Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

(3) Revisi

(Telah direvisi, 25 Oktober 2020)

"Sumpah, Dhir, lo cocok make gamis kayak gini, bener-bener sesuai sama muka lo yang sebenernya anggun itu."

Nadhira mendelik kesal, melihat sosok sahabatnya yang tanpa tahu diri masih bisa memuji dengan secuil sindiran halus. Bisa-bisanya Rara tiduran di kasur Dhira tanpa merasa bersalah sama sekali, sedangkan Dhira sudah ingin memakan Rara hidup-hidup.

"Dhir, kok lo diem aja, sih? Masih salting gara-gara bajunya samaan kayak Kak Putra?" ledeknya sambil terus menyenggol lengan Dhira.

Nadhira masih menatap tajam ke arah Rara yang kini malah asik memainkan ponselnya. Dhira pasrah, ia akhirnya ikut merebahkan diri di sebelah Rara. Namun, sebelum itu ia sempatkan untuk meninju tulang kering Rara agak kencang.

Rara spontan duduk, mengaduh sambil memegangi tulang keringnya yang terasa ngilu. "Woi! Dikira gue samsak tinju? Mikir-mikir, Dhir, tulang kering, lho, ini."

Dhira mengibas-ngibaskan tangannya sambil menutup mata, mengisyaratkan untuk Rara pergi dan tak mengganggunya lagi. Apa-apaan? Mengapa jadi Rara yang marah pada Dhira? Lagi-lagi Dhira menggerutu dalam hati, mengapa ia mempunyai sahabat yang telat mikir seperti Rara.

"Lo kenapa, sih? Abis ketemu pujaan hati bukannya seneng malah jadi banteng."

Masih hening. Dhira setia untuk membungkam mulut dan menutup matanya. Rara masih duduk di sebelah Dhira yang berbaring telentang, enggan untuk meninggalkan atau pulang ke rumah. "Lo ... kesel sama gue karena gue ninggalin lo?"

Gotcha! Nadhira langsung membuka matanya, dan langsung mengubah posisi untuk duduk di sebelah Rara. Dhira menatap Rara selama beberapa detik, kemudian kembali ia meninju Rara, kini di lengan sebelah kanannya.

"Dari mana aja baru sadar, Markonah?! Gara-gara lo, di hari pertama gue gabung di sana malah diketawain gara-gara gak tau 'ukhti' itu apaan! Mau dikemanain harga diri gue di depan Kak ... Eh, Kak siapa tadi namanya?"

Kini berbalik, Rara menyentil kening Dhira dengan lumayan kencang karena tak habis pikir dengan otak sahabatnya. Bagaimana bisa Dhira menyukai seseorang dari lama sedangkan namanya saja ia tak tahu?

"Kak Putra, woi! Belum juga sehari masa udah lupa. Lagi pula inget posisi dia, dia itu orang yang lo sukain, orang yang lo kagumin dari dulu. Masa iya lo baru tau namanya hari ini?"

Dhira mengelus keningnya yang memerah karena sentilan Rara, kemudian membuang napas kasar. Ia kembali merebahkan dirinya sambil menutup mata, kemudian berkata, "Siapa peduli? Gue kagum sama orangnya, bukan namanya. Gue jatuh cinta pada pandangan pertama sama sikapnya, bukan namanya."

"Kalo lo gatau namanya, gimana bisa lo doa biar dia bisa disatuin sama lo? Biar lo bisa jodoh sama dia?"

Dhira mematung mendengar ucapan Rara yang terdengar santai dan mengalir itu. Ia tak habis pikir, apa Rara lupa kalau Dhira saja jarang berdoa untuk dirinya sendiri?

"Tadi, lo milih siapa buat jadi ketua?" tanya Dhira mengalihkan setelah hening beberapa saat. Matanya masih setia terpejam dan hampir tertidur kalau saja jawaban Rara tidak menyita perhatiannya.

"Milih Kak Putra, lah. Cuma dia yang visi misinya bagus dan relevan sama keadaan di zaman sekarang. Apalagi dia emang berwibawa, jiwa kepemimpinannya keliatan banget. Terbukti hampir 70% suara milih dia tadi."

Hati Dhira menghangat, senyumannya terpatri karena mendengar pujian dari sahabatnya untuk sang pujangga. Dhira menyetujuinya, sangat setuju karena ucapan Rara itu sepenuhnya benar. Tak ada rekayasa atau pun dilebih-lebihkan. Coba, bagaimana Dhira tidak semakin kagum dengan lelaki bergamis hijau itu?

"Gue juga milih Kak Putra."

"Hm, gue tau."

"Kok, lo bisa tau?"

Rara memutar kedua bola matanya malas, yang untungnya Dhira tidak melihatnya karena ia masih setia terpejam. Kalau Dhira lihat, bisa-bisa ia menarik kerudung Rara karena ia sangat tak suka dengan ekspresi yang seperti itu.

"Jelas-jelas lo gabung remaja masjid karena ada dia," jawab Rara malas. Ia masih memainkan ponsel Dhira sebelum akhirnya ia mengembangkan senyum lebar karena menemukan suatu hal besar yang belum pernah ia ketahui sebelumnya.

"Dan satu alasan lagi, gimana mungkin lo milih kandidat lain sedangkan di hp lo aja, lo nyimpen banyak banget foto Kak Putra yang diambil secara diem-diem?"

"RARAAAA!!! BALIKIN HP GUE!!!"

Beberapa bantal telah melayang bebas ke arah Rara, sedang yang dilempar bantal hanya terus berusaha untuk menghindar sambil tertawa terbahak-bahak. Rara puas melihat wajah Dhira yang merah maksimal bak kepiting rebus yang baru diangkat dari panci. Merah, dan berasap.

"Lo gak sopan, ya! Folder itu udah gue sembunyiin, kenapa bisa lo temuin, hah?!" ucap Dhira yang sudah mendapatkan kembali ponselnya.

Napas Dhira memburu, dengan segera ia mematikan ponselnya dan menyimpan di dalam laci nakas. Lagi-lagi tatapan nyalang Dhira berikan ke arah Rara, merasa rahasia terbesarnya selama ini terbongkar begitu saja. Padahal, Dhira tidak ingin ada satu orang pun mengetahui bahwa ia mempunyai bakat menjadi papparazzi.

"Jadi, lo bener-bener seorang Secret Admirer? Dan orang yang lo kagumin diem-diem itu Kak Putra? Lelaki yang notabene-nya udah terkenal alim dan salih di lingkungan sini? Lo gak salah?"

Dhira mengerutkan alisnya mendengar perkataan Rara yang sedikit terdengar, aneh? Memangnya salah kalau Dhira mengagumi laki-laki semacam Putra?

"Maksud gue, gue tau lo itu orangnya gimana, keseharian lo gimana. Please, Dhir, kita temenan bukan sebulan dua bulan. Gue tau banget gimana sosok lelaki idaman di mata lo, yang mirip kayak Park Chanyeol EXO itu, kan? Dan liat, Kak Putra jauh banget, gaya pakaiannya aja beda banget."

"Gue suka sama orang korea ya suka aja, Ra. Gue juga tau batas dan sadar diri, gue gak akan bermimpi untuk dapetin cowok kayak idola gue karena itu mustahil banget. Dan gue mau, gue dapet suami yang bisa bimbing gue ke arah yang lebih baik. Gue gak mau munafik, gue sadar kehidupan gue ini terlalu suram, gelap, makanya gue berharap dapet suami kayak Kak Putra yang bisa ngajak gue ke jalan yang seharusnya gue tempuh."

Rara speechless mendengar perkataan sahabatnya yang ternyata sudah mempunyai pola pikir dewasa itu. Omong-omong, Dhira itu kan tontonannya kalau gak drakor, ya anime, yang di mata Rara anime itu adalah kartun atau tontonan anak-anak. Makanya, Rara sedikit tertegun mendengar ucapan yang Rara kira tak akan ia dengar dari seorang Nadhira.

"Pegang satu hal, jodoh adalah cerminan diri sendiri. Lelaki baik untuk wanita baik, begitu juga sebaliknya. Apa salahnya kalau kita juga berusaha untuk memperbaiki diri dengan harapan saat nanti kita bertemu seseorang, kita bisa merasa pantas untuk dia, kita merasa kalau kita ini ditakdirkan untuk dia. Coba, misal kita masih jadi orang yang gak tau apa-apa tentang agama, jauh dari agama, tiba-tiba misalnya dapet calon suami yang kerjanya jadi pendakwah? Kita bisa apa karena kita gak tahu ilmunya? Bisa-bisa kita malah merasa minder dan merasa gak pantes, ujung-ujungnya down dan sakit hati."

Dhira termenung, pandangannya refleks membawa ke arah cermin, menatap dirinya sendiri yang masih terbalut gamis ibunya. Hatinya tersentil, merasa tersindir karena ucapan Rara yang sangat benar adanya.

"Jadi, gue harus hijrah biar bisa dapetin lelaki sebaik Kak Putra?"

Rara menggeleng pelan, ia tersenyum sambil menatap lurus ke arah Dhira. "Nggak gitu juga. Niat utama hijrah kita ya untuk dapetin cinta Allah. Lelaki baik itu anggep aja sebagai bonus. Kalau Allah kasih, bersyukur, kalau belum Allah kasih, sabar aja. Allah tahu apa yang terbaik bagi hamba-Nya."

Satu tetes air mata yang terus disusul dengan air mata selanjutnya membuat Dhira segera mengambil tisu dan mengusap matanya. Rara ikut terkejut karena tak menyangka melihat Dhira yang tiba-tiba menangis sesenggukan.

"Gue udah terlalu jauh, Ra, gue takut terlambat."

Rara memeluk Dhira, ikut menangis karena ia tahu ada pergejolakan batin dalam diri Dhira. Saat hidayah datang, Dhira pasti membutuhkan seorang teman untuk di sampingnya, membantu Dhira untuk merangkul erat cahaya tersebut.

"Gak ada kata terlambat untuk berjalan ke arah yang lebih baik, Dhira."

Dan kini Dhira baru mengerti, bahwa sahabatnya itu memang benar-benar ingin membawa pelita ke dalam kehidupannya yang terlalu gelap gulita.

*Bersambung*

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro