(7) Revisi
(Telah direvisi. 10 Desember 2020)
Seorang gadis remaja tengah berdiri di depan cermin yang berada di kamarnya. Ia sibuk berputar ke kanan dan ke kiri untuk melihat kecocokan antara baju yang baru ia beli dengan tubuhnya. Ya, Dhira telah pulang dari acara berbelanja kebutuhan hijrah tepat sebelum azan Maghrib berkumandang. Untungnya ia bukan tipe orang yang suka mengelilingi seluruh toko untuk terus mencari baju yang ia mau atau sekadar cuci mata melihat barang-barang yang lain, dia tetap menjadi orang mageran yang hanya ingin mencari barang kebutuhannya.
Kalau menurut Dhira, melakukan hal seperti cuci mata itu adalah hal yang melelahkan dan percuma. Untuk apa memutari seluruh toko jika tak ingin membeli apa-apa? Bagi sebagian orang, cuci mata bisa berguna karena siapa tahu ada barang yang dibutuhkan lalu bisa dibeli, tetapi Dhira tak akan melakukan itu. Ia tak akan berangkat ke mall atau toko mana pun jika ia tak punya keperluan yang harus dibelinya. Bisa dibilang, hal seperti cuci mata itu tidak efektif dan bisa menyebabkan pemborosan. Yang awalnya tidak niat beli, jadi beli karena merasa itu dibutuhkan padahal ujung-ujungnya tak dipakai. Yang awalnya tidak niat beli, jadi beli karena dirasa barang itu lucu dan terlalu gemas untuk dimiliki. Ah, Dhira menghindari hal-hal tersebut, dan dia bersyukur karena mempunyai sifat mager dan cuek dengan barang-barang lucu.
"Dhir, ada Rara nih," panggil Ningrum dari ruang tamu.
Jarak dari ruang tamu ke kamar Dhira tak terlalu jauh, hanya dipisahkan dengan ruang keluarga dan ruang makan. Dhira langsung
menyudahi sesi becermin dan segera menghampiri Rara yang sudah menunggu di ruang tamu.
Iya, macan betina bernama Rara itu harus segera ditemui, kalau terlalu lama bisa-bisa ia mengamuk di rumah orang.
"Kok lo belum siap, si? Kita kan mau berangkat sekarang." Kan, Dhira baru memunculkan batang hidungnya saja langsung kena omelan Rara.
"Emangnya berangkat sekarang? Gak jadi habis Isya?" tanya Dhira.
Rara langsung berdiri dari sofa dan menuntun Dhira untuk kembali ke kamarnya. "Kita kan anggota remaja masjid, harus bantu siap-siap dulu. Apalagi pengisi kajian malem ini dari ustad ternama di daerah sini, pasti lebih banyak lagi yang harus disiapin, Dhir."
Dhira hanya manggut-manggut karena dia sama sekali tak mengerti tentang apa yang harus ia lakukan nanti. Wajar, baru kali ini dia mau keluar rumah untuk gabung dengan organisasi masyarakat dan meninggalkan laptopnya itu.
"Pake pakaian yang mana kira-kira?" tanya Dhira sambil memperlihatkan baju serta rok yang baru ia beli dan telah berjejer di atas kasurnya.
Rara membulatkan matanya ketika melihat jumlah pakaian baru milik Dhira dan menatap Dhira horror. "Lo beli baju segini banyak? Niat banget sumpah."
"Gue cuma minta tiga, nyokap malah mau beliin banyak karena katanya buat ganti-ganti. Lagipula lo tau sendiri kalo gue sama sekali gak punya baju sama rok panjang apalagi gamis."
"Bener juga, apalagi nanti pasti bakal banyak acara di masjid, gak mungkin lo pake baju itu-itu aja. Terus sekarang lo mau langsung pake baju baru? Gak bau tuh?"
"Setelah disemprot parfum, not bad, lah."
Dhira langsung bersiap menggunakan setelan pakaian yang sudah ia dan Rara pilih, kemudian mereka berpamitan dengan Ningrum dan bergegas menuju Masjid yang berada di tengah perumahan mereka.
Baru saja mereka sampai di depan gerbang, perhatian Dhira teralih pada sosok lelaki yang tengah menggunakan baju koko berwarna donker.
Kebetulan apalagi? Lagi-lagi Dhira dan Putra menggunakan warna baju yang sama seperti saat pertemuan pertama mereka di masjid waktu itu.
"Sama lagi? Kalau sampe tiga kali, lo harus beliin gue ayam bakar di gang sebelah." Dhira langsung menyentil kening Rara, bisa-bisanya ia merusak suasana.
Rara kembali melanjutkan ucapannya, "Tapi hati-hati kalau mandangin seseorang apalagi lawan jenis, bisa jadi zina mata."
"Zina mata itu apa?"
"Nanti aja kita bahasnya. Bantuin dulu, yuk."
Rara langsung berjalan cepat dan masuk ke dalam aula untuk membantu remaji lainnya menyiapkan makanan dan minuman yang akan disajikan. Sedangkan Dhira yang masih kaku dan malu-malu hanya bisa berdiri di tempat, ia seperti ragu untuk mengikuti langkah Rara yang sangat ringan itu.
"Assalamu'alaikum."
Dhira tersentak saat mendengar salam dari sebelah kanannya. Dan betapa terkejutnya ia saat melihat sosok lelaki yang baru saja memberikan salam itu tengah berdiri sambil tersenyum ke arahnya.
"Kenapa diam di sini? Langsung masuk ke aula aja, udah banyak kok teman akhwat di sana."
Dhira masih setia dalam diamnya. Ia tak pernah melihat sosok lelaki itu sebelumnya, tetapi entah mengapa ia merasa seperti pernah kenal dengan lelaki tersebut.
"Perkenalkan, saya Adli. Baru pindah ke perumahan sini dua minggu lalu, dan langsung gabung ke remaja masjid."
Dhira hanya manggut-manggut, ia bahkan tidak berniat untuk menanyakan nama dari lelaki itu. Walaupun laki-laki itu warga lama perumahan, tetap saja Dhira tak akan mengenalnya karena Dhira hanya mengenal orang tuanya, Rara, orang tuanya Rara, abang mie ayam depan komplek, ibu warung, dan Putra.
"Kalau gitu saya duluan, udah dipanggil Putra soalnya."
Dhira langsung membulatkan matanya saat Adli menyebut nama Putra. Dan benar saja, Putra sedang berdiri tak jauh dari mereka berdua.
Dhira melihat Putra, dan lagi-lagi Putra,
Ia menganggukkan kepalanya sambil tersenyum ke arah Dhira.
"Dia ... nyapa gue untuk yang kedua kalinya?" Dhira bermonolog saat Putra dan Adli sudah meninggalkannya.
Dhira tersenyum lebar, hatinya dipenuhi bunga-bunga.
Menyadari bahwa Putra tersenyum ke arahnya, membuat Dhira melompat-lompat saking senangnya.
"Terima kasih karena senyum itu hanya ditujukan untuk gue seorang."
*Bersambung*
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro