Bab 14. Gosip murahan
"Aku sayang sama kamu, Gy, dari dulu. Dan setiap hari bertambah kadarnya."
Gyana terus berusaha untuk melupakan setiap bait kata menyebalkan yang Dikta katakan malam itu. Sudah berlalu dua hari, tetapi kalimat itu terus saja berdengung di kepalanya. Bahkan bagaimana keseriusan yang Dikta tunjukkan pada wajahnya malam itu, masih terekam jelas di memori kepala Gyana.
"Kamu nggak perlu ngasih jawaban apa-apa, juga nggak perlu berubah jadi baik sama aku kalau memang itu susah. Tapi tolong buka sedikit aja celah hati kamu biar aku bisa perlahan masuk ke sana."
Gyana mendengkus sinis saat kalimat lanjutan itu juga teringat. Di mana malam itu, Gyana merasa beruntung karena ayahnya keluar tepat pada waktunya. Sehingga dia bisa langsung kabur dari seorang Dikta. Dan sampai hari ini sosok pemuda itu belum muncul di hadapannya.
"Kok gue ngerasa aneh, ya, sama menghilangnya seorang Dikta." Gumaman dari samping membuyarkan lamunan Gyana tentang kalimat menyebalkan Dikta yang seharusnya dia lupakan, bukan diingat terus seperti ini.
"Menghilang gimana?" Viko yang mulai hari ini sudah kembali beraktifitas seperti biasa menyahut gumaman Reni yang sebenarnya tidak benar-benar berguman dengan nada sekeras itu.
"Gue nggak pernah liat dia loh di kampus." Reni menolah ke arah Viko saat terdengar decapan malas keluar dari bibir pemuda itu.
"Gue aja barusan liat dia di gerbang kampus," kata pemuda itu sembari duduk di samping Gyana yang sejak tadi diam saja sembari pura-pura fokus pada ponselnya.
"Gy." Viko dengan jahil mencolek pipi Gyana. Lalu tergelak saat delikan kesal dia dapat sebagai balasan.
"Lo tumben diem aja, lagi sariawan?" Viko lagi-lagi terkekeh saat gadis di sampingnya itu memutar bola mata malas tanpa mau menyahut dengan kalimat apa pun.
"Apa dia ngindari lo ya, Gy?" Celetukan Reni mengalihkan fokus Viko dan juga Gyana. Keduanya memberikan ekspresi yang berbeda. Viko yang bingung, sementara Gyana mencoba menutupi gugup yang tiba-tiba muncul.
"Ngapain lo nanya gue? Dikta dan kemunculannya bukan urusan gue." Gadis itu mencoba bersikap ketus seperti biasa. Kesal juga kenapa pembahasan soal Dikta harus selalu menjadi topik utama.
"Dia udah bosen kali sama Gya." Viko terkekeh saat mengatakan itu. "Tenang aja, Gy, gue bakalan selalu jadi fans setia lo asalkan dibeliin kuaci," lanjut pemuda itu sembari tergelak.
Gyana hanya berdecap malas, enggan menanggapi kalimat gurauan itu. Entahlah, hatinya sedang tidak baik-baik saja saat ini.
"Tapi bisa jadi, si. Soalnya gue denger dia lagi deket sama satu cewek baru." Reni kembali bersuara. Gyana tidak ingin merasa penasaran, tetapi hatinya bertanya-tanya apakah perkataan Reni benar.
"Lo penasaran nggak sama siapa doi sekarang deket?" Kali ini Reni memasang senyum misterius yang sebenarnya sedang meledek Gya. Gadis itu sadar ada yang berubah dari sosok sahabatnya ini. Sejak tadi Gyana terus gelisah sepanjang pembahasan mengenai Dikta. Dan jika biasanya Gyana akan marah-marah setiap kali nama Dikta disebut, maka kali ini tidak. Gadis itu malah seperti menunjukkan wajah penasaran saat dirinya memberikan informasi jika Dikta sedang dekat dengan gadis lain.
Gyana mendesah kesal untuk perasaannya sendiri, lalu memutuskan untuk bangkit dari meja kantin.
"Loh, Gy! Mau ke mana?" Reni berteriak bingung saat Gyana tiba-tiba saja kabur dari pembahasan tanpa mengatakan apa pun.
"Lo, si, godain dia mulu," ujar Viko sembari mencomot siomay di piring Reni yang masih setengah.
"Ih siapa yang godain, orang itu gosip yang gue denger kok." Reni mencoba membela diri.
"Tapi nada lo kayak lagi ngeledek dia." Viko kembali mencomot siomay di piring Reni, terkekeh tanpa dosa saat tangan si pemiliknya memukul kencang lengannya sembari menarik piringnya menjauh.
"Pelit lo, ah."
"Beli sono!" ketus Reni sembari melahap habis sisa siomaynya sebelum pindah ke mulut Viko. "Eh tapi, Vik, lo ngerasa ada yang aneh nggak, si, sama Gya?"
"Aneh gimana?" Viko mengeluarkan ponselnya untuk bermain game.
"Dia kayak yang beda aja, nggak marah-marah lagi pas kita bahas soal Dikta." Reni memicingkan mata saat memikirkan semua keanehan yang Gyana tunjukkan akhir-akhir ini.
"Perasaan lo aja kali." Viko tidak benar-benar fokus karena sudah tenggelam pada game online-nya. Reni yang menyadari lawan bicaranya tidak lagi fokus pada pembicaraan mereka hanya berdecap malas, dan memilih pergi meninggalkan Viko sendirian di kantin kampus.
*
Gyana mencoba menyibukkan pikirannya dengan pergi ke perpustakaan. Mungkin ada yang bisa dikerjakannya di sana. Lagi pula, ada beberapa hal penting yang harus dikerjakannya. Tugas kuliah, serta deadline novelnya yang ditargetkan selesai bulan ini. Semua itu seharusnya lebih dirinya pikirkan dari pada seorang Dikta yang tidak penting. Dan untuk pengakuan Dikta malam itu, anggap saja sebagai angin lalu. Atau bisa jadi malah sebenarnya pemuda itu sedang berusaha mempermainkannya dengan cara baru. Yah, anggap saja seperti itu dan sekarang seorang Gyana tidak akan mudah terperangkap ke dalam jebakan Dikta.
"Eh lo tahu gosip terbaru dari Kak Dikta?"
Gyana mendesah kesal saat ternyata di mana-mana nama Dikta tetap saja menjadi topik hangat.
"Tahu, lagi deket sama Kak Luna, kan?"
Meski dua gadis itu membicarakan Dikta dengan cara berbisik, tetapi Gyana tetap bisa mendengar karena memang keduanya berdiri tepat di belakangnya.
"Serasi, si, mereka kalau bener jadian. Padahal tadinya gosipnya, kan, Kak Dikta lagi ngejar juniornya."
Gyana yang sudah berniat pergi urung saat mendengar kalimat terakhir salah satu gadis di belakangnya.
"Namanya Gya kalau nggak salah, anak komunikasi, kurang cocok aku bilang kalau sama dia." Keduanya terus mengoceh tanpa menyadari jika orang yang dibicarakan sejak tadi berdiri di belakang mereka.
"Kurang cocoknya?"
"Tingginya timpang banget, gue pernah lihat. Kak Dikta mah cocoknya seperti Luna itu yang punya postur model."
Suara dehaman membuat kedua gadis itu tersentak. Bukan Gyana yang melakukannya, melainkan seorang pemuda yang sejak tadi menjadi topik hangat perbincangan di mana-mana. Kedua gadis itu langsung meringis malu, dan pergi begitu saja. Sementara Gyana yang sadar ada Dikta di sekitarnya memilih untuk ikut pergi, tetapi Dikta malah menghalangi langkahnya.
"Kali ini aku bener-bener nggak tahu kamu di sini," bisik pemuda itu sembari menghalangi Gyana dengan menahan satu lengannya di satu rak, lalu saat Gyana ingin kabur melalui sisi lain, satu lengan Dikta yang lain menjulur di rak satunya. Kini posisi Dikta memerangkap tubuh Gyana pada rak buku. Pemandangan indah dan romantis, kalau ini cerita novel, tetapi sayangnya Gyana tidak suka jenis novel penuh kehaluan semacam itu. Maka dengan cepat gadis itu kabur melalui bawah lengan Dikta dengan cara merunduk. Melihat itu Dikta tertawa geli tanpa suara.
"Aku pengin jelasin sesuatu." Dikta mencoba menahan langkah Gyana dengan meraih lengannya, tetapi segera gadis itu tepis. Dan tanpa bersuara, Gyana melangkah ke luar perpustakaan. Dikta masih mengejar sampai gadis itu menghentikan langkah.
"Inget perjanjian kita," desis Gyana sembari mengedar pandang, takut keberadaannya dengan pemuda ini dilihat oleh yang lain. Dari obrolan kedua gadis di perpustakaan tadi, Gyana baru sadar ternyata dirinya digosipkan banyak orang. Dan gadis itu sama sekali tidak menyukai semua itu.
"Aku cuman mau jelasin soal Luna."
"Sayangnya gue nggak butuh!"
"Aku nggak peduli kamu butuh atau enggak, yang jelas aku nggak mau keliatan kayak cowok brengsek di hadapan kamu!" Baru kali ini Dikta berteriak dan Gyana langsung diam mendengar semua itu.
"Kemarin aku bilang sayang sama kamu dan sekarang muncul berita kayak gini, aku takut cara pandang kamu ke aku semakin buruk," lanjut Dikta mencoba meluruskan apa yang membuatnya khawatir. Tidak mau langkah yang menurutnya sudah mulai membuahkan hasil harus kembali berantakan karena gadis ini salah paham pada gosip murahan yang beredar.
Gyana diam saja, sebenarnya dalam hati kecil juga ingin mengetahui siapa Luna. "Oke, waktu lo tiga menit," ujarnya pada akhirnya.
"Luna itu dulu teman SMA aku sebelum aku pindah ke SMA kamu. Dia dulu memang ngejar-ngejar aku, dan aku pun cukup terkejut saat dia muncul di kampus ini dan langsung menyebarkan gosip yang nggak benar."
Gyana tampak mengembus napas lirih. "Banyak yang bilang kalian cocok, jadi kenapa lo nggak ngejar dia aja?"
"Karena aku sukanya cuman sama kamu," jawab Dikta cepat membuat Gyana tertegun dan mendadak gugup.
"Gue—"
"Dikta!" Fokus keduanya teralih pada seorang gadis muda berparas cantik yang kini tampak berjalan anggun ke arah mereka. Tanpa basa-basi, gadis berambut panjang yang dicat dengan warna cokelat itu memeluk lengan Dikta.
"Apa-apaan, si, Lun!" Dikta langsung menarik lengannya dengan tatapan kesal, tetapi berubah lembut saat matanya beralih ke wajah Gyana yang kini menunjukkan senyum sinis.
"Urusin pacar lo aja dari pada ngurusin cewek nggak penting kayak gue." Setelah mengatakan itu Gyana pergi begitu saja. Mengabaikan panggilan Dikta yang terus meneriakkan namanya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro