3. Gara-gara Si Idiot
Alma menatap pintu dengan takut, seperti biasa dia meminta tolong ke Bu Dinar. Namun Bu Dinar tak bisa berbuat apapun, dia sendiri bekerja di rumah ini, meski sudah puluhan tahun bekerja dengan Agung sih mafia satu ini, bahkan dia tau kisah cinta Agung dan istrinya yang sudah meninggal, tapi sejak ibu dari Alma, dia selalu bertindak hati-hati karena tak ingin putri semata wayangnya bernasib sama seperti ibunya.
"Alma, Papi bilang buka pintunya!" jerit Agung membuat Alma semakin takut dan bersembunyi di balik tubuh Dinar.
"Bu, gimana ini Alma takut? Pasti papi udah tau deh kejadian menimpa aku hari ini." Meski terlihat cengengesan dan manja, tapi dia takut dengan kemarahan Agung. Papinya kayak singa kelaparan saat marah, coba aja injak ekornya langsung menyala-nyala.
"Lebih baik Non Alma buka pintunya, daripada Tuan Agung semakin marah." Bu Dinar benar, papinya akan marah besar jika diacuhkan seperti patung di luar sana.
Alma berjalan pelan membuka pintu, dia merunduk takut mendapatkan kemarahan Agung. Bulu kudunya sampai merinding begini, ah gini amat sih punya papi mafia, takutnya sampai ke ubun-ubun.
"Papi, mau penjelasanmu tentang yang terjadi hari ini!" ucap Agung tegas, tatapan pria paruh baya ini tampak tajam, meski sudah berumur dia masih terlihat gagah, di luaran sana mungkin banyak yang ingin menjadi istrinya. "Bu Dinar, tolong keluar saya ingin bicara dengan Alma," kata Agung lagi membuat Bu Dinar menurut saja.
Kini hanya tingga mereka berdua di kamar. Tidak akan ada yang membela Alma kali ini, ya seperti diketahui Agung tak akan pernah membela putrinya jika memang bersalah.
"Pi, a- aaaku …." Saking takutnya, dia terbata-bata. Mau mulai dari mana nih? Pasti di mata papinya dia salah dan harus bertanggung jawab.
Agung duduk di sofa kamar Alma, ini bukan pertama kalinya wanita ini berbuat ulah, baru-baru ini dia menabrak pedagang kaki lima, untungnya saat itu ada para bodyguard sehingga Alma tidak berurusan dengan polisi dan sekarang apa? Entah bagaimana lagi agar anak ini mengerti jangan bertingkah sembarangan karena dia anak mafia. Bisa saja dia berurusan dengan anak buah musuhnya, atau parah lagi anak dari musuhnya.
"Alma, kamu kapan bisa dewasa sih? Kamu itu harus bertanggung jawab, Papi nggak akan bebaskan kamu jika urusan ini sampai ke polisi." Dia dengar Alma berurusan dengan pengacara.
"Papi, aku itu nggak salah! Laki-laki itu kok yang masuk ke mobil aku," gumam wanita ini, walau tau ujungnya Agung tak peduli dengan pembelaan recehnya ini.
"Kamu salah dan akan tetap salah. Papi yakin kamu belum minta maaf." Dia kenal betul karakter Alma seperti apa, dia mirip seperti ibunya dulu gengsian setengah mati, mau dibanting kayak apapun ogah dia minta maaf, persis banget nggak ada duanya.
"Ya, memang," jawabnya santai. Namun dia sama sekali tak berani menatap mata Agung, udah serem banget duh, mungkin iblis kalah ngerinya. Sok-sok berani padahal takut bingitz.
"Kalau Papi bicara jangan menunduk, lihat Papi!" geram Agung dengan tatapan tajamnya, entah bagaimana lagi menghukum anaknya, padahal dia sudah berusaha mendidik Alma dengan baik, bahkan Alma tak boleh menyentuh pekerjaan kotornya, tapi dia selalu mengajari Alma menggunakan senjata yang benar, bahkan ilmu bela diri. Ya, itu untuk berjaga-jaga jika ada orang menjahatinya, tidak heran banyak pria takut jadi suaminya, galak minta ampun. Sudah banyak laki-laki yang dijodohkan dengan Alma, termasuk Jovan mundur begitu saja, tadinya dia mengira Jovan akan menerima putrinya, seperti yang dia ketahui ilmu bela diri Jovan tinggi lho, pria itu tak takut dengan siapapun, tapi tak tahu kenapa masih saja ditolak.
Alma mendongakkan kepalanya seketika, dia menelan salivanya dengan susah payah, ah ini sih dia seolah-olah melihat harimau bunting mau lahiran, beuh merinding nih Alma.
"Kali ini kamu harus bertanggung jawab, cari orang itu dan minta maaf dengannya." Alma melotot tak percaya, artinya dia harus menemui pengacara idiot itu, ih malas ah. Niat Alma kan memang sudah tak ingin bertemu dengan Bisma. Lagi pula mereka tak saling kenal, mana bisa Bisma melaporkannya polisi.
"Tap—--"
"Nggak ada tapi-tapian, Papi nggak mau tau kamu harus tanggung jawab atas kesalahan sendiri." Alma menghela napas lelah, semua ini gara-gara pria idiot itu, ngakunya pengacara tapi begonya nggak ketulungan, masa bisa disangka copet sala warga. Sebel ah.
"Papi, kasih waktu kamu sepuluh hari masalah ini harus selesai." Kali ini Agung harus tegas, dia juga tidak memberi bodyguard untuk Alma, dan fasilitas darinya, dia yakin Alma tak mungkin tahan, apalagi sejak kecil Alma sudah hidup enak, semua yang dia inginkan selalu ada, kemana-mana juga dengan mobil." Untuk sementara fasilitas kamu akan Papi tarik sampai masalah ini selesai.
What? Maksud nggak ada salon, gak ada shopping, gak ada hangout, astaga mana bisa Alma, selama ini semua itu teman setianya, karena tidak ada yang berani berteman dengannya, bisa dibilang mereka semua takut.
*
Bisma baru saja tiba di apartemen barunya, masih berantakan karena dia harus ke kantor mengurus beberapa berkas. Pria ini membanting tubuh lelahnya. Dia tersenyum mengingat kejadian hari ini.
Untuk pertama kalinya Bisma bisa merasakan jatuh hati kepada seseorang hanya pada pandangan pertama, ini kedua kalinya mereka saling bertemu. Waktu pertama kali itu sudah lama, tapi Bisma masih ingat kok wajah cantik Alma seakan menghantui kepalanya.
"Alma … nama yang cantik sama seperti orangnya." Meski Alma terlihat galak Bisma tidak berhenti mengaguminya, padahal tadi sempat kesal lantaran Alma menuduhnya copet, tapi ya sudahlah, dia yakin besok wanita itu akan datang kemari.
Tiba-tiba suara bel berbunyi, siapa yang datang selarut ini? Padahal Bisma hari ini lelah sekali dan tak ingin menerima tamu. Dia bangkit dari duduknya membukakan pintu.
"Kamu …."
"Ya, aku!" Bisma kaget atas kedatangan Alma, bukannya dia menyuruh wanita ini datang besok pagi ya, tapi kok tiba-tiba nongol aja. "Minggir! Aku mau lewat." Alma mendorong tubuh Bisma agar bisa masuk ke apartemen pria ini. Gara-gara pria ini dia terpaksa lari dari rumahnya sendiri, bukan diusir sih, tepatnya dia kabur. Karena tidak tahu mau kemana, dia memutuskan ke tempat Bisma. Alma kan nggak punya teman, dia hanya punya bu Dinar, papinya, dan para bodyguard. Beruntung tadi dia tidak ketahuan kabur dari rumah kalau tidak mungkin beneran diusir dia.
"Seharusnya kamu datang besok, nggak perlu malam ini juga." Bisma polos banget loh, ia terlihat sedikit panik, dia tak pernah membawa wanita manapun masuk ke dalam apartemennya, mau saat di Jakarta atau di Paris sekalipun.
"Sekarang bilang apa mau kamu?" Alma menghempaskan tas besar miliknya, dia membawa beberapa pakaian untuk berganti. Tak tahu juga sih sampai kapan dia harus kabur.
"Kenapa? Bukannya lebih cepat akan lebih baik," ucap Alma, semua tulangnya terasa rontok, dia habis melewati ruang bawah tanah tempat jalan keluar rumah, dia nggak mau bego melewati halaman yang penuh dengan penjaga, syukur Alma pintar.
"Bu—- kan itu masalahnya." Bisa sampai gagap, perasaan perempuan di Paris lebih parah dari Alma, tapi kenapa wanita ini mampu membuat hatinya getar-getir. Perasaan ini jadi tak karuan, ah apa beneran ini cinta? Secepat inikah?
"Terus apa?" Alma mendekat sambil berjalan maju membuat Bisma tertegun, dia bahkan sambil berjalan mundur.
"Berhenti! Tolong jangan mendekat." Jika Bisma laki-laki bejat sudah dia santap bibir mungil Alma yang tampak menggoda.
Baru kali ini ada pria nggak mau berada di puncak intens bersamanya, padahal kadang di tempat klub malam banyak loh pengen mendekati, ya cuma bedanya ada pengawal selalu menguntit sehingga tidak ada kebebasan, ada si hidung belang dekat langsung bonyok, nah sekarang dia bebas tapi mendadak miskin. Papinya benar-benar tega membiarkan dia terlantar.
"Sekarang jawab apa yang kamu inginkan?" tanya Alma kemudian menduduki tubuhnya di sofa.
"Aku mau kamu membereskan semua ini, kebetulan aku baru pindah," jawab Bisma, dia hanya modus agar bisa berlama-lama dengan Alma, lumayan loh barang-barang Bisma cukup banyak, dia meminta salah satu temannya untuk mengirim barang penting peninggalan orang tua Bisma. Pria ini malas harus bertemu pamannya hobi judi dan mabuk itu.
"What? Sebanyak ini?" Alma kan nggak pernah membenahi rumah, menyentuh sapu saja tidak tahu. Lha, ini orang menyuruhnya jadi babu. Dasar idiot!
"Sekarang aku udah kasih tau yang harus kamu lakukan, sekarang kamu boleh pulang, dan besok bisa kembali," gumam Bisma sambil membukakan pintu. Namun dia tak tau jika Alma berniat tinggal di sini, kasihan terjebak.
"Hiks … hiks … hiks …." Bisma kaget melihat Alma yang mendadak menangis. Apa yang terjadi? Apa ada yang salah darinya? Oh tidak … suara tangisan Alma semakin kencang, ntar malah dikira dia ngapa-ngapain wanita ini lagi.
"Eh, jangan nangis. Tolong jangan nangis, hukuman yang aku berikan terlalu berat, ya?" Bisma nggak tau aja ini senjata ampuh Alma, parahnya dia malah dengan sengaja memeluk Bisma membuat jantung si pria berdebar-debar,a ih Alma kelakuan suka rada-rada, kasihan bebeb Bisma.
"Aku tuh diusir dari kost hiks, sekarang aku nggak tau mau tinggal di mana? Hiks … kalau aku pergi dari sini, besok kamu bisa dengar wanita diperkosa atau bunuh diri karena terlantar di jalanan. Hiks … boleh ya, aku nginap sini." Alma tidak mau mengatakan jika dia anak mafia bisa-bisa pria ini ketakutan dan bisa kencing dalam celana, hihihi.
"Kamu mau menginap di sini?"
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro