Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

03. Terima kasih

Apa pun bisa didapatkan dari Rian; informasi, makanan dan minuman yang dilarang dikonsumsi di asrama, rokok, dll. Jasanya sudah terkenal dan terpercaya seantero sekolah.

Asalkan ada duit, apa pun yang lo mau gue kasih. Itu motto Rian. Dan saat ini dia tengah memberikan jasanya kepada Angkasa; sebuah informasi. "Dia murid baru, pindahan dari Surabaya. Namanya Bintang Ranjana. Kelas XI IPA 2. Lokernya nomer 7. Kamar asramanya nomer 24, dia sekamar sama Melan," paparnya panjang lebar. "Ada lagi yang mau lo tau?"

Angkasa menggeleng. Itu sudah lebih dari cukup. Dia tidak berminat untuk mengetahui yang lebih jauh. Laki-laki itu merogoh saku dan mengeluarkan beberapa lembar uang bergambar proklamator kemerdekaan Indonesia, kemudian dia serahkan pada Rian. "Thanks," katanya sebelum beranjak pergi.

Rian menatap uang dalam genggamannya dalam ketercengangan. "Ini kebanyakan. Woi, Sa!" teriaknya yang sama sekali tidak diindahkan oleh Angkasa. "Ya udahlah. Rejeki anak soleh."

***

"Bita, mau ikut ke kantin nggak?" tawar Melan.

Bintang yang tengah sibuk menyalin tulisan dari papan tulis ke buku catatannya lantas menghentikan aktivitasnya sebentar hanya untuk merespons tawaran Melan. "Lo duluan aja. Nanti gue nyusul."

"Bener nih? Nggak papa gue tinggal?"

"Iyaaa. Udah sana."

Melan menghela napas. "Ya udah gue duluan, ya," katanya sebelum pergi keluar kelas. Cacing-cacing di perutnya sudah berdemo meminta diberi asupan nutrisi.

Bintang menghela napas lega setelah selesai menyalin semua materi pada buku catatannya. Gadis itu berdiri dan segera keluar kelas menuju lokernya untuk menyimpan beberapa buku paket di sana.

Mengernyit, Bintang meneliti bingkisan yang ada di dalam lokernya. Ditutupnya loker tersebut hanya untuk memastikan dia tidak salah membuka loker. Tapi itu memang benar lokernya. Maka demi menjawab pertanyaan yang mencuat di kepalanya, Bintang mengambil bingkisan tersebut.

Sebuah jaket dan beberapa cokelat batangan berukuran jumbo. Oh tunggu, masih ada sebuah kertas yang bertuliskan:

Thanks. Apa ini cukup?

Tiga detik kemudian semuanya menjadi jelas; itu jaket yang dia pinjamkan kepada laki-laki yang ditemuinya kemarin. Sebuah senyum sederhana tercipta begitu saja di bibirnya. Jadi, begini cara dia berterimakasih?

Bintang menaruh jaketnya di dalam loker sebelum menutupnya. Bingkisan berisi cokelat pemberian laki-laki itu berada dalam genggamannya. Lalu tanpa disengaja, matanya menangkap sosok laki-laki yang baru saja keluar dari kelas XI IPA 3.

Itu dia!

Memberanikan diri, Bintang berjalan cepat menghampiri laki-laki itu. "Hei!"

Angkasa yang tengah berbincang dengan Johan lantas menatap gadis yang tiba-tiba berdiri di hadapannya.

Bintang menyodorkan bingkisan yang dibawanya. "Nggak bermaksud nolak, tapi gue punya alergi makanan. Salah satunya cokelat."

Mengernyit, Angkasa melirik bingkisan tersebut sejenak sebelum mengambilnya. "Maaf, gue nggak tau," katanya. "Jadi gimana cara gue berterimakasih?"

Bintang tersenyum simpul. "Nggak perlu gimana-gimana," katanya. "Lupain aja."

Angkasa bergumam dalam hati, Aneh. Biasanya cewek suka cokelat. Kemudian dia tersadar bahwa mulutnya belum sempat berucap terima kasih atas bantuan yang diberikan gadis itu kemarin.  "Thanks, ya,” katanya. Dia lalu mengulurkan tangan. “Gue Angkasa.” Dalam hati dia terkejut sendiri dengan sikapnya yang terkesan welcome pada gadis di depannya. Padahal selama ini dia enggan berurusan dengan cewek. Angkasa berusaha meyakinkan diri, mungkin ini semua karena gadis itu telah membantunya kemarin.

Bintang menjabat tangan Angkasa. “Bintang.”

“Emm... Oh ya, dia Johan, temen gue,” ujar Angkasa seraya menatap Johan yang berdiri di sampingnya.

Johan tersenyum. “Hai, gue Johan. Salam kenal.”

“Hai. Gue Bintang,” kata Bintang seraya menerima uluran tangan Johan beberapa saat. “Kalo gitu gue cabut dulu, ya.”

Angkasa mengangguk. “Sekali lagi makasih, ya.”

Bintang tersenyum simpul. "Sama-sama,” ucapnya sebelum pergi.

Selepas kepergian Bintang, Johan menatap Angkasa dengan seringainya. "Siapa dia? Gebetan lo? Baru kali ini gue ngeliat lo ngasih sesuatu ke cewek,” godanya.

Angkasa berdecak. "Gebetan pala lo peang. Nih, makan cokelatnya!" katanya seraya menyodorkan bingkisan dari tangannya kepada Johan.

Johan belum menyerah. Dia masih dibuat penasaran dengan sosok gadis yang baru saja mengobrol dengan sahabatnya itu. “Seriusan deh, Sa. Dia siapa, sih? Kayaknya gue baru ngeliat dia. Anak baru, ya? Kok lo bisa kenal sama dia? Terus kenapa lo ngasih dia cokelat? Lo suka sama dia? Kalian—”

“Lo nanya apa ngajak berantem, sih?” potong Angkasa. Telinganya panas mendengar rentetan pertanyaan yang diajukan Johan. “Cocok lo jadi wartawan.”

Johan meringis.

***

Sembari membawa nampan berisi makanan dan minuman pesanannya, Bintang berjalan ke arah Melan yang tengah mengobrol dengan beberapa teman sekelas.

"Hai, gue gabung sini, ya," kata Bintang seraya duduk di samping Leana.

Leana menoleh menatap Bintang, kemudian tersenyum.

Melan bertanya, "Lo udah selesai nulisnya?"

Bintang mengangguk. "Udah."

Leana menanggapi, "Nulis apaan?"

"Materi Fisika tadi, yang di papan tulis," jawab Bintang, lalu menengguk air mineralnya.

"Rajin banget, ya, Bita. Nggak kayak temen sebangku gue nih, boro-boro nyatet, pas Pak Heru ngejelasin dia malah molor. Dikira tuh guru lagi nyanyi lagu lullaby apa?" oceh Nara seraya melirik Leana.

Yang dilirik malah cengar-cengir. "Lagian dia ngajar udah kayak orang lagi kumur-kumur, nggak jelas. Bikin gue ngantuk."

Nara menoyor kepala Leana. "Itu sih elo-nya aja yang emang nggak niat ngedengerin."

Bintang terkekeh. Diikuti yang lainnya.

Bintang bersyukur dia bisa cepat beradaptasi dengan lingkungan kelasnya. Sehingga dia tidak merasa kikuk jika bergabung dengan mereka. Terlebih mereka juga sangat welcome padanya.

***

Angkasa naik ke atap gedung sekolah. Matanya menyipit karena sinar matahari begitu cerah di atas sini.

Ketika matanya sudah bisa menyesuaikan dengan suasana yang ada, Angkasa memperhatikan sekeliling, mencari sedikit saja bagian tembok yang bersih, yang belum tersentuh oleh gambar-gambar buatannya. Lesung pipinya terbentuk ketika matanya menemukan bagian tersebut.

Segera saja kakinya melangkah mendekati sudut gedung sebelah kanan. Dia menyingkirkan meja-meja yang tak terpakai ke samping, sedikit. Hanya untuk memberi tangannya ruang untuk mengambil sesuatu yang tersembunyi di balik meja-meja itu. Sebuah cat semprot kini berada dalam genggamannya.

Angkasa lalu merogoh saku celananya, mengeluarkan skinny caps dari dalam sana untuk kemudian dipasangkan dengan cat semprot. Laki-laki itu mendekat ke arah bagian tembok sebelah kanan yang masih memiliki ruang cukup untuk aksinya.

Angkasa menikmati setiap coretan yang dihasilkannya pada dinding. Sesekali keningnya berkerut ketika melihat beberapa kesalahan mikro yang hanya bisa dipahami olehnya sendiri. Sebisa mungkin laki-laki itu memperbaikinya. Ketika lima menit berlalu, Angkasa tampak puas memandang hasil karyanya.

"Lukisan langit malam itu ... apa lo juga yang ngegambar?"

Sebuah suara mengalihkan perhatian Angkasa. Laki-laki itu menoleh dan mendapati matanya menangkap sosok gadis yang kemarin membantunya. "Bintang?"

Bintang melangkah mendekat. Setelah makan bersama teman-teman di kantin, dia memang tidak berniat untuk kembali ke kelas. Gadis itu justru berjalan menuju atap gedung. Dia ingin melihat lagi lukisan langit malam yang tergambar di tembok atap sekolah. Namun dia tidak menduga akan bertemu dengan Angkasa di sini.

Bintang berdiri di samping Angkasa. Menatap throw up yang baru saja dibuat laki-laki di sampingnya. "Gue pernah liat gambar ini," katanya, lalu menatap Angkasa. "Di tembok-tembok pinggir jalan, waktu pertama kali gue datang ke sekolah ini. Jadi, itu buatan lo?"

Angkasa mengangguk sungkan. Kenapa rasanya seperti maling yang tertangkap basah? "Ya, itu keisengan gue."

"Sejak kapan suka bikin graffiti?" tanya Bintang. Gadis itu tersenyum jenaka. "Lo punya jiwa seni, ternyata."

Pertanyaan itu mengejutkan Angkasa. Bukan apa-apa, pasalnya selain Johan dan teman-teman graffitinya, belum pernah ada orang lain yang tertarik dengan hobby-nya yang terbilang merusak kebersihan tembok ini. Biasanya orang lain akan menanggapi dengan negatif.

Entah kenapa Angkasa mengukir lesung pipinya ketika menjawab, "Sejak kelas delapan."

Bintang menunjuk gambar yang baru saja dibuat Angkasa. "Itu bacanya apa, sih?"

"Asa. Nickname gue."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro