Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

6. Bekerja

Semakin hari, ekspresiku semakin murung, aku tak terbiasa dan tak akan pernah terbiasa.

-Lilis

________________

6 Mei 1979, Bandung

Bismillah....

Setelah Bapak mengijinkanku pergi bekerja, seminggu kemudian Bapak menemukan lowongan kerja di salah satu pabrik industri kain milik kenalannya. Aku masuk menjadi salah satu karyawan dalam divisi sewing, menyambung kain sesuai arahan yang diberikan, membuat pakaian.

Pertama kali aku memasuki pabrik garmen, suara mesin jahit bising terdengar, benang-benang berjejer rapi, tumpukan kain berantakan di pojok ruangan sedang para pekerja sibuk menjahit. "Saya dengar dari bapakmu kau ingin bekerja sebagai penjahit, benar begitu Lis?" Aku mengangguk, itu tidak sepenuhnya benar, tapi ilmu menjahit adalah salah satu yang ibu wariskan padaku. Aku pikir aku bisa melakukannya.

"Bagus, saya suka melihat anak muda sepertimu," puji pria di depanku, usianya tampak sudah mencapai awal tahun 40-an. Mengangguk-angguk memperhatikan karyawan yang bekerja. "Nah, silakan ambil tempat di sana, kau bisa menjahit dengan mesin jahit. Jika ada yang tak kau mengerti, silakan tanyakan pada rekan-rekanmu. Saya harap kau betah di mari." Aku tersenyum lebar, mengangguk dan menunduk dalam-dalam, berterima kasih.

"Terima kasih bantuannya, Pak."

Bos melambaikan tangan, berbalik pergi. Aku kembali bangkit menatap sekeliling, semua orang fokus bekerja, kekaguman menyelinap di sudut hatiku. Mataku berbinar cerah, duduk di kursi di mana mesin jahit berada. Berbeda dengan mesin jahit manual di rumah, mesin jahit pabrik berwarna putih terlihat lebih modern, tidak perlu mengayunkan kaki untuk menjahit, semua terhubung dengan mesin.

"Hey, cepatlah kau bekerja! Kau pikir akan dapat gaji dengan tidak bekerja seperti itu?!" Tubuhku tersentak mendengar bentakan salah satu wanita di sampingku. Tangannya terampil menjahit sedang matanya menyorot sinis, aku buru-buru mengangguk. Aku mulai melirik mesin jahit, berusaha menyalakannya, tapi kebingungan terlihat jelas. Wanita itu masih memperhatikan, aku takut-takut meliriknya.

"Te- Teh, punten. Ini bagaimana me-"

"Tak tahu kau cara menyalakan mesin?! Astaga, kau ini masuk ke sini lewat jalur mana? Huh? Kau bahkan tak punya kemampuan dasar!"

Aku terdiam lagi, menelan ludah, ini pertama kalinya aku mendapat cercaan di muka umum. Mulutku terbuka hendak menjelaskan, akan tetapi kalah cepat dengan gerakan wanita itu yang bangkit, mengumpat kata-kata kasar, menyalakan mesin. "Kerja yang benar kau! Jangan makan gaji buta!"

Aku lagi-lagi mengangguk, tanganku gemetaran mulai bekerja. Aku menatap sekitar, apakah itu adalah hal yang biasa? Tidak ada yang peduli, barang seorang, dua orang menatap sinis, mencibir. Aku menunduk, aku tidak menyangka akan mendapatkan penyambutan kasar di hari pertama aku bekerja.

.

.

.

4 Juni 1979, Bandung

"Teh!"

Aku mengangkat kepala dari piringku, hari sudah siang, aku sedang makan sebelum pergi bekerja. Aku mengambil shif kerja siang hari, karena pagi-pagi aku menyiapkan makanan dan mengurus si kembar, ketika Rita atau Shinta pulang maka aku akan pergi bekerja. "Tadi Sinta panggil-panggil Teteh tidak menyahut. Teteh... jadi lebih banyak diam dibanding sebelumnya. Teteh baik-baik saja?"

Aku menarik sudut bibirku, menggeleng. "Tak apa, Teteh baik-baik saja. Sungguh." Sinta menatap selidik, memiringkan kepala, satu tangannya menumpu wajah memperhatikanku. "Teteh kelihatan... tidak baik-baik saja. Kenapa?" Aku menggeleng, lagi-lagi memaksakan untuk tersenyum.

Aku mana mungkin mengatakan bahwa aku tidak nyaman di lingkungan kerja. Aku yang terbiasa di lingkungan yang menjunjung sopan santun, bahasa halus, juga pergaulan yang ketat membuatku tidak terbiasa di lingkungan bebas, terlebih bahasa kasar yang digunakan rekan kerja. "Tidak kok, Teteh baik-baik saja. Teteh pergi bekerja dulu, ya. Teteh titip adik-adik." Aku bangkit menaruh piring kotor, lantas berlalu pergi.

Aku menarik napas panjang, kembali berdiri di depan pabrik. Seolah batu besar menahan langkahku masuk, aku terdiam di tempat. "Woah, kenapa kau tak masuk Lis? Senior kita akan mengamuk lagi lho~" Aku mengambil langkah mundur, mataku melebar ketika salah satu rekan kerja pria mencubit pipiku.  

Astagfirullah... 

"Hey, jangan takut~ Aku tak melakukan apa pun, itu hanya karena kau terlalu serius." Dia menaik turun alisnya jahil, aku semakin beringsut mundur menggeleng. Aku tidak menganggapnya lucu, aku menundukkan kepalaku. "Maaf, saya harus pergi." Bergegas menarik jarak kakiku memasuki pabrik, aku menyilangkan tangan segera duduk di posisiku.

"Anjing!"

"Hahaha, maneh sih goblok."

Aku memejamkan mata, tanganku mengerat, aku menarik napas dalam-dalam berusaha fokus bekerja. Itu adalah hal biasa di tempat kerja ini, miris. Bahasa yang mereka gunakan membuatku bungkam, tak bisa mengatakan sepatah kata pun. Semakin hari, ekspresiku semakin murung, aku tak terbiasa dan tak akan pernah terbiasa. Jika bukan gaji yang dapat membantu ekonomi, aku sudah keluar jauh-jauh hari.

"Kau! Kenapa kau tidak bergabung dengan kami, huh?! Diam saja kau seperti orang tolol."

Ya Allah...

Bahkan ketika pulang bekerja banyak karyawan yang berkumpul, berbincang-bincang satu sama lain, beristirahat sehabis bekerja. Aku sendiri menjadi pribadi yang semakin tertutup, sensitif juga pendiam. Tak punya teman, di kondisi ini aku merindukan Mita. "Ma- maaf. Bapak sudah menunggu di rumah. Punten, Teh, A," balasku. Suaraku kecil sekali, hampir tak terdengar, bahkan ketika aku berjalan cepat, terdengar cacian juga kata-kata kotor yang mereka tunjukan.

.

.

.

18 September 1979, Bandung

Tepat lima bulan aku bekerja di pabrik industri pakaian, akhirnya aku menyerah dan memilih mengundurkan diri. Setelah beberapa waktu aku bertahan, aku tak sanggup lagi, Bapak hanya menghela napas mengiyakan ketika aku pulang dengan surat bahwa aku resmi keluar dari pekerjaan. Usaha Bapak juga kini sudah membaik, mungkin itu adalah pertimbangan ketika Bapak menawarkan satu hal.

"Lilis mau lanjut sekolah?"

Aku tak dapat menyembunyikan keterkejutan di wajahku, hampir-hampir aku mengangkat kepala menatap Bapak, mataku yang hilang cahayanya samar menemukan harapan. "Se- sekolah?" Bapak mengerutkan dahi, aku buru-buru menunduk, dikarenakan tempat kerja sebelumnya. Aku bahkan bicara terbata-bata, takut lebih dulu  akan menyinggung lawan bicara. "Benar... Kau pun memang senang belajar bukan? Bapak pikir itu akan baik untukmu."

Aku tercenung, pikiranku merantau dari satu tempat ke tempat lain. Perlahan senyum mekar di wajahku, ada kelegaan juga kebahagiaan samar menyebar di seluruh penjuru hati. "Bo- boleh. Lilis akan- akan senang sekali menerimanya." Tak dapat kusamarkan antusiasme yang terpancar, jadi aku bisa lanjut sekolah? Itu luar biasa! 

Aku bisa merasakan semua kesedihan yang ada pudar perlahan, sekolah, sekolah, sekolah! Aku akan kembali sekolah, aku tertawa kecil, mataku berkaca-kaca. Ini sungguh membahagiakan, aku melirik ke arah Bapak yang tersenyum tipis mengangguk. "Lilis boleh sekolah lagi."

Bersambung....

15 Mei 2023

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro