Bab 10. Selalu Dikta
"Gya ..., rambut gue," rengek Reni saat mendapati rambutnya yang berantakan karena tertiup angin. Gadis itu menolak untuk mengenakan helm karena bentuk helm yang Gyana bawa sungguh buruk di matanya.
Gyana yang melihat rambut lurus Reni kini bak singa hanya bisa tertawa kecil. "Masih untung cuman rambut lo yang berantakan, gimana kalau otak lo coba." Reni hanya mencibir kesal mendengar penuturan itu. "Lagian tadi udah gue suruh iket. Lo, si, bandel."
"Ih, kalau diiket nanti ngebekas, jadi makin jelek," protes Reni sembari merogoh tasnya untuk mengambil benda wajib yang selalu dibawanya ke mana pun. Apalagi jika bukan conditioner tanpa bilas yang bisa langsung menyulap rambut berantakannya menjadi rapi.
Gyana yang melihat itu hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya. Beruntung dirinya tidak tertular virus cewek ribet ala Reni meski mereka bersahabat.
"Lo kayak mau ngapel aja, yang mau dijenguk juga cuman Viko ini," cibir Gyana sembari melangkah ke arah teras rumah Viko yang terlihat sepi.
"Dia kan punya abang cakep, siapa tahu langsung terpikat pas liat kecantikan gue."
Gyana hanya berdecih, malas menanggapi gadis itu memutuskan untuk memencet bel. Tidak perlu menunggu waktu lama seorang ART keluar untuk menyambut mereka. Dan karena ini bukan pertama kalinya keduanya datang ke rumah ini, maka ART tersebut langsung tahu jika mereka adalah teman Viko.
"Masuk aja langsung, Non, Den Vikonya di atas."
Gyana dan Reni mengangguk sopan. Di antara mereka bertiga Viko memang termasuk yang paling berada. Lihat saja rumah dua lantainya yang sebenarnya tidak bisa dikatakan sangat megah, tetapi juga tidak bisa dibilang biasa jika dibandingkan dengan rumah Gyana. Sementara Reni, gadis itu bukan warga asli Tangerang atau pun Jakarta, asli orang Bandung dan kini tinggal di tempat kos. Namun, di kampungnya gadis itu juga termasuk orang yang berada karena ayahnya adalah pemilik kebun teh yang cukup ternama.
Viko tengah bermain game online di ponselnya saat kedua gadis itu masuk. Terlihat perban kini menempel di beberapa bagian tubuh dan yang paling kentara adalah kakinya yang dipasang gips.
"Gue kira lagi sekarat ni orang." Komentar Reni saat melihat fisik Viko tampak baik, apalagi wajah pemuda itu juga terlihat segar. Hanya kakinya saja yang membuat pemuda itu terlihat seperti orang sakit.
"Lo nggak liat kaki gue?" Viko mengedik ke arah kakinya yang terasa ngilu, lalu meletakkan ponsel ke atas nakas.
"Bingung mau bawain lo apaan." Gyana memilih duduk di ujung ranjang sembari menyorongkan beberapa bungkus kuaci dengan berbagai macam rasa. Camilan itu memang yang menjadi favorit seorang Viko.
"Lo sahabat terbaik gue memang, Gy, tahu aja gue lagi gabut abis." Melihat kuaci adalah satu kesenangan tersendiri untuk Viko. Kebetulan sekali stok kuacinya sedang habis, dan abangnya sejak kemarin tidak mau dimintai tolong untuk membeli.
Reni yang mendengar itu hanya mencibir dan memilih duduk di sofa yang berada di samping jendela. "Abang lo mana?" tanyanya penuh antusias.
"Yang sakit gue ya, bukan abang gue." Viko memprotes kesal sembari membuka bungkus kuacinya.
Gyana hanya menggeleng-gelengkan kepalanya melihat perdebatan itu. "Gue sumpahin saling naksir, loh, ya, kalian berdua kalau berantem terus," celetuknya yang langsung mendapat respon jengkel dari kedua sahabatnya.
Gyana hanya tertawa kecil, lalu memperhatikan kaki Viko yang kini dibungkus gips. "Gimana ceritanya, si, bisa kecelakaan gini?"
"Paling mabok," timpal Reni asal.
"Rese banget si, lo, mending balik deh sono." Viko melempar Reni dengan bantal yang ada di sampingnya. Mengabaikan raut kesal gadis itu, fokus Viko kembali pada Gyana yang masih menunggu jawabannya.
"Gue ngindarin kucing, tapi malah ada got di depan, udah lah nyebur gue ke sana."
Reni langsung tertawa kencang mendengar penjabaran cerita itu. Membayangkan bagaimana Viko yang saat itu jatuh ke got adalah pemandangan lucu yang mengenaskan.
"Sori, sori, nggak maksud ngeledek, tapi pasti lucu banget lo waktu itu." Reni sampai menyeka air mata yang keluar dari sudut matanya saat mengatakan itu.
Gyana juga sebenarnya ingin ikut tertawa, tetapi ditahan saat melihat wajah Viko yang tampak kesal. "Terus ada yang nolongin?"
"Adalah, gue kan orang baik," ujar pemuda itu setengah bangga dan juga kesal dengan apa yang menimpanya.
Obrolan terhenti sejenak saat sesosok pemuda yang nyaris serupa dengan Viko tiba-tiba muncul dengan menenteng nampan berisi minuman dan juga beberapa camilan. Tidak perlu bertanya pemuda yang wajahnya tidak asing itu. Namanya Vino, kakak dari pemuda yang kini terbaring di ranjang. Pemuda yang sejak tadi kemunculannya ditunggu oleh Reni. Dan saat pada akhirnya sosok yang kata Reni tampan itu muncul, gadis itu pun langsung beraksi.
"Duh, Bang Vino, jadi ngerepotin," ujar Reni dengan gesture sok kecantikan yang langsung mendapat cibiran dari dua orang lainnya. Namun, gadis itu seperti biasa, selalu tidak peduli.
"Enggaklah, cuman air doang," sahut pemuda itu sembari melirik sosok Gyana yang kini ada berada tidak jauh dari tempatnya berdiri. "Gyana, ya?"
Gyana mengangguk canggung, "Iya, Bang."
"Lo pacaran nggak, si, sama Dikta sebenarnya?" Pertanyaan yang tentu saja langsung membuat Gyana melongo. Tidak perlu bingung kenapa pemuda ini bisa kenal siapa Dikta karena Vino adalah asdos di kampus tempat Gyana dan lainnya kini menimba ilmu. Dan beberapa kali, pemuda ini pernah Gyana lihat sedang mengobrol dengan Dikta entah untuk urusan apa.
"Bang Vino kok kepo gitu?" Tentu saja bukan Gyana yang menanyakan hal tersebut. Melainkan Reni, gadis itu tampak menunjukkan wajah kesal karena perhatian semua orang terus saja tertuju pada Gyana. Kadang dirinya bingung apa lebihnya Gya jika dibandingkan dengan dirinya?
"Nggak papa, pengin tahu aja, soalnya dia sering liatin Gya dari jauh, seharian ini aja kayak orang gila terus ngeliatin Gya dari jauh."
Gyana mengerjap dengan raut terkejut. Jadi Dikta tadi benar-benar melakukan janjinya? Gadis itu tersenyum dan membuat yang lainnya salah paham.
"Ngapa lo senyum-senyum?" Viko mencolek lengan Gyana dengan satu kakinya yang bebas.
"Ih, apaan, si, siapa yang senyum-senyum?"
"Jadi kalian pacaran? Tadi lagi marahan apa gimana?" Pertanyaan Vino yang belum terjawab itu kembali terdengar.
"Enggak, Bang, saya sama dia nggak pacaran," jawab Gyana apa adanya.
"Musuh bebuyutan iya, tapi nggak mustahil, si, kalau nanti jadi pacar," celetuk Viko dengan gelak lirih.
Gyana nyaris reflek memukul kaki sahabatnya itu tepat di tempat yang sakit. Beruntung tangan gadis itu bisa direm sebelum benar-benar menyentuh gips di kaki Viko.
"Jadi bukan pacar?" ulang Vino seolah ingin memastikan. Gyana menggeleng, dan dua orang lain mulai curiga dengan apa alasan kakak Viko itu terus menanyakan hal tersebut.
"Lo naksir Gyana apa gimana?" Viko yang tidak tahan untuk berkomentar langsung menanyakan hal itu.
"Yah, kalau masih single berarti ada kesempatan." Setelah mengatakan itu Vino keluar sembari melempar senyum ke arah Gyana yang hanya meringis tipis.
"Lo pake pelet apa, si, Gy?" Pertanyaan yang kembali muncul dari bibir Viko, kali ini dengan tawa lirih. Sementara Reni yang keberadaannnya seolah-olah tidak dianggap hanya bisa berdecap kesal. Kini juga tengah berpikir pertanyaan sama dengan yang Viko lontarkan tadi.
"Dikira ikan apa gue makan pelet," jawab Gyana asal sembari bangkit. "Gue balik, ya, lo mau nebeng lagi nggak?" tanyanya pada Reni yang masih menunjukkan wajah kesal.
"Gue naik ojol aja, sono lo balik duluan." Reni membuang muka ke arah jendela kamar yang terbuka.
Gyana yang tahu jika Reni marah padanya untuk satu hal yang tidak masuk akal memilih tidak peduli. Setelah pamit pada Viko, gadis itu langsung meluncur pulang dengan sepeda motornya.
*
Seperti biasa, Gyana selalu memakirkan sepeda motor merahnya di bawah pohon mangga yang kini sedang tidak berbuah. Tempat itu paling sejuk sehingga Si Comel tidak kepanasan. Gerakan Gyana yang tengah melepas helm terhenti saat terdengar ayahnya sedang berbincang dengan seseorang. Gadis itu langsung bersikap waswas saat suara tawa renyah yang familiar itu terdengar.
"Kok telat banget kamu pulangnya, Sayang?" Pertanyaan itu menyentak fokus Gyana. Gadis itu mengernyit dengan raut terkejut saat melihat siapa orang yang kini duduk di samping ayahnya.
"Abis jenguk Viko, Yah. Tadi Gya udah WA ayah, kan, buat izin?" Gyana melepas helm dan segera turun dari motor. Dengan langkah ragu kini mendekati ayahnya untuk mencium punggung tangan orang kesayangannya itu. Tentu saja tidak lupa melesatkan tatapan permusuhan pada pemuda di samping ayahnya yang malah menunjukkan senyum tanpa dosa. Gya sudah siap dengan banyak kalimat protesan yang kini bersarang di kepala. Terpaksa tertahan karena waktunya tidak tepat.
"Ayah yang minta Dikta ke sini," jelas Gunawan tanpa ditanya. Laki-laki itu paham apa arti tatapan yang putrinya lesatkan untuk pemuda di sampingnya ini sekarang.
"Memangnya Ayah mau ngapain manggil dia?" Gyana masih belum melunturkan aura permusuhan. Nyatanya hari bebas tanpa Dikta hanya bertahan sebentar saja.
"Ayah ada pesen akuarium buat ditaruh di ruang tamu, tadi orangnya bilang bisa dianter, tapi barusan telepon katanya yang biasa nganter lagi sakit." Sebenarnya itu hanya alasan, Gunawan sengaja menggunakan ini agar Dikta bisa datang ke rumahnya. Namun, idenya tercetus dari orang tua Dikta saat tadi tanpa sengaja Gunawan menceritakan soal akuarium itu pada Pram.
"Oh," jawaban singkat yang Gyana beri. Lalu gadis itu pamit untuk masuk.
"Kamu temenin Dikta dong, Gy." Ucapan ayahnya mau tidak mau menahan langkah Gyana. Gadis itu dengan gaya dramatis menoleh ke arah ayahnya, seolah-olah takut salah mendengar perintah yang baru saja terucap.
"Kamu temenin Dikta bentar, masak dia sendiri."
"Yah," rengek Gyana dengan nada kesal.
"Ayah dong yang nggak enak sama Dikta kalau dianya sendiri. Lagian Dikta juga nggak tahu tempatnya, kamu kan tahu."
Gyana hanya bisa berdecap kesal sembari memberengutkan wajah. Lalu dengan delikan kesal yang ditujukan untuk Dikta, gadis itu melangkah terlebih dulu ke arah—gadis itu mencari-cari motor besar yang biasa dipakai Dikta, tetapi tidak ada.
"Aku bawa mobil." Bisikan tepat di samping telinganya itu nyaris membuat Gyana melompat karena terkejut. Dan pelaku yang sengaja tengah mengerjainya itu malah tergelak geli.
"Ayo," ujar Dikta santai sembari melangkah terlebih dulu ke arah mobil milik ayahnya yang dipinjamnya khusus untuk memuluskan rencana hari ini.
Gyana hanya bisa berdecak kesal sembari menetralkan suasana hatinya yang mendadak riuh karena aroma Dikta seakan terus menempel di indera penciumannya. Dan kini menimbulkan efek yang sungguh tidak Gyana inginkan pada hatinya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro