Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

07. Perubahan

Ketika bangun dengan keadaan kepala yang terasa sakit, Angkasa mengerang. Semalam dia baru bisa terlelap ketika jam menunjukkan pukul satu lewat banyak.

Saat pening di kepalanya sedikit mereda, dengan malas dan berusaha sebisa mungkin melawan gaya tarik kasur yang kuat, Angkasa berjalan menuju kamar mandi. Johan masih tengkurap di atas kasurnya sendiri.

Angkasa butuh air dingin untuk menyegarkan pikirannya. Semoga setelah itu dia bisa mengusir ucapan-ucapan Bintang yang terus terngiang tanpa diminta.

Mungkin dia harus menjaga jarak dengan gadis itu.

Tapi, tunggu dulu, untuk apa? Kenapa dia harus menjauh dari Bintang? Memangnya gadis itu salah apa?

Ah, jelas gadis itu salah! Dia telah berani merecoki isi kepala Angkasa. Dan itu bukan hal yang bagus.

Tapi, Bintang tidak bermaksud melakukan itu. Pikiran Angkasa sendiri yang berkhianat. Jadi, gadis itu tidak bersalah.

Angkasa mendengus kesal. Kenapa batinnya terus berdebat tidak jelas seperti ini?

Lupain. Lupain. Lupain. Angkasa terus mengucapkan kata itu dalam hati, bak mantra ajaib. Seakan dia bisa terkena sial jika tidak melakukannya.

Johan masih belum bangun ketika Angkasa keluar dari kamar mandi. Jadi, dia mencoba untuk membangunkan temannya itu atau mereka akan terlambat ke sekolah. "Woy, kebo! Bangun!" ucapnya seraya mengguncang-guncangkan tubuh Johan.

Johan hanya menggumam tak jelas lalu menutup kepalanya dengan bantal, meredam ucapan Angkasa.

Angkasa mulai kehabisan kesabaran. Dia lantas mengambil minyak kayu putih yang disimpan dalam laci mejanya.

Menarik bantal yang menutupi kepala Johan, Angkasa mendekatkan minyak kayu putih itu ke hidung temannya. Seketika Johan bersin-bersin. Angkasa menyeringai.

"Sialan! Jauhin benda terkutuk itu dari gue!" seru Johan kesal. Laki-laki itu seketika terbangun, mengambil posisi duduk. Dia memang memiliki alergi dengan minyak kayu putih. Dan Angkasa selalu menggunakan minyak kayu putih itu untuk mengganggu Johan.

"Abisnya lo susah banget dibangunin," ujar Angkasa cuek. Dia lalu menaruh kembali minyak kayu putih itu ke tempat semula. "Sana mandi!"

Johan mendesah. "Gue harap hari ini libur."

***

Angkasa dan Johan tiba di sekolah pukul tujuh kurang sepuluh menit. Dan alih-alih mengikuti Johan menuju kelas XI IPA 3, Angkasa justru melangkahkan kakinya ke arah lain.

"Woy, lo mau ke mana?" teriak Johan ketika baru menyadari Angkasa tidak lagi berjalan di sampingnya.

"Lo duluan aja!" balas Angkasa yang diimbuhi decakkan sebal oleh Johan.

Angkasa berjalan di koridor dengan tenang. Namun ketenangan itu tidak sampai pada hatinya. Dia resah. Apakah keputusannya ini sudah benar? Apakah hasilnya akan sepadan dengan risikonya?

Karena pikiran yang kacau, Angkasa tidak sadar kakinya sudah sampai di tempat tujuan. Tangannya mengetuk pintu beberapa kali. Dia baru berani masuk ketika seseorang dari dalam ruangan itu mengizinkan.

"Ada apa?"

Angkasa mengambil napas banyak-banyak. Dia menatap laki-laki setengah baya yang tengah sibuk dengan berkas-berkas di tangannya. "Saya mau bicara sebentar, Pa."

Tanpa mengalihkan fokusnya dari dokumen yang tengah dibaca, Surya berkata, "Silakan."

Mendengar respons yang dilontarkan dengan begitu santai, Angkasa menduga Papanya pasti sedang berada dalam mood yang baik. Dia bersyukur atas itu. Semoga ini akan jauh lebih mudah dari yang dibayangkan. "Saya mau ikut lomba graffiti."

Kalimat itu sukses mengacaukan fokus Surya. Dia menatap anak laki-lakinya dengan kening berkerut. "Saya rasa, saya sudah sering bilang kalau saya tidak suka dengan hobby kamu. Itu mengganggu fokus belajar. Jadi, sudah jelas kan jawaban saya apa? Tidak, Asa. Saya tidak mengizinkan."

Angkasa berembus napas berat. "Saya nggak pernah minta apa-apa kan dari Papa? Papa udah terlalu sering menjauhkan saya dari hal-hal yang saya suka. Dan saya nggak pernah protes tentang hal itu. Jadi, tolong, izinkan saya melakukan apa yang saya ingin lakukan. Setidaknya untuk sekali ini aja, Pa."

"Kalau ada sekali, berarti ada kedua kali, ketiga kali, dan seterusnya, sampai kamu nggak bisa fokus belajar."

"Tapi hidup nggak selalu tentang pelajaran, Pa. Kepintaran nggak menjamin kesuksesan."

"Apa kamu sedang mengajari saya? Dengar, Asa, kalau orang pintar saja belum tentu sukses, lalu bagaimana dengan orang bodoh? Apa yang bisa gambar-gambar kamu lakukan untuk kamu? Apa bisa menjamin masa depan kamu?"

"Dan apa Papa pernah, sebentar aja, berpikir bahwa setidaknya saya berhak dapat sedikit kebebasan? Ini hidup saya, Pa. Saya--"

"Itu bukan hanya hidup kamu, itu hidup saya juga! Kamu anak saya, darah daging saya. Jadi, saya berhak ikut campur," potong Surya. "Dan sejak kapan kamu berani melawan saya? Biasanya kamu tidak pernah merengek seperti ini."

Angkasa tertegun. Papanya benar, dia tidak pernah meminta sesuatu sampai sefrustrasi ini.

Ini pertama kalinya dia berjuang untuk hal yang dia suka. Dan semua itu karena ucapan Bintang.

Great, Bintang! Lo berhasil mempengaruhi gue.

Sudah terlambat untuk mundur. Angkasa sudah memulai, jadi dia akan melanjutkan. "Kalau saya dapat nilai seratus di ulangan Math besok, izinkan saya buat ikut lomba itu, Pa."

Lalu tanpa menunggu respons dari Surya, Angkasa berjalan keluar dari ruangan itu.

Mengharapkan nilai seratus di ulangan Matematika adalah salah satu hal yang konyol. Angkasa menyadari itu. Ulangan Biologi kemarin saja dia hanya mendapat nilai delapan puluh lima, lalu apa kabar Matematika? "Bego!" desisnya kepada diri sendiri. Dia bahkan tidak memperhitungkan soal-soal yang berpotensi bikin otak ngebul, yang akan Pak Budi berikan nanti. Apa dia akan bisa menjawabnya?

Tapi, Angkasa tidak menampik jika ada perasaan membuncah dalam dirinya, karena akhirnya dia berani meminta sesuatu pada Papa.

Angkasa tersenyum tips.

***

Seperti biasa, saat bel istirahat berdering, Bintang akan langsung pergi ke kantin untuk mengambil segelas teh hijau dan segelas kopi hitam untuk dibawa ke atap gedung sekolah.

Melan tidak bertanya apa-apa saat teman semejanya itu belakangan tidak makan bersamanya dan entah ke mana perginya gadis itu. Dia tidak berniat mencampuri privasi orang lain. Gadis itu yakin kalau Bintang akan memberitahunya jika dia ingin. Jadi, Melan membiarkan Bintang seperti itu.

Bintang sudah sampai di atap sekolah. Namun dia tidak menemukan siapa-siapa. Angkasa tidak berada di sana seperti biasanya.

Bintang duduk di atas meja bekas yang tidak terpakai di sana. Gadis itu menghela napas panjang. Ke mana Angkasa? Kenapa dia nggak ada di sini? Apa dia sibuk?

Akibat pertanyaan-pertanyaan yang mencuat di kepalanya itu, tanpa sadar Bintang meminum kopi hitam alih-alih teh hijaunya. Sontak saja Bintang menyemburkan minuman itu dari mulutnya. Dia mengernyit. "Kenapa Angkasa suka minuman pahit kayak gini, sih? Apa enaknya?"

Bintang tetap bertahan di sana, berharap Angkasa akan datang meski terlambat. Namun sampai jam istirahatnya habis, tidak ada tanda-tanda kemunculan laki-laki itu. Anehnya, dia merasa kecewa. Padahal jelas-jelas mereka tidak pernah membuat janji untuk bertemu di sini. Jadi wajar saja jika Angkasa tidak datang.

Berembus napas lirih, Bintang turun dari meja yang didudukinya lalu kembali ke dalam kelas. Dua gelas styrofoam yang sejak tadi digenggamnya, dia tinggalkan di sana.

***

Angkasa menginjakkan kaki di atap gedung sekolah setelah bel pulang dideringkan beberapa saat yang lalu.

Matanya melirik dua gelas styrofoam di atas meja. Kemudian otaknya langsung mengaitkan hal itu dengan Bintang.

Bintang pasti datang ke sini saat jam istirahat, seperti biasa, dengan membawa segelas teh hijau untuk gadis itu sendiri dan segelas kopi hitam untuknya.

Mendadak Angkasa merasa bersalah karena tidak berada di sini saat jam istirahat--meskipun sebenarnya itu tidak perlu karena mereka bahkan tidak pernah membuat kesepakatan untuk bertemu di sini.

Angkasa memanfaatkan waktu istirahatnya untuk memelototi angka-angka yang tertulis di buku paket Matematika. Dia sedang berusaha keras agar mendapat nilai sempuran di ulangan harian besok. Tentunya supaya izin dari Papa untuk mengikuti lomba graffiti diberikan kepadanya. Akibat terlalu serius belajar di dalam kelas, jangankan untuk bersantai di atap gedung, dia bahkan tidak memberi asupan nutrisi untuk perutnya.

Angkasa menghela napas panjang. Untuk sesaat dia membiarkan angin di sekitarnya menggelitik tubuh. Sebelum kakinya melangkah lebar-lebar, pulang ke asrama dan kembali tenggelam dalam angka-angka di buku paket Matematika.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro