Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

2

Hai haii, met pagi menjelang siang semua. Elya datang menyapa kalian nih. Selamat membaca....

Bantu cek tipo ya 🤗

***

Elya memandang wajah lelap Ajeng. Ia mengusap kepala anaknya penuh kasih. Dalam hati, ia merapalkan kata maaf berulang kali pada anaknya itu, karena bagaimanapun, anaklah yang menjadi korban dari perceraian orangtuanya. Elya menundukkan wajahnya dan mengecup kening Ajeng, menaikkan selimut sampai sebatas leher anaknya itu kemudian turun dari ranjang dan keluar dari kamar.

"Ajeng sudah tidur?" tanya Santi ketika melihat Elya keluar dari kamar cucunya.

"Iya Bu," jawab Elya. "Ibu belum tidur?" tanya Elya setelah ia duduk di samping ibunya.

"Ibu belum ngantuk." Santi menggenggam tangan Elya. "Gimana, kamu udah jelasin semuanya sama Ajeng?"

Elya mengangguk, "Iya Bu."

"Terus?" tanya Santi sesaat setelah mendengar jawaban singkat Elya. Ia tau tidak mudah bagi Ajeng untuk menerima perpisahan kedua orangtuanya. Cucunya itu pasti kecewa dan sedih.

"Tadi Ajeng sempat menangis saat tau kalau kami tidak bisa lagi tinggal serumah dengan ayahnya, tapi setelah aku jelasin kalau ia masih bisa bertemu dengan ayahnya, akhirnya dia mengerti juga."

Sebenarnya sudah sejak beberapa hari yang lalu Elya berusaha menjelaskan pelan-pelan pada Ajeng kalau ia dan Raka akan berpisah. Tapi yang namanya anak-anak pasti sedih ketika perpisahan orangtuanya benar-benar terjadi. Bagaimanapun anaknya itu masih kecil dan membutuhkan figur seorang ayah.

Santi menghela napas yang terasa berat, "Syukurlah kalau gitu, semoga saja dengan berjalannya waktu, kesedihan Ajeng makin berkurang juga.

"Amiin, makasih do'nya Bu."

Santi tersenyum, "Kamu yang sabar ya nduk!

"Iya Bu."

"Sudah malem, ibu tidur dulu ya. Kamu juga jangan tidur terlalu malam, Ibu enggak mau kalau sampai kamu sakit." Santi beranjak dari duduknya setelah mendapat anggukan kepala anak sulungnya tersebut.

Elya memandang pintu kamar yang telah menelan tubuh renta Santi. Ia merasa bersalah bukan hanya pada putrinya, tapi juga pada ibunya. Di masa tua yang harusnya berbahagia, wanita sepuh itu harus merasakan kecewa karena rumah tangga salah satu anaknya harus berakhir seperti ini. Belum lagi gunjingan tetangga yang kadang membuat telinga panas, pasti membuat ibunya itu kepikiran. Elya hanya bisa berdo'a, semoga saja semua ini tidak mengganggu kesehatan ibunya, mengingat ibunya itu memiliki riwayat penyakit darah tinggi menahun.

Lagipula bukan kemauan Elya seperti ini. Ia sudah berusaha mempertahankan rumah tangganya, hanya saja jika suatu hubungan telah berbalut dusta dan pengkhianatan apakah masih pantas untuk dipertahankan? Ia rasa hanya akan menambah dosa saja. Belum lagi jika Ajeng melihat orangtuanya tidak akur, pasti hal tersebut akan berefek buruk bagi psikis anaknya itu.

Elya menghela napas dalam,"Semoga saja ini jalan terbaik untuk semua."

Elya bangkit dari duduknya dan berjalan menuju ruang tamu. Ia hanya ingin memastikan kalau pintu dan jendela sudah dikunci. Setelahnya ia berjalan kembali menuju kamar Ajeng, berniat tidur dengan anaknya. Ia tidak tega membiarkan anaknya tidur sendiri.

***

Hari ini Elya begitu lelah. Tapi ia bersyukur usaha toko sembakonya kini semakin ramai. Pelanggannya juga bertambah banyak. Ia memang sudah merintis usaha itu sejak masih bersama Raka dulu. Dan ia begitu bersyukur, di saat ia menyandang status janda, ia memiliki penghasilan untuk menyambung hidupnya dan Ajeng.

Mengenai tempat tinggal, Elya memilih tinggal di rumah ibunya daripada di rumahnya bersama Raka dulu. Rumah itu memang diberikan Raka untuknya sebagai harta gono gini. Akan tetapi Elya enggan menempatinya. Lagipula ibunya tinggal sendiri sejak adiknya-Rima-menikah dan ikut suaminya yang tinggal di Solo. Sedangkan ayahnya sudah meninggal empat tahun yang lalu. Jadi, ibunya pasti sangat kesepian. Oleh karena itu, Elya memilih tinggal bersama ibunya.

"Pukul dua belas kurang sepuluh menit," ucap Elya saat melihat jam yang melingkar di tangan kirinya. Sudah waktunya Ajeng pulang sekolah, jadi ia bersiap untuk menjemput anaknya itu.

"Mbak Vin, aku jemput Ajeng dulu ya," pamit Elya pada Vina, seorang wanita yang bekerja di tokonya. Selain Vina, ada dua orang lainnya---Susi dan Wawan.

"Iya mbk El, hati-hati di jalan."

Elya memacu motornya, membelah jalanan berdebu karena memang sudah hampir dua minggu tidak ada hujan barang sekali pun. Langit seakan masih enggan menumpahkan airnya. Matahari bersinar dengan teriknya, menimbulkan rasa gerah di tubuh Elya.

Lima belas menit berlalu, Elya telah tiba di SD tempat Ajeng menimba ilmu. Memarkirkan motornya, lalu duduk di bawah pohon, tempat di mana ia biasanya menunggu Ajeng.

"Jemput anaknya juga ya Bu?" tanya seorang ibu yang duduk di samping Elya.

"Iya Bu," jawab Elya sambil tersenyum. "Sudah lama nunggu Bu?"

"Udah dari lima belas menit yang lalu Bu, biasanya kan jam duabelas udah pulang ya kok ini udah hampir jam setengah satu belum bubar ya?"

Elya memandang jam yang melingkar di tangan kirinya, duabelas lebih lima belas menit. "Iya ya Bu, biasanya kan jam sepuluh udah pulang. Emang anak ibu kelas berapa?"

"Dua, kalau anak Ibu?"

"Kelas tiga Bu."

Di SD tempat Ajeng bersekolah memang kelas satu, dua dan tiga pulang pukul duabelas, sedangkan kelas empat, lima dan enam pulang pukul satu.

"Mungkin ada acara tambahan Bu, jadi belum pulang," ucap Elya.

Lima menit berlalu, anak-anak berhamburan keluar kelas. Ada yang pulang bersama teman-teman mereka, ada juga yang menunggu jemputan bagi yang rumahnya jauh. Seperti Ajeng yang jarak dari rumah ke sekolah ini lumayan jauh, jadi Elya harus mengantar jemput anaknya itu. Walau agak repot karena ia juga harus bekerja, tapi Elya menjalaninya dengan senang hati. Ia tidak mau kalau anaknya itu sampai merasa tidak diperhatikan olehnya.

"Mari Bu, saya duluan."

"Monggo Bu."

Elya mengedarkan pandangan, Ajeng belum terlihat, padahal jarum jam sudah menunjukkan angka dua belas lebih dua puluh menit. Seketika hatinya merasa cemas. Elya bergegas menuju ruang kelas Ajeng. Ia semakin khawatir saat mendapati ruang tersebut telah kosong.

Saat melihat pak Mardi-penjaga sekolah di SD ini-Elya bergegas mendekat, ia ingin bertanya tentang Ajeng.

"Permisi Pak Di, " sapa Elya ketika sudah berada di hadapan pak Mardi.

"Ehh Bu Elya, mau jemput Ajeng ya?" tanya pak Mardi.

"Iya Pak, tapi kok Ajengnya enggak ada ya? Ruang kelasnya juga udah kosong Pak." Terdengar nada khawatir dari perkataan Elya.

Pak Mardi nampak berpikir. "Oh iya Bu, kelas tiga tadi dipulangkan lebih awal karena Bu Sari-wali kelas Ajeng-ada keperluan. Dan seingat saya juga tadi Ajeng sudah dijemput sama seorang wanita Bu."

"Apa!" Elya begitu terkejut mendengar perkataan pak Mardi barusan. Keringat dingin mulai membasahi tubuhnya. Jantungnya berdebar kencang seakan ingin melompat keluar dari dalam tubuhnya. Matanya pun mulai memanas.

"Si---siapa yang jemput Ajeng tadi Pak?" tanya Elya terbata.

"Waktu saya tanya tadi bilangnya sauadaranya Pak Raka Bu."

"Ehh, Bu Elya enggak apa-apa?" tanya pak Mardi saat melihat tubuh Elya hampir limbung. "Duduk dulu Bu."

Elya menuruti perkataan pak Mardi, saat merasa kakinya gemetar dan tak mampu berdiri lebih lama lagi.

"Ibu mau minum?"

"Enggak usah, terimakasih Pak. Maaf nih udah ngerepotin Bapak."

"Enggak ngerepotin kok Bu."

Setelah dirasa hatinya cukup tenang, Elya pamit pada pak Mardi. Ia berniat mencari Ajeng ke rumah mantan mertuanya. Siapa tau Rani-adik Raka-yang menjemput anaknya itu. Mungkin saja neneknya kangen sama Ajeng.

Hanya saja, Elya tidak habis pikir, baik Raka maupun Rani tidak ada yang menghubunginya kalau akan menjemput Ajeng. Setidaknya mengirim pesan itu sudah cukup untuk Elya, supaya ia tidak khawatir. Bakhan tadi saat ia mencoba menghubungi Raka, mantan suaminya itu tidak mengangkat panggilannya, padahal terlihat jelas kalau sedang online. Sedangkan nomor Rani sedang tidak aktif saat ini.

***

Motor Elya memasuki halaman rumah Fatimah---mantan mertua Elya---yang terlihat bersih dan rapi. Setelah memarkirkan motornya, ia bergegas menuju pintu utama rumah itu dan mengetuknya.

"Assalamu'alaikum."

Setelah menunggu beberapa saat, terdengar jawaban salam dari dalam disusul terbukanya pintu yang ada di depan Elya.

"Mbak Elya, silahkan masuk!" ucap mbok Marni, asisten rumah tangga di rumah mantan mertuanya itu.

"Iya Mbok makasih."

"Duduk dulu Mbak."

Elya mengangguk, "Mbok Marni apa kabar?"

"Alhamdulillah baik, Mbak Elya sendiri gimana kabarnya?"

"Baik juga Mbok, alhamdulillah."

"Kok Mbak Ajeng enggak diajak kemari?"

Elya mengerutkan keningnya, "Bukannya tadi Rani yang jemput Ajeng di sekolah ya Mbok?" Rasa khawatir kembali menyusup ke dalam hati Elya.

"Oh gitu, Mbak Raninya belum pulang sih sampai sekarang."

"Emang Rani lagi pergi ke mana Mbok?"

"Katanya tadi ada keperluan gitu, perginya juga sama Ibu."

"Udah lama perginya?"

"Dari tadi pagi Mbak."

"O gitu, ya udah aku tunggu saja, siapa tau sebentar lagi mereka pulang."

"Mbok buatin minum dulu ya."

"Enggak usah repot, Mbok temenin aku ngobrol aja."

Satu jam berlalu, Elya kembali berusaha menghubungi nomer Raka juga Rani. Akan tetapi kini justru nomer keduanya tidak aktif. Rasa khawatir yang tadi sempat memudar, kini kembali menelusup ke dalam relung hatinya. Bagaimana jika terjadi apa-apa dengan anaknya?

Indera pendengaran Elya menangkap suara deru mobil. Terlihat mobil Rani memasuki halaman rumah. Elya berdiri dan keluar dari rumah, tidak sabar ingin segera memeluk Ajeng. Begitu Rani turun, ia segera menghampirinya.

"Di mana Ajeng Ran?"

Rani tampak bingung, "Mbak Elya, udah la-" belum selesai Rani bicara, Elya sudah memotong ucapannya.

"Ajeng mana?" Elya makin khawatir ketika tidak mendapati siapapun di dalam mobil Rani.

"Ajeng?" tanya Rani bingung.

"Bukannya tadi kamu jemput Ajeng di sekolahnya?" tanya Elya ragu, karena ia sendiri hanya menduga kalau Rani yang menjemput Ajeng tadi.

Rani menggeleng, "Aku dari rumah Pakdhe nganterin ibu Mbak."

Dan jawaban Rani sukses membuat Elya linglung. Ia serasa melayang, tulang-tulang dalam tubuhnya seakan dicabut paksa meninggalkan raganya. Suara Rani dan mbok Marni yang memanggil namanya sayup-sayup tertangkap indera pendengarnya. Ia sempat menggumamkan nama anaknya, sebelum akhirnya kegelapan merenggut kesadarannya.

Ajeng di mana kamu nak?

***

Fyuh, akhirnya selesai juga ngetik part ini.

Salam sayang dariku 💖







Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro