Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

02. Jaket

Hari-hari bergulir pergi. Tidak terasa ini adalah hari keempat Bintang di sekolah barunya. Selama itu Bintang belum pernah sekali pun meninggalkan area sekolah atau asrama, meskipun siswa-siswi diizinkan keluar dari area itu sampai jam sembilan malam. Lewat dari jam tersebut maka siap-siap mendapat hukuman.

Sesekali Mama menelepon untuk menanyakan kabar Bintang dan apa yang anak gadisnya butuhkan.

Bintang dan Melan pun semakin akrab. Melan tidak pernah sungkan menemani Bintang atau sekadar membantunya.

Hari ini ketika bel pulang dideringkan, Bintang tidak mengikuti Melan untuk langsung ke asrama. Dia menyuruh Melan untuk pulang lebih dulu. Bintang sempat kesulitan menyakinkan gadis itu bahwa dia baik-baik saja jika pulang sendiri. Toh jarak dari sekolah ke asrama tidak terlalu jauh. Asrama terletak di belakang gedung sekolah. Hanya memakan waktu kurang lebih lima menit untuk mencapai asrama dengan berjalan kaki.

Alasan Bintang tidak segera pulang sebenarnya bukan karena gadis itu berniat mengunjungi perpustakaan seperti yang dia bilang pada Melan. Melainkan dia berniat memastikan sesuatu. Karena tadi Bintang menangkap sosok laki-laki yang tidak asing di matanya.

Bintang sempat kehilangan jejak laki-laki itu. Namun lewat sudut matanya, dia melihat laki-laki itu masuk ke dalam ruang kepala yayasan.

Bintang tidak berniat menjadi penguntit, namun ketika telinganya mendengar suara gaduh dari dalam ruangan tersebut, dia tidak bisa menahan langkahnya untuk mendekat. Bintang bersyukur area ini sepi. Jadi tidak akan ada yang mencurigainya.

Dan di sinilah Bintang, mengintai di samping jendela ruang kepala yayasan.

Aktivitas di dalam ruangan itu sukses membuat Bintang didera kejut. Menutup mulutnya dengan kedua tangan, gadis itu setengah mati berusaha untuk tidak menimbulkan suara apa pun.

***

Ke ruangan saya setelah kegiatan belajar selesai.

Layar ponsel itu meredup ketika Sang Pemilik tidak berniat menyentuhnya lagi setelah membaca sebuah pesan masuk beberapa saat yang lalu. Tangannya menggenggam ponsel kuat-kuat seolah berniat meremukkannya. Rahangnya mengatup rapat. Raut wajahnya seketika mengeras.

Ketika bahunya ditepuk dari samping, genggamannya pada ponsel mengendur. Emosi yang baru saja dia rasakan segera dienyahkan. Dia menoleh dan menatap teman sebangkunya dengan pandangan bertanya.

"Gue futsal dulu ya, Sa," ujar Johan yang sudah berdiri dan menyampirkan tas di bahu sebelah kanannya.

Angkasa mengangguk kaku. "Gue mau langsung ke asrama," katanya seraya merapikan peralatan tulis ke dalam tas. Tangannya meraba kolong meja dan mengeluarkan sebuah kertas dari sana. Sebuah lembar jawaban dari ulangan Biologi terpampang jelas dengan nilai delapan puluh lima.

Ingin rasanya Angkasa meremas kertas itu kuat-kuat lalu membuangnya ke tong sampah. Secara teori, nilai delapan puluh lima tidak rendah-rendah amat. Lulus dari KKM yang hanya mematok nilai 80 saja sudah untung-untungan. Tapi untuk Angkasa, dengan mengantongi nilai itu, dia akan mendapat masalah besar.

Angkasa segera berdiri dan keluar dari kelas yang sudah lumayan sepi karena bel sudah dideringkan beberapa saat yang lalu. Langkah panjang-panjangnya memangkas jarak dari kelas XI IPA 3 ke ruang kepala yayasan hanya dalam hitungan menit.

Ketika mencapai pintu, tanpa ragu Angkasa segera mengetuknya tiga kali.

"Masuk!"

Menelan saliva, tangan Angkasa terulur memutar kenop pintu lalu masuk ke dalam ruangan itu.

Tanpa diperintah, Angkasa duduk di depan pria yang mengenakan jas hitam. Mata pria itu menatap Angkasa intens dan penuh intimidasi.

Tangan pria itu terulur, meminta sesuatu tanpa mengucapkannya.

Angkasa menyerahkan kertas lembar jawaban yang sedari tadi dia genggam kuat.

Pria itu menerima kertas tersebut tanpa mengalihkan perhatiannya pada Angkasa. Karena tanpa melihat pun, dia sudah menerima laporan tentang nilai yang didapat putra bungsunya. "Di ulangan kemarin kamu hanya dapat nilai sembilan puluh. Saya pikir kamu akan memperbaikinya di ulangan selanjutnya. Tapi kamu tidak pernah berubah. Kamu selalu main-main dengan yang namanya pelajaran."

Pria itu berdiri. Lalu melepas gesper yang sedari tadi melilit pinggangnya. "Berdiri!"

Angkasa sedikit terlonjak ketika Papanya memukul meja dengan gesper dan menimbulkan bunyi yang memekakkan telinga. Dia sontak berdiri.

Ketika Papanya mendekat, tanpa aba-aba karena sudah paham dengan perintah lewat sorot mata Papanya, Angkasa membuka kemeja putihnya berikut kaos polos yang melindungi tubuhnya.

Angkasa meringis. Matanya terpejam ketika gesper itu menyentuh kulit punggungnya dengan keras. Berkali-kali. Tanpa ampun. Rahangnya mengatup rapat, berusaha untuk tidak mengeluarkan suara sedikit pun. Meski rasanya ingin sekali dia berteriak marah. Ingin sekali dia mengaduh sakit. Namun dia tahu semua itu tidak akan ada gunanya.

Ini bukan kali pertama Angkasa mendapat perlakuan buruk dari Papanya. Semenjak kematian kakaknya, hidup Angkasa tidak pernah sama lagi. Impian yang diharapkan kedua orangtuanya untuk Samudera seolah dilemparkan begitu saja kepada Angkasa. Tanpa pernah peduli apa yang benar-benar Angkasa inginkan. Tanpa pernah mau mendengar apa yang Angkasa sukai dan sebaliknya. Tanpa pernah mau melihat apa yang Angkasa impikan.

Sungguh, Angkasa tidak sepintar itu sehingga pantas menggantikan posisi Samudera. Angkasa dan Samudera begitu kontras berbeda. Sekuat apa pun Angkasa mencoba, nyatanya dia tidak bisa menyamai Samudera. Apa pun yang dia lakukan tidak pernah cukup untuk berdiri di tempat Samudera.

Perlahan Angkasa membuka matanya ketika gesper itu tidak lagi menyakiti punggungnya. Dia menatap Papanya dengan datar. “Papa udah selesai?” tanyanya dingin.

Angkasa segera memakai kembali kemeja putihnya tanpa dilapisi kaos polos seperti sebelumnya. Kaos polos itu kini hanya berada di genggamannya. Lalu tanpa permisi, kakinya melangkah lebar-lebar mencapai daun pintu.

Angkasa terkejut ketika mendapati seorang gadis berdiri di depan pintu dengan wajah pias. Buru-buru dia menutup pintu. "Sejak kapan lo di sini?" tanyanya seraya memperhatikan sekeliling.

Bintang tidak tahu harus menjawab apa. Jadi ketika Angkasa menarik lengannya secara paksa dan menyeretnya ke tempat lain, gadis itu tidak melawan. Dia pasrah mengikuti langkah kaki laki-laki itu yang berjalan lebar-lebar tanpa memedulikan keadaan Bintang yang kesusahan menyejajarkan langkah dengannya.

Angkasa berhenti tiba-tiba hingga Bintang nyaris menabrak punggungnya. Laki-laki itu mengatupkan rahangnya lalu bertanya, "Apa yang lo lakuin di sana? Apa aja yang lo liat?”

Bintang menelan ludah. Alih-alih menjawab pertanyaan yang diajukan laki-laki di hadapannya, dia balik bertanya cemas, “Lo baik-baik aja?” Dilihat dari ekspresinya, laki-laki itu pasti tengah menahan sakit.

Untuk sesaat Angkasa terkejut. Gadis itu menatapnya dengan kekhawatiran yang tampak jelas di mata. Berarti dia tahu apa yang barusan terjadi. “Denger, kalo ada yang lo liat di dalam sana tadi, lebih baik lo diem. Sekali aja lo buka mulut, hidup lo nggak akan aman di sini!"

Tidak ada tanggapan dari Bintang. Gadis itu menunduk dan menggigit bibir bagian bawahnya.

Mengembuskan napas kasar, Angkasa berkata, "Lupain semua itu."

Bintang mendongak, memberanikan diri menatap kedua manik mata laki-laki di hadapannya.

"Gue harap cukup sampai di sini aja urusan kita." Setelah mengucapkan kalimat itu dengan lugas, Angkasa berbalik dan meninggalkan Bintang di tempatnya.

"Hei, tunggu!"

Menghentikan langkah, Angkasa menoleh malas. Dia menatap Bintang dengan ekspresi Ada-apa-lagi?

Bintang melepas jaket hijau yang sedari tadi melekat pada tubuhnya. Gadis itu lalu melemparkan pakaian hangat tersebut kepada Angkasa. Dan dengan sigap laki-laki itu menangkapnya.

"Lo pasti nggak mau orang lain ngeliat bercak merah di kemeja putih lo," kata Bintang. "Itu jaket kesayangan gue. Jadi tolong jaga baik-baik."

Meneliti jaket tersebut, Angkasa mengernyit. Ukuran jaket itu kekecilan untuk laki-laki sepertinya yang memiliki postur tubuh tinggi ideal. Dan jaket seperti ini sangat identik dengan cewek. Pasti akan sangat aneh jika dia memakainya. Tapi gadis itu bilang ada bercak merah di kemejanya yang Angkasa yakini itu adalah noda darah karya gesper Papanya. Jadi tanpa berpikir lebih lanjut lagi, Angkasa memakainya. Jaket hijau milik Bintang melekat ketat pada tubuh laki-laki itu.

Angkasa mengalihkan fokusnya ke depan. Tapi sudah tidak ada siapa-siapa lagi di sana. Bintang sudah pergi. Hanya terisa Angkasa dan ucapan terima kasihnya yang tertahan di tenggorokan, belum sempat diucapkan.

***

Johan menaiki tangga dua-dua sekaligus. Ketika tiba di depan kamar asrama, tangannya terulur membuka kenop pintu. Napasnya terengah dan matanya berusaha menyesuaikan diri dengan suasana kamar yang memiliki penerangan minim.

Johan masih belum berhenti merutuki diri sendiri yang lupa membawa seragam futsal. Gerutuannya terhenti ketika dia terdengar erangan dan suara 'aduh' dari kamar mandi. Dia segera menuju ke sana.

Pemandangan pertama yang tertangkap matanya adalah sebuah punggung yang memar dan berdarah. Sang Pemilik punggung tengah berusaha mengobati lukanya. Seketika Johan menahan napas. Meski itu adalah pemandangan yang biasa bagi Johan dan bukan pertama kali dia menyaksikannya, laki-laki itu tetap merasa ngeri dan cemas. Dia tahu dengan pasti apa penyebabnya.

Johan mengambil kapas yang telah diberi alkohol dari tangan Angkasa. "Biar gue yang ngobatin."

Angkasa menoleh. Terkejut mendapati teman sekamar asramanya tiba-tiba berada di belakangnya. "Katanya mau futsal?"

Johan menegapkan punggung Angkasa agar menghadap ke arahnya. "Itu bisa ditunda," katanya seraya mengobati luka di punggung Angkasa. Sesekali terdengar kata ‘aduh’ atau ‘aww’ yang keluar dari mulut Angkasa. “Tahan sebentar.”

Dua menit kemudian Johan menjauhkan tangannya dari punggung Angkasa. "Udah beres," katanya. Laki-laki itu segera keluar dari kamar mandi untuk membereskan kotak P3K dan menyimpannya di tempat semula.

"Trims," gumam Angkasa. Dia bangkit menyusul Johan.

Johan mengangguk. Dia menatap Angkasa prihatin. "Bokap lo kenapa lagi sih, Sa?"

Menghela napas panjang, Angkasa duduk di ranjangnya. "Biasa. Nilai ulangan gue rendah," jawabnya ringan. "Lo kenapa tiba-tiba ada di sini?"

Johan mengedikkan dagunya ke arah kaos futsal yang tergeletak di atas kasurnya. “Seragam gue ketinggalan.”

Angkasa menanggapinya dengan ‘Ooh’an.

"Ya udah, mendingan sekarang lo istirahat. Tidurnya telungkup, Sa," ucap Johan sembari menepuk pundak Angkasa pelan. "Gue pergi futsal dulu. Jangan lupa minum obat."

Angkasa mendengus. "Lo udah kayak emak-emak, Jo."

Cengiran Johan terpampang beberapa saat sebelum tertutup pintu.

Selepas kepergian Johan, Angkasa merebahkan badan ke atas kasur dengan posisi tengkurap. Pikirannya terbagi ke mana-mana; Samudra, Papa, dan gadis yang meminjaminya jaket.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro