Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 15. Penguntit

Gyana mencoba untuk tidak memedulikan sosok Dikta yang kini sedang duduk di depan akuarium bersama dengan ayahnya. Entah apa yang sedang pemuda itu rencanakan, Gyana benar-benar tidak peduli. Mengingat kejadian hari ini, sudah mampu menyadarkan gadis itu jika pernyataan suka yang pemuda itu lontarkan semalam adalah kebohongan. Beruntung dia belum terperangkap dan masuk ke jebakan yang Dikta buat.

Kejadian siang tadi adalah bukti jika pemuda ini hanya sedang ingin bermain-main dengannya. Saat dia pergi menjauh, Dikta tidak berniat mengejarnya. Pemuda ini malah dengan pasrah mengikuti keinginan Luna. Dan bisa Gyana lihat bagaimana Dikta yang tidak keberatan saat Luna terus saja bergelayut manja di lengannya. Jika pemuda ini bersungguh-sungguh dengan pernyataan sukanya, bukankah seharusnya tadi dirinya yang pemuda itu kejar? Bukan malah berbalik arah dan berjalan dengan Luna yang menggandeng lengannya. Tidak, tentu saja Gyana tidak sedang cemburu. Dia malah senang jika dua sejoli itu memang benar-benar berpacaran. Dengan begitu, setidaknya dunianya akan tenang tanpa gangguan Dikta.

"Diktanya kok nggak disapa?" ujar sang ayah setelah Gyana masuk, mencium tangannya dan gadis itu tidak melirik sedikit pun ke arah pemuda yang terus menatap wajahnya.

"Aku capek, Yah. Lagian banyak tugas. Gya masuk kamar dulu." Tidak memedulikan ucapan ayahnya tentang Dikta, gadis itu segera masuk ke kamar.

"Kok tumben, Dik. Kemarin kayaknya udah mulai baik?" Pertanyaan itu masih bisa Gyana dengar karena memang belum sepenuhnya menjauh dari ruang tamu.

"Ini salah Dikta, Om. Ada kesalahpahaman tadi." Gyana mendengkus sinis mendengar jawaban itu. Kesalahpahaman katanya, yang benar saja.

*

Rain : Kamu cemburu sama yang namanya Luna, Luna itu?

Gyana mengernyitkan kening saat mendapati balasan dari Rain adalah kalimat tidak terduga semacam itu. Dia memang baru saja menceritakan apa yang terjadi siang tadi. Namun, tentu saja bukan balasan seperti ini yang gadis itu inginkan.

Gyana : Kok cemburu, si, Rain? Enggaklah.

Rain malah mengirim emoticon tertawa sebelum kembali membalas dengan baris kalimat.

Rain : Nggak tahu aku yang salah mengartikan atau gimana. Tapi Bahasa kamu waktu menjelaskan soal Si Ganteng itu memang terkesan kayak orang cemburu, Gy.

Gyana berdecap kesal karena Rain sama saja, senang sekali menggodanya. Bagaimana bisa dia cemburu pada Dikta jika dia tidak memiliki perasaan apa pun terhadap pemuda itu. Jangan sampai Dikta juga memiliki asumsi semacam ini.

Gyana : Nggak ada cemburu-cemburuan. Memangnya aku suka sama dia apa.

Rain : Cuman kamu yang tahu, Gy. Coba aja baca hati kamu dan tanya dia suka sama Dikta apa enggak.

Gyana : Udah, ah, males. Kamu makin ngaco.

Rain : Nggak ngaco, cuman ngasih pendapat menurut sudut pandang aku aja. Kalau enggak gini, deh, kamu besok cari Dikta dan liat pas dia lagi sama Luna, perasaan kamu gimana saat itu. Kamu boleh bohongin aku, tapi jangan hati kamu.

Gyana tampak merenungkan kalimat panjang itu, tetapi langsung menggelengkan kepala saat yakin tidak akan terjadi apa-apa. Baru Gyana akan membalas, Rain sudah mengirim kalimat panjang lagi.

Rain : Dan kalau kamu kesel pas liat itu, berarti secara nggak sengaja hati kamu udah ada nama Diktanya.

Kali ini Gyana berdecap kesal dan memilih mengabaikan kalimat Rain. Tidak untuk direnungkan, tetapi dilupakan. Dia akan baik-baik saja saat nanti melihat Dikta dekat dengan Luna. Karena memang tidak perlu lagi dipertanyakan, dirinya tidak menyukai Dikta sama sekali.

*

Sayangnya keyakinan yang sudah Gyana bangun dalam hatinya berjalan lain dengan kenyataan. Ada sesuatu yang tidak nyaman saat pada akhirnya sosok itu terlihat di depan matanya. Dikta sedang duduk bersama Luna di koridor kampus dengan jarak yang teramat dekat. Bahkan gadis itu tidak segan-segan menjatuhkan kepalanya pada pundak pemuda itu. Dan reaksi Dikta hanya diam, seperti sedang menikmati waktu yang sedang berjalan.

"Mereka beneran pacaran kayaknya." Bisikan itu nyaris membuat Gyana melonjak kaget.

"Lo ngapain, si, Ren?" desis Gyana kesal yang malah ditanggapi kekehan geli oleh sahabatnya itu.

"Lagian lo serius banget ngeliatin mereka. Cemburu, ya?" Reni mencolek dagu Gyana dan tertawa geli saat gadis itu menepisnya dengan tatapan jengkel.

"Nggak usah pada ngaco, deh. Ngapain juga, si, gue cemburu." Gyana memutuskan untuk pergi dari tempat pengintaiannya sebelum Dikta mengetahui keberadaannya. Padahal nyatanya sejak tadi pemuda itu sudah menyadari sosoknya yang berdiri di sana. Pemuda itu bahkan tersenyum untuk wajah kesal yang Gyana berikan.

"Ya siapa tahu, lo udah mulai ada rasa. Eh, malah dateng, si, penganggu," celetuk Reni sembari mengikuti langkah cepat Gyana yang berjalan menuju kelas pertama mereka.

"Nggak usah ngarang, deh. Tadi itu gue cuman mastiin kalau sekarang dia beneran deket sama si Luna, Luna, itu. Jadi mulai sekarang hidup gue bakalan bebas dari gangguan Dikta." Gyana menghempaskan bokongnya di koridor karena kelas pertamanya baru akan dimulai setengah jam lagi.

Reni ikut duduk, lalu memerhatikan wajah sahabatnya. "Yakin? Kalau mereka beneran pacaran, lo bakalan baik-baik aja?"

Gyana tidak menjawab, melainkan hanya melesatkan tatapan penuh peringatan untuk Reni. Dan gadis itu cukup peka pada situasi, maka Reni pun diam dan mengisyaratkan mengunci mulut dengan jarinya.

"Padahal gue lebih rela kalau liat Dikta jadiannya sama lo, dari pada sama cewek menor kayak Luna. Kalian lebih cocok," ujar Reni tiba-tiba, tepatnya sebelum gadis itu masuk ke kelas dan meninggalkan Gyana yang hanya tertegun di tempatnya akibat perkataan Reni.

*

"Gya!"

Gerakan Gyana yang sedang memakai helm terhenti saat mendengar panggilan yang menyerukan namanya. Gadis itu menoleh, dan mendapati seorang pemuda berlari ke arahnya.

"Kenapa, Ndu?" tanya Gyana pada pemuda bernama Pandu yang kini berdiri di depannya.

"Jadi tugas dari Pak Saman mau dikerjain kapan?" Keduanya menjadi satu kelompok untuk mengerjakan tugas dari seorang dosen. Susunan anggota terbentuk dari nama yang dikocok, jadi tidak bisa memilih sendiri. Andai memilih juga Gyana akan bingung akan memilih Viko atau Reni, jadi cara seperti ini lebih bagus jika anggota kelompok hanya berisi dua orang.

"Terserah lo aja, si, gue bisa kapan aja."

"Gimana kalau mulai sekarang aja? Biar cepet kelar." Deadline tugas memang minggu depan, tetapi alangkah baiknya jika diselesaikan sebelum tenggat waktu. Gyana senang karena memiliki patner yang memiliki pemikiran sama.

"Ya udah, boleh. Hari ini kita kumpulin bahannya?"

"Siap," ujar Pandu. "Pakai motor gue aja, nanti pas mau pulang kita ke kampus lagi buat ambil motor lo. Kalau pakai dua motor kayaknya nggak efektif nanti waktunya."

"Oh, gitu, oke, deh." Dan keduanya pun naik ke motor Pandu yang beruntungnya bukan jenis motor besar model anak muda. Jika seperti itu, Gyana tidak mau naik ke motor pemuda itu karena akan begitu repot saat dibonceng nanti.

*

"Gy, lo sadar nggak, si, kalau dari tadi ada yang ngikutin kita?" bisik Pandu tiba-tiba. Pemuda itu melirik ke arah meja yang berada di dekat pintu masuk. Seorang pemuda dengan rambut gondrong terus saja mengawasi tempat mereka duduk.

Gyana yang sedang sibuk dengan laptop di depannya terpaksa mendongak. "Diikutin?" Gadis itu malah tidak menyadarinya sama sekali.

"Iya, dari kita keluar kampus, nyari bahan, sampai ke sini itu cowok gue lihat ada terus." Pandu masih berbisik dan bersikap seolah mereka sedang mengobrolkan hal lain.

Gyana yang mulai paham situasinya, dan juga memiliki satu nama yang mungkin akan menjadi tersangka seketika mengikuti akting Pandu. "Lo bisa sebutin ciri-ciri itu cowok kayak gimana?"

"Lebih tinggi dari gue, dan rambutnya gondrong."

Dikta, nama itu langsung muncul di kepala Gyana. "Sekarang dia di mana?"

"Di meja deket pintu masuk," jawab Pandu polos. Namun, mata pemuda itu melebar saat Gyana tiba-tiba saja berdiri dan menghampiri meja yang dirinya maksud.

Gyana melangkah kesal ke arah meja di mana Dikta kini duduk di sana. Awalnya pemuda itu terlihat terkejut, tetapi selanjutnya memasang senyum menyebalkannya itu seperti biasa. Kali ini Gyana benar-benar muak melihatnya. Bayangan pemuda ini yang sedang duduk mesra dengan seorang Luna membuat darah di kepala Gyana seolah mendidih.

"Lo ngapain, si, sebenernya? Nggak bisa hidup tanpa gangguin gue?"

Dikta bangkit, dan mencoba untuk meraih lengan Gyana agar gadis itu duduk karena kini mereka sedang menjadi tontonan umum.

"Duduk dulu, kamu nggak malu dilihat orang?"

"Gue nggak peduli, yang gue mau lo pergi sekarang!"

Dikta yang takut membuat keributan akhirnya memutuskan untuk pergi dari kafe itu. "Aku pergi, tapi kamu hati-hati."

Gyana tidak menjawab, hanya terus memerhatikan langkah Dikta yang perlahan menjauh dan menghilang di pintu masuk kafe.

"Itu cowok lo?" Pertanyaan yang muncul dari bibir Pandu saat Gyana sudah kembali duduk.

"Amit-amit, bukan."

Pandu terkekeh untuk tanggapan yang Gyana berikan. "Itu Dikta, kan? Senior kampus yang jadi idola. Lo nggak ngidolain dia juga."

"Gue nggak sekurang kerjaan itu," jawab Gyana malas. Berharap Pandu tidak membahas Dikta lebih lagi. Dan sepertinya pemuda itu cukup peka, lalu mereka memilih untuk melanjutkan mengerjakan tugas yang ada di depan mata.

*

Gyana segera mengambil sepeda motornya setelah Pandu mengantarkannya ke kampus. Suasana kampus di sore hari sedikit horor karena sudah tidak terlihat banyak mahasiswa di sana. Hanya ada beberapa orang yang terlihat berlalu lalang, setidaknya itu baik karena Gyana tidak sendiri.

"Sini kunci motornya."

Gyana nyaris melonjak karena terkejut saat sosok tinggi berambut gondrong itu tiba-tiba saja muncul di depannya sembari menyorongkan tangan.

"Lo ngapain, si?" ujar Gyana jengkel sembari meredam jantungnya yang berdebar hebat karena terkejut.

"Aku yakin cowok tadi bakalan langsung ninggalin kamu. Makanya aku nungguin kamu."

"Gue nggak butuh!"

"Sini kuncinya," ujar Dikta keras kepala. "Aku nggak bawa mobil atau pun motor hari ini."

"Terus itu urusan gue?"

Dikta malah tampak menghela napas. "Oke gue terima kalau memang lo nggak mau nerima perasaan gue," ujarnya dengan wajah dingin.

Gyana yang mendengar kalimat bernada lain dari bibir Dikta seketika mematung. Apalagi sebutan aku yang biasa pemuda itu berikan juga sudah menghilang.

"Tapi seenggaknya, gue masih bisa jadi temen lo, kan?" Dikta sengaja tidak memunculkan senyumnya. Pemuda itu memutuskan untuk mengubah cara pendekatannya pada gadis ini.

"Sekarang sini kunci motornya." Dikta nyaris tersenyum saat dengan mudahnya Gyana memberikan kunci motor dari tangannya, dan gadis itu diam mematung sembari memindai wajahnya dengan raut bingung. Sepertinya ini akan berhasil. 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro