16. Fakta Pahit
"Kami sudah bekerja 8 bulan... dan tidak dibayar sepeser pun. Saya dan istri saya bingung bagaimana harus pulang. Kami pun malu, tak dapat membawa uang untuk anak dan keluarga di rumah."
-Suami-istri TKI
______________________
17 Januari 1992, Jakarta
Perjalanan menjadi imigran hampir memakan waktu 1 tahun, negara demi negara di wilayah Eropa kami datangi. Walau seperti keliling dunia, tak sedikit pun kesenangan kudapat, selain menjadi imigran aku pun hanyalah TKW, rasa rendah diri itu tak dapat ditahan. Setelah Perang Teluk yang resmi berakhir pada 28 Februari 1991, majikan mengambil keputusan kembali beberapa bulan kemudian-- pulang menuju Arab Saudi.
"Saya ingin ijin cuti," kata pertama yang aku ujarkan ketika kami kembali ke Arab Saudi. Hampir 3 tahun aku merantau, sudah cukup panjang aku pergi sekarang waktunya pulang. Aku dapat melihat keraguan di wajah majikan wanita, menatapku lamat-lamat, sendu, lantas mengangguk. "Hati-hati, Lilis. Aku harap bisa bertemu orang baik sepertimu lagi."
Dekapan hangat kembali di berikan, aku tersenyum menunduk hormat. Mengucapkan salam perpisahan pada putri dan pangeran juga pekerja lain. Pagi-pagi sekali aku beranjak pergi menaiki pesawat dari bandara Riyadh, menuju pulang kembali menuju tanah air.
Sekarang di sinilah aku, berada di bandara Soekarno Hatta tepatnya terminal 3. Suara adzan asar menyambut kedatanganku menginjak tanah air, sampai di bandara tubuhku membeku di tempat, kudengar tangisan dari para wanita mau pun TKI (Tenaga Kerja Indonesia) lainnya yang kembali. Kondisi mereka mengenaskan.
Aku bergegas menghampiri mereka, apakah ini alasannya TKI disebut sebagai Pahlawan Devisa? Aku dapat melihat wanita yang tubuhnya terdapat banyak luka; goresan, luka bakar bahkan di wajahnya terlihat jelas. Aku tak dapat membayangkan apa yang dia alami. Ada juga yang kini berbadan dua, dia menunduk dalam-dalam terisak yang lain seolah stres berat dengan kondisi rambut berantakan.
"Saya tak dibayar... mereka bilang itu hanya cek kosong."
"Sa- saya mendapat pelecehan dari majikan saya.. saya gadis baik-baik sungguh. Hanya ingin membiayai perawatan ibu di rumah sakit... saya malu kembali di kondisi tengah mengandung... padahal saya belum menikah."
"Majikan saya orang yang kejam! Dia- dia memukul dan menyiksa saya setiap melakukan kesalahan kecil..."
Astagfirullah...
Aku terenyuh menatap rekan-rekan seperjuangan yang tersiksa, ini sungguh tak adil. Di antara semua TKI yang mengais rizki di negara lain, meninggalkan peran ibu, bahkan menahan sesaknya jauh dari keluarga. Ada fakta pahit yang tak mungkin diketahui orang lain, hanya 40% yang berhasil dan 60% lain yang bermasalah.
Apa yang dilakukan pemerintah pada para pekerja malang ini? Kepada para pahlawan devisa? Tak ada pembelaan bahkan mereka enggan terlibat masalah dengan para majikan kaya. Sungguh tak adil! Jika jeritan hatiku bisa didengar oleh para pemerintah yang abai, kuserukan satu hal, 'Sudah! Hentikan! Jangan mengirim TKI lagi!'.
Satu persatu yang terkena musibah kudatangi. Sebelum kembali ke Indonesia majikan memberiku uang, hadiah, juga bonus. Jadi aku bisa membantu mereka, aku bisa membuat mereka memiliki harapan. Mulai dari turun pesawat sampai ke terminal 3 kakiku terus melangkah, menyusuri setiap tempat penampungan yang ada sekaligus menunggu panggilan administrasi.
Bahkan ketika bertanya pada TKI lain kisah mereka lebih dari cukup menguras air mata, sekaligus mengerikan. Ada banyak kuberi uang hadiah dan bonus dari majikan, ada yang kuberi 100 real, ada pula yang kuberi 200 real. Di penampungan terakhir hatiku sungguh nyeri menemukan sepasang suami-istri yang menangis, tersedu-sedu. Ketika ditanya jawaban mereka semakin membuatku sakit.
"Kami sudah bekerja 8 bulan... dan tidak dibayar sepeser pun. Saya dan istri saya bingung bagaimana harus pulang. Kami pun malu, tak dapat membawa uang untuk anak dan keluarga di rumah."
Aku bisa merasakan sakit hati mereka, langsung saja aku memberikan 500 real dan 1 dus kurma yakni oleh-oleh yang diberikan majikan. Mereka bahkan sampai sujud saking berterima kasihnya, aku menggeleng. "Kita kawan senasib, saya senang membantu kalian." Mereka semakin terisak, aku berusaha menenangkan mereka.
Akhirnya panggilan mengurus administrasi terdengar, aku cukup terkejut ketika mengurus surat-surat harus mengeluarkan uang 1,5 juta untuk cuti. Emosiku yang sedari tadi bercampur aduk, mendapati banyak penderitaan TKI, korban-korban ketidakadilan, dan acuhnya pemerintah membuat keberanianku menyala-nyala.
"Pak! Emang di Saudi uang tinggal ngambil tanpa pengorbanan?! Lihat, di luar sana banyak sekali yang menderita! Kami para TKI bukan sapi perah! Daripada saya harus ngasih Bapak lebih baik saya ngasih orang yang membutuhkan!"
Teriakanku lantang, menggema menarik perhatian petugas maupun TKI yang terhenyak, ikut berseru kencang. Dadaku naik turun tak karuan, wajahku memerah, petugas meminta orang-orang kembali tenang. "Bu, saya hanya menjalankan tugas saya! Tolong jangan buat keributan!" balasnya tak terima.
Aku perlahan berusaha menenangkan diri, mataku berkaca-kaca kutahan, menyelesaikan persyaratan administrasi. Emosiku campur aduk, sudah 3000 real kuhabiskan untuk membantu mereka yang gagal, tapi lagi-lagi itu bukan jawaban dari permasalahan. Mereka butuh bantuan yang lebih!
Menatap terminal untuk beberapa lama akhirnya aku memutuskan pergi, menunggu mobil kantor TKI. Ada beberapa hal yang kusadari yakni betapa beratnya tantangan bekerja di Arab Saudi maupun di negara asing lainnya. Menjadi TKI bukan solusi mutlak penyelesaian masalah ekonomi.
.
.
.
18 Januari 1992, Bandung
Dengan diantar mobil kantor, jam 3 pagi akhirnya aku sampai di Bandung. Karena belum punya rumah, aku pulang ke rumah Paman. Keluarga paman menyambut penuh suka cita, hingga keesokannya keluarga, suami dan anak-anak menemuiku. Hal yang pertama kudapat adalah pelukan Adzam-- suamiku.
Adzam memelukku erat-erat mengatakan berbagai maaf, suaranya gemetaran tak malu dilihat orang-orang sekitar. Di tengah semua yang dilalui, tiga tahun berlalu dan akhirnya aku kembali. Kami semua kembali, aku mengusap air mata yang membasahi pipi. Merentangkan kedua tanganku pada 2 putriku yang lain.
"Mama merindukan kalian..." suaraku gemetaran, air mata berlinang, inilah kerinduan yang dimiliki seorang ibu pada anak-anaknya. Aziza walau canggung memelukku erat, tapi Rina terdiam-- enggan mendekat. "Sayang...?" gumamku kebingungan.
Rina-- gadis kecil yang kutinggalkan ketika masih berusia 2 tahun bersembunyi dibalik tubuh Adzam. "Lina... Lina tak kenal ibu itu! Tak mau peluk!" Aku membeku di tempat, Adzam membujuk Rina tapi gadis itu keras kepala. Hatiku remuk redam, ini lebih nyeri dibanding apa pun.
"Maafkan Mama, Nak... sungguh."
Aku menangis terisak-isak di hadapan malaikatku. Hatiku menjerit-jerit memohon ampun pada Allah, mungkin ini adalah dosa yang harus kuterima. Dosa meninggalkan anak-anakku, meninggalkan peran ibu. Mengabaikan waktu yang tak kan pernah terulang kembali, di mana anak-anakku tumbuh yang luput dari pengawasanku.
Bersambung....
26 Mei 2023
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro