01. Sekolah Baru
“Kamu yakin mau sekolah di sana?”
Bintang mendongak, menatap wanita paruh baya yang tengah menikmati sarapan di hadapannya. Sejak kapan Mama peduli tentang keputusan yang aku ambil? “Iya, aku mau sekolah di sana.”
Dalam balutan kemeja rapinya, Mama duduk dengan anggun dan penuh wibawa. Mama mengambil tisu lalu mengusapkannya ke mulut. Tangannya diletakkan di atas meja, jari-jarinya saling bertautan. Matanya menatap satu-satunya putri yang dia miliki. “Berarti kamu harus tinggal di asrama dan hanya bisa pulang ke rumah setiap hari sabtu dan mingg—”
“Aku tau. Itu bukan masalah.” Bintang memotong ucapan Mama. Lagipula percuma aku ada di rumah tapi Mama selalu sibuk dengan pekerjaan Mama. Nggak akan ada yang nemenin aku. Nggak aka nada orang yang bisa aku cium tangannya ketika aku pulang sekolah. Aku bakal sendirian dan berakhir dengan mati bosan di rumah.
Mama mendesah sebelum kembali membuka suara. “Oke, kalo itu pilihan kamu. Jaga diri kamu baik-baik. Tante Nirma akan mengurus semua kebutuhan kamu. Mama pergi dulu.” Lalu Mama berdiri dan pergi, begitu saja. Tidak berniat menemani dan mengantar Bintang ke sekolah barunya. Baiklah, tidak apa-apa, lagipula BIntang dan Mama tidak sedekat itu.
Bintang tersenyum getir lalu buru-buru menghabiskan serealnya. Dia harus sudah siap ketika Tante Nirma datang nanti.
***
Bintang mengikuti Tante Nirma menyusuri koridor sekolah barunya. Dalam hati, Bintang mengagumi bangunannya yang begitu megah. Tidak heran jika SPP yang dikeluarkan per bulannya terbilang fantastis. Matanya menyapukan pandangan ke sekeliling. Sepertinya bel masuk belum dideringkan karena masih banyak siswa-siswi yang berkeliaran.
Bintang mengekor Tante Nirma ketika wanita itu masuk ke dalam sebuah ruangan yang di depan pintunya bertuliskan ‘Headmaster room’.
Pak Radi yang notabene sang kepala sekolah sontak menegapkan tubuhnya begitu tamu yang sedari tadi dia tunggu, memasuki ruangan.
“Selamat pagi, Pak,” sapa Tante Nirma.
“Selamat pagi, Ibu Nirma dan BIntang. Silakan duduk.”
Bintang segera duduk di sebelah Tante Nirma.
“Selamat datang di sekolah ini, Bintang. Ini seragam sekolah kamu,”—Pak Radi menyentuh beberapa seregam di atas meja—“kamu bisa mulai belajar di kelas XI IPA 2 hari ini. Tapi kalau kamu belum siap, kamu bisa masuk besok pagi. Dan kami juga sudah menyiapkan kamar asrama untukmu. Kamu akan tinggal di asrama satu putri, di kamar nomor dua puluh empat. Semua buku pelajaran sudah disiapkan di sana.”
Bintang mengangguk. “Terima kasih, Pak.”
“Apa dia akan tinggal sendirian di kamar asramanya?” tanya Tante Nirma.
Pak Radi menggeleng. “Tidak, satu kamar dua orang.”
Tante Nirma menoleh menatap Bintang, seolah meminta pendapat atau apa. Namun Bintang tidak mengindahkan tatapan itu, dia hanya diam. Tante Nirma kembali menatap Pak Radi. “Apa tidak bisa satu kamar satu orang?”
Sembari memasang seulas senyum, Pak Radi menjawab, “Tentu saja bisa, jika untuk Bintang.”
Bintang mengernyit. Sama sekali tidak menyukai gagasan tersebut. “Nggak. Satu kamar dua orang bukan masalah buatku. Aku nggak suka didiskriminasi,” katanya seraya menatap Tante Nirma dengan kesal. Hanya karena Mamanya adalah penyandang dana terbesar di sekolah ini, bukan berarti Bintang harus diperlakukan dengan berbeda.
Tante Nirma balas menatap Bintang beberapa saat. Dia menghela napas. “Baiklah, biarkan Bintang tinggal di kamar nomor 24 itu, Pak.”
***
“Kamu mau masuk hari ini atau besok?” tanya Tante Nirma setelah mereka keluar dari ruangan kepala sekolah.
“Hari ini. Taruh aja seragam dan barang-barang aku di kamar asrama,” jawab Bintang.
Tante Nirma mengangguk. Dia menoleh ke belakang, menatap sopir yang sedari tadi berjalan di belakang mereka dengan membawa seragam Bintang. Tante Nirma menyuruh sopir itu untuk melakukan hal yang Bintang pinta. Setelah sopir itu pergi, Tante Nirma kembali memusatkan perhatiannya pada Binang. “Oke. Sekarang ayo kita ke ruang guru dan cari wali kelasmu.”
“Nggak perlu,” tolak Bintang. “Aku bisa sendiri.”
Tante Nirma mengernyit secara dramatis, seakan Bintang memintanya untuk salto. “Kamu yakin?”
Bintang berembus napas kesal. Menatap Tante Nirma tajam, dia berkata, “Berhenti memperlakukan aku kayak anak kecil. Udah aku bilang aku bisa sendiri."
Tante Nirma menghela napas. “Baiklah. Kalau begitu saya permisi. Jaga diri kamu baik-baik. Kalau ada apa-apa, jangan ragu hubungi saya.”
Bintang menatap kepergian asisten Mamanya itu hingga sosoknya hilang dan tidak terjangkau oleh matanya. “Terima kasih,” lirihnya, yang tentu saja tidak terdengar oleh Tante Nirma.
Sebenarnya Bintang tidak membenci Tante Nirma, kadang kala dia hanya merasa risi karena wanita itu memperlakukannya secara berlebihan. Baiklah, mungkin Tante Nirma hanya melakukan tugas yang diperintahkan Mama, tapi lama kelamaan Bintang merasa jengah. Terlebih fakta bahwa Tante Nirma lebih sering mengurusnya ketimbang Mama.
Secara teori, sebenarnya Bintang tidak memiliki masalah apa-apa dengan Mama. Hanya saja Mama terlalu sibuk bekerja hingga tidak sempat mengurus anaknya dan tidak tahu bahwa suaminya bermain di belakangnya.
Bintang merutuki dirinya sendiri yang lupa menanyakan di mana letak ruang guru sehingga dia tersesat dan menemukan dirinya sudah berada di lantai tiga. Gadis itu tidak tahu harus bertanya pada siapa karena sebelum dia dan Tante Nirma keluar dari ruang kepala sekolah, bel masuk sudah dideringkan. Seluruh siswa-siswi sudah memasuki kelasnya masing-masing.
Menoleh ke kiri, Bintang mendapati sebuah toilet perempuan. Melihat ke kanan, dia menemukan sebuah tangga. Tanpa berpikir lebih lanjut, kakinya tahu-tahu sudah menaiki tangga itu dua-dua sekaligus.
Matanya menyipit ketika sampai di ujung tangga dan mendapati atap gedung di depannya. Bintang melangkah maju, mengedarkan pandangan ke sekeliling. Tanapa sadar dia berdecak kagum. Tembok-tembok rendah di sana penuh dengan berbagai macam gambar. Mulai dari graffiti samapai sebuah lukisan langit malam.
Bintang meraba lukisan langit malam yang sejak awal menarik perhatiannya. Sebuah gambar langit malam dengan latar gedung-gedung pencakar langit. Namun keningnya berkerut ketika dia merasa gelapnya malam dalam lukisan itu terlalu pekat. Dia mencoba menerka apa yang kurang dari gambar itu. Setelah meneliti dengan saksama, akhirnya Bintang tahu apa penyebabnya. Pada lukisan itu, tidak ada satu bintang pun di langitnya. Satu-satunya penerangan hanya dari cahaya bulan yang redup dan lampu-lampu dari gedung pencakar langit. Lukisan itu jadi terlihat sendu.
“Siapa yang menggambar ini? Kenapa nggak ada bintang di lukisan langit malamnya? Dia lupa menyertakan bintang atau … sengaja?” Pertanyaan itu mengabur sia-sia. Tidak ada jawaban selain embusan angin yang menerbangkan rambut Bintang.
Cukup lama Bintang berada di atap sekolah hingga dia tersadar bahwa dia harus segera masuk ke dalam kelas barunya.
Kakinya segera melangkah menjauh dari atap sekolah dan kembali mencari ruang guru. Dia melangkah menelusuri koridor.
“Hei, kamu!”
Bintang menoleh, mencari sumber suara bernada tegas yang didengarnya. Matanya menangkap guru perempuan yang memiliki tubuh gempal. “Ibu manggil saya?” tanya Bintang ragu-ragu.
Ibu guru itu berkacak pinggang. “Iya, kamu. Kenapa masih keluyuran? KBM sudah berlangsung sejak tadi,” katanya dengan mata memelotot.
Bintang mendekat. Dari jaraknya dengan guru tersebut, dia dapat membaca name tag yang bertuliskan Ida Herani yang tersemat pada seragam guru itu. “Saya murid baru, Bu,” ujarnya. “Saya nggak tau kelas saya di mana. Dari tadi saya nyari ruang guru tapi nggak ketemu-ketemu.”
Bintang mengernyit heran ketika Ibu Ida membuka mulutnya secara dramatis. Wanita itu menatap Bintang seakan Bintang adalah makhluk luar angkasa.
“Kamu anak baru itu? Oh ya ampun—mari ikut saya. Biar saya tunjukkan kelas kamu,” kata Ibu Ida dengan ramah. Dia bahkan tersenyum lebar. Sangat berbeda dengan sikapnya yang sedari tadi memelototi Bintang.
Tanpa mau peduli lebih lanjut, Bintang mengikuti Ibu Ida di belakangnya.
Ibu Ida mengetuk pintu ruang kelas yang tertutup sebelum membukanya. Seluruh mata lantas terfokus pada ambang pintu. Bahkan guru yang tengah menulis di whiteboard pun menjeda aktivitasnya sejenak hanya untuk menatap Ibu Ida dan Bintang di balik kaca matanya.
“Oh Ibu Ida, silakan masuk,” kata Pak Yunus.
Bintang lantas menyusul Ibu Ida ketika guru itu memasuki kelas. “Saya hanya ingin mengantarkan murid baru ke kelas ini, Pak,” kata Ibu Ida.
“Oh dia murid baru itu?" tanya Pak Yunus sembari tersenyum ramah pada Bintang. Kemudian pandangannya dialihkan pada Bu Ida. "Terima kasih sudah mengantarnya ke sini, Bu."
Ibu Ida mengangguk. “Baiklah, kalau begitu saya permisi, Pak,” katanya. Dia lalu menoleh pada Bintang. “Semoga betah di sekolah ini, Nak. Kalau ada apa-apa kamu bisa menghubungi saya atau guru-guru yang lain.”
Bintang tersenyum simpul. “Terima kasih, Bu,” ucapnya.
Bintang berdiri dengan kikuk di sebelah Pak Yunus. Guru itu menatapnya lalu berkata, “Silakan perkenalkan diri kamu.”
Bintang mengambil satu langkah maju. Sekitar dua puluh lima pasang mata tertuju padanya dengan sorot ingin tahu. Gadis itu menelan saliva untuk membasahi tenggorokannya yang tiba-tiba terasa kering. Sungguh, dia benci segala jenis tahap memulai.
Bintang menarik napas panjang. Berusaha merangkai kalimat perkenalan diri yang mau tak mau harus segera dia utarakan. “Perkenalkan, nama saya Bintang Ranjana. Saya murid pindahan dari Surabaya,” kata Bintang seadanya, sambil memaksakan seulas senyum.
Seluruh kelas langsung ramai berbisik-bisik. Puluhan pasang mata menatap Bintang dari atas ke bawah, seakan menempatkan gadis itu sebagai objek spesimen di bawah mikroskop. Pak Yunus sontak mengangkat tangan untuk menenangkan kelas. “Baik, Bintang, nama saya Pak Yunus. Saya mengajar Bahasa Indonesia,” katanya seraya menatap Bintang. “Sekarang kamu bisa duduk di sebelah sana, bersama Melan.”
Bintang mengikuti arah tangan Pak Yunus yang menunjuk sebuah bangku kosong di dekat jendela. Di sebelahnya, seorang siswi mengangkat tangannya tinggi-tinggi dan melambai. Terlampau antusias memploklamirkan dirinya sebagai Melan.
“Terima kasih, Pak,” ucap Bintang sebelum kakinya melangkah melintasi jarak menuju bangku yang ditunjuk Pak Yunus.
Gadis yang duduk di bangku sebelahnya tersenyum terlampau lebar. “Hei, gue Melan. Salam kenal, ya,” katanya seraya mengulurkan tangan ke arah Bintang.
Bintang menjabat tangan Melan. “Hai, Melan. Gue Bintang.”
“Sekarang mari kita lanjutkan kegiatan belajar kita. Dengarkan apa yang saya jelaskan dan catat apa yang perlu dicatat,” ujar Pak Yunus.
Seluruh pasang mata lantas memokuskan pandangannya ke depan. Memasang baik-baik indra pendengaran mereka untuk menyerap ilmu yang Pak Yunus berikan.
***
Ketika jam istirahat pertama dideringkan, Melan menarik Bintang menuju kantin sekolah. Tempat itu penuh sesak oleh para siswa-siswi yang berniat mengganjal perut sebelum kembali berkutat dengan pelajaran-pelajaran berikutnya.
Beruntung mereka bisa mendapatkan tempat duduk karena Melan cukup gesit mencari tempat kosong.
"Semua makanan yang di sini tuh jenis makanan bergizi. Jadi, jangan heran, ya. Lo nggak akan nemuin bakso, mie ayam dan semacamnya di sini. Meskipun ini sekolah swasta, kesehatan siswa-siswi di sini terjamin!" papar Melan panjang lebar, setelah mereka duduk di tempatnya masing-masing.
Melan menyodorkan daftar menu yang terletak di meja kepada Bintang. "Lo mau makan apa? Gratis, lho. Semua biaya udah tercover. Pokoknya di sekolah ini kita dapet jatah makan tiga kali sehari."
"Oh ya?" Bintang sedikit tertarik dengan topik pembahasan ini. Tidak heran mengapa biaya sekolah di sini terbilang fantastis. Dia membuka-buka buku menu, mencoba memutuskan apa yang akan dia pesan.
Melan mengangguk. "Jadi meskipun lo nggak bawa uang ke sekolah, lo nggak akan kelaparan."
Bintang mengangkat kepalanya. "Gue mau nasi merah Paprika panggang, deh. Sama minumnya air mineral aja. Lo mau makan apa?"
"Gue lagi pengin makan pancake. Lo tunggu di sini aja, biar gue yang pesenin," katanya seraya berdiri dan menjauh.
Melan kembali beberapa menit kemudian. Dia menjatuhkan diri pada kursi kosong di depan Bintang. "Oh, ya. Lo udah tau belom? Kita bakal jadi teman sekamar, lho."
Mendengar hal itu, Bintang curiga semua ini sudah direncanakan. Mulai dari Pak Yunus yang tanpa ragu menunjuk bangku di dekat Melan hingga fakta bahwa dia akan berbagi kamar dengan Melan. Tapi tidak apa-apa, Bintang tidak mempermasalahkannya. Maka Bintang cepat-cepat menanggapi, "Itu berita yang bagus. Semoga kita bisa berteman baik, Mel."
Kemudian percakapan mereka terinterupsi oleh kedatangan pelayan yang membawa pesanan mereka. Bintang dan Melan lantas melahap makanan masing-masing.
Beberapa waktu setelah makanan mereka tandas, mereka memutuskan untuk segera kembali ke kelas.
Dalam perjalanan menuju kelas XI IPA 2, mereka melewati beberapa ruangan. Salah satunya ruang musik. Sebuah kesialan bagi Bintang karena tanpa sengaja gadis itu melihat sebuah piano lewat kaca jendela yang transparan. Tiba-tiba sebuah perasaan rindu menyergapnya hingga dia tidak sadar telah menghentikan langkahnya secara mendadak. Hal itu sontak membuat Melan mengernyit bingung.
"Ada apa, Bintang?" tanya Melan.
Bintang mengerjapkan matanya berkali-kali. Dia memaksakan sebuah senyum terulas di bibirnya. "Nggak, bukan apa-apa kok. Yuk!" jawabnya seraya kembali melanjutkan langkah menuju kelas.
***
See you next chapter 🖐
Anroy.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro