Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

05. Apa kabar?

Pramius Aldebaran: Ta, bisa kita ketemu sebentar? Saya ada di dekat sekolah kamu.

Bintang menghela napas berat. Apa yang dia lakuin di sini?

Dalam jarak sedekat ini Angkasa dapat melihat wajah pucat Bintang. Karena tak kunjung direspons oleh gadis itu, Angkasa bertanya sekali lagi, "Bintang, kenapa?"

Bintang menyapukan lidah, membasahi bibirnya yang terasa kering. Gadis itu segera memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku rok abu-abunya. "Nggak ada apa-apa," jawabnya. "Eum ... apa kita boleh keluar di jam istirahat?"

Dahi Angkasa berkerut samar. "Nggak boleh. Kenapa emang?"

Seulas senyum yang kentara sekali dipaksakan, tercipta di bibir Bintang. "Oh, nggak boleh, ya."

Angkasa memasukkan alat-alat tulisnya ke dalam tempat pensil. Laki-laki itu berdiri. Tangan kirinya memegang sketchbook dan tempat pensil sekaligus. Sedangkan tangan kanannya dia ulurkan pada Bintang. "Ayo!"

Bintang menatap tangan yang terulur di depannya beberapa saat. Lalu menengadahkan kepalanya pada Angkasa dengan pandangan bertanya.

Angkasa berdecak. "Cepet bangun, jam istirahat hampir habis. Lo mau keluar kan?"

"Katanya nggak boleh keluar?"

"Ikut gue. Ayo!"

Meski ragu, tangan Bintang terulur ke depan, mengenggam tangan Angkasa. Gadis itu berdiri dan mengekor Angkasa tanpa suara.

Bintang menuruni tangga berdua Angkasa. Tangan mereka masih bertautan. Ketika beberapa menit kemudian Angkasa menghentikan langkah, Bintang melakukan hal serupa.

"Tunggu di sini," perintah Angkasa. Laki-laki itu berjalan menjauh. Genggamannya pada tangan Bintang terlepas.

Di kejauhan, Bintang melihat Angkasa terlibat perbincangan serius dengan satpam penjaga gerbang sekolah. Sesekali alis Angkasa berkerut. Dan satpam itu tampak jengah sekaligus khawatir dengan kehadiran Angkasa.

Tidak membutuhkan waktu yang lama sampai Angkasa kembali ke hadapan Bintang. Dia berkata, "Ayo kita keluar."

"Hah?"

Angkasa berdecak. "Jangan buang-buang waktu, Bintang. Ayo!" Lagi-lagi Angkasa menarik lengan Bintang. Mereka kembali berjalan. Kali ini, keluar gerbang sekolah.

"Lo mau ke mana?" tanya Angkasa.

"Gu-gue ...." Bintang tergagap. Dia tidak tahu harus ke mana. Di mana dia harus menemui orang itu?

Bintang celangak-celinguk. Lalu dia tertegun, fokusnya terpatri ke depan. Bahkan dari jaraknya sekarang, dia bisa mengenali siapa sosok yang menduduki bangku kayu panjang di kejauhan sana. Itu dia! "Sa, tolong tunggu di sini sebentar, ya."

Angkasa baru saja ingin mengulangi pertanyaannya. Namun diurungkannya niat itu ketika matanya menangkap sorot memohon dari sepasang mata milik Bintang. Angkasa mengangguk ringan. "Oke. Lo cuman punya waktu sepuluh menit sebelum jam istirahat berakhir."

Bintang tersenyum. "Makasih." Gadis itu lalu berlari menjauh. Dan baru berhenti ketika langkahnya semakin dekat dengan seorang laki-laki yang menduduki bangku di bawah sebuah pohon rindang.

Kemudian Bintang duduk di sebelah laki-laki itu.

Angkasa mengamati semua itu dari kejauhan, dalam diam.

***

Sudah berhari-hari pencariannya berbuah nihil. Tidak ada seorang pun yang bisa dimintai informasi. Tapi, meskipun begitu, toh dia tetap mencari. Bahkan sampai hari terakhirnya di Jakarta, dia tetap memiliki harapan untuk menemukan.

Hasil pencarian itu baru didapat beberapa jam sebelum jadwal pesawat yang akan mengantarnya pulang ke Surabaya lepas landas. Karena itulah, dia terpaksa mengirim pesan singkat dan meminta bertemu di waktu yang sebenarnya tidak tepat.

Dia sudah berkali-kali meyakinkan diri bahwa gadis itu pasti sedang belajar; gadis itu tidak akan datang. Namun dia tetap saja menunggu. Kakinya seolah telah direkatkan dengan tanah yang dia pijak sekarang.

Tidak terhitung berapa kali dia melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya. Dan setiap kali dia mengeceknya, waktu semakin dekat dengan jadwal kepulangannya.

Hampir saja dia menyerah. Nyaris saja dia pergi dari tempat itu. Sebelum matanya menangkap sosok yang berlari ke arahnya.

Dia menghela napas lega. Sebuah senyum lebar terulas di bibirnya.

"Kamu datang," lirihnya ketika gadis itu sampai di depannya.

Demi Tuhan, dia sangat merindukan gadis ini.

Bintang mendudukkan diri di samping Pram. Tangannya kebas. Jantungnya berpacu cepat. Perasaannya tak keruan. "Ada apa?" tanyanya, terdengar lebih dingin dari yang dia harapkan.

Di matanya, Bintang terlihat jauh lebih kurus dari yang terakhir kali dia lihat. Pram menelan ludah. Mengambil napas banyak-banyak sebelum bertanya, "Apa kabar? Kamu kurusan."

"Saya baik," jawab Bintang. Dia menatap Pram. Laki-laki itu memiliki lingkaran hitam di sekitar matanya. Jelas sekali kurang tidur. "Kalau kamu?"

Ada jeda beberapa detik sebelum Pram menjawab, "Setelah hilang tanpa kabar, pindah tanpa bilang, kamu masih perlu nanya kabar saya? Saya jelas nggak baik-baik aja. Tolong, Bita, jangan menghukum saya atas kesalahan yang nggak saya lakukan."

Bintang tidak tahan mendengar suara parau Pram. Rasanya dia ingin menulikan indra pendengarannya, sebentar saja. "Saya nggak ada niatan untuk menghukum kamu, Pram. Saya--"

"Terus kenapa kamu nggak ngasih tau saya kalau kamu pindah ke Jakarta? Saya nyari kamu, Ta," potong Pram, cepat. Seakan suaranya akan hilang jika dia tidak segera mengucapkannya.

Bintang menunduk. "Untuk alasan apa saya harus ngasih tau kamu, Pram?"

Telak. Pram membisu. Tertohok dengan pertanyaan Bintang barusan. Butuh waktu lama untuk laki-laki itu kembali membuka suara. "Apa saya nggak berhak untuk tau hal itu?"

"Maaf," lirih Bintang.

Kemudian keheningan kembali mendominasi.

Bintang mengangkat kepala, menatap Pram. "Sebentar lagi jam istirahat selesai, saya harus kembali ke sekolah."

Pram menghela napas berat. Laki-laki itu membuka tas yang dia letakkan di sampingnya, kemudian mengeluarkan sesuatu dari dalam sana.

Bintang menatap sebuah juklak yang disodorkan oleh Pram. Tangannya terulur menerima. Matanya kembali memandang Pram, kali ini dengan sorot bertanya.

"Itu juklak untuk perlombaan yang akan diadakan saat ulang tahun sekolah. Saya menyarankan supaya ada kompetisi piano. Dan mereka setuju. Jadi, saya harap kamu bisa berpartisipasi."

Mendengar kata pinano, Bintang terkesiap. "Saya nggak akan ikut. Ini, ambil lagi," katanya seraya mengembalikan juklak ke tangan Pram.

"Kenapa?"

"Kamu tau alasannya, Pram!" seru Bintang. Rahangnya mengatup rapat, menahan emosi yang tersulut mendadak hanya karena satu kata; piano.

Pram berembus napas panjang. "Saya nggak nerima penolakan. Kamu simpan juklak ini. Dan tolong, pikirkan lagi, Ta. Saya sangat berharap kamu bisa ikut."

Bintang meremas ujung juklak yang kini kembali berada dalam genggamannya. Perdebatan ini nggak akan berakhir, gumamnya dalam hati. Gadis itu lantas berdiri. "Udah waktunya saya kembali ke sekolah."

Pram ikut bangkit dari duduknya. Dia berdiri menjulang di hadapan Bintang. Lalu tanpa aba-aba, laki-laki itu menarik kepala Bintang hingga mengenai dadanya. "Saya kangen kamu, Ta."

Bintang terkejut. Tubuhnya kaku beberapa saat, sebelum perasaan nyaman menjalar ke setiap sel-sel darahnya. Kemudian gadis itu menyerah. Tubuhnya melemas. Dia membalas pelukan itu.

Setelah semua yang terjadi, kenapa pelukan kamu masih bersinonim dengan kata nyaman, Pram?

***

Kalau ada yang belum tau, juklak (petunjuk pelaksanaan) itu semacam pedoman(?) untuk melaksankan kegiatan/perlombaan. Biasanya isinya tentang waktu kegiatan, cara pelaksanaan kegiatan, anggaran pendaftaran, teknis kegiatan, dan semacamnya. Anak ekskul semacam pramuka/paskibra yang sering ikutan lomba pasti paham deh sama juklak.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro