Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

04. Akhirnya Mengenali

Belakangan Bintang lebih sering menghabiskan waktu di atap gedung sekolah. Entah bagaimana, gambar-gambar yang dibuat Angkasa seperti memiliki daya tarik magis tersendiri untuknya. Dia suka melihat lukisan langit malam itu. Dia juga senang meneliti graffiti buatan laki-laki itu.

Bintang menaiki tangga yang menuju atap dengan langkah riang. Tangannya membawa dua gelas styrofoam berisi teh hijau di kanan dan kopi hitam di kiri---yang belakangan Bintang ketahui adalah minuman favorit Angkasa. Ketika sampai di ujung tangga, matanya menangkap punggung Angkasa. Bintang tersenyum.

Angkasa tampak sedang serius menggambar di sketchbook-nya. Alisnya berkerut samar. Sesekali tangannya meraih penghapus untuk menghilangkan bagian gambar yang dirasa salah. Laki-laki itu terlalu tenggelam dengan kegiatannya hingga tidak menyadari keberadaan Bintang yang menggabungkan diri dengannya.

Baru ketika Bintang menyodorkan segelas kopi hitam yang aromanya menggelitik hidung, Angkasa menoleh. Tangannya terulur menerima. "Trims," katanya. Lalu menyesap minuman tersebut.

"Gambar apa?" tanya Bintang.

"Bukan apa-apa. Cuman sketsa buat graffiti."

Bintang menghela napas. Matanya menatap lukisan langit malam yang tergambar pada tembok di depannya. Satu pertanyaan yang sejak lama bersarang di kepalanya, terucap begitu saja. "Kenapa nggak ada bintang di lukisan langit malam itu, Sa?"

Angkasa berhenti menggambar. Dia menoleh menatap Bintang. Gadis itu tengah memandang ke depan dengan mata disipitkan. Angkasa mengikuti arah pandangan gadis di sampingnya. "Karena begitulah keadaannya."

Bintang mengernyit bingung. Dia menatap Angkasa, tampak tidak puas dengan jawaban yang diberikan laki-laki itu. "Menurut penelitian para Astronom, sekitar 275 juta bintang baru, lahir setiap harinya. Jadi, nggak mungkin banget kalau nggak ada Bintang di langit. Lukisan lo indah, tapi terlalu kelam."

Helaan napas berat lolos begitu saja dari Angkasa. Tangannya kembali menggambar, namun pikirannya tak keruan. "Buat gue, bintang adalah sesuatu yang asing. Mereka nggak pernah ada. Karena nggak pernah ada cahaya dalam hidup gue. Hidup gue terlalu gelap. Terlalu ... hitam."

Bintang terdiam sesaat. Matanya terpatri pada sosok Angkasa. Dia menemukan begitu banyak kemiripan pada diri laki-laki ini. Mencoba mencairkan suasana, Bintang berujar sembari menyeringai, "Tapi, kan, di sebelah lo juga ada Bintang, Sa. Masa Bintang segede gini nggak keliatan, sih?"

Ucapan itu terdengar biasa saja. Namun entah kenapa Angkasa tertegun. Tangannya berhenti memulas gambar yang hampir selesai di sketchbooknya. Dia mengangkat kepala dan menoleh ke samping.

Pandangan mereka bertemu. Kemudian terkunci. Keduanya tidak tahu bagaimana cara memutus kontak mata itu. Yang mereka tahu hanyalah mata-mata itu berkhianat, saling bercerita tanpa seizin pemiliknya. Saling memamerkan luka yang tersimpan rapat lewat pupil masing-masing.

Angkasa kembali tertegun. Dia ingat mata itu. Mata yang juga menyimpan banyak kesakitan. Dia ingat bagaimana sang Pemilik mata pernah berusaha menyudahi hidupnya. "Bintang, apa lo cewek yang ... berniat bunuh diri di atap rumah sakit waktu itu?"

Bintang mengerjapkan mata. Lalu membuang pandangannya dari Angkasa. "Lo masih inget ternyata."

"Lo ...." Angkasa tidak tahu ke mana perginya kata-kata. Sia-sia dia membuka mulut, karena suaranya enggan keluar lebih banyak.

Bintang mengangguk. Kepalanya tertunduk. "Waktu gue dengan lancangnya berdiri di depan ruang kepala yayasan dan ngeliat lo dipukulin, itu sebenarnya gue cuman mau mastiin kalau itu beneran elo. Elo yang pernah ngebuat gue kembali ke garis rasional sehingga gue nggak jadi bunuh diri."

Angkasa menelan ludah susah payah. "Kenapa lo nggak bilang?"

"Bilang apa?" Bintang bertanya bingung. Memangnya apa yang harus dia katakan? Hai, Angkasa, gue cewek yang pernah mau bunuh diri di atap rumah sakit tapi nggak jadi gara-gara sadar kalau kata-kata lo ada benarnya. Sekarang gue masih hidup! Begitu? Yang benar saja!

Melihat Angkasa yang tak kunjung memberi reaksi selain membisu, Bintang kembali membuka suara. "Itulah alasannya kenapa lo nggak perlu khawatir kalau gue bakal nyebarin berita tentang lo yang dipukulin ayah lo. Karena lo juga pegang kartu sial gue. Lo pernah ngeliat gue hampir bunuh diri. Itu juga bukan berita bagus kalau disebarkan."

Angkasa menutup sketchbook-nya. Laki-laki itu kembali menyesap banyak-banyak kopi hitamnya demi mengisi kerongkongannya yang terasa kering. Dia berdeham sebelum berkata, "Ternyata bener kata orang-orang, dunia memang sempit."

Bintang hanya tersenyum kecut. "Gue bego banget, ya, malam itu. Hanya karena sesuatu berakhir, bukan berarti itu sebuah akhir. Hidup harus tetap berjalan."

Angkasa menghela napas. "Semua orang menyimpan lukanya masing-masing, Bintang. Kalau mereka bisa meneruskan hidup, itu bagus. Tapi kalau pun mereka nggak bisa, mereka tetap hidup, sampai mereka jadi kebal terhadap rasa sakit seiring bergulirnya waktu. Dan itu yang gue rasain. Bukan cuman elo, gue juga pernah berniat bunuh diri. Bahkan nggak sekali dua kali. Sering, gue sering ngerasa nggak sanggup melewati ini semua. Rasa sakit itu sangat akrab sama gue sampai-sampai gue nggak bisa ngerasain sakit lagi. Dan gue nyerah. Gue serahin semuanya pada waktu. Kata orang waktu menyembuhkan. Jadi, biar dia yang bekerja. Lo juga bisa ngelakuin itu kalau lo mau."

Bintang terdiam. Mencerna ucapan Angkasa baik-baik. Mereka tengah membuka luka, tapi rasanya tidak begitu buruk. Kau hanya perlu bertemu orang yang mengalami hal serupa untuk merasa dimengerti. Karena mustahil dia mengerti tanpa pernah merasa.

"Gue bakal nyoba untuk percaya waktu," kata Bintang. Gadis itu tersenyum kecil lalu menatap Angkasa. "Senang rasanya ketemu orang yang bernasib sama. Semua ini jadi nggak terlalu buruk. Karena gue tau, bukan cuman gue yang punya hidup sial."

Angkasa mendengus. "Hidup sial bukan berarti nggak bisa bahagia. Untuk orang-orang seperti kita, kebahagiaan bukan didapat, tapi diciptakan." Laki-laki itu kembali membuka sketchbook-nya lalu memperlihatkan karya terbarunya pada Bintang. "Liat, ini salah satu kebahagiaan yang bisa gue ciptakan."

Bintang mencibir. "Lo mau pamer?"

Angkasa nyengir.

Getaran ponsel di dalam saku rok abu-abu milik Bintang membuat gadis itu mengalihkan pandangannya dari Angkasa.

Jari-jari Bintang menjelajah layar ponsel dengan gesit. Gadis itu membuka sebuah pesan yang masuk ke ponselnya.

Pramius Aldebaran: Ta, bisa kita ketemu sebentar? Saya ada di dekat sekolah kamu.

Tubuh Bintang totalitas berubah kaku. Tangannya menggenggam ponsel kelewat erat seakan ponsel itu akan hilang jika dia tidak melakukannya. Matanya menatap layar ponsel tanpa berkedip barang sekali pun.

Angkasa yang menyadari perubahan itu lantas bertanya heran, "Ada apa, Bintang?"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro