut ada yang cemburu." Celetukkan itu menyadarkan Gyana dan tahu kalimat itu ditujukan untuk siapa. Maka gadis itu langsung mengayunkan kakinya untuk menuju perpustakaan. Gyana sedang benci dengan perasaan marah yang bahkan mampu membuat matanya kembali berkaca-kaca.

"Gy, tunggu!" Reni mengejar langkah cepat Gyana yang bisa dikatakan seperti ingin berlari.

"Lo ngaku kalau cemburu sama Luna."

"Berisik," ujar Gyana kesal karena semua orang terus saja menanyakan hal itu padanya.

"Jujur aja, deh, udah keliatan banget."

Gyana yang sungguh kesal akhirnya berhenti dan memutar tubuh untuk menatap sosok Reni. "Iya gue cemburu sama Luna dan gue nggak suka mereka bermesaraan di depan umum kayak tadi. Puas lo?"

Reni meringis, sama sekali tidak tersinggung karena Gyana sudah terbiasa menunjukkan sikap seperti ini. "Emm, kayaknya yang puas bukan gue, tapi ...." Gadis itu menunjuk sosok jangkung yang kini berdiri tidak jauh dari mereka.

Dikta sudah mendengar langsung apa yang baru saja Gyana katakan, merasa lega karena gadis ini mengakui perasaanya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro